Usia yang larut senja, 83 tahun, membuat tubuh Siti Rijati kian ringkih. Pelukis senior Surabaya ini pun tak bisa lagi jalan kaki setiap pagi dan sore 30 menit di depan rumahnya. Tubuhnya yang memang sudah kurus pun tinggal kulit pembalut tulang belaka.
Ketika umat Islam sibuk silturahmi Lebaran, 8-9 Agustus 2013, Eyang Yati, sapaan akrab pelukis aliran realis ini ambruk di rumahnya, Ngagel Jaya Selatan I/16 Surabaya. Asupan makanan yang kurang, kesepian di usia senja, ditambah pikiran yang ruwet, membuat kondisi Siti Rijati semakin menurun.
Jangankan jalan sehat, untuk makan sehari-hari saja pun susah. Syukurlah, Ninik, adik kandung Siti Rijati, lekas bertindak. Dia segera meminta bantuan dokter untuk memeriksa kesehatan eyang kelahiran Mojokerto 24 Januari 1930 ini.
"Kakak saya itu tidak punya penyakit, tapi badannya drop karena lanjut usia," kata Bu Widodo, sapaan akrab Ninik.
Bu Widodo bersama keluarga besarnya kemudian mendatangkan Puji, perawat asal Gresik yang pernah merawat Rijati ketika menjadi korban tabrak lari pada 2008. Sempat membaik, kondisi sang eyang menurun lagi.
"Ibu sulit makan. Makanan yang kita suap tidak ditelan tapi dibiarkan di dalam mulutnya," tutur Puji.
Maka, pihak keluarga meminta bantuan bidan dari klinik milik PTPN di Ngagel untuk memasang sonde alias selang khusus lewat hidung pasien. Makanan cair dimasukkan lewat selang tersebut.
"Kondisi Bu Yati sudah lumayan tapi tidak stabil. Namanya juga orang sepuh ya badannya terus melemah," katanya.
Karena itu, pihak keluarga, kerabat, keponakan, hingga mantan anak kos beberapa hari ini berdatangan untuk membesuk Eyang Rijati. Sayang, sang pelukis yang sudah hajah ini tak bisa diajak berkomunikasi secara normal.
"Kita doakan semoga Tuhan memberi kesembuhan kepada Bu Yati. Beliau ini pelukis senior yang punya pendirian sangat tegas," kata Misgiyanto, pelukis yang pernah tinggal bersama Eyang Rijati.
Jumat 30 Agustus 2013 subuh.
Mbak Anis, keponakan eyang yang tinggal di Jakarta, masuk ke kamar Eyang Yati. Betapa terkejutnya Anis melihat kondisi budenya kaku, tak bergerak. Eyang Siti Rijati pun meninggalkan dunia fana ini dengan tenang.
Meninggal pada hari Jumat, apalagi Jumat Legi, bagi orang muslim Jawa dianggap sebagai kematian yang baik. Khusnul khotimah. Semoga Tuhan memberikan tempat yang layak untuk eyang!
Sesuai wasiatnya semasa hidup, jenazah Siti Rijati sang pelukis senior gemblengan Taman Budaya Jatim dimakamkan di TPU Ngagel. Jadi satu dengan makam Riza Muchtar, putra semata wayangnya yang meninggal tahun 1957.
Makam tua sekitar 100 meter dari makam Bung Tomo itu dibongkar, digali lagi lebih dalam, sebagai tempat peristirahatan terakhir Eyang Yati.
Usai dimandikan, jenazah yang sudah dikafani diangkut ambulans ke Masjid Baitul Falah, Ngagel Jaya Selatan, sekitar 200 meter dari rumah duka. Selepas salat Jumat, jamaah masjid melakukan salat jenazah sebelum diantar ke TPU Ngagel.
Sugeng tindak Eyang Yati!
Ketika umat Islam sibuk silturahmi Lebaran, 8-9 Agustus 2013, Eyang Yati, sapaan akrab pelukis aliran realis ini ambruk di rumahnya, Ngagel Jaya Selatan I/16 Surabaya. Asupan makanan yang kurang, kesepian di usia senja, ditambah pikiran yang ruwet, membuat kondisi Siti Rijati semakin menurun.
Jangankan jalan sehat, untuk makan sehari-hari saja pun susah. Syukurlah, Ninik, adik kandung Siti Rijati, lekas bertindak. Dia segera meminta bantuan dokter untuk memeriksa kesehatan eyang kelahiran Mojokerto 24 Januari 1930 ini.
"Kakak saya itu tidak punya penyakit, tapi badannya drop karena lanjut usia," kata Bu Widodo, sapaan akrab Ninik.
Bu Widodo bersama keluarga besarnya kemudian mendatangkan Puji, perawat asal Gresik yang pernah merawat Rijati ketika menjadi korban tabrak lari pada 2008. Sempat membaik, kondisi sang eyang menurun lagi.
"Ibu sulit makan. Makanan yang kita suap tidak ditelan tapi dibiarkan di dalam mulutnya," tutur Puji.
Maka, pihak keluarga meminta bantuan bidan dari klinik milik PTPN di Ngagel untuk memasang sonde alias selang khusus lewat hidung pasien. Makanan cair dimasukkan lewat selang tersebut.
"Kondisi Bu Yati sudah lumayan tapi tidak stabil. Namanya juga orang sepuh ya badannya terus melemah," katanya.
Karena itu, pihak keluarga, kerabat, keponakan, hingga mantan anak kos beberapa hari ini berdatangan untuk membesuk Eyang Rijati. Sayang, sang pelukis yang sudah hajah ini tak bisa diajak berkomunikasi secara normal.
"Kita doakan semoga Tuhan memberi kesembuhan kepada Bu Yati. Beliau ini pelukis senior yang punya pendirian sangat tegas," kata Misgiyanto, pelukis yang pernah tinggal bersama Eyang Rijati.
Jumat 30 Agustus 2013 subuh.
Mbak Anis, keponakan eyang yang tinggal di Jakarta, masuk ke kamar Eyang Yati. Betapa terkejutnya Anis melihat kondisi budenya kaku, tak bergerak. Eyang Siti Rijati pun meninggalkan dunia fana ini dengan tenang.
Meninggal pada hari Jumat, apalagi Jumat Legi, bagi orang muslim Jawa dianggap sebagai kematian yang baik. Khusnul khotimah. Semoga Tuhan memberikan tempat yang layak untuk eyang!
Sesuai wasiatnya semasa hidup, jenazah Siti Rijati sang pelukis senior gemblengan Taman Budaya Jatim dimakamkan di TPU Ngagel. Jadi satu dengan makam Riza Muchtar, putra semata wayangnya yang meninggal tahun 1957.
Makam tua sekitar 100 meter dari makam Bung Tomo itu dibongkar, digali lagi lebih dalam, sebagai tempat peristirahatan terakhir Eyang Yati.
Usai dimandikan, jenazah yang sudah dikafani diangkut ambulans ke Masjid Baitul Falah, Ngagel Jaya Selatan, sekitar 200 meter dari rumah duka. Selepas salat Jumat, jamaah masjid melakukan salat jenazah sebelum diantar ke TPU Ngagel.
Sugeng tindak Eyang Yati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar