Minggu, 24 Februari 2019

Bertemu Romo Zaka Beni di Lewotolok

Banyak pengalaman manis dan pahit saat mudik akhir tahun 2012 ke kampung halaman. Salah satu yang manis adalah bertemu Romo Zakarias Benny Nihamaking. Beliau pastor asal Desa Bungamuda, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, satu kampung dengan saya. Setiap kali mendaki dari Lamawara ke rumah kakek-nenek di pojok Bungamuda, saya pasti lewat di samping rumah sang romo.

Romo Zaka menjadi rohaniwan yang sangat dibanggakan di kampung saya. Maklum, tidak mudah mencetak pastor Katolik karena pendidikan dan penggemblengan yang sangat panjang. Juga faktor panggilan. Biarpun sudah masuk seminari, kuliah lama di Ledalero, kalau panggilan tak ada, tak mungkinlah ditahbiskan jadi pastor.

Sejak 20 tahun terakhir, saya mencatat di kampung saya hanya Romo Zakarias Benny dan Romo Paskalis Hurek yang jadi pastor. Belum ada tanda-tanda akan ada tahbisan imam baru asal Bungamuda-Mawa-Lamawara dalam waktu dekat. Bagaimana ada tahbisan kalau tak ada anak muda setempat yang sekolah di seminari?

Karena itu, saya senang sekali bisa bertemu lagi dengan Romo Zaka. Terakhir saya bertemu dan menjabat tangan beliau saat saya masih SMP di Larantuka. "Sekarang saya sudah pensiun, tinggal di Waiwerang (Adonara Timur)," kata Romo Zaka dengan suaranya yang halus.

Kalau tidak salah Romo Zaka merayakan imamat perak atau 25 tahun menjadi imam pada 2008 di Witihama, Adonara Timur. Berarti beliau sudah 32 tahun memilih membaktikan hidupnya di ladang tahun. Menjadi gembala domba-domba di bumi Lamaholot. Menggantikan imam-imam misionaris asal Eropa yang sekarang sudah RIP semua!

Mungkin, karena dulu sekolah di seminari tinggi di Jogjakarta, Romo Zaka ini sangat halus. Bicara seperlunya saja, cuma yang penting-penting. Tapi ramah, senyum, dan baik dengan umat. Ini pula yang membuat Romo Zaka selalu dicintai umat di paroki-paroki tempatnya bertugas.

Di Gereja Lewotolok, 1 Januari 2013, Romo Zaka memimpin perayaan ekaristi (misa) tahun baru. Seperti biasa, gereja tidak penuh karena malamnya umat ramai-ramai melekan sampai pagi. Tradisi merayakan tahun baru ala kampung-kampung di bumi Lamaholot. Toh, Romo Zaka tidak marah atau mengecam umat yang bangun kesiangan sehingga tidak bisa ke gereja. Romo Zaka ini tipe pastor yang selalu melihat sesuatu dengan kacamata positif.

Setelah misa, saya beruntung dapat kesempatan sarapan bersama Romo Zaka dan para tokoh umat Stasi Lewotolok. Wow, makannya sedikit kayak orang Jawa! Tidak tambah nasi seperti kebiasaan orang-orang Lembata. Mungkin karena makan sedikit inilah tubuh Romo Zaka Benny tidak sampai kegemukan. Setelah makan, Romo Zaka dijemput dengan sepeda motor ke rumahnya di Bungamuda.

Selamat tahun baru dan selamat melayani umat di Lewotanah!

1 komentar:

  1. Tidak gampang menjadi seorang pastor katholik !
    Harus sehat jasmani dan rohani, pria belum pernah menikah, dari keluarga katholik, ergo sudah dipermandikan dan sakrament penguatan, minimum lulusan SMA, harus mendapat panggilan dari Kristus, di test dan di wawancarai di kantor keuskupan. Itu baru syarat pertama.

    Masuk seminari, 1 tahun masa percobaan, diajak ketempat ziarah, harus ke Israel selama 6 bulan belajar Injil, harus bisa kumpul atau bersosialisasi dengan teman2 di asrama seminari, tidak boleh karepe dewe. Kalau dinilai cocok, barulah bisa diterima di seminari sesungguhnya.

    Mulailah kuliah di Universitas jurusan theologie katholik, minimum selama 5 tahun, ditambah 1 tahun kuliah di luar-negeri. Jarang ada calon pastor yang bisa lulus dalam waktu sesingkat itu, karena mereka harus fasih belajar bahasa Latin, Ibrani, Yunani, Inggris dan bahasa nasional ke negara mana mereka ingin bertugas sebagai missionaris.
    Puluhan mata kuliah harus lulus ujian. Biasanya perlu waktu rata2 delapan tahun untuk lulus dari Universitas.
    Apa yang tidak diajarkan di universitas, mereka diajarkan di Asrama Seminari, contohnya : menyanyi, musik, sembahyang bersama, berdikari.

    Setelah memiliki ijasah Master dari universitas, mereka ditasbihkan menjadi Diakon, pastor pembantu. Lalu praktikum di Gereja Paroki selama 2 tahun, barulah bisa ditasbihkan sebagai seorang Pastor Katholik.
    Jadi untuk bisa menjadi pastor katholik membutuhkan waktu minimum 10 tahun.
    Susah-susah sekolah sedemikian lama, sudah gitu harus hidup zolibater. Mendingan sekolah hukum, ekonomi, tehnik, kedokteran, dll.-nya, lebih gampang dan lebih singkat, selama kuliah bisa gonta-ganti pacar, dan setelah lulus bisa langsung rabi, daripada jadi pastor katolik.

    Jadi, Pastor Katholik bukanlah Ahli Agama yang abal-abal. Mereka adalah manusia pilihan.

    Jadi Tukang-Khotbah di Indonesia paling enak, hanya perlu satu handphone Xiao-mi, seharga 800 Renminbi untuk nyontek di Google. Tidak heran yang keluar dari mulut-nya hanyalah cacian, makian, kebencian, permusuhan.

    BalasHapus