Tampilkan postingan dengan label seriosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label seriosa. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 01 Juni 2024

Senja di Pelabuhan Perahu, Lagu Seriosa Favorit Pelukis Bambang Thelo di Sidoarjo

Dulu di Indonesia ada lagu seriosa. Genre musik ini cukup populer di era 50-an hingga 80-an. Saban tahun ada lomba bintang radio dan televisi (BRTV) jenis seriosa, hiburan, keroncong. Seriosa tergolong berat karena harus bisa baca not balok dan teknik vokal ala opera Barat.

Pelukis Sidoarjo Bambang Thelo (alm) dari Sidokare, Sidoarjo, sangat senang seriosa. Saat mancing di tambak Sedati, Banjar Kemuning, hingga Kepetingan Mbah Thelo selalu menyanyi seriosa - meski suaranya kurang enak dan ketukannya sering kacau.

Lagu seriosa yang sering dibawakan Bambang Thelo adalah Senja di Pelabuhan Perahu ciptaan Mochtar Embut. "Dulu waktu saya di Jogja lagu seriosa, keroncong, hiburan sangat populer," kata pelukis yang doyan gambar tokek itu.

Saya dulu juga sering nyambangi dan ngobrol dengan Mas Sugianto (almarhum juga). Sugianto ini arranger dan pembuat orkestrasi lagu-lagu seriosa untuk BRTV di Surabaya sekian tahun lalu.

Saya pun sedikit-sedikit belajar nyanyi seriosa di Mas Gianto yang rumahnya di kawasan Waru Sidoarjo. Malah dapat buku partitur lagu seriosa not balik.

"Kamu belajar baca not balok lah. Gampang kalau ditekuni. Kamu bisa nyanyi pakai not angka dan itu tidak cukup," kata Mas Gianto.

Buku nyanyian seriosa karya Binsar Sitompul, Mochtar Embut, dan FX Sutopo itu sudah lama "hilang". Pagi ini ketemu di dalam tas usang saat bongkar gudang.

Sampai sekarang pun saya belum mampu membaca not balok. Kecuali pakai nada dasar C (natural) karena paling mudah diketahui posisi nada-nadanya. 

Sabtu, 03 Agustus 2019

Lagu Seriosa Itu Apa Sih?




Oleh LAMBERTUS HUREK

Pada 1980-an lagu seriosa sering diperdengarkan di Televisi Republik Indonesia [TVRI], satu-satunya televisi masa itu. Kini, seriosa nyaris tidak ada lagi. Tidak dapat tempat di televisi atau radio. Pertanyaannya, lagu seriosa itu apa?

Saya suka main-main ke kantor Surabaya Symphony Orchestra (SSO) di Jalan Gentengkali 15 Surabaya. Bangunan tiga lantai di kawasan strategis kota Surabaya. Selain kantor, SSO membuka kelas vokal dan musik, juga punya concert hall kecil untuk berlatih atau home concert. Tiap hari ada saja anak-anak dan remaja yang mengikuti les musik klasik.

Saya bertandang ke sana karena kebetulan kenal dekat dengan Pak Solomon Tong, dirigen sekaligus pendiri SSO. Para staf serta beberapa penyanyi andalannya pun saya kenal baik. Jelek-jelek begini, saya sempat mengikuti latihan vokal bersama Paduan Suara SSO. Diskui dengan Pak Tong bikin wawasan musik klasik saya bertambah-tambah.

"Kamu ikutlah karena suaramu bagus. Kamu juga bisa menyanyi," kata Solomon Tong kepada saya di rumahnya, Jalan Kawi 3 Surabaya, di awal karier saya sebagai jurnalis, menjelang kejatuhan Presiden Suharto.

Sayang, karena sibuk meliput ke mana-mana, saya tidak bisa intens berlatih seni suara klasik. Cukup menonton, kemudian menulis sedikit liputan di surat kabar.

Baru-baru ini, setelah membual dengan Yanti dan Mimin (keduanya staf SSO), saya diterima Solomon Tong di ruangannya. Pria kelahiran Xiamen Tiongkok, 20 Oktober 1939, ini tengah menulis sambil menikmati rekaman Konser Kemerdekaan SSO, awal Agustus 2006 di Hotel JW Marriot. Dalam setahun SSO rata-rata menggelar tiga kali konser besar.

"Yang ini konser ke-46 selama 10 tahun usia SSO," ujar Solomon Tong. Saat itu Pauline Poegoeh, soprano andalan SSO, tengah membawakan lagu klasik karya W.A. Mozart.

"Pak Tong, saya ingin tahu apa sebetulnya seriosa itu?" pancing saya.

"Nah, ini pertanyaan bagus. Kita perlu meluruskan istilah seriosa itu. Di luar negeri tidak dikenal lagu atau musik seriosa. Kita di Indonesia saja yang salah kaprah," kata suami Ester Carlina Magawe, pianis top Surabaya, itu.

Celakanya lagi, "Seriosa dalam pengertian Indonesia itu sangat sempit, hanya untuk vokal serius. Ini yang sulit ditangkap masyarakat awam," tegasnya.

Saya pun teringat pemilihan Bintang Radio dan Televisi atau BRTV di TVRI pada 1980-an. Selain keroncong, lomba menyanyi tingkat nasional ini menampilkan kategori seriosa dan hiburan. Lagu seriosa yang saya lihat di TVRI dibawakan dengan 'sangat serius', busana formal, teknik vokal klasik, suara bergetar (vibrasi kuat)--mirip orang kedinginan, begitu olok-olok masyarakat--lagu-lagunya sulit, sehingga peserta sedikit.

Lagu-lagu seriosa yang kerap dilombakan di BRTV antara lain Seuntai Manikam (Djohari), Keluhan Kuncup Melati (Ibu Sud), Cempaka Kuning (Syafei Embut), Taufan (C. Simandjuntak), Fajar Harapan (Ismail Marzuki), Karam (Iskandar), Kasih di Ambang Pintu (Iskandar), Bukit Kemenangan (R. Djuhari), Bintang Sejuta (Ismail Marzuki), Senja Semerah Bara (F.A. Warsono), Mekar Melati (C. Simandjuntak).

Kisah Angin Malam (Saiful Bahri), Puisi Rumah Bambu (FX Sutopo), Wanita (Ismail Marzuki), Kisah Mawar di Malam Hari (Iskandar), Embun (GWR Sinsu), Di Sela-Sela Rumput Hijau (Maladi), Citra (C. Simandjuntak), Dewi Anggraeni (FX Sutopo), Kembang dan Kumbang (Sancaya HR). Kebetulan saya bisa membawakan sebagian di antaranya.

Saya sodorkan daftar lagu ini kepada Solomon Tong. "Lagu-lagu ini yang biasa disebut seriosa itu," kata saya. Tong tersenyum.

Sebagai dirigen orkes simfoni dan mantan juri BRTV jenis seriosa, Tong niscaya sangat paham lagu-lagu seriosa versi Indonesia itu. Dia berkeras istilah 'seriosa' salah kaprah. Tidak cocok dipakai di dunia musik karena bisa membingungkan orang luar negeri.

"Indonesia ini hanya mengutip setengah-setengah lagu-lagu pada zaman Barrock. Di Jerman istilahnya lieder artinya song. Tapi arti sesungguhnya art song," papar Tong.

Puisi yang dilagukan ini melahirkan lieder-lieder yang sangat terkenal di Jerman. Cara pembawaanya pun 'serius', berbeda dengan lagu-lagu biasa.

Di mata Solomon Tong, lagu-lagu seriosa yang dilombakan di BRTV tidak cocok dengan konsep art song.

"Itu kan lagu-lagu kepahlawanan, perjuangan, cinta tanah air. Kita jangan paksakan diri memakai istilah seriosa. Nanti bikin bingung orang," tutur Solomon Tong yang mendirikan SSO pada 1996 itu.

SSO merupakan orkes simfoni langka di Indonesia karena paling aktif menggelar konser besar maupun konser kecil.

Sebagai 'suhu' musik klasik, Tong memang berkeinginan kuat untuk meluruskan banyak istilah musik yang salah kaprah di Indonesia. Salah satunya seriosa. Kalau sekadar berarti 'serius', apanya yang serius? Apa hanya cari pembawaannya? Menurut dia, sebaiknya kita menggunakan istilah-istilah musik yang berlaku universal. Untuk vokal, misalnya, ada opera, aria, oratorio, sacred song, secular song, folk song.

"Kalau yang sedang dibawakan Pauline ini jenis aria dari Mozart. Jangan disebut seriosa! Nggak jelas!" tandas Tong.

"Kenapa anda tidak meluruskan istilah seriosa sejak dulu? Bukankah anda sering menjadi juri BRTV?" tanya saya.

"Saya sih maunya begitu, tapi tidak pernah diberi kesempatan oleh panitia. Waktu saya jadi juri, selalu ada pesanan supaya memberi bobot lebih kepada peserta yang berpenampilan menarik dan macam-macam lah," kenang Tong yang mulai membina paduan suara dan musik klasik sejak 1957.

Beberapa waktu lalu Tong sempat bertemu dengan kepala program TVRI Surabaya. Tong ingin 'meluruskan' salah kaprah istilah seriosa melalui televisi negara itu.

"Pak Sutrisno tanya apa saya bersedia jadi narasumber. Saya jawab oke. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasannya," kata Solomon Tong, kecewa.

Tidak itu saja. Tong pun ingin menggalakkan musik vokal untuk remaja lewat TVRI Surabaya agar muncul bibit-bibit vokalis masa depan. Ternyata, konsep sosialisasi ala Solomon Tong sangat dihargai, tapi masih sulit dilaksanakan di Indonesia. Karena itu, Tong selalu meminta wartawan-wartawan di Surabaya, khususnya saya, untuk membuat tulisan tentang musik klasik yang apresiatif.

"Tanpa media massa, musik klasik tidak akan jalan. Kalian itu mitra saya, partner saya," tegas Tong dalam berbagai kesempatan. Jangan heran, beliau senantiasa memberikan waktu kepada saya untuk membahas tetek-bengek seputar musik klasik kapan saja.

AGAR bahasan ini komplet, saya lengkapi dengan pandangan Suka Hadjana, pemusik, dirigen, dan kritikus kelahiran Jogja 17 Agustus 1940. "Istilah musik seriosa sesungguhnya agak berlebihan," tegas Suka Hardjana.

Menurut dia, seriosa ala BRTV tak lain bagian dari seni olah suara (menyanyi) dengan teknik tertentu, diiringi piano atau aransemen orkes. Lagunya pendek-pendek dalam bentuk lied bermatra tiga frasa sederhana: awal, sisipan, ulangan.

"Dilihat dari bentuk penulisan dan pembawaannya pun sesungguhnya masih terlalu sederhana untuk dibilang seni serious(a). Istilah musik seriosa yang kedengaran agak ke-italia-italia-an itu sebenarnya berasal dari pemilahan khazanah musik di Amerika dan Eropa di awal perkembangan industri musik sesudah Perang Dunia II," urai Suka Hardjana.

Adalah Amir Pasaribu yang mengimpor istilah 'seriosa' ke Indonesia untuk memberi ciri salah satu kategori Bintang Radio yang digelar pertama kali pada 1952. Waktu itu televisi belum ada di Indonesia. Setelah TVRI berdiri pada 1964, menjelang Asian Games di Jakarta, Bintang Radio pun diperluas menjadi Bintang Radio dan Televisi (BRTV).

Setelah dominasi TVRI sebagai satu-satunya televisi dihapus, pamor BRTV pun meredup sama sekali. Kini, ajang pemilihan BRTV praktis lenyap sama sekali di Indonesia. Seperti Pak Tong, Pak Suka Hardjana suka menulis kolom reguler di harian Kompas. Berikut sedikit catatan Pak Suka tentang lagu-lagu seriosa versi Indonesia:

"Sangat mengherankan bahwa mereka (penulis lagu seriosa Indonesia) sepertinya sama sekali tak terinspirasi oleh komponis-komponis yang lebih fundamental seperti Bach, Mozart, Debussy, Bartok, Stravinsky, dan lainnya.

Tapi hal itu bisa dimengerti bila diingat bahwa sesungguhnya lagu-lagu pendek mendayu-merdu-merayu dari para komponis Romantik mudah masuk selera. Dan itu rasanya lebih dekat dengan apresiasi diletantis para komponis Indonesia dari dulu hingga sekarang," tulis Suka Hardjana di bukunya, Esai & Kritik Musik' (Penerbit Galang Press, Jogjakarta, 2004).

Yo wis, Cak!

Ananda Sukarlan Hidupkan Seriosa

Surabaya, 3 November 2013



Untung Indonesia punya Ananda Sukarlan. Dialah yang mengisi ruang kosong art song alias lagu-lagu seriosa setelah para komponis senior berpulang atau nonaktif karena memang sudah berumur. Ananda muncul dengan cukup banyak komposisi yang sangat indah.

Sedap nian menikmati komposisi seriosa Ananda Sukarlan. Sang pianis yang belakangan serius menjadi komponis ini memang aktif mengadakan kompetisi di berbagai kota. Di Surabaya peserta cukup banyak. Muda-muda, yang wanita cakep-cakep, yang laki-laki punya kualitas vokal bagus.

Ananda Sukarlan pun berhasil melestarikan tradisi musik seriosa dengan caranya sendiri. Kalau dulu, sejak 1950an lagu-lagu seriosa dipopulerkan lewat Bintang Radio, kemudian Bintang Radio Televisi, sekarang Ananda Sukarlan berjuang sendiri dengan cara yang elegan.

Ananda menciptakan komposisi, sebagian berdasar puisi-puisi karya penyair terkemuka, bikin kompetisi sendiri, dan mungkin mengeluarkan duit sendiri untuk hadiah para juara. Luar biasa! Ananda benar-benar seniman tulen yang mau menghidupi seni suara di tanah air.

Sore tadi, 2 November 2013, Ananda Sukarlan muncul di televisi. Diwawancarai Desi Anwar dalam suasana yang intim, santai, sambil minum teh. Desi Anwar kembali memperlihatkan kelasnya sebagai wartawan senior yang tahu benar bagaimana mmperlakukan narasumbernya. Desi juga paham musik klasik, terlihat dari pertanyaan dan komentarnya.

Setelah tinggal di Belanda kemudian Spanyol selama hampir 30 tahun, akhir-akhir ini Ananda sering tur ke tanah air. Dia juga rupanya ingin memulai fase baru dalam dunia kesenimanannya, yakni menekuni komposisi. Menjadi komponis.

Main piano seperti yang bertahun-tahun dilakoninya lebih menjamin nafkah dan kemapanan ekonomi. Cukup membaca partitur, main, tampil di mana-mana, dapat tepuk tangan meriah, dibahas di media massa atau media sosial. Juga bisa keliling dunia.

Tapi Ananda Sukarlan akhirnya belajar dari kearifan sejarah musik klasik. Bahwa para pianis hebat di Eropa pada suatu titik berbelok haluan ke dunia komposisi. Kalau dulu memainkan karya komponis-komponis lain, sekarang membuat komposisi untuk dimainkan sendiri dan orang lain.

Itu antara lain yang mendasari kompetisi art song ciptaannya yang digelar di beberapa kota besar di tanah air. Dahsyat memang lagu-lagu seriosa ala Ananda Sukarlan. Tingkat kesulitannya cukup tinggi tapi tetap enak didengar karena melodius.

Sudah lama saya kesengsem lagu DALAM DOAKU. Dibawakan soprano dan bas, lagu yang diangkat dari puisi Sapardi Joko Damono ini sangat menyentuh kalbu. Saya pun menyimpannya di HP agar bisa didengarkan sewaktu-waktu. Paling enak saat sepi, sendirian, di tempat yang jauh dari keramaian.

Ketika Desi Anwar bertanya komposisi apa yang paling berkesan, Ananda Sukarlan menjawab Dalam Doaku. Oh, ternyata Mas Ananda punya kesan khusus pada lagu yang sangat saya sukai melodi dan liriknya itu.
Sayang, Desi Anwar tidak mengajak penyanyi seriosa untuk membawakan lagu itu. Tahu-tahu obrolan santai sembari minum teh ala Desi Anwar itu pun selesai. Sudah 30 menit.

DALAM DOAKU SUBUH INI
KAU MENJELMA LANGIT
YANG SEMALAMAN TAK MEMEJAMKAN MATA
YANG MELUAS BENING
SIAP MENERIMA CAHAYA PERTAMA
YANG MELENGKUNG HENING
KARENA AKAN MENERIMA SUARA-SUARA


KOMENTAR LAMA

Babs11:56 PM, November 03, 2013
FINISH !!
Selesai deh baca dari 2005 sampai hari ini. Gak semua sih, seperti artikel paduan suara atau yg ada partitur (?) pasti dilewati. Tulisannya bukan kurang bagus, tapi karena alasan pribadi (baca: gak bisa nyanyi). Pernah coba tapi nada yg keluar kok Do semua yah? Terus pas artikel bola, ntah kenapa touchpadnya langsung loncat ke artikel berikutnya.

Dalam blog ini, saya baru mudeng kalau sudah “membahayakan” mas Hurek dengan berkomentar secara anonymous. Alasan gak log-in sih karena takut ada phishing (bukan low trust loh, hanya berhati-hati :). Saya minta maaf dan juga berterimakasih sudah membuat blog ini.

Nah berhubung artikel ini ada kata doa dan sekarang hari minggu, saya mau berdoa “egois”:

DOA khusus (Ngarep banyak bacaan): Semoga laptop dan desktop mas Hurek sembuh, biar nulisnya bisa 4x dalam sehari. 2 dari BB, 1 dari laptop dan 1 lagi dari desktop . Jadi dalam bulan November & Desember ini bisa mengejar ketinggal jumlah artikel thn 2012 (245) atau thn 2007 (338). 

Semoga selalu ingat nulis secara detail lokasi dan tanggal (sebelum eventnya terjadi donk) tentang Surabaya dan sekitarnya. (Asyik bisa jd tour guide)

DOA umum: Semoga, kecintaan dan kebanggaan terhadap NTT meluas keseluruh nusantara. Dulu yang saya tahu tentang NTT hanya panas, gersang dan Kelimutu. Tetapi sesudah baca tulisan di blog ini, panas dan gersangnya bukan jadi faktor untuk tidak berkunjung ke NTT. Kehidupan bermasyarakat yang sangat toleran, kesederhanaan hidup dan keunikan seperti pasar barter benar-benar menarik dan damai ! Banyak sih orang lain menulis tentang provinsi-provinsi di Indonesia, tetapi gak sedalam blog ini (Asyik ada referensi jalan-jalan). 

DOA sangat-sangat jangka pendek: Semoga ada tambahan artikel lagi malam ini…
Amin dan selamat hari minggu.
Salam


Lambertus Hurek11:03 AM, November 04, 2013
hehehe... Matur suwun, terima kasih sampean sudah berkorban waktu untuk membaca curhatan dan catatan ringan saya. Enteng2n aja kok Mas. Ini kebiasaan lama sejak saya SMP di Larantuka suka bikin catatan ringan tentang kaset baru, khotbah pastor yg kurang menarik, acara TV yg bagus, dan apa saja yg saya suka. 

Makanya blog ini kayak prasmanan: isinya macam2, campur aduk, gado2. Mulai soal NTT, gereja, paduan suara, musik klasik, pop, jazz, bahasa hingga isu2 dan tokoh2 Surabaya atau Jawa Timur. Tadinya topik2 ini punya blog sendiri2, tapi akhirnya saya mutusin untuk digabung saja... biar prasmanan tadi. Baca sedikit2 aja.. biar gak capek.
Sekian dan salam damai sejahtera. God bless you!



Andy Skyblogger8:43 AM, February 19, 2014
Saya diberitahu link ini oleh teman saya, mas / pak Hurek. Terima kasih sudah nonton, semoga terinspirasi, dan terima kasih ulasannya :) . Saya sendiri nontonnya acara tsb ya dari rumah di Spanyol. Anda ada twitter? Kita tweet2an saja, twitter saya @anandasukarlan . Salam, AS

Lambertus Hurek10:47 AM, February 25, 2014
Terima kasih mas Ananda Sukarlan. Kehormatan besar bagi saya seorang maestro ikut membaca dan menulis komentar di blog saya. Benar2 gak nyangka deh!

Semoga tetap sehat, makmur, dan berkarya dan main piano. Salam untuk mas Ananda dan keluarga di Spanyol. Oh ya, titip salam untuk pemain2 Barcelona dan Real Madrid. Salam el clasico!

Resital Seriosa Effie Tjoa di Surabaya Tahun 1960



Olah vokal klasik atau seriosa rupanya sudah sangat maju di Surabaya pada era 1960-an. Saat itu sebagian besar orang Indonesia di luar Jawa, khususnya NTT, masih buta huruf dan cenderung primitif. Ini saya tahu dari program konser seriosa di Surabaya pada era 1960-an.

Tak sengaja saya menemukan kertas yang sudah kumal itu. Konser digelar di Balai Pertemuan Mahasiswa, Jalan Tegalsari 4 Surabaya, 29 Agustus 1960. Penyanyinya EFFIE TJOA (soprano) diiringi pianis JENNY TJOA. Penyelenggaranya: JPAB (mungkin Yayasan Pendidikan Anak Buta, yang kini jadi YPAB) dan Petra.

Wow, rupanya orang Tionghoa sejak zaman dulu di Surabaya sudah menekuni musik klasik. Karena itu, tak heran sampai sekarang pun anak-anak Tionghoa sejak balita sudah ikut kursus piano klasik, vokal, ikut lomba atau resital hingga ke luar negeri. Yah, punya uang, kesempatan, dan kecerdasan di atas rata-rata orang Indonesia!

Effie Tjoa membawakan 25 lagu yang dibagi dua sesi. Sesi pertama 14 lagu, istirahat, kemudian dilanjutkan sisanya. Pola seperti ini juga masih dipakai dalam resital-resital di Kota Surabaya sampai sekarang. Ada peringatan buat penonton yang dicetak tebal:

"Para penonton jang datang terlambat diminta dengan hormat menunggu di luar ruangan selama njanjian berlangsung. Diminta dengan hormat tidak merokok di dalam ruangan."

Wow, aturan yang masih sama dengan sekarang. Bedanya, saat ini selalu dibacakan peringatan keras: Dilarang menghidupkan HP dan alat elektronik lainnya selama konser berlangsung! Toh, setahu saya, larangan ini selalu dilanggar penonton zaman sekarang yang hidupnya tak bisa lepas dari ponsel dan sejenisnya.

Yang menarik bagi saya adalah lagu-lagu seriosa Indonesia. Miss Effie (waktu itu tentu masih gadis) membawakan tujuh lagu seriosa sebagai opening konsernya. Terima Salamku (karya Binsar Sitompul), Tempat Bahagia (Binsar Sitompul), Karam (Iskandar), Dewi Anggraini (Iskandar), Kenangan (C Simandjuntak), Oh Angin (C Simandjuntak), Widjaja Kusuma (C Simandjuntak).

Dari sini juga terlihat bahwa orang-orang Batak, Sumatera Utara, itu sudah sangat musikal. Bisa menciptakan komposisi musik berkualitas yang sangat berpengaruh di Indonesia. Makan apa sih orang-orang Batak ini sehingga bisa pintar musik meskipun kekayaannya tidak sehebat orang Tionghoa?

Binsar Sitompul dan Cornel Simandjuntak merupakan dua komponis lagu-lagu seriosa terkemuka di Indonesia yang masih sulit dicari gantinya.

Setelah seriosa Indonesia, Effie Tjoa membawakan lieder, semacam art song dari Jerman. Bagian ketiga lagu-lagu Spanyol yang ngepop.

Rehat sejenak, minum kopi, si penyanyi ambil napas baru, konser dibuka lagi dengan dua aria. Ini bagian yang berat dan menuntut kemampuan prima sang vokalis. Bagian kelima diisi lagu-lagu populer. Penonton yang sudah capek perlu dikasih asupan yang tidak terlalu berat. Ada lagu Irlandia, Tiongkok, Uni sovyet, Italia.

Sebagai penutup, Miss Effie membawakan empat lagu Indonesia. Dua lagu Batak: Butet dan Dago Inang Sarge, diakhiri dengan Nyiur Hijau dan Potong Padi. Lagi-lagi kita bisa membaca bahwa pada tahun 1960 itu lagu daerah Tapanuli alias Batak sudah sangat populer di Indonesia. Inilah kehebatan budaya musikal lapo tuak yang membuat saudara-saudara kita dari kawasan Danau Toba itu mampu membuat komposisi menarik.

Saya kurang tahu penyanyi-penyanyi seriosa lain di Surabaya yang juga rajin bikin konser atau resital pada era 1980-an dan 1990-an. Saya hanya kenal Pauline Poegoeh, soprano Tionghoa Surabaya, yang luar biasa di era 2000-an. Saya menyaksikan dua kali resital soprano yang suaranya tinggi, menggelegar, dan powerful ini.

Mungkin sayalah satu-satunya orang yang menulis profil sang soprano binaan Mr Solomon Tong, pendiri dan dirigen Surabaya Symphony Orchestra itu, satu halaman penuh di surat kabar. Saya pun jadi akrab dengan Pauline, yang kini jadi guru vokal di Surabaya. Dia sudah mencetak banyak vokalis baru dengan prestasi yang bagus pula.

Membaca program konser Effie Tjoa pada 29 Agustus 1960 ini, saya makin sadar dengan ungkapan "tak ada yang baru di kolong langit" ini. Atau, sejarah itu selalu berulang.

Susunan program konser Pauline Poegoeh di Hotel Shangri-La, Surabaya, ternyata sama dengan Effie Tjoa tempo doeloe. Ada lagu seriosa Indonesia, lieder, aria, lagu rakyat Tiongkok, Italia, Spanyol, dan ditutup dengan lagu-lagu populer. Kesamaan lain: resital vokal klasik ini sama-sama punya komunitas penggemar yang sangat terbatas, tapi sangat loyal dan apresiatif.

KOMENTAR2 LAMA

Kliping koran The Straits Times, Singapura, 17 Juni 1959.

Tionghoa Indonesia12:17 PM, December 14, 2013
Effie Tjoa lahir 7 Juni 1931, anak dari pasangan Tjoa Hin Hoey dan Kwee Yat Nio, merupakan cucu luar dari Kwee Tek Hoay, pelopor koran berbahasa Melayu di Indonesia dan pemimpin redaksi harian Sin Po (antara lain). Effie juga seorang ahli bahasa yang menguasai bahasa Prancis, Belanda, Jerman, Inggris, selain tentu saja Bahasa Indonesia dan sedikit Mandarin. Di jaman Bung Karno, dia sering diundang ke Istana untuk menyanyi. Karena ayah ibunya anggota Baperki yang dianggap berhaluan kiri, setelah Sukarno jatuh, seperti banyak orang Tionghoa lainnya Effie mengalami kesusahan, dan akhirnya pindah ke negeri Belanda. Di sana, penyanyi berbakat dan terkenal itu menjadi seorang perawat dan bagian dari masyarakat Indonesia di pengasingan. Effie meninggal dunia di bulan Maret tahun 2007.

Sumber: Obituary of Effie Tjoa by Kwee Hin Goan. http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf halaman 15

Tionghoa Indonesia12:22 PM, December 14, 2013
Untuk kelanjutannya mengenai pentingnya harian Sin Po, coba baca kesaksian Kwee Hin Goan lagi di: 

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL20_web.pdf halaman 12.

Harian Sin Po ialah tempat WR Supratman bekerja sebagai wartawan, dan merupakan harian pertama yang memuat Lagu Indonesia Raya secara lengkap lirik dan not, pada tanggal 10 November 1928. Sebelumnya, atas laporan WR Supratman, pemimpin redaksi Kwee Kek Beng memerintahkan pencetakan 5000 eksemplar Indonesia Raya untuk dibagikan kepada para anggota delegasi kongres pemuda 28 Oktober.

Tionghoa Indonesia12:50 AM, December 15, 2013
Effie Tjoa mah orang Bogor.

Lambertus Hurek8:14 AM, December 15, 2013
Terima kasih atas tambahan informasi dari Tionghoa Indonesia. God luck!


Tamabahan info2:25 PM, December 14, 2013
"Jakarta, at the start of the fifties, Effie Tjoa, daughter of the married couple Tjoa Hin Hoey, won at the International Competition in Milan the prize of “Best Dramatic Soprano!”.

She was often invited to sing at the concerts in the palace of then President Sukarno. And I have enjoyed with immense pleasure the richness of her magnificent arias in the Stadsschouwburg in Jakarta. She was a vibrant and sparkling soprano who has performed in Indonesia and the Netherlands, as well as in the United States, China, Japan, Korea, Singapore and Hong Kong.
She came to the Netherlands at the end of the sixties."


Rotterdam, March 23, 2007 
- Kwee Hin Goan.

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf

Anonymous9:06 AM, December 15, 2013
"....aku dulu pernah menjadi juri Kejuaraan Seriosa se-Jakarta, bersama Effie Tjoa, seorang penyanyi opera yang juga banyak menciptakan jenis lagu seriosa. Belakangan Effie banyak menggunakan nama Gita Dewi. 
Aku sangat menyayangkan mengapa lagu-lagu seriosa sudah sangat langka dan tidak mucul lagi kepermukaan."
SOBRON AIDIT

sharifah12:03 AM, November 05, 2014
Mas Hurek,
Dari mana didapati nota program Effie Tjoa ini? Ingin saya melihatnya jika boleh diakses. Terima kasih atas infonya.

Lambertus Hurek11:57 AM, November 06, 2014
Saya kebetulan menemukan dua lembar program resital Effie Tjoa itu saat membongkar gudang di rumah lama di Surabaya. Kebetulan si nenek pemilik rumah itu sangat suka seriosa dan dulu sering diundang menyaksikan konser2 macam ini. Terima kasih banyak Bu Sharifah di Kuala Lumpur atas atensi anda.