Sabtu, 03 Agustus 2019

Resital Seriosa Effie Tjoa di Surabaya Tahun 1960



Olah vokal klasik atau seriosa rupanya sudah sangat maju di Surabaya pada era 1960-an. Saat itu sebagian besar orang Indonesia di luar Jawa, khususnya NTT, masih buta huruf dan cenderung primitif. Ini saya tahu dari program konser seriosa di Surabaya pada era 1960-an.

Tak sengaja saya menemukan kertas yang sudah kumal itu. Konser digelar di Balai Pertemuan Mahasiswa, Jalan Tegalsari 4 Surabaya, 29 Agustus 1960. Penyanyinya EFFIE TJOA (soprano) diiringi pianis JENNY TJOA. Penyelenggaranya: JPAB (mungkin Yayasan Pendidikan Anak Buta, yang kini jadi YPAB) dan Petra.

Wow, rupanya orang Tionghoa sejak zaman dulu di Surabaya sudah menekuni musik klasik. Karena itu, tak heran sampai sekarang pun anak-anak Tionghoa sejak balita sudah ikut kursus piano klasik, vokal, ikut lomba atau resital hingga ke luar negeri. Yah, punya uang, kesempatan, dan kecerdasan di atas rata-rata orang Indonesia!

Effie Tjoa membawakan 25 lagu yang dibagi dua sesi. Sesi pertama 14 lagu, istirahat, kemudian dilanjutkan sisanya. Pola seperti ini juga masih dipakai dalam resital-resital di Kota Surabaya sampai sekarang. Ada peringatan buat penonton yang dicetak tebal:

"Para penonton jang datang terlambat diminta dengan hormat menunggu di luar ruangan selama njanjian berlangsung. Diminta dengan hormat tidak merokok di dalam ruangan."

Wow, aturan yang masih sama dengan sekarang. Bedanya, saat ini selalu dibacakan peringatan keras: Dilarang menghidupkan HP dan alat elektronik lainnya selama konser berlangsung! Toh, setahu saya, larangan ini selalu dilanggar penonton zaman sekarang yang hidupnya tak bisa lepas dari ponsel dan sejenisnya.

Yang menarik bagi saya adalah lagu-lagu seriosa Indonesia. Miss Effie (waktu itu tentu masih gadis) membawakan tujuh lagu seriosa sebagai opening konsernya. Terima Salamku (karya Binsar Sitompul), Tempat Bahagia (Binsar Sitompul), Karam (Iskandar), Dewi Anggraini (Iskandar), Kenangan (C Simandjuntak), Oh Angin (C Simandjuntak), Widjaja Kusuma (C Simandjuntak).

Dari sini juga terlihat bahwa orang-orang Batak, Sumatera Utara, itu sudah sangat musikal. Bisa menciptakan komposisi musik berkualitas yang sangat berpengaruh di Indonesia. Makan apa sih orang-orang Batak ini sehingga bisa pintar musik meskipun kekayaannya tidak sehebat orang Tionghoa?

Binsar Sitompul dan Cornel Simandjuntak merupakan dua komponis lagu-lagu seriosa terkemuka di Indonesia yang masih sulit dicari gantinya.

Setelah seriosa Indonesia, Effie Tjoa membawakan lieder, semacam art song dari Jerman. Bagian ketiga lagu-lagu Spanyol yang ngepop.

Rehat sejenak, minum kopi, si penyanyi ambil napas baru, konser dibuka lagi dengan dua aria. Ini bagian yang berat dan menuntut kemampuan prima sang vokalis. Bagian kelima diisi lagu-lagu populer. Penonton yang sudah capek perlu dikasih asupan yang tidak terlalu berat. Ada lagu Irlandia, Tiongkok, Uni sovyet, Italia.

Sebagai penutup, Miss Effie membawakan empat lagu Indonesia. Dua lagu Batak: Butet dan Dago Inang Sarge, diakhiri dengan Nyiur Hijau dan Potong Padi. Lagi-lagi kita bisa membaca bahwa pada tahun 1960 itu lagu daerah Tapanuli alias Batak sudah sangat populer di Indonesia. Inilah kehebatan budaya musikal lapo tuak yang membuat saudara-saudara kita dari kawasan Danau Toba itu mampu membuat komposisi menarik.

Saya kurang tahu penyanyi-penyanyi seriosa lain di Surabaya yang juga rajin bikin konser atau resital pada era 1980-an dan 1990-an. Saya hanya kenal Pauline Poegoeh, soprano Tionghoa Surabaya, yang luar biasa di era 2000-an. Saya menyaksikan dua kali resital soprano yang suaranya tinggi, menggelegar, dan powerful ini.

Mungkin sayalah satu-satunya orang yang menulis profil sang soprano binaan Mr Solomon Tong, pendiri dan dirigen Surabaya Symphony Orchestra itu, satu halaman penuh di surat kabar. Saya pun jadi akrab dengan Pauline, yang kini jadi guru vokal di Surabaya. Dia sudah mencetak banyak vokalis baru dengan prestasi yang bagus pula.

Membaca program konser Effie Tjoa pada 29 Agustus 1960 ini, saya makin sadar dengan ungkapan "tak ada yang baru di kolong langit" ini. Atau, sejarah itu selalu berulang.

Susunan program konser Pauline Poegoeh di Hotel Shangri-La, Surabaya, ternyata sama dengan Effie Tjoa tempo doeloe. Ada lagu seriosa Indonesia, lieder, aria, lagu rakyat Tiongkok, Italia, Spanyol, dan ditutup dengan lagu-lagu populer. Kesamaan lain: resital vokal klasik ini sama-sama punya komunitas penggemar yang sangat terbatas, tapi sangat loyal dan apresiatif.

KOMENTAR2 LAMA

Kliping koran The Straits Times, Singapura, 17 Juni 1959.

Tionghoa Indonesia12:17 PM, December 14, 2013
Effie Tjoa lahir 7 Juni 1931, anak dari pasangan Tjoa Hin Hoey dan Kwee Yat Nio, merupakan cucu luar dari Kwee Tek Hoay, pelopor koran berbahasa Melayu di Indonesia dan pemimpin redaksi harian Sin Po (antara lain). Effie juga seorang ahli bahasa yang menguasai bahasa Prancis, Belanda, Jerman, Inggris, selain tentu saja Bahasa Indonesia dan sedikit Mandarin. Di jaman Bung Karno, dia sering diundang ke Istana untuk menyanyi. Karena ayah ibunya anggota Baperki yang dianggap berhaluan kiri, setelah Sukarno jatuh, seperti banyak orang Tionghoa lainnya Effie mengalami kesusahan, dan akhirnya pindah ke negeri Belanda. Di sana, penyanyi berbakat dan terkenal itu menjadi seorang perawat dan bagian dari masyarakat Indonesia di pengasingan. Effie meninggal dunia di bulan Maret tahun 2007.

Sumber: Obituary of Effie Tjoa by Kwee Hin Goan. http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf halaman 15

Tionghoa Indonesia12:22 PM, December 14, 2013
Untuk kelanjutannya mengenai pentingnya harian Sin Po, coba baca kesaksian Kwee Hin Goan lagi di: 

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL20_web.pdf halaman 12.

Harian Sin Po ialah tempat WR Supratman bekerja sebagai wartawan, dan merupakan harian pertama yang memuat Lagu Indonesia Raya secara lengkap lirik dan not, pada tanggal 10 November 1928. Sebelumnya, atas laporan WR Supratman, pemimpin redaksi Kwee Kek Beng memerintahkan pencetakan 5000 eksemplar Indonesia Raya untuk dibagikan kepada para anggota delegasi kongres pemuda 28 Oktober.

Tionghoa Indonesia12:50 AM, December 15, 2013
Effie Tjoa mah orang Bogor.

Lambertus Hurek8:14 AM, December 15, 2013
Terima kasih atas tambahan informasi dari Tionghoa Indonesia. God luck!


Tamabahan info2:25 PM, December 14, 2013
"Jakarta, at the start of the fifties, Effie Tjoa, daughter of the married couple Tjoa Hin Hoey, won at the International Competition in Milan the prize of “Best Dramatic Soprano!”.

She was often invited to sing at the concerts in the palace of then President Sukarno. And I have enjoyed with immense pleasure the richness of her magnificent arias in the Stadsschouwburg in Jakarta. She was a vibrant and sparkling soprano who has performed in Indonesia and the Netherlands, as well as in the United States, China, Japan, Korea, Singapore and Hong Kong.
She came to the Netherlands at the end of the sixties."


Rotterdam, March 23, 2007 
- Kwee Hin Goan.

http://www.unicas.ca/UNICAS_NL18_web.pdf

Anonymous9:06 AM, December 15, 2013
"....aku dulu pernah menjadi juri Kejuaraan Seriosa se-Jakarta, bersama Effie Tjoa, seorang penyanyi opera yang juga banyak menciptakan jenis lagu seriosa. Belakangan Effie banyak menggunakan nama Gita Dewi. 
Aku sangat menyayangkan mengapa lagu-lagu seriosa sudah sangat langka dan tidak mucul lagi kepermukaan."
SOBRON AIDIT

sharifah12:03 AM, November 05, 2014
Mas Hurek,
Dari mana didapati nota program Effie Tjoa ini? Ingin saya melihatnya jika boleh diakses. Terima kasih atas infonya.

Lambertus Hurek11:57 AM, November 06, 2014
Saya kebetulan menemukan dua lembar program resital Effie Tjoa itu saat membongkar gudang di rumah lama di Surabaya. Kebetulan si nenek pemilik rumah itu sangat suka seriosa dan dulu sering diundang menyaksikan konser2 macam ini. Terima kasih banyak Bu Sharifah di Kuala Lumpur atas atensi anda.

4 komentar:

  1. Mengulas tentang musik klassik, seriosa, kita tidak akan terlepas dengan negara Austria, sebab disanalah lumbung-nya para komponis klassik yang terkenal. Beberapa contoh : Franz Liszt, Franz Schubert, Franz Lehar, W.A.Mozart, Joseph Haydn, Johann Strauss, Gustav Mahler, Anton Bruckner,.... dan...dan seterus-nya. Last but not least Franz Xaver Gruber komponist lagu Natal, Stille Nacht Heilige Nacht ( lagu Malam Kudus ). Text-nya ditulis oleh Joseph Mohr.
    Kalau kedatangan tamu dari Indonesia atau Tiongkok, selalu saya ajak ke kota kecil Oberndorf, disana ada sebuah kapella kecil, dimana lagu Natal tersebut dilantunkan pertama kali-nya pada Malam Natal, tanggal 24 Desember 1818. Lacur nya reaksi orang2 Indonesia biasa-biasa saja, tanpa ada kegairahan. Orang Tiongkok malah plonga-plongo, saya bilang, lagu Natal yang terkenal itu lho ! Mereka malah nyanyi Jingle Bells.
    Saya pribadi cenderung menyukai lagu2 cengeng ala gubahan Rinto Harahap, pokoknya Love Songs yang melancholis.
    Saya menulis disini, karena kurang setuju ( lain persepsi ) terhadap sepotong kalimat Anda, yaitu : Pada era 1960-an, saat itu sebagian besar orang Indonesia diluar Jawa, khususnya NTT, masih buta huruf dan cenderung PRIMITIF.
    Apakah seorang yang buta huruf boleh disebut primitif ? Bagi saya, sebagian politisi Indonesia yang terpelajar, lulusan luar-negeri, tukang kompor, tukang fitnah, cerewet, asbun, justru orang2 itulah yang primitif.
    Saya juga kelahiran Kepulauan Sunda Ketjil, notabene orang luar-jawa.
    Seingat saya orang Indonesia tahun 1950-an sangatlah ramah, toleran, sopan dan santun, walaupun mereka sebagian besar buta huruf.
    Pada achir tahun 1950-an gagasan Bung Karno, Program Pemberantasan Buta Huruf gencar diterapkan diseluruh pelosok Indonesia, di pulau Bali terbentang spanduk2 besar bertulisan Pemberantasan Buta Huruf, Jangan pakai bahasa Belanda. Slogan kita tempo itu, A-E-I-O-U.
    Saya ikut mengajar PRT dan bujang kami membaca dan menulis, bahan acuan matapelajaran yang saya pakai adalah Kitab Batjaan Matahari Terbit. Mea culpa.

    BalasHapus
  2. Aha... dui dui... xiansheng bener banget. Lagu atau musik seriosa memang tidak lepas dari seni musik lieder di eropa. Schubert adalah rajanya lieder alias seriosa itu.

    Yah... kata primitif memang agak kasar. Maksudnya masih sangat sangat sederhana. Jauh dari peradaban modern yg pakai listrik, mesin, telepon dsb.

    Contoh: Bapa Niko dan Mama Yuli melahirkan anak pertamanya (saya) di kampung lama di kawasan hutan. Bukan di rumah sakit atau puskesmas. Zonder pakai bidan atau dokter. Orang kampung dengan kearifan lokalnya bisa mengurus persalinan di kampung.

    Waktu itu penerangan pakai jarak. Tidak ada korek api. Bapa mama dan nenek2 di kampung bikin api dengan menggosok2 bambu. Pakaian hasil menenun sendiri kain sarung yg khas Lamaholot itu.

    Suasana inilah yg saya sebut rada primitif.

    Oh ya... generasi pertama di kampung Lembata yg makan sekolah ya angkatan Bapa Niko Hurek almarhum itu. Digembleng di asrama putra di Larantuka oleh pater2 dan bruder2 SVD untuk mengajar anak2 kampung, buka sekolah, dan ajar katekismus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rumahnya Franz Schubert letaknya dekat rumah saya di Wina, jalan kaki 5 menit sudah sampai. Kasihan nasib-nya , usia 31 tahun sudah meninggal. Manusia Genius umur-nya biasa-nya tidak panjang.

      Hapus
  3. Terima kasih atas balasannya. Kesimpulannya kita berdua sama2 primitif. Mama-saya melahirkan 11 anak. Satu pun tidak ada yang dilahirkan di rumah sakit, semua-nya lahir di rumah, dengan bantuan seorang bidan, orang Ambon yang perawakan nya kecil dan kurus.
    Boleh dibilang, saya lebih modern sedikit daripada Anda, sebab penerangan di rumah kami sudah pakai lampu-templek dengan bahan bakar minyak-tanah. Dan juga kami sudah bisa membeli korek-api di warung.
    Larantuka sering saya baca di buku bacaan keponakan2-saya yang dulu sekolah di SR. St. Gabriel dan SR. St. Theresia di belakang Gereja Kristus Raja, Surabaya. Buku tersebut diterbitkan oleh Ordo SVD di Ende.
    Sewaktu mahasiswa, saya sering berhubungan dengan para pater Ordo SVD dari Rumah Mission St. Gabriel di desa Maria Enzersdorf. Beberapa dari pater itu dipersiapkan untuk bertugas di NTT.
    Sekarang situasi terbalik, justru Pater-Pater NTT yang menjadi
    Gembala umat katolik di Eropa.

    Istilah Primitif di zaman modern sekarang ini, dipakai di Eropa
    untuk mencerminkan tutur kata dan perilaku seseorang, tanpa pandang bulu apakah dia kaya, sarjana, ulama ataukah presiden.
    Orang yang tidak kenal tata-krama dan sopan-santun, ya dia orang yang primitif.
    Sekarang ini banyak bermunculan orang2 primitif di Indonesia, bagaikan jamur di musim hujan. Menghina dan mengolok-olok agama lain, suku lain-nya.
    Mengapa kata Maaf sangat sulit diucapkan di Indonesia ?
    Kalau saya berkunjung ke rumah anak-saya, disana saya merasa heran, bagaimana galak-(streng)-nya, anak-saya mendidik anak2 mereka dalam hal sopan-santun dan tata-krama bermasyarakat sesama manusia.
    Anak2 sejak bayi dibiasakan untuk mengatakan; Bitte ( Mohon ), Danke ( Terima kasih ), Entschuldigung ( Maaf ), Memberi salam jika ada tamu datang, Memandang wajah jika diajak bicara, dll.
    Bung Hurek, dirumah saya banyak Jin-Kafir dan Setan-gundul nya.

    BalasHapus