Jumat, 30 Agustus 2019

Misa Arwah 40 Hari Bapa Niko Hurek

Misa di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya, Jumat 30 Agustus 2019.


Waktu berlalu begitu cepat.

Tidak terasa sudah 40 hari ayahanda tercinta berpulang. Bapa Nikolaus Nuho Hurek meninggal dunia di Lewoleba, Lembata, NTT, pada 22 Juli 2019. Mama Maria Yuliana sudah lebih dulu menghadap Sang Pencipta pada 1998.

Empat anaknya resmi yatim piatu. Berni (Surabaya), Yus (Kupang), Erni (Lewoleba, Lembata), dan Is (Lewotolok, Lembata). Anak kelima (bungsu) Vincentius Hurek Making hanya menikmati dunia selama dua atau tiga minggu saja.

Bapa Niko Hurek, putra sulung pasangan kakek/nenek Samun Hurek/Ebong Nimanuho juga meninggalkan 2 adik perempuan dan 2 adik laki-laki.

* Kaka Paulina Perada Hurek (Bungamuda Lembata).
* Kaka Margareta Kewa Hurek (Atawatung Lembata)
* Bapa Daniel Demong Hurek (Kupang, pimpinan PKB di NTT, mantan Wakil Wali Kota Kupang).
* Bapa Dr. Urbanus Ola Hurek (dosen Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang.

Oh ya, di Flores Timur dan Lembata ada sapaan hormat yang berbeda dengan istilah bahasa Indonesia. Semua kakak/adik ayah disapa Kaka (kakak) meskipun usianya sama atau lebih tua ketimbang ayah. Padahal aslinya bibi atau tante atau budhe atau bulek. Adik atau kakak lelaki ibunda kita disapa om atau nana atau opu.

Anak atau cucunya om juga harus disapa Om. Ini ada kaitannya dengan urusan adat istiadat Lamaholot. Maka, saat berada di kampung halaman, bocah TK pun saya panggil Om kalau marganya Manuk. Sebab mama saya marganya Manuk. Maria Yuliana Manuk (RIP).

Jenazah orang Lembata tidak akan bisa dikuburkan jika Om-Om alias Opu Lake ini tidak datang. Yang berhak tutup peti, memaku peti jenazah, ya Om-Om atau saudara kandung atau sepupu ibunda kita.

Maka, jangan pernah sakiti hati Om-Om kamu saat kau hidup. Sudah banyak kejadian. Om-Om di Lembata sakit hati sehingga tidak datang-datang untuk melepaskan jenazah secara adat kemudian tutup peti. Tidak bisa sembarangan kalau urusan adat suku Lamaholot atau NTT umumnya.

Puji Tuhan, urusan adat istiadat Lamaholot terkait kematian di Desa Bungamuda, Kecamatan Ileape, Kabupaten Lembata, NTT, sangat mulus dan lancar. Om-Om Kayo Puken Wai Matan dari Suku Nimanuho datang pada kesempatan pertama. Om Guru Gorys Nimanuho yang juga ketua Stasi Mawa Napasabok yang memimpin pelepasan Bapa Niko Hurek ke dunianya yang lain.

Lalu, misa requiem khusus dipimpin Pastor Paroki Bernardus Abas, Tokojaeng. Suasana sangat sedih. Begitu banyak air mata tumpah. Tangisan bersahut-sahutan dari keluarga besar dan orang-orang kampung yang tak lain mantan murid-muridnya Bapa Niko Hurek.

Di depan peti jenazah, sebelum ditutup Om-Om Nimanuho, saya pandangi wajah Bapa Niko. Masih tampak senyum di tubuh yang dingin kaku. Bapa telah menyelesaikan pertandingan hingga akhir.

Setelah misa di halaman rumah, di bawah pohon yang rindang, dilanjutkan penyerahan jenazah kepada Pemerintah Kabupaten Lembata. Bupati Lembata Yenci Sunur menugaskan Camat Ileape memimpin penguburan Bapa Niko secara kedinasan.

Oh Tuhan, rupanya jasa-jasa Bapa Niko merintis SDK Yonas di Desa Mawa Napasabok masih diingat Pemkab Lembata. Meskipun ayah sudah pensiun PNS 19 tahun lalu. Bapa Niko merintis sekolah dasar di kampung, jadi guru tunggal, hingga jadi kepala sekolah. Selama 32 tahun.

Bapa Niko Hurek juga ikut merintis Gereja Stasi Mawa bersama Bapa Gaspar Hurek (RIP). Saat ini Stasi Mawa berkembang bagus. Ketua stasinya Guru Gorys Nimanuho, Opu Lake alias Om, yang punya kewenangan adat untuk menutup peti jenazah Bapa Niko.

Begitu banyak cerita yang bisa ditulis untuk Obituari atau In Memoriam Bapa Niko Hurek. Tapi berat... terlalu beraat... bagi saya. Anak kandungnya. Terlalu banyak air mata yang jatuh.

Beda banget dengan menulis obituari atau profil tokoh-tokoh untuk surat kabar atau majalah atau laman daring (online). Terlalu emosional.

Maka, di kampung pun saya tidak banyak bicara. Tidak bisa kasih kata sambutan dsb. Cukup diwakili Bapa Daniel Hurek dan Ade Franky Hurek (saudara sepupu). Franky lah yang paling sibuk dan capek. Terima kasih banyak, Franky!

Jumat 30 Agustus 2019

Pagi ini saya pesan intensi misa untuk Bapa Niko Hurek + Mama Maria Yuliana di Gereja Katolik Roh Kudus, Rungkut, Surabaya. Pater Dominikus Beda Udjan SVD, pastor paroki, didampingi dua pastor lain.

Hadir pula 20-an frater yang sedang mengikuti tahun orientasi rohani. Misa pagi yang dimulai pukul 05.30 diikuti sekitar 200 jemaat. Antusiasme umat Katolik di Surabaya untuk mengikuti misa harian memang sangat tinggi.

"Kita selalu doakan agar Bapa Niko memdapat kebahagiaan di sisi-Nya," kata Pater Domi Udjan yang asli Lembata ini.

Bapaknya Pater Domi, Bapa Yosef Nuba Udjan (RIP), teman akrab Bapa Niko di kampung. Sama-sama mengurus sekolah dan gereja stasi di kampung. Kakak kandungnya Pater Domi juga jadi pastor, Pater Paulus Udjan SVD, bertugas di Timor Leste.

Homili singkat pagi ini tentang 5 gadis bijaksana vs 5 gadis yang bodoh. Gadis-gadis bodoh membawa pelita tanpa minyak. Gadis-gadis pintar sudah siapkan minyak agar siap menyambut pengantin dalam perjamuan.

Akhirnya, pengantin datang. Lima gadis bijaksana masuk ke aula pesta. Sedangkan gadis yang bodoh terlambat. Masih membeli minyak di pasar. Mereka tidak bisa masuk ke ruang perjamuan karena pintunya ditutup.

Pesan Injil ini ternyata sangat relevan dengan kematian. Selalu siap dan siap karena kita tidak tahu kapan sang pengantin datang. "Bahan bakar jangan sampai kosong," kata pastor tamu yang belum saya tanya namanya.

Selepas misa untuk 40 hari kepergian Bapa Niko, saya cek ponsel. Ada SMS dari Is Hurek, adik saya:

"Ka Berni ingat Bapa 40 hari naen... tolong doa untuk Bapa. Kame doa ia Nobolekan. Erni punya di Lamahora dengan keluarga Hurek Making."

Adik yang satunya di Kupang, Yus Hurek, juga kirim pesan WA:

"Kame juga minta misa 40 hari di gereja..."

Begitulah. Orang Lembata dan Flores Timur selain sangat ketat dalam urusan adat istiadat, juga sangat menekankan sembahyang atau misa 40 hari kematian anggota keluarga.

Resquescat In Pace (RIP)

8 komentar:

  1. Waaa, Bernie, saya jadi ikut sedih dan hampir meneteskan airmata atas tribute yang anda berikan kpd ayahanda Bapa Niko Hurek.

    BalasHapus
  2. Terima masih Mas atas perhatian, doa dan simpatinya untuk saya dan keluarga besar yg baru saja kehilangan ayahanda tercinta.

    BalasHapus
  3. Untuk Ayah tercinta
    Aku ingin bernyanyi
    Walau airmata di pipiku

    Ayah dengarkan lah
    Aku ingin berjumpa
    Walau hanya dalam mimpi

    BalasHapus
  4. Itu lagu yg sangat menyentuh ketika kita sudah tak punya ayah. Apalagi yg nyanyi Eddy Silitonga. Ada ratapan dalam nada2nya.

    BalasHapus
  5. Membaca post ini di bagian "om" dan "opu lake", rasanya kok mirip dengan adat Batak ya?

    Dalam hubungan kekerabatan orang Batak ada 3 kelompok yang disebut "dalihan natolu" (arti harafiah: "tiga tungku"), yaitu:
    1. Hula-hula (*penjelasan di bawah)
    2. Dongan tubu / suhut (saudara semarga)
    3. Boru (marga suami jika perempuan, atau marga menantu laki2)

    Kelompok "Hula-hula" ada 6 golongan:
    1. Hula-hula (marga istri)
    2. Tulang (marga ibu)
    3. Tulang rorobot (marga ibunya ibu)
    4. Bona tulang (marga ibunya ayah)
    5. Bona ni ari (marga ibu dari bapaknya ayah)
    6. Hula-hula ni anak manjae (marga menantu perempuan)

    Sama seperti cerita anda, hula-hula memegang peran penting dalam adat kami.
    Dalam adat kematian, jika ada laki2 yang sudah menikah dan meninggal, keluarga istri lah yang memindahkan jenazah ke dalam peti, memberikan kain ulos "ulos saput" yang menyelimuti jenazah dan "ulos tujung" kepada istrinya. Jika yang meninggal adalah perempuan sudah menikah maka marga dari mendiang lah yang melakukannya. Jika yang meninggal tidak menikah maka yang melakukan ini adalah marga ibunya.
    (Ulos tujung hanya untuk istri yang ditinggal suaminya)

    Lalu hula-hula dan 6 golongannya yang saya sebutkan tadi akan memberikan ulos kepada anak dan cucu dari mendiang, diiringi dengan doa, nyanyian dan tari tortor. Sebagai balasannya, "dongan tubu" memberikan sembelihan kerbau dan uang kepada para hula-hula ini.

    Maka sama seperti cerita anda, kami orang Batak harus menghargai hula-hula kami. Istilahnya "somba marhula-hula", kami harus "somba" (sembah, kini diartikan sebagai "hormat") hula-hula kami. Jangan sakiti hati mereka. Karena acara adat pernikahan atau kematian akan tidak sah dan jadi bahan gunjingan jika mereka tidak datang.

    Sepertinya kita perlu mencari lagi kesamaan antara Batak dan Lamaholot. Sama seperti yang sudah kami lakukan dengan orang Toraja, sampai2 ada replika rumah adat Toraja (tongkonan) di museum Batak milik TB Silalahi, karena kami yakin bahwa Batak dan Toraja punya hubungan dekat.

    BalasHapus
  6. Betul sekali... adat istiadat Lamaholot dan hampir semua suku di Flores NTT punya kesamaan dengan Tapanuli atau Toraja. Sama2 ketat dalam urusan adat khususnya perkawinan dan kematian. Akan jadi masalah besar kalau diabaikan atas nama kitab suci, modernisasi dsb.

    Ihwal titik kesamaan adat Lamaholot (Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata) ini juga diakui Bapak Hamonangan Munthe alm saat menjadi Bupati Flores Timur pada akhir 1990an. Saat itu Lembata masih jadi satu dengan Flores Timur.

    Bapa Munthe ini keliling ke semua kecamatan dan desa di bumi Lamaholot sehingga beliau tahu persis adat istiadat Lamaholot. Secara umum tidak banyak bedanya kata pak bupati yg letkol itu.

    Beda paling nyata tentu di hewan untuk dibawa ke opulake dsb. Orang Lamaholot pakai babi dan kambing (bukan domba). Babi hutan tidak sah. Tidak biasa pakai sapi atau kerbau.

    Babi dan kambing itu boleh dikata binatang adat. Bukan ternak untuk konsumsi sehari-hari. Makanya saya pernah guyon di blog lama bahwa orang Lamaholot itu meskipun pelihara babi dan kambing tapi sangat sangat jarang makan daging babi dan kambing. Hanya bisa makan saat pesta adat pernikahan atau kematian. Sehari-hari makan ikan laut, kerang dsb.

    Oh ya Bupati Munthe tadi saking sayangnya sama Lamaholot, putrinya dikasih nama Floresi Munthe. Beberapa orang Batak yg pernah bertugas di bumi Lamaholot juga merasa ada banyak kesamaan adat kebiasaannya dengan warga Lamaholot.

    Kesamaan yg paling nyata adalah... Ina ma tuak mi....
    Bapa2 zaman saya kecil dulu lebih banyak minum tuak daripada air bening. Istilah air putih di kampung saya itu artinya tuak, bukan drinking water.

    BalasHapus
  7. Balasan
    1. Amin Amin... terima kasih ama semoga tite wahan kae dapat berkat dan perlindungan Tuhan.

      Hapus