Senin, 19 Agustus 2019

Oei Hiem Hwie, Buku, dan Media Lama

OEI HIEM HWIE masuk koran lagi. Cerita lama tentang pengalamannya di Pulau Buru karena dianggap antek-antek Bung Karno. Pak Oei juga punya kedekatan khusus dengan Pramoedya Ananta Tour saat berada di pulau pembuangan tahanan politik itu.

Cerita tentang Pak Oei sudah sering dibeber di media massa. Saya juga beberapa kali menulis pengalaman mantan wartawan Trompet Masjarakat, Surabaya, itu di koran. Kalau perlu pendapat tokoh atau pengamat Tionghoa, biasanya saya kontak Oei Hiem Hwie.

Lama-lama jadi dekat dengan sesepuh Tionghoa Surabaya itu. Apalagi beliau punya perpustakaan antik di Medokan Ayu Surabaya. Satu-satunya perpustakaan yang menyimpan begitu banyak majalah, koran, buku, dan dokumen tempo doeloe. 

Mau cari koran prakemerdekaan macam Sin Poo, Sin Jit Poo, Keng Poo... ada saja arsipnya di perpustakaan yang bernama Medayu Agung. "Saya memang hobi membaca dan mengoleksi media massa dan buku-buku," ujarnya. 

Sayang, banyak buku koleksinya yang diambil aparat setelah peristiwa kelabu 65 itu. Masih lumayan ada setumpuk yang disembunyikan di plafon rumahnya ketika ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. 

Kembali ke Jawa Timur, Oei kelahiran Malang tapi cari duit di Surabaya, bersyukur karena buku-buku lamanya masih ada. Tapi di masa Orde Baru dia hidup dalam kecemasan gara-gara status ET di kartu penduduk. ET : eks tapol. "Kami terus diawasi setiap saat," ujarnya. 

Orde Baru kemudian tumbang. Pak Oei bisa sedikit lega meskipun tetap eling lan waspada. Diam-diam dia buka perpustakaan sederhana, kecil, agar koleksi-koleksi lawas itu bisa dibaca banyak orang. "Tiap hari ada mahasiswa, dosen, wartawan, tokoh masyarakat datang ke sini," tuturnya lantas tertawa kecil.

Hehehe... Saya ikut tersindir karena memang sering ke perpustakaannya yang dekat perbatasan Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Kalau saya lewat di tambak-tambak Sedati Juanda hingga Tambakoso biasanya saya merapat ke Medayu Agung.

Makin hari saya lihat buku-buku makin menumpuk. Selain membeli pakai duit sendiri, banyak orang yang ikut menyumbang. Di era digital ini tentu sumbangan buku makin banyak. Sebab manusia modern lebih banyak membaca di internet ketimbang buka-buka buku kertas.

Saya merasa asyik membaca tulisan-tulisan lawas dengan gaya Melayu Pasar atau Melayu Tionghoa. Penulis-penulis lama senang bermain-main kata, guyon, nyindir... sehingga berita-berita jadi sangat berwarna. Beda dengan model jurnalistik modern yang singkat, padat, tidak bertele-tele, to the point.

Kelemahan perpustakaan milik Tuan Oei hanya satu: tidak ada AC. Bisa dibayangkan betapa sejuknya ruangan perpustakaan dua lantai itu di Surabaya yang panas. Tapi tentu saja Pak Oei tidak punya anggaran untuk pengadaan AC. Pemkot Surabaya juga belum berkenan menyumbang karena lebih memperhatikan perpustakaannya sendiri yang mutunya biasa-biasa saja.

Tahun ini Pak Oei genap 82 tahun. Beliau mau menerbitkan buku memoar yang isinya pasti werno-werni dan interesan. Semoga lancar dan Tuhan kasih sehat untuk Pak Oei. 

2 komentar:

  1. Om, tolong Bahasa kerusuhan Papua di Surabaya dong

    BalasHapus
  2. Masalah papua sangat menarik. Tapi sangat sensitif. Pasti ada kaitan dengan isu SARA. Dan itu bahaya. Akun kita bisa dihapus sama mbah Google.

    Salam Nusantara Jaya.

    BalasHapus