Sabtu, 31 Agustus 2019

Rumah Disewakan untuk Muslim



Masih dalam rangka 40 hari berpulangnya Bapa Nikolaus Hurek, 79, ayahanda tercinta, tadi pagi saya misa di Gereja Katolik Salib Suci, Waru, Sidoarjo. Meskipun beda kabupaten/kota, gereja ini lebih dekat ketimbang Gereja Katolik Roh Kudus di Perumahan Puri Mas, Rungkut, Surabaya, paroki saya.

Karena itu, saya sering ke Salib Suci kalau bangun agak terlambat. Misa pagi harian di Surabaya dan Sidoarjo dimulai pukul 05.30. Misanya rata-rata setengah jam saja. Para pastor di Paroki Salib Suci Sidoarjo dan Paroki Roh Kudus Surabaya sama-sama SVD dan hampir semuanya asal Flores, NTT.

Nah, saya kaget membaca spanduk di salah satu rumah tak jauh dari parkiran Gereja Salib Suci. Bekas warung nasi goreng kambing yang tutup. Tertulis: RUMAH DISEWAKAN UNTUK MUSLIM....

Waduh... waduh... rupanya yang begini ini sudah menjalar ke Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Selama ini yang sering saya baca dan dengar di Jogjakarta. Kos-kosan khusus muslim. Yang bukan muslim ditolak.

Bagaimana kalau yang ingin menyewa rumah itu muslim tapi Tionghoa? Muslim tapi Papua? Apakah bisa diterima? Saya tidak tertarik bertanya meskipun nomor teleponnya sangat jelas.

Saya jadi ingat liputan BBC tentang mahasiswa Papua di Jogja dan beberapa kota lain. Anak-anak Papua ini sangat sulit mendapatkan indekos. Sebab para pengusaha kos-kosan tidak suka orang Papua dengan berbagai alasan stereotipe. Suka minum, mabuk-mabukan, ngemplang bayar, resek, hingga badannya bau dsb.

Gara-gara ditolak pemilik kos itulah, maka mahasiswa Papua biasanya ngontrak rumah yang besar. Dijadikan wisma atau asrama Papua. Bisa juga minta bantuan gubernur atau bupati untuk bikin asrama di Jawa.

Karena itu, jangan salahkan anak-anak Papua yang lebih sering berkelompok sesama Papua saat kuliah di Jawa. Tidak banyak mahasiswa Papua yang bisa melebur dengan warga setempat di Jawa. Kecuali para pemain sepak bola.

"Biarpun muslim tapi asal Papua ditolak juga sama pemilik kos di Jogja," ujar anak Papua yang dikutip BBC.

Indonesia baru saja merayakan hari jadi ke-74. Usia yang sangat senior untuk ukuran manusia. Tapi rupanya Pancasila belum dihayati sesama anak bangsa. Khususnya sila Persatuan Indonesia.

"Orang Papua belum diindonesiakan," kata Gubernur Papua Lukas Enembe. "Orang Papua masih dibedakan. Belum dianggap benar-benar Indonesia."

Kembali ke rumah di Desa Tropodo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, yang disewakan khusus kepada muslim itu. Sudah 6 atau 7 tahun belakangan juga ada tren pembangunan perumahan khusus untuk orang Islam. Perumahan berkonsep syariah.

Ternyata tidak mudah melaksanakan Pancasila di era digital dan media sosial nan canggih ini. Quo vadis Pancasila???

6 komentar:

  1. Rumah disewakan untuk Muslim. Iklan serupa juga ada di Eropa,
    Zimmer zu vermieten nur an inländische Studenten, ( Disewakan kamar kos2-an hanya untuk mahasiswa pribumi ).
    Maaf Bung Hurek jika saya suka menulis hal2 yang terjadi masa silam, kebanyakan kejadian setengah abad yang lalu.
    Dulu harga tiket pesawat masih sangat mahal, contohnya, harga tiket pesawat Frankfurt - Jakarta p/p 4000 DM, sedangkan gaji rata2 orang Jerman kala itu hanya 700 DM per bulan. Jadi rata2 orang2 Eropa kalau berlibur hanya mampu dengan mobil pribadi atau kereta-api. Paling mereka hanya bisa melancong ke Italia,
    Yugoslavia atau paling top hanya sampai ke Spanyol dan Portugal. Jadi mereka orang2 lugu yang belum terbiasa berhubungan dengan orang asing kulit berwarna.
    Ketika seorang wartawan bertanya kepada nyonya pemilik kamar, mengapa dia tidak mau menyewakan kamar-nya kepada mahasiswa asing kulit berwarna ? Jawab si nyonya dengan lugu-nya: Saya kuatir sprei ranjang menjadi kotor, sebab warna kulitnya pasti luntur !
    Ipar-saya ( suami adik-perempuan saya ) dulu kuliah di Aachen-Jerman. Setelah lulus, dia langsung mengajak adik-saya pulang ke Indonesia. Saya bertanya kepada adik-saya, mengapa suami-mu tidak mau cari kerjaan di Jerman saja ?
    Kata adik-saya : Dulu suami-nya mencari tempat kos-kos-an melalui telepon, selalu ditolak dengan alasan sudah ada penyewa-nya. ( Walaupun fasih berbahasa Jerman, namun logat betawi-nya tidak bisa hilang ). Dia lalu menyuruh teman kuliah-nya, orang Jerman pribumi, menelpon ke pemilik kos2-an yang barusan menolaknya. Si pemilik kamar bilang, kamar-nya masih free, silahkan datang.
    Sejak itu dia sumpah, setelah lulus akan langsung pulang ke Indonesia, dan tidak mau menginjak tanah Jerman lagi seumur hidupnya. Sudah 40 tahun lebih, sekali pun dia tidak pernah ke Jerman. Padahal dia dan istri-nya dari Jakarta melancong keseluruh negara2 Eropa lain-nya.
    Rassisme ada di-mana2. Kalau bisa, jangan jadi minoritas. Itulah sebabnya saya suka hidup di Tiongkok, membaur tidak menyolok, persetan dengan komunisme, atheisme, demokrasi, kebebasan berpendapat alias nyinyir, kalifah, diktatorisme, dan tetek bengek segalanya. Wong urip yang penting, cukup makan, tentram dan damai. Jangka hidup manusia sangat pendek, terlebih terasa jika usia sudah kepala 7.

    BalasHapus
  2. Kamsia yg banyak sudah bagi pengalaman yg bagus banget. Kita bisa jadikan cermin bahwa masalah rasisme ada di mana2. Termasuk di eropa dan amerika yg lebih maju dan punya peradaban tinggi.

    Rupanya orang merasa lebih aman kalau berada di lingkungan komunitas yg sama. Merasa terancam dengan liyan atau the others.

    Karena itulah, di banyak tempat di Jawa, masyarakat ramai2 tolak rumah ibadah agama lain yg minoritas tentu saja. Takut ketularan virus kafir.

    BalasHapus
  3. Di Amerika, di atas kertas secara hukum tidak boleh menolak pelanggan dari agama lain seperti di spanduk tsb. Bahkan seorang pengusaha kue taart yg Kristen fanatik tidak boleh menolak order kue taart untuk pernikahan sesama jenis, dengan alasan melanggar agamanya.

    Pada prakteknya, jika anda mau ngebook rumah untuk disewa jangka pendek (untuk liburan) lewat AirBnB, dan penampilan anda berkulit hitam, anda akan mendapatkan beberapa pemilik yang tidak mau menyewakannya. Orang kulit putih masih banyak yang rasis tetapi diam-diam, karena secara hukum dan sosial tidak diperbolehkan.

    BalasHapus
  4. Sebetulnya preferensi yg mengadah ke rasis ini sejak dulu ada di bumi nusantara. Tapi dulu masih dikemas halus dalam bahasa yg sopan santun. Dicari-cari alasan untuk menolak anak kos atau penyewa yg tidak seiman, berkulit hitam, orang melanesia dsb. Sekarang penolakan itu disampaikan secara terbuka dan keras. Bisa di spanduk atau media sosial.

    Ada positifnya juga. Kita jadi tahu isi kepala pemilik rumah itu yg hanya ingin penyewa beragama Islam. Cuman ya itu... unggah ungguh, tepa selira.. jaga perasaan orang lain jadi hilang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dunia sekarang kok jadi terbalik ! Dulu orang kulit putih terang2-an menunjukkan rasisme mereka, sedangkan orang Indonesia masih ngerti unggah ungguh, tepa selira. Sekarang orang kulit putih malu-malu kucing, sebaliknya orang Indonesia yang terang2-an.
      Saya masih ingat lagu anak2 yang dinyanyikan di Taman Kanak2 di Jerman dan Austria di tahun '60-an, yaitu Zehn kleine Negerlein.
      Bahkan dinyanyikan oleh para ibu untuk menidurkan bayi-nya.
      Lagu itu adalah copy dari lagu anak2 USA, yang diubah hanyalah judul dan lirik-nya.
      Di Amerika judul aslinya, Ten Little Injuns ( 10 anak Indians ), di Jerman diubah menjadi 10 anak Negros.
      Satu per satu anak2 Negro itu mati :
      Mulai, yang ke-10 mati kelelap di sungai Rhein, ke-9 mati tertembak pemburu, ke-8 mati kebanyakan makan Ruben (semacam bangkuang), .....seterusnya, sampai yang ke-1 mati digelindes dokar. Selamat tidur anak-ku sayang !
      Seperti lagu anak2, Balon-ku ada lima.

      Dulu Inang di Bali (maaf, Baby Sitter, cara alus-nya) menimang anak asuhnya sambil menyanyi lagu anak2, Meong meong. Di Jawa Timur para Inang menidurkan anak bayi sambil menyanyi, Tak lelo lelo lelo ledung. Mungkin di Jakarta yang dinyanyikan, Nina bobo.

      Apakah suatu ketika akan ada lagu anak2, " Sepuluh anak Kafir "

      Hapus
  5. Saya pernah tinggal cukup lama di Ngagel Jaya Selatan. Dulu kompleks perumahan elite untuk manajer2 perusahaan daerah hasil nasionalisasi perusahaan belanda. Mereka ini kebanyakan militer alias TNI AD yg dikaryawan di awal orde baru.

    Lama2 perumahan itu berubah menjadi kompleks hunian Tionghoa. Yang bukan Tionghoa tidak sampai 7 persen. Itu yg saya hitung di RT dan RW tempat saya tinggal dulu.

    Awalnya pemilik asli menyewakan atau jual rumah. Siapa saja boleh membeli. Dia kan butuh uang. Dan uang tidak punya suku ras agama dsb. Tapi sepertinya ada mekanisme alam yg bekerja. Pembeli rumah2 eks manajer perusahaan daerah itu kok mayoritas Tionghoa. Padahal tidak ada spanduk "khusus dijual untuk Tionghoa".

    BalasHapus