Surabaya, 16 October 2014
Orang Tionghoa di Indonesia identik dengan pedagang. Mulai pedagang kelontong hingga bos yang punya banyak pabrik. Karena itu, ketika melihat Ahok jadi gubernur Jakarta, dengan gayanya yang blak-blakan dan unik, mayoritas orang Indonesia terkejut. Yang terkejut ini bukan hanya pribumi tapi juga Tionghoa sendiri.
Dua hari lalu saya didatangi mahasiswi Universitas Kristen Petra Surabaya. Olivia namanya, tinggal di Taman, Sidoarjo. Di otak saya, ayah si Olivia ini pasti pedagang atau pebisnis. "Papamu bisnis apa?" tanya saya.
Pertanyaan standar ketika kita bertemu warga keturunan Tionghoa. Kalau ketemu pribumi, pertanyaan kita: Anda kerja di mana? Di bagian apa?
"Papaku pendeta," kata Olivia mantap. Oh, Tuhan, saya kena batunya. Termakan oleh stereotipe, generalisasi, yang memang ada di alam bawah sadar saya. Memang sangat jarang, bahkan baru kali ini, pertanyaan standar "papamu bisnis apa" dijawab pendeta.
Saya tahu banyak sekali pendeta Tionghoa, khususnya di gereja-gereja aliran pentakosta dan karismatik, di Jawa Timur. Tapi mendengar langsung ucapan seorang Tionghoa, anak pendeta, baru kali ini. "Wah, papamu benar-benar melaksanakan sabda kitab suci. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran...."
Olivia tertawa kecil. Lalu, obrolan kembali ke topik utama. Tak lagi bahas masalah pribadi, Tionghoa, pendeta, kristiani, dan sebagainya. Olivia cuma ingin wawancara tentang sistem kerja di newsroom sebuah surat kabar untuk tugas kuliahnya.
Diam-diam, setelah Oliv pulang, saya merenung sendiri. Pasti tidak gampang bagi orang Tionghoa yang memilih jalan hidup sebagai pendeta. Profesi yang sangat jauh dari template di kalangan masyarakat Tionghoa di tanah air.
Bagaimana bisa membiayai anak istri? Beli rumah pakai apa? Masa depannya? Bukankah lebih enak punya banyak uang? Dan itu hanya bisa lewat perdagangan dan bisnis?
"Orang Tionghoa yang jadi seniman atau rohaniwan itu harus nekat. Harus tahan kritik dari lingkungan keluarga," kata Lim Keng, almarhum, pelukis terkenal di Surabaya.
Lim Keng dulu jadi bahan gunjingan keluarga, teman, dan orang-orang Tionghoa karena nekat memilih jalan kesenian. Bahkan, istri dan dua anaknya pun menyingkir ke kota lain karena memilih jalan dagang. Tapi Lim Keng merasa bahagia dan bertahan dengan dunia seni lukis sampai ajal menjemput.
Komentar Lama
Anonymous
October 17, 2014
Ya memang benar itu. Ketika saya kecil, setiap kali main ke rumah teman sesama Tionghoa, pasti ditanyain orangtuanya: "Papa kamu co apa?". "Co" - dalam pinyin dituliskan sebagai "zuo", artinya bekerja; lengkapnya zuo shengyi atau lafal Tionghoa Surabaya yang mlingsih dari aslinya: "co sen-i" (bekerja bisnis). Kalau kita bekerja sama orang (seperti saya) sering merasa minder. Padahal bekerja apa pun itu mulia, asalkan kita jujur dan memberikan bakat dan kemampuan kita yang terbaik.
Orang Tionghoa di Indonesia identik dengan pedagang. Mulai pedagang kelontong hingga bos yang punya banyak pabrik. Karena itu, ketika melihat Ahok jadi gubernur Jakarta, dengan gayanya yang blak-blakan dan unik, mayoritas orang Indonesia terkejut. Yang terkejut ini bukan hanya pribumi tapi juga Tionghoa sendiri.
Dua hari lalu saya didatangi mahasiswi Universitas Kristen Petra Surabaya. Olivia namanya, tinggal di Taman, Sidoarjo. Di otak saya, ayah si Olivia ini pasti pedagang atau pebisnis. "Papamu bisnis apa?" tanya saya.
Pertanyaan standar ketika kita bertemu warga keturunan Tionghoa. Kalau ketemu pribumi, pertanyaan kita: Anda kerja di mana? Di bagian apa?
"Papaku pendeta," kata Olivia mantap. Oh, Tuhan, saya kena batunya. Termakan oleh stereotipe, generalisasi, yang memang ada di alam bawah sadar saya. Memang sangat jarang, bahkan baru kali ini, pertanyaan standar "papamu bisnis apa" dijawab pendeta.
Saya tahu banyak sekali pendeta Tionghoa, khususnya di gereja-gereja aliran pentakosta dan karismatik, di Jawa Timur. Tapi mendengar langsung ucapan seorang Tionghoa, anak pendeta, baru kali ini. "Wah, papamu benar-benar melaksanakan sabda kitab suci. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran...."
Olivia tertawa kecil. Lalu, obrolan kembali ke topik utama. Tak lagi bahas masalah pribadi, Tionghoa, pendeta, kristiani, dan sebagainya. Olivia cuma ingin wawancara tentang sistem kerja di newsroom sebuah surat kabar untuk tugas kuliahnya.
Diam-diam, setelah Oliv pulang, saya merenung sendiri. Pasti tidak gampang bagi orang Tionghoa yang memilih jalan hidup sebagai pendeta. Profesi yang sangat jauh dari template di kalangan masyarakat Tionghoa di tanah air.
Bagaimana bisa membiayai anak istri? Beli rumah pakai apa? Masa depannya? Bukankah lebih enak punya banyak uang? Dan itu hanya bisa lewat perdagangan dan bisnis?
"Orang Tionghoa yang jadi seniman atau rohaniwan itu harus nekat. Harus tahan kritik dari lingkungan keluarga," kata Lim Keng, almarhum, pelukis terkenal di Surabaya.
Lim Keng dulu jadi bahan gunjingan keluarga, teman, dan orang-orang Tionghoa karena nekat memilih jalan kesenian. Bahkan, istri dan dua anaknya pun menyingkir ke kota lain karena memilih jalan dagang. Tapi Lim Keng merasa bahagia dan bertahan dengan dunia seni lukis sampai ajal menjemput.
Komentar Lama
Anonymous
October 17, 2014
Ya memang benar itu. Ketika saya kecil, setiap kali main ke rumah teman sesama Tionghoa, pasti ditanyain orangtuanya: "Papa kamu co apa?". "Co" - dalam pinyin dituliskan sebagai "zuo", artinya bekerja; lengkapnya zuo shengyi atau lafal Tionghoa Surabaya yang mlingsih dari aslinya: "co sen-i" (bekerja bisnis). Kalau kita bekerja sama orang (seperti saya) sering merasa minder. Padahal bekerja apa pun itu mulia, asalkan kita jujur dan memberikan bakat dan kemampuan kita yang terbaik.
Maaf out of topic.. ada apa dengan blog lama, ama? Koq bisa hilang?
BalasHapusHoree, Lambertus muncul lagi. Komentar lama itu kebetulan saya yang menulis!
BalasHapusUntuk gereja2 yang berteologi kemakmuran, pendeta2nya memang berbisnis, yaitu "co Yesus" alias jualan Yesus.
BalasHapus