Sabtu, 25 Mei 2024
Sembahyang Ama Dewa Lera Wulan - Bapa Kami Bahasa Lamaholot
Senin, 20 Mei 2024
Merokok Mati, Tidak Merokok juga Tetap Mati - Budaya Golo Bako di Lamaholot NTT
Selasa, 07 Mei 2024
Suster Maria Lourdes Uran MC dari Lembata Ketua Yayasan Santa Clara di Surabaya
Bapaknya suster ini sebetulnya satu desa dengan saya di Lomblen Island alias Pulau Lembata, NTT. Cuma beda kampung atau dusun. Kami di bukit, mereka di tepi pantai.
Jumat, 03 Mei 2024
Bahasa Nagi atau Melayu Larantuka Bermula dari Bahasa Para Pengungsi dari Melaka (Malaka) Malaysia
Tiga atau empat hari ini ada diskusi menarik tentang bahasa Nagi atau Melayu Larantuka di salah satu grup media sosial. Saya baca komen-komen warganet. Ada yang bagus, ilmiah, tapi banyak juga yang asbun: asal bunyi.
Sabtu, 27 April 2024
Ancis Matarau Penyanyi Pop Lamaholot Asal Ile Ape, Lembata, yang Sedang Naik Daun di NTT
Kamis, 25 April 2024
Pantun Lamaholot Punya Nilai Sakral, Koda Kiring Nuba Nara
Selasa, 23 April 2024
Dolo Sidiridi Namang - Soka Seleng Mura Lewo Rame Tanah Sampe Seni Tawa Gere
Sabtu, 20 April 2024
Larantuka Lewo Namang, Nagi Tua Punya Nama - Torang Mati di Kaki Tuan
16 Pantun Lamaholot Khas Felix Matarau di Lagu Dolo-Dolo Nona Masih Kecil 2
Makin banyak lagu-lagu daerah NTT dimuat di media sosial. Khususnya YouTube. Setiap kabupaten punya lagu pop daerah sendiri-sendiri. Semuanya punya penggemar.
Lagu pop Lamaholot pun banyak sekali di YouTube. Irama dolo-dolo paling aku suka karena sangat khas Lamaholot - Flores Timur dan Lembata. Beda dengan pop biasa yang cuma syairnya saja dalam bahasa daerah.
Salah satu lagu dolo yang aku suka adalah Nona Masih Kecil 2 ciptaan Felix Matarau. Seniman asal Lembata ini dulu viral dengan Nona Masih Kecil 1, Nona Masih Kecil 2, Nona Masih Kecil 3, 4, dan seterusnya.
Refrein lagu pakai bahasa Nagi (Melayu Larantuka), sedangkan pantun-pantunnya berbahasa Lamaholot. Pantunnya bikin geli orang mengerti bahasa Lamaholot karena terkesan "agak nakal" dan ada humornya.
Seorang pemuda dan pemudi berbalas pantun. Si cowok merayu dan si cewek me jawab. Pemudanya kadang agak maksa tapi si nona yang masih kecil malah menjawab secara dewasa.
"Janji herun rema tukan (janji ketemu tengah malam)
Padu take di mela hae (tak ada damar - lampu - pun tak mengapa)
Soot ake hae roi (takut ada yang lihat)"
Aku cermati lagu Nona Masih Kecil 2 ini lebih panjang ketimbang lagu dolo-dolo Lamaholot lain di YouTube. Durasinya hampir 10 menit. Tidak lazim untuk lagu pop yang biasanya cuma 4 atau 5 menit.
Namun, di sisi lain, ada bagusnya karena lagu ini dicipta untuk keperluan tarian dolo-dolo. Setiap ada pesta di kampung atau acara apa saja biasa dimainkan. "Dolo-dolo sampe lera gere" - dolo-dolo sampai matahari terbit.
Total ada 16 pantun.
Felix Matarau dari Lembata merayu lalu dijawab Ary Diaz penyanyi wanita asal Larantuka. Luar biasa kreatif Felix ini.
Dia salah satu seniman musik Lamaholot yang sangat populer di tanah Lamaholot, bahkan NTT umumnya. Profisiat!
NONA MASIH KECIL 2
Ciptaan Felix Matarau
Bes/C = do, irama tarian dolo-dolo
Refrein:
TEGA NONA MASIH KECIL
TATA GANTO CINTA SAMPE, SAMPE, SAMPE NONA BESAR
KALO NONA SUDAH BESAR
TATA BAWA CINTA SAMPE, SAMPE
SAMBO DAGING DARAH
(TATA E.. ADE, MAMA MASIH PIARA ) 2x
1. Manu goko wewan telo
Ruat janji o go arik e
Lau kai go dore goko
2. Janji herun rema tukan
Padu take di mela hae
Soot ake hae roi
(Ade.. ah.. mama masih piara)
3. Herun sare ti onem sare
Arik mapun o go tata e
Arik suka gali gali
4. Suka gali koon kerun lama nua
Rema reron glurek kala lone
Onem bura mara go sadar hala
(Tata.. ah.. mama masih piara)
5. Tobo ledan lone lolon
Mapun gawak oh go arik e
Tata gawak gole gole
6. Ledan sampe puho wutun
Arik ledan go puho wutun
Puho gesek onek pia lesu loran
(Ade.. ah.. mama masih piara)
7. Sumpah mati go sanggup hala
Bisa hala o go tata e
Arik leta ake sampe
8. Goe pia be tawa gere
Belek wati o go sayang e
Koi kuran ake paksa bain
(Tata.. ah.. mama masih piara)
9. Yonek peten pasti go sebako
Moe gali o go arik e
Koi kae go beto kala rema
10. Biar saja aman sumpa
Inam tani rema hode reron
Cinta kae marin tabe aku
(Ade.. ah.. mama masih piara)
11. Nuan nolo pe marin nafsu take
Puken aku o go tata e
Sedon goe ata Jawa dai
12. Onem pia sewa mamun Flores
Puken ata budi adat sare
Soron gole asal koon moe
(Tata.. ah.. mama masih piara)
13. Ake beke ake kurang onem
Badan goe bura helo hala
Go penahin puken hama hala
14. Goe pia di miten bele
Miten goe helo moe hala
Koi kae ti go penahin onem
(Ade.. ah.. mama masih piara)
15. Onem pia di pasti rela
Marin saja o go tata e
Ake kurang ake perohon onem
16. Biar moe miten bele
Goe pia di peduli hala
Asal tata mo piara goe
(Tata.. ah.. mama masih piara)
BACA JUGA
Pantun dolo-dolo Lamaholot kenangan lama
Jumat, 19 April 2024
Pantun Lamaholot Adonara Botung Lewo Lema - Mengenang Almarhum Dr S. Belen
Pantun Dolo-Dolo Lamaholot Paling Sering Dicari di Blog Ini
Minggu, 14 April 2024
Paus di Kampung Lamalera Lembata vs Paus di Vatikan
Sudah lama paus tidak muncul di Laut Sawu. Pekan ini kelihatannya nelayan Lamalera di Pulau Lembata, NTT, panen beberapa paus.
Onchu Namang bagi gambar ikan paus dari pantai Lamalera. Paus ini akan dipotong-potong dan dibagi untuk semua penduduk.
Saya sendiri meski asli Lembata tidak pernah melihat langsung paus di Lamalera. Maklum, kampungku di jauh di utara, pinggir Laut Flores, dan Lamalera di selatan, pinggir Laut Sawu. Kemunculan paus pun sulit diduga.
Saya cuma sekali lihat bangkai paus di Kenjeran, Surabaya.
Paus di Lamalera kerap dicocok-cocokkan dengan Paus di Vatikan. Kok bisa?
Agama Katolik kali pertama masuk Pulau Lembata ya lewat kampung Lamalera ini. Pater Bode SVD misionaris perintis itu.
Pastor pribumi pertama Pater Alex Beding SVD asli Lamalera.
Pater Alex Beding juga menerima penghargaan sebagai pendiri surat kabar pertama di NTT saat Hari Pers Nasional di Kupang beberapa tahun lalu.
Penyusun buku liturgi dan nyanyian Katolik pasca Konsili Vatikan II juga orang Lamalera: Marcel Beding (sempat jadi wartawan Kompas). Bukunya Syukur Kepada Bapa yang sangat populer di NTT (Indonesia) sebelum ada buku Madah Bakti (PML Jogja) dan Puji Syukur (KWI).
Penghasil pastor, bruder, suster terbanyak di Lembata, bahkan bisa jadi di NTT atau Indonesia, ya Lamalera ini.
Profesor pertama dari Lembata juga asal Lamalera: Prof Dr Gorys Keraf, pakar linguistik.
Menteri pertama dari Lembata juga asli Lamalera: Dr Sonny Keraf - Kabinet Megawati.
Orang Lamalera sudah terbiasa sembahyang malaikat tiga kali sehari. Bisa sembahyang sendiri atau bersama. Meskipun berada di pantai atau kebun, begitu mendengar lonceng angelus berbunyi, mereka langsung sembahyang "Maria diberi kabar oleh Malaikat Gabriel..."
Beda dengan di Jawa. Lonceng Angelus juga dibunyikan di gereja-gereja setiap pukul 06.00, 09.00, dan 18.00. Tapi saya lihat tidak ada yang sembahyang malaikat meskipun berada di lingkungan gereja.
Nelayan-nelayan Lamalera juga sembahyang misa dulu sebelum pergi jauh memburu koteklema alias ikan paus. Ada gereja bagus di pinggir pantai.
Boleh jadi daging paus mengandung unsur kimia tertentu yang membuat kecerdasan orang Lamalera di atas rata-rata. Haleluya!
Jumat, 05 Januari 2024
Gadis Lamaholot memakai "kwatek" di Gereja Kayutangan
Minggu, 24 Desember 2023
Sei Babi Flobamora di Kota Malang
Sabtu, 21 Oktober 2023
Tuwo teperohon pai hokon tepe sayang
Rabu, 04 Oktober 2023
Terkenang Lagu Ina Maria di Bulan Rosario
Rabu, 02 Desember 2020
Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape
Selasa, 09 Juli 2019
Air Hidup di Sumur Atawatung
Gereja Stasi Atawatung, Ile Ape, Lembata, NTT. |
Cukup lama saya tertegun di samping Sumur Atawatung di Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini. Dua puluh tahun lebih saya tak sempat mampir di sumur yang pernah menjadi bagian hidup saya itu. Sumur yang berjasa menyediakan air bagi kami di kampung.
Saya perhatikan bagian dalam sumur. Oh, masa sama seperti masa saya SD di Mawa dulu. Ada tonjolan batu besar, dalamnya sekitar 15-20 meter. Airnya pun selalu berlimpah, apalagi di musim hujan seperti ini. Pelataran sumur diplester dengan bagus. Beda banget dengan pemandangan tempo doeloe.
Perbedaan mencolok justru di suasananya. Kali ini, di awal tahun 2011, hanya ada SATU orang ibu yang terlihat sibuk menimba air. Tiga ember hitam ditaruh di bibir sumur. Timbanya pun bukan NERA atau MAYA yang dibuat dari KOLI alias daun lontar (siwalan), tapi plastik. Nuansa khas pedesaan sudah tak ada lagi.
Pikiran saya pun langsung melayangkan ke masa lalu. Dulu, setiap hari puluhan orang selalu memenuhi Sumur Atawatung itu. Jangankan menaruh ember di bibir sumur, kita sangat sulit mendapat tempat untuk menimba air. Begitu ramainya, tali-tali timba selalu melilit ke sana ke mari, tali putus, timba jatuh... dan sebagainya. Ribet bukan main!
Orang-orang Mawa, yang jalan kaki hampir dua kilometer, sering cekcok mulut dengan orang-orang Atawatung, si empunya sumur, karena rebutan tempat. UNO GENING ULI. Hehehe.... Cekcok mulut yang justru menciptakan keakraban di antara penduduk Mawa dan Atawatung. Orang Mawa sebagai tamu sering tidak ‘tahu diri’ karena paling banyak menimba air sumur di Atawatung.
Habis mau timba air tawar di mana lagi? Syukurlah, Tuhan berbaik hati sehingga perigi sederhana itu bisa menghidupi penduduk dua kampung dari generasi ke generasi. Ditimba terus-menerus, sampai jauh malam, tapi stok airnya tetap ada. Di musim kemarau memang sumurnya agak mengering, tapi tidak sampai tandas sama sekali.
Ketika membaca atau mendengar cerita AIR KEHIDUPAN dalam Alkitab, Yohanes 4:1-42, yang selalu muncul di benak saya selalu Sumur Atawatung ini. Sungguh! Sebuah sumur di desa terpencil yang bisa menghidupkan penduduk dari dua kampung sekaligus. Sumur yang tak pernah kering!
Kini, air di Sumur Atawatung masih tetap berlimpah. Tapi kita tak akan pernah lagi melihat warga uyel-uyelan atau UNO GENING ULI seperti dulu. Penduduk Mawa sudah ramai-ramai bikin bak untuk menampung air hujan yang kemudian diolah menjadi air minum. Kemudian ada lagi proyek instalasi penyulingan air laut menjadi air tawar di Desa Bungamuda yang jaringan pipanya menjangkau Mawa dan sekitarnya.
Romantika hidup anak kampung tempo doeloe, kewajiban menyetor jatah air minum untuk guru-guru SD, tak ada lagi. Tapi pengalaman masa kecil tentang air kehidupan, the water of life, dari Atawatung tetap melekat di dalam benak saya. Sampai kapan pun!
Pater Alex Beding SVD Pelopor Pers di NTT
Pater Alex Beding SVD adalah pelopor penerbitan pers di bumi NTT dengan surat kabar DIAN yang sekarang sudah padam alias tidak terbit itu. Pekan lalu (9/2/2011), pada peringatan Hari Pers Nasional di Kupang, NTT, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pater Alex Beding menerima salah satu penghargaan bergengsi di bidang pers.
Award atas jasanya mendirikan surat kabar dua minggu DIAN, yang kemudian berubah menjadi mingguan, di Kota Ende, Pulau Flores. “Tapi saya tidak ikut ke Kupang karena ada urusan di Jakarta. Saya cukup diwakili oleh Charles,” kata pastor kelahiran Lamalera, Pulau Lembata, 13 Januari 1924, ini kepada saya.
Pater Alex Beding SVD bangga sekaligus sedih atas penghargaan itu. Bangga karena jasanya sebagai pendiri, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi DIAN diingat pemerintah. Bangga karena pada awal 1970-an, ketika masyarakat NTT masih banyak yang buta huruf, dia bersama misionaris Societas Verbi Divini (SVD) mampu menerbitkan koran yang sukses di NTT.
Tapi, di pihak lain, Pater Alex Beding sangat sedih karena DIAN hanya tinggal nama. Jadi catatan sejarah karena sengaja “dimatikan” oleh pater-pater yang lebih muda. Pater Alex sendiri mengaku tidak diajak bicara dengan keputusan penting mematikan koran mingguan DIAN.
“Tahu-tahu saja DIAN sudah tidak terbit,” katanya memelas. “Ada kebijakan yang sangat berbeda. Saya juga sampai sekarang tidak paham apa pertimbangan mereka-mereka di Ende.”
Koran DIAN memang sangat terkenal di NTT, khususnya Flores dan sekitarnya. Selama bertahun-tahun DIAN menjadi bacaan keluarga kami di kampung, Lewotanah, tercinta. DIAN yang biasanya hanya dilanggan guru-guru SD di kampung biasanya dibaca ramai-ramai para murid SD, kemudian beredar ke mana-mana. DIAN menjadi sumber informasi terpenting di Flores hingga akhir 1990-an.
Menurut Pater Alex Beding, penerbitan pers di Flores sebenarnya sudah dimulai pada 1926 dengan BINTANG TIMUR. Majalah bulanan ini diterbitkan para pastor SVD yang berbasis di Ende. Sebuah keberanian yang luar biasa, boleh dibilang nekat, mengingat pada saat itu hanya segelintir orang NTT yang bisa baca-tulis.
Hanya guru-guru sekolah rakyat (SR) dan murid-murid SR yang bisa membaca. Plus pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Majalah BINTANG TIMUR ini menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia memang belum ada. Hebatnya, menurut Alex Beding, majalah ini dicetak di Jogjakarta dan distribusinya di NTT, khususnya Flores. Bisa dibayangkan biaya distribusi dan lamanya perjalanan dengan kapal laut dari Jawa ke Flores.
Usia BINTANG TIMUR tak sampai 20 tahun. Ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan sesudahnya, NTT yang waktu itu ikut Provinsi Sunda Kecil sama sekali tak punya pers. Tak ada majalah bulanan atau dua bulanan, tabloid, surat kabar. Orang NTT hanya bisa mengikuti informasi melalui radio. Dan, ingat, pada tahun 1950-an radio masih merupakan barang mewah. Dus, boleh dikata, masyarakat NTT benar-benar tak punya akses pada informasi di luar kampung halamannya.
“Sekitar 15 tahun kita di Flores, NTT, vakum dengan media. Orang tidak punya bahan bacaan. Kita mau baca apa?” ujar Pater Alex Beding SVD.
Frater Alex Beding, yang kala itu berusia 27 tahun, ditahbiskan sebagai pastor di Nita, Kabupaten Sika, pada 24 oktober 1951. Alex Beding tercatat dalam sejarah sebagai putra Lembata pertama yang berhasil ditahbiskan sebagai pastor.
Bakat menulis Alex Beding sudah lama diasah seperti juga pemuda-pemuda Lamalera, kampung pemburu ikan paus di Pulau Lembata, yang akhirnya bersekolah dan terlibat aktivitas intelektual. Pater Alex Beding yang masih muda dan energetik cukup lama menjadi pengajar Seminari Menengah Mataloko.
Sebagai pastor intelektual, Alex Beding risau dengan kegelapan yang sedang melanda NTT, khususnya Flores, termasuk Pulau Lembata, kampung halamannya. Sekolah-sekolah rakyat sudah dibuka, tapi masih sedikit. Ada lulusan SR yang disekolahkan di SGB dan SGA sebagai guru-guru desa. Mulai banyak orang NTT yang bisa membaca. Tapi, jika tidak ada bahan bacaan, maka kemampuan baca-tulis ini perlahan-lahan akan hilang. Orang akan menjadi lupa huruf.
Misi SVD di Ende punya Percetakan Arnoldus yang banyak menerbitkan buku-buku katekese untuk pembinaan jemaat Katolik. Tapi, bagi Pater Alex Beding, buku-buku ini terlalu mahal. Siapa yang bisa beli? Sementara rakyat Flores tidak punya uang, masih bergelut dengan kemiskinannya. Alih-alih membeli buku, untuk makan sehari-hari saja masih kurang.
“Saya pikir, satu-satunya jalan adalah membuat surat kabar. Media yang terbit secara rutin, isinya tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan, tapi tetap sejalan dengan pengembangan Gereja Katolik. Bagaimanapun juga sebagian besar orang NTT itu Katolik dan Kristen Protestan,” kenang Pater Alex Beding.
Pater Alex Beding kemudian mendiskusikan gagasan ini bersama Marcel Beding (sekarang almarhum), yang juga kerabatnya. Marcel ini wartawan kawakan yang bekerja di harian KOMPAS, Jakarta. Gayung bersambut. Mereka sepakat menciptakan sebuah dian, lampu kecil, yang akan menerangi masyarakat NTT.
Melalui serangkaian diskusi, negosiasi, perhitungan untung-rugi, analisis segmen pembaca, sistem distribusi, konten, sumber daya manusia, staf redaksi... akhirnya para pembesar SVD di Ende setuju menerbitkan sebuah surat kabar. Persiapan, uji coba, dilakukan tahun 1973.
Termasuk mengurus Surat Izin Terbit (SIT) kepada Kementerian Penerangan di Jakarta. Di masa Orde Baru, 1966-1998, semua penerbitan pers harus punya SIT, yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Bupati Ende Herman Joseph Gadi Djou juga merestui dan mendukung penuh penerbitan surat kabar ini.
Dan pada 24 Oktober 1974 edisi pertama DIAN mulai beredar di bumi NTT. DIAN akhirnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan majalah BENTARA pimpinan Pater Adrianus Conterius SVD. BENTARA ini pun media yang usianya tak sampai 15 tahun.
“Kok tanggal pendirian sama dengan tanggal tahbisan Pater Alex Beding di Nita?” pancing saya.
Sang pastor senior ini tersenyum lebar. “Sengaja dibuat sama agar gampang diingat. Hehehe...,” katanya.
Saat itu DIAN terbit dua mingguan dalam format majalah. Isinya hampir 100 persen tentang berbagai informasi yang terjadi NTT. Pater Alex Beding langsung berperan sebagai pemimpin umum, penanggung jawab, sekaligus menyeleksi dan mengedit naskah-naskah yang masuk. Alex juga akhirnya berhasil meyakinkan Ben Oleona, juga orang Lamalera, Lembata, keponakan Pater Alex Beding, untuk memperkuat redaksi DIAN di Jalan Katedral 5 Ende.
Prinsip kehati-hatian ala pastor-pastor SVD benar-benar diterapkan Pater Alex Beding dalam mengelola DIAN. Karena itu, dalam usianya yang hampir mencapai 30 tahun, DIAN tak pernah menghadapi masalah dengan pemerintah. Pun tidak ada gugatan ke pengadilan atau gangguan terhadap wartawan dan korespondennya.
“Saya bahagia karena sempat merayakan pesta perak, 25 tahun, DIAN. Saya juga bahagia karena penerbitan DIAN ini berlangsung lancar, mulus, hampir tidak ada masalah yang berarti. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik,” katanya.
Keberhasilan DIAN sebagai pers berpengaruh di NTT selama tiga dekade tentu tak hanya berkat kehebatan Pater Alex Beding dan teman-teman Lamaleranya. Pastor-pastor SVD yang berkarya di NTT mendukung penuh. Para pastor ini berperan di lapangan sebagai agen dan distributor. Gereja-gereja baik di paroki maupun stasi menjadi oulet DIAN.
Guru-guru SD di kampung-kampung, yang dulu juga merangkap sebagai katekis-katekis ulung, ikut menjadi pelanggan dan penyalur. Sebuah kerja sama lintas sektoral ala total football yang membuat DIAN mampu berjaya ketika begitu banyak media di luar NTT yang senen-kemis, kemudian gulung tikar, karena kekurangan pembaca dan modal.
Namun, sejarah terus berulang! Nasib DIAN pun pada akhirnya mengikuti jejak BINTANG TIMUR dan BENTARA. Sama-sama meredup, kemudian padam, ketika sang pendirinya kian rapuh dimakan usia.