Tampilkan postingan dengan label Lamaholot Lembata Flotim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lamaholot Lembata Flotim. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Mei 2024

Sembahyang Ama Dewa Lera Wulan - Bapa Kami Bahasa Lamaholot

Tite ata Lamaholot toi sembahyang Pater Noster bahasa Latin, Bapa Kami bahasa Indonesia, Rama Kawula bahasa Jawa, Our Father Who Art In Heaven bahasa Inggris.

Bapa Kami bahasa Lamaholot? 

Go hapal hala. Go koi hala. 

Tuan-tuan pater, katekis rae lewo nolo ajar ribu ratu sembahyang bahasa Melayu (Indonesia). 

Koda kiring sembahyang lohumen pe take. Ata Jawa Katolik nong misa bahasa Jawa. Ata Batak misa bahasa Batak. 

Ata kiwanen Lamaholot misa bahasa Lamaholot? Ehhh... take paera.

Versi Bahasa Indonesia:

Kita orang Lamaholot (Flores Timur dan Lembata) saban hari sembahyang Bapa Kami pakai bahasa Indonesia. Dulu biasa disebut bahasa Melayu oleh orang-orang tua di kampung.

Selain bahasa Indonesia, orang Katolik di seluruh dunia hafal Pater Noster bahasa Latin. Kalau tidak hafal bisa baca di buku Puji Syukur atau Madah Bakti. Di internet lebih gampang menemukan teks Pater Noster.

Saya yang sudah lama di Jawa pun sudah biasa berdoa Rama Kawula di misa bahasa Jawa. Our Father Who Art in Heaven - Bapa Kami bahasa Inggris - pun saya hafal. 

Tapi Bapa Kami bahasa Lamaholot?

Saya tidak hafal. Bahkan saya tidak pernah tahu ada Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot. Di buku-buku pun tidak ada. Angkatan bapak dan kakek saya pun tidak tahu sembahyang pakai bahasa daerah.

Belakangan baru ada beberapa orang Lamaholot yang mengarang sendiri sembahyang Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot. Ada Lamaholot versi Ile Boleng (Adonara), Ile Mandiri (Larantuka), Ile Ape (Lembata), Solor dan sebagainya.

Tidak ada Bapa Kami versi resmi dalam bahasa Lamaholot. Misa dalam bahasa daerah Lamaholot pun tidak ada. Semuanya dalam bahasa Melayu, kemudian bahasa Indonesia.

 Tempo doeloe semua misa pakai bahasa Latin.

Karena itu, saya kagum dengan orang Katolik di Jawa yang ada liturgi dalam bahasa Jawa. Semua doa-doa resmi Katolik ada versi bahasa Jawa. 

Bulan Mei ini bulan Maria. Sebulan penuh ada sembahyang rosario. Saya jadi teringat sembahyang Bapa Kami dalam bahasa Lamaholot.

Saya sendiri tidak hafal meski pernah berusaha mengulang-ulang Bapa Kami ratusan kali. Selain faktor usia yang kian menua, daya ingat berkurang, kata-kata Lamaholot yang dipakai dalam doa Ama Dewa Lera Wulan bukan bahasa sehari-hari tapi bahasa sastra kelas tinggi. Semacam krama inggil di Jawa.

Yang jelas, doa Bapa Kami versi Latin, Indonesia, Inggris, Jawa, Batak, Lamaholot dsb sebenarnya sama saja. Yesus dan murid-muridnya dulu pun tidak berdoa dan berkomunikasi dalam bahasa Latin atau Inggris.

Anehnya, kita tidak pernah diajari teks doa asli Bapa Kami dalam bahasa asli yang diucapkan Yesus Kristus saat mengajarkan doa itu kepada para muridnya. Makanya dulu waktu masih usia SMP saya mengira Yesus berbahasa Latin.


Senin, 20 Mei 2024

Merokok Mati, Tidak Merokok juga Tetap Mati - Budaya Golo Bako di Lamaholot NTT

Merokok itu sudah jadi budaya di Nusantara sejak zaman purbakala. Laki-laki Lamaholot di NTT kalau tidak merokok dianggap aneh. Setiap tamu yang datang ke rumah pertama kali disuguhi rokok klobot atau lintingan.

"Ama, pai golo bako ki," begitu sapaan orang kampung di Lembata Island, NTT, yang lewat di depan rumah, pondok, gubuk dan sebagainya.

"Golo bako ki" (ngelinting tembakau dulu) menjadi sapaan santun. Semacam unggah-ungguh. Bako arti awalnya tembakau tapi bisa juga rokok.

Siapa saja yang lewat diajak "golo bako" meski orang baru atau belum kenal. Kita dianggap tidak sopan di Lembata (dulu) kalau tidak mengajak orang laki untuk merokok sejenak di rumah.

Bagaimana kalau tidak ada "bako" di rumah? Jangan khawatir. Bisa minta atau pinjam di tetangga sebelah. Nanti dikembalikan atau tidak urusan belakang.

Begitu berakarnya "budaya golo bako" sehingga sulit melarang orang-orang kampung untuk berhenti merokok. Meskipun dikasih tahu ada banyak racun, bahaya nikotin, tar dsb, orang kampung sulit percaya. 

Karena itu, peringatan pemerintah di bungkus rokok, gambar orang yang mulutnya rusak, kena kanker dsb dianggap angin lalu. Golo bako (merokok) dianggap sudah dilakukan nenek moyang.. dan bukan masalah.

Para perantau Lamaholot yang mudik biasanya didatangi orang kampung. Pertanyaan pertama, "Bako tega nai?" (rokoknya mana?)

Kalau lupa membawa oleh-oleh rokok, ya, terpaksa beli rokok di kios. Budaya golo bako (ngelinting rokok) tidak lagi harfiah seperti dulu. Sekarang rokoknya kebanyakan buatan pabrik di Kediri atau Kudus atau Surabaya. 

Golo bako koli - ngelinting daun siwakan - sudah jarang dilakukan generasi muda. Sebab, Gudang Garam, Wismilak, 234, Djarum jauh lebih nikmat dan nagih, katanya.

Saya teringat budaya golo bako di Lembata setelah ngobrol dengan Dukut Imam Widodo di Surabaya. Lelaki asal Malang ini sangat terkenal sebagai penulis buku-buku berbau tempo doeloe. Soerbaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe... dan masih banyak lagi.

Dukut sedang mempersiapkan buku berjudul Ngrokok Matek, Gak Ngrokok Matek". Judul yang menarik meski berlawanan dengan peringatan pemerintah.

"Saya memang sengaja memilih judul yang kontroversial," katanya enteng.

Dukut Imam Widodo kemudian menulis:

"Saya sudah berhenti merokok sejak usia 50 tahun.

Lantas melalui buku ini apakah saya akan menganjurkan Sampeyan untuk berhenti merokok? Nggak blas!

Sampeyan katene ngrokok, yoo sak karepmu. Gak katene ngrokok, yoo sak karepmu.

Masalahnya, saya punya saudara sepupu perokok berat. Ia meninggal di usianya yang relatif masih sangat muda 40 tahun. Padahal kariernya sedang menanjak.

Di samping itu saya pun mempunyai saudara sepupu pula yang meninggal pada usia 40 tahun juga. Padahal dia sama sekali bukan perokok.

Mbah Sumo, mbahnya kerabat saya, sepanjang hidupnya adalah perokok berat. Rokoknya klobot, mbakonya rajangan yang dibeli di Pasar Bandar.

Suatu ketika salah seorang cucunya, menemukan Mbah Sumo sudah wafat di gubug sawah. Jari-jarinya masih menjepit sebatang rokok klobot yang masih menyala.

Usia beliau ketika meninggal menginjak 80 tahun. Sudah jelas kiranya bahwa: Hidup dan matinya manusia itu hanya ada di tangan Tuhan.

Kesimpulannya: "Ngrokok Matek, Gak Ngrokok yoo Tetep Matek".

Selasa, 07 Mei 2024

Suster Maria Lourdes Uran MC dari Lembata Ketua Yayasan Santa Clara di Surabaya

Bapaknya suster ini sebetulnya satu desa dengan saya di Lomblen Island alias Pulau Lembata, NTT. Cuma beda kampung atau dusun. Kami di bukit, mereka di tepi pantai.


Namun, Ama Bean pada tahun 70-an pindah ke Lewoleba, sekarang ibu kota Kabupaten Lembata. Ama Niko, bapaku, tetap betah jadi orang desa meski sering diajak pindah ke kota yang ada listrik dan lebih maju.

 Ama Niko kemudian membeli tanahnya Ama Bean di Desa Lamawara dan bangun rumah di situ. Lokasinya dekat pantai dan sumur. Kampung nenek moyangku jauh di bukit. Jauh dari sumur dan pantai.

Ama Bean punya beberapa anak yang sangat cerdas - ukuran NTT. Salah satunya Lourdes. Cita-citanya jadi biarawati terkabul. Lourdes akhirnya berhasil menjadi Suster Maria Lourdes Uran, M.C.

 Kongregasi atau ordo Misionaris Claris. Biasa dikenal dengan Susteran Santa Clara.  Mereka punya 12 atau 15 sekolah di Surabaya, Klaten, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat.

Suster Maria Lourdes Uran MC sudah lama dipercaya jadi Ketua Yayasan Puspita Kencana. Yayasan inilah yang mengelola semua sekolahan Santa Clara di seluruh Indonesia.

Gak nyangka ada orang Lembata jadi pimpinan yayasan yang cukup terkenal di Surabaya. Sementara (hampir) semua orang Surabaya tidak tahu di mana Pulau Lembata itu.

Dulu saya tinggal di Ngagel Jaya Selatan. Gerejanya di Paroki SMTB (Santa Maria Tak Bercela) yang pernah dibom pada 13 Mei 2018 itu. Gereja itu dempet Susteran MC dan sekolahan Santa Clara.

Sekali-sekali saja saya bertemu Suster Lourdes. Sekaligus praktik bicara bahasa daerah Lamaholot yang makin kagok saking lamanya merantau di Jawa. 

Setelah pindah ke Gedangan, Sidoarjo, kemudian pindah lagi ke kawasan Rungkut, saya tak pernah lagi bertemu suster yang masih keluarga jauh ini. Sebab parokiku memang tidak lagi di Ngagel.

Entah mengapa, tadi malam saya bermimpi ketemu Suster Maria Lourdes Uran. 

Mungkin saya diingatkan untuk sembahyang kontas (istilah di kampungku untuk doa rosario) karena bulan Mei adalah bulan Maria. Orang Lembata saban hari sembahyang kontas setiap bulan Mei dan Oktober.

Ina Maria, peten kame ata nalan.
Bunda Maria, ingatlah kami orang berdosa.

Jumat, 03 Mei 2024

Bahasa Nagi atau Melayu Larantuka Bermula dari Bahasa Para Pengungsi dari Melaka (Malaka) Malaysia


Tiga atau empat hari ini ada diskusi menarik tentang bahasa Nagi atau Melayu Larantuka di salah satu grup media sosial. Saya baca komen-komen warganet. Ada yang bagus, ilmiah, tapi banyak juga yang asbun: asal bunyi.


Ini era post-truth. Mana yang benar, mana yang ilmiah, hoax, campur aduk di media sosial. Kita harus pandai-pandai menyaring informasi di dunia maya. Termasuk soal bahasa Nagi alias Melayu Larantuka ini.

Saya pun membuka kembali buku lama: Kamus Bahasa Nagi disusun oleh Ade Kaka Lamury. Mau ngecek kata "eja". Ada komen di grup Flores Timur yang ngotot bilang "eja" itu bahasa Nagi - artinya teman, kawan, sahabat, rekan.

Padahal, setahu saya "eja" itu bahasa Ende. Saya periksa Kamus Bahasa Nagi memang tidak ada kata "eja". Biasanya kata populer seperti kata ganti orang ada di kamus. Saya yang pernah tinggal lima tahun di Larantuka pun tidak pernah dengar orang Larantuka bilang "eja".

Ya, sudahlah, warganet bebas bicara!

Gara-gara buka Kamus Bahasa Nagi itu, saya membaca tulisan Dr Yan Riberu di kata pengantar. Orang Nagi berasal dari Malaka (Melaka), menurut tradisi lisan, tulis Yan Riberu.

Ketika kehidupan beragama (Katolik) agak terdesak, kelompok Katolik dari Malaka mengungsi ke tempat lain agar dapat menjalankan ibadah agamanya secara bebas. 

Sebagian pengungsi mengikuti jalan laut menuju ke timur melalui Gresik dan Makassar. Dari Makassar pengungsi terbagi. Ada kelompok yang berlayar terus ke timur ke arah Kepulauan Maluku. Ada sebagian yang berlayar ke selatan dan akhirnya terdampar di Larantuka, Konga, dan Hure.

Di tiga tempat itu, kata Yan Riberu, mereka bertahan hidup sebagai pendatang dan berusaha meneruskan tradisi keagamaan dan peradaban dari wilayah asalnya. 

Agama yang dianut adalah Katolik. Di tempat yang baru mereka tetap menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya. Karena tidak banyak hubungan dengan wilayah luar, maka kelompok-kelompok ini memelihara dan mengembangkan tradisi keagamaannya sendiri. 

Sampai sekarang masih dapat dilihat tradisi keagamaan itu baik di Larantuka maupun Konga dan Hure. Khususnya Semana Santa atau Pekan Suci Paskah. Tradisi keagamaan sejak zaman Portugis itu menjadi ciri khas yang unik di Larantuka.

Bagaimana dengan bahasa Nagi?

Dr Yan Riberu menjelaskan, bahasa Nagi pada dasarnya adalah bahasa Melayu. Namun, dalam perkembangan sejarah bahasa ini dipengaruhi oleh bahasa para misionaris Portugal dan kemudian bahasa-bahasa setempat.

"Namun, sampai sekarang kandungan bahasa Melayu masih tetap dominan dalam perbendaharaan kata-kata bahasa Nagi," kata Yan Riberu asli orang Nagi.

Yan agak prihatin karena banyak generasi muda Larantuka, Konga, dan Hure sudah tidak terlalu memahami dan menghayati tradisi suku bangsa dan bahasanya. Karena itu, Kamus Bahasa Nagi jadi penting sebagai salah satu usaha untuk mempertahankan bahasa yang asalnya dari Malaka/Melaka (Malaysia).

Bahasa-bahasa di mana pun selalu menyerap kata-kata dari bahasa lain. Tak terkecuali bahasa Nagi dengan tidak menghilangkan ciri khas bahasa Melayu. Identitas kebahasaan, bahasa Melayu, hendaknya dipertahankan dalam pergaulan sehari-hari.

Sabtu, 27 April 2024

Ancis Matarau Penyanyi Pop Lamaholot Asal Ile Ape, Lembata, yang Sedang Naik Daun di NTT



Salah satu penyanyi pop daerah Lamaholot yang tengah naik daun adalah ANCIS MATARAU. Lagu-lagunya kebanyakan berbahasa Lamaholot. Karena itu, Ancis sangat populer di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, NTT, daerah yang penduduknya berbahasa Lamaholot.

Artis Lamaholot lain yang lebih dulu ngetop adalah FELIX MATARAU. Sekian tahun lalu Felix mempopulerkan lagu pop Lamaholot gaya dolo-dolo dengan hitsnya Nona Masih Kecil. Ada beberapa seri lagu Nona Masih Kecil dibuat setelah album pertama booming di bumi Lamaholot dan NTT umumnya.

Saya mulai kenal Ancis Matarau setelah mendapat kiriman video dari seorang perantau asal Adonara di Jawa Timur. Mela tua, katanya. (Sangat bagus).

Lagu berjudul Selen Ro ciptaan Pastor Markus Solo Kewuta SVD itu terasa lebih segar saat dibawakan Ancis Matarau. Pater asal Lewo Uran, Flores Timur, yang jadi staf kepausan di Vatikan, itu senang bukan kepalang. Sebab lagu Selen Ro ciptaannya mendapat sambutan luar biasa di NTT.

Pastor Markus Solo Kewuta SVD menulis:

"Cita2 panjang di Roma utk menciptakan sebuah lagu tari Selen Lamaholot yang bernapas panjang dan disukai banyak orang ternyata terpenuhi. Syukur Tuhan utk inspirasi unik waktu itu.

Terima kasih Ade Ancis Matarau dan Ade Univilson untuk kerja sama jarak jauh yang produktip. Semangat untuk semua penggemar di mana saja berada."

Setelah dua tahun lebih menikmati lagu-lagunya di YouTube, akhirnya saya bisa ngobrol singkat dengan Ancis Matarau. Obrolan langsung nyambung pakai bahasa Lamaholot gaya Ile Ape.

 Penyanyi dan musisi ini ternyata berasal dari Desa Waiwaru, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata. Satu kecamatan dengan saya. Cuma beda desa. Desaku di pantai utara, sedangkan desanya di selatan.

Saat ini Ancis Matarau tinggal di Maumere. Proses kreatif, cipta lagu, aransemen musik dan sebagainya dilakukan di Maumere. Dia punya Matarau Entertainment yang memproduksi lagu-lagu pop berbahasa Lamaholot. Belakangan ada juga yang berbahasa Nagi (Larantuka) dan bahasa Indonesia.

Luar biasa! Anak-anak muda Lembata ternyata mampu melejit di era digital ini. Dulu waktu aku masih kecil belum ada penyanyi atau musisi Lembata yang mampu bikin karya musik yang bagus dan dikenal publik secara luas.

Ancis Matarau sudah berhasil "soga naran lewo tana titen" - mengangkat nama baik kampung halaman kita.

Terima kasih, Ama Ancis!


SELEN RO

Ciptaan : Pastor Markus Solo Kewuta SVD
Vocal : Ancis Matarau

Ore o o soka ro sare sare
Soka ro sare sare 
soka soka sokaro
taro sare sare 

O re oo seleno lere lere
Seleno lere lere
Selen selen selen 
Taro lere lere

Pana peken inam nimun
Gawe lupan amam nawan pia lango tobo
Pana peken inam nimun 
Gawe lupan amam nawan pia lango tobo

Ore o..oo.. Lenso selen ro
Lenso selen ro
Selen selen selen 
ari ana titen

Ore o seleno lere lere
Seleno lere lere 
Selen selen selen
taro lere lere

Pana maan sare sare
 maro pate pulo ina ama wahan kae
Gawe maaro mela mela 
maan helo lema kaka ari wahan kae

Kamis, 25 April 2024

Pantun Lamaholot Punya Nilai Sakral, Koda Kiring Nuba Nara



Pagi ini, Kamis 25 April 2024, hujan lumayan deras di Surabaya. Bahkan hujan sejak Rabu malam. Aneh, jelang musim kemarau malah hujan hampir saban hari.

Rencana gowes ke kawasan Bandara Juanda, Buncitan, Segoro Tambak, Tambak Oso, Gunung Anyar, Rungkut pun berantakan. Terpaksa baca-baca cari informasi dan lagu-lagu Lamaholot di YouTube.

Tiba-tiba muncul pesan dari Paulus Latera Manuk. Ama guru SMA Petra 4 Surabaya itu tinggal di Pondok Jati Sidoarjo. Asli Botung, Adonara Barat. Meski sudah puluhan tahun tinggal di Jawa, Ama Paulus sangat cinta bahasa Lamaholot.

Ama Paulus, seperti biasa, membagi pantun Lamaholot. "Mela tua," saya kasih jempol untuk guru bahasa Indonesia itu. Mela tua artinya sangat bagus, very good.

Wulo nubun belang baran
Beton denge koda
Beton kaan denge koda
Leik lali raran kae

Kopi hokeng wauke banget
Gula jawa kemi kee
Gula jawa kemi kee
Kakan dike arin sare. 

 Wulo nubun belang baran
Beton denge koda
Beton kaan denge koda
Leik lali raran kae

Wai rae ba bele
Ba hau go gawe rehik
Ba hau go gawe rehik
Anak mari tite bala take

Eeeee Tina le oa Tina leee
Tina lega ake doan bain Tina leee
Puken Tina na balik hala leee
Tina lega ake doan bain Tina sayang

Ama Paulus Latera Manuk berpesan kepada angkatan muda Lamaholot, khususnya generasi Z, agar tidak melupakan bahasa, budaya, adat istiadat, kearifan lokal Lamaholot. 

Jangan sampai ada orang muda Lamaholot yang tidak bisa berbicara dalam bahasa Lamaholot.

"Pantun-pantun harus dalam bahasa Lamaholot. Nilai sakral akan sangat terasa. Goe koda kirin ihike semisal bahasa Jawa halus. Sarat makna dan penuh pesan moral," katanya.

"Lagu-lagu titen Lamaholot ne penuh dengan koda nuba nara," kata Ama Paulus.

Selasa, 23 April 2024

Dolo Sidiridi Namang - Soka Seleng Mura Lewo Rame Tanah Sampe Seni Tawa Gere


Dolo-dolo ini lagu daerah berpantun khas etnis Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, NTT. Setiap ada pesta apa pun selalu ada acara tarian massal "dolo-dolo sampe lera gere": dolo-dolo sampai matahari terbit.

Saking populernya dolo-dolo, Bapak Mateus Wari Weruin (RIP), komposer yang juga guru SPG Frateran Podor, Larantuka, membuat komposisi musik liturgi bertajuk Misa Dolo-Dolo dalam bahasa Indonesia. 

Lagu ordinarium Misa Dolo-Dolo ini sangat terkenal di kalangan umat Katolik di seluruh Indonesia. Kor-kor Katolik di Jawa pun sering membawakan lagu liturgi dolo-dolo karena enak dan mudah.

Belakangan saya lihat lagu dan tarian dolo-dolo makin viral di media sosial khususnya di kalangan para perantau asal NTT. Khususnya asal bumi Lamaholot macam saya.

Tim paduan suara NTT tahun lalu juga sukses di Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) tingkat nasional dengan lagu bergaya Dolo-Dolo Soka Selen. Dolo-dolo Gampang Hala paling viral di Batam dan Malaysia, khususnya Sabah dan Serawak.

Saya sendiri terkesan dengan Dolo Sidiridi Namang ciptaan Bung Siprianus alias Spidol asal Pulau Solor. Syair dan melodinya benar-benar pas dengan pengalamanku semasa kecil di pelosok Pulau Lembata. 

Kemampuan bahasa Lamaholot saya yang berkurang karena terlalu lama merantau akhirnya muncul lagi setelah menikmati lagu Dolo-Dolo Sidiridi Namang.

Liman pai moe sorong liman pai
Gere dolo-dolo pia namang tukan 
Peheng liman moe tiro liang namang
.......... 
Soka seleng mura lewo rame tana
Mura lewo rame tana
Sampe seni tawa gere

BACA JUGA


Sabtu, 20 April 2024

Larantuka Lewo Namang, Nagi Tua Punya Nama - Torang Mati di Kaki Tuan



Larantuka Kota Reinha. 

Kota di ujung timur Pulau Flores yang punya tradisi devosi kepada Bunda Maria yang sangat kuat. Tradisi yang diperkenalkan oleh misionaris Ordo Dominikan dari Portugis pada tahun 1510-an.

Saya punya banyak kenangan mendalam dengan Larantuka. Semasa SMP tinggal di San Dominggo. Dekat dengan kompleks Dioses Larantuka di Bukit San Dominggo itu.

Ibu Mia Riberu sering bercerita tentang betapa hebatnya Reinha Maria yang melindungi Nagi Larantuka dari serangan musuh. Betapa kekuatan doa, iman yang kokoh, mampu membuat musuh bertekuk lutut.

Kontas ganti ajimat!

Kontas artinya rosario. Sembahyang kontas jangan dilupakan. 'Kontas itu punya kekuatan luar biasa," kata Ibu Maria Riberu yang saya anggap sebagai guru bahasa Nagi alias Melayu Larantuka saya.

Hebat sekali gaya bercerita Ibu Mia Riberu di San Dominggo dulu. Khususnya tentang Larantuka Kota Reinha. Kota yang sudah diserahkan kepada Reinha Maria alias Tuan Reinha alias Tuan Ma. 

Cerita kenangan semasa SMP San Pankratio (sore) itu muncul lagi setelah saya menonton video klip lagu berjudul Larantuka Punya Reinha karya MM Weruin dan FK Fernandez. Syairnya berbahasa Nagi.

Cerita tentang Tuan Reinha melindungi Nagi Larantuka dari serangan musuh. Tuan Reinha datang dengan pedang api bernyala. Musuh pun gentar. Larantuka selamat.

LARANTUKA PUNYA REINHA
Ciptaan MM Weruin/FK Fernandez


1. Misi Solor telah lenyap
Benteng Lohayong saksi nyata
Kaka aring pindah agama
Bale serang Kota Reinha

Larantuka Sikka Paga
Lagi Wure dengan Konga
Siap siaga dalam bertahan
Berdiri teguh di dalam iman

LARANTUKA LEWO NAMANG
NAGI TUA PUNYA NAMA
TUAN REINHA TUAN ANA
TORANG MATI DI KAKI TUAN

2. Raja dengan Confreria
Keka dinde renu semua
Tiap hari tetap berdoa 
Dalam tori dalam kapela

Angkat hati pada Allah
Serah diri pada Reinha
Kru dan kontas ganti ajimat
Rela mati untuk agama

LARANTUKA LEWO NAMANG...

3. Pesa penya San Dominggo
Tempat somba dudo mendeko
Kapal musuh di ujung tanjo
Bapa sentidu mama besindo

Hela genta memberi segna
Rede genta tambah semangat
Asa pesa sambil permesa 
Tiro tiro jo lalu ponta

LARANTUKA LEWO NAMANG...

4. Tuan Panje Lui Anrada
Minta berkat dari Allah
Tuan Sisu Kapitan Jentera
Kumpu renu kipa Belanda

Liat Tuan Reinha datang
Lindo Nagi Larantuka
Lagi anyo diguarda
Dengan pedang api bernyala

LARANTUKA LEWO NAMANG..

16 Pantun Lamaholot Khas Felix Matarau di Lagu Dolo-Dolo Nona Masih Kecil 2

 


Makin banyak lagu-lagu daerah NTT dimuat di media sosial. Khususnya YouTube. Setiap kabupaten punya lagu pop daerah sendiri-sendiri. Semuanya punya penggemar.

Lagu pop Lamaholot pun banyak sekali di YouTube. Irama dolo-dolo paling aku suka karena sangat khas Lamaholot - Flores Timur dan Lembata. Beda dengan pop biasa yang cuma syairnya saja dalam bahasa daerah.

Salah satu lagu dolo yang aku suka adalah Nona Masih Kecil 2 ciptaan Felix Matarau. Seniman asal Lembata ini dulu viral dengan Nona Masih Kecil 1, Nona Masih Kecil 2, Nona Masih Kecil 3, 4, dan seterusnya.

Refrein lagu pakai bahasa Nagi (Melayu Larantuka), sedangkan pantun-pantunnya berbahasa Lamaholot. Pantunnya bikin geli orang mengerti bahasa Lamaholot karena terkesan "agak nakal" dan ada humornya.

Seorang pemuda dan pemudi berbalas pantun. Si cowok merayu dan si cewek me jawab. Pemudanya kadang agak maksa tapi si nona yang masih kecil malah menjawab secara dewasa.

"Janji herun rema tukan (janji ketemu tengah malam)

Padu take di mela hae (tak ada damar - lampu - pun tak mengapa)

Soot ake hae roi (takut ada yang lihat)"


Aku cermati lagu Nona Masih Kecil 2 ini lebih panjang ketimbang lagu dolo-dolo Lamaholot lain di YouTube. Durasinya hampir 10 menit. Tidak lazim untuk lagu pop yang biasanya cuma 4 atau 5 menit.

Namun, di sisi lain, ada bagusnya karena lagu ini dicipta untuk keperluan tarian dolo-dolo. Setiap ada pesta di kampung atau acara apa saja biasa dimainkan. "Dolo-dolo sampe lera gere" - dolo-dolo sampai matahari terbit.

Total ada 16 pantun. 

Felix Matarau dari Lembata merayu lalu dijawab Ary Diaz penyanyi wanita asal Larantuka. Luar biasa kreatif Felix ini. 

Dia salah satu seniman musik Lamaholot yang sangat populer di tanah Lamaholot, bahkan NTT umumnya. Profisiat!


NONA MASIH KECIL 2


Ciptaan Felix Matarau

Bes/C = do, irama tarian dolo-dolo


Refrein:


TEGA NONA MASIH KECIL

TATA GANTO CINTA SAMPE, SAMPE, SAMPE NONA BESAR

KALO NONA SUDAH BESAR

TATA BAWA CINTA  SAMPE, SAMPE 

SAMBO DAGING DARAH


(TATA E.. ADE, MAMA MASIH PIARA ) 2x


1. Manu goko wewan telo 

Ruat janji o go arik e

Lau kai go dore goko


2. Janji herun rema tukan 

Padu take di mela hae

Soot ake hae roi

(Ade.. ah.. mama masih piara)


3. Herun sare ti onem sare

Arik mapun o go tata e

Arik suka gali gali


4. Suka gali koon kerun lama nua

Rema reron glurek kala lone

Onem bura mara go sadar hala

(Tata.. ah.. mama masih piara) 


5. Tobo ledan lone lolon

Mapun gawak oh go arik e

Tata gawak gole gole


6. Ledan sampe puho wutun

Arik ledan go puho wutun

Puho gesek onek pia lesu loran

(Ade.. ah.. mama masih piara)


7. Sumpah mati go sanggup hala

Bisa hala o go tata e

Arik leta ake sampe


8. Goe pia be tawa gere 

Belek wati o go sayang e

Koi kuran ake paksa bain

(Tata.. ah.. mama masih piara)


9. Yonek peten pasti go sebako

Moe gali o go arik e

Koi kae go beto kala rema


10. Biar saja aman sumpa

Inam tani rema hode reron

Cinta kae marin tabe aku

(Ade.. ah.. mama masih piara)


11. Nuan nolo pe marin nafsu take 

Puken aku o go tata e

Sedon goe ata Jawa dai


12. Onem pia sewa mamun Flores

Puken ata budi adat sare

Soron gole asal koon moe

(Tata.. ah.. mama masih piara)


13. Ake beke ake kurang onem

Badan goe bura helo hala

Go penahin puken hama hala


14. Goe pia di miten bele

Miten goe helo moe hala

Koi kae ti go penahin onem

(Ade.. ah.. mama masih piara)


15. Onem pia di pasti rela

Marin saja o go tata e

Ake kurang ake perohon onem


16. Biar moe miten bele

Goe pia di peduli hala

Asal tata mo piara goe

(Tata.. ah.. mama masih piara)


BACA JUGA

Pantun dolo-dolo Lamaholot kenangan lama

Pantun Dolo-dolo Lamaholot Botung Lewo Lema

Pantun Dolo-dolo Lamaholot Paling Dicari di Blog Amahurek

Jumat, 19 April 2024

Pantun Lamaholot Adonara Botung Lewo Lema - Mengenang Almarhum Dr S. Belen

Oleh Guru Paulus Latera Manuk
Putra Botung di Sidoarjo

Tahun 2009 kaka almarhum Dr. S. Belen balik lewo tana. Beliau berkesempatan bertemu dan  berbagi cerita dengan guru-guru seluruh Pulau Adonara bertempat di aula Paroki Waiwerang.

 Sebelum acara dimulai beliau berkirim pesan dan meminta saya untuk mengirimkan koda kirin tou rua  untuk nae tayangkan sebagai prolog dan perkenalan. 

Lewuk tadon Adonara
Tanah nara nuha nebon
Lewo soron  goe lodo
Tana tapin goe balik

Teti koli lewo pulo
Lali Botung lewo lema
Tite kakan dano arin
Ake pepan ake paron

Bako kire bako kire
Sepat golo bako kire
Bako boleng koli botung
Sepat golo  bako kire

Almarhum S Belen dengan mantap membaca syair ini. Ternyata nae bangga sebagai putra Lamaholot sejati. 

Salam Lewotana!

BACA JUGA



Pantun Dolo-Dolo Lamaholot Paling Sering Dicari di Blog Ini

Blog amahurek.blogspot.com ini mangkrak cukup lama. Unggahan naskah sangat sedikit. Padahal blog yang baik minimal mengunggah dua naskah sepekan. Jangan sampai nol koma nol.

"Mengapa blogmu mati? Kok gak produktif kayak dulu? Terlalu sibukkah?" begitu pertanyaan kawan-kawan lama.

Sibuk sih tidak. Buktinya saya masih sering nonton YouTube satu sampai tiga jam saban hari. Apalagi kalau kontennya bagus. Kadang bahkan sampai pukul 01.00 masih tengok YouTube. Maklum, ada WiFi gratis.

Kamis, 19 April 2024. Saya iseng-iseng mengunggah postingan asal jadi. Sebab bulan April belum ada artikel sama sekali. Paling tidak Google yang punya Blogspot dan Adsense tahu bahwa amahurek.blogspot.com masih aktif.

Jumat pagi, saya cek Google Search Console (GSC). Memang ada dampaknya setelah ada tambahan beberapa naskah baru.

 Kunjungan naik 32%. Tayangan +33%. Penghasilan juga naik 355% ketimbang hari yang sama pekan lalu. Angkanya sangat kecil. Belum cukup untuk bayar parkir di Surabaya.

Yang tidak saya sadari - karena tidak pernah cek GSC - adalah pencarian tertinggi justru terkait budaya Lamaholot di Flores Timur dan Lembata, NTT. Padahal selama ini saya tidak pernah serius menggarap konten yang berkaitan dengan Lamaholot.

Bahkan, doa Bapa Kami Bahasa Lamaholot (versi Ile Ape) juga masuk 9 besar pencarian. Rupanya banyak orang Lamaholot atau NTT terseret masuk ke blog ini setelah mencari topik tertentu di Google. 

Naskah-naskah yang berkaitan dengan Surabaya, Malang, Jawa Timur boleh dikata kurang laku. Sebab sudah dihabisi oleh laman-laman besar dan portal berita di Surabaya, Malang, dan kota-kota lain di Jawa Timur. 

Cerita unik tentang maestro ludruk Cak Durasim yang tempo doeloe biasa tampil di Radio Nirom Surabaya pun tidak dilirik. Padahal, setahu saya belum ada unggahan lain di internet. 

Kawan-kawan yang jago SEO dan algoritma sering kasih nasihat: bikin blog atau website yang punya niche. Kontennya harus fokus. Kuliner ya kuliner tok. Wisata tok. Sepak bola tok. Persebaya tok. Jangan campur aduk kayak prasmanan.

Itu kalau main Adsense. Kalau tidak punya niche, prasmanan, isinya macam-macam ya angka kunjungan sangat rendah. Gak ada yang baca. Mbah Gugel gak akan kenal dan rekom.

Kelihatannya ke depan Amahurek harus lebih banyak memuat naskah tentang Lamaholot, Lembata, Flores Timur, Alor. Konten yang ada kaitannya dengan Lamaholot. 

Siapa tahu performanya jadi bagus  sehingga bisa bayar parkir di Pecinan Kulon.

 Pencarian di Google Search Console








Minggu, 14 April 2024

Paus di Kampung Lamalera Lembata vs Paus di Vatikan


Sudah lama paus tidak muncul di Laut Sawu. Pekan ini kelihatannya nelayan Lamalera di Pulau Lembata, NTT, panen beberapa paus. 

Onchu Namang bagi gambar ikan paus dari pantai Lamalera. Paus ini akan dipotong-potong dan dibagi untuk semua penduduk.

Saya sendiri meski asli Lembata tidak pernah melihat langsung paus di Lamalera. Maklum, kampungku di jauh di utara, pinggir Laut Flores, dan Lamalera di selatan, pinggir Laut Sawu. Kemunculan paus pun sulit diduga.

Saya cuma sekali lihat bangkai paus di Kenjeran, Surabaya.

Paus di Lamalera kerap dicocok-cocokkan dengan Paus di Vatikan. Kok bisa?

Agama Katolik kali pertama masuk Pulau Lembata ya lewat kampung Lamalera ini. Pater Bode SVD misionaris perintis itu. 

Pastor pribumi pertama Pater Alex Beding SVD asli Lamalera. 

Pater Alex Beding juga menerima penghargaan sebagai pendiri surat kabar pertama di NTT saat Hari Pers Nasional di Kupang beberapa tahun lalu.

Penyusun buku liturgi dan nyanyian Katolik pasca Konsili Vatikan II juga orang Lamalera: Marcel Beding (sempat jadi wartawan Kompas). Bukunya Syukur Kepada Bapa yang sangat populer di NTT (Indonesia) sebelum ada buku Madah Bakti (PML Jogja) dan Puji Syukur (KWI).

Penghasil pastor, bruder, suster terbanyak di Lembata, bahkan bisa jadi di NTT atau Indonesia, ya Lamalera ini.

Profesor pertama dari Lembata juga asal Lamalera: Prof Dr Gorys Keraf, pakar linguistik.

Menteri pertama dari Lembata juga asli Lamalera: Dr Sonny Keraf - Kabinet Megawati.

Orang Lamalera sudah terbiasa sembahyang malaikat tiga kali sehari. Bisa sembahyang sendiri atau bersama. Meskipun berada di pantai atau kebun, begitu mendengar lonceng angelus berbunyi, mereka langsung sembahyang "Maria diberi kabar oleh Malaikat Gabriel..."

Beda dengan di Jawa. Lonceng Angelus juga dibunyikan di gereja-gereja setiap pukul 06.00, 09.00, dan 18.00. Tapi saya lihat tidak ada yang sembahyang malaikat meskipun berada di lingkungan gereja.

Nelayan-nelayan Lamalera juga sembahyang misa dulu sebelum pergi jauh memburu koteklema alias ikan paus. Ada gereja bagus di pinggir pantai. 

Boleh jadi daging paus mengandung unsur kimia tertentu yang membuat kecerdasan orang Lamalera di atas rata-rata. Haleluya!

Jumat, 05 Januari 2024

Gadis Lamaholot memakai "kwatek" di Gereja Kayutangan

Wanita-wanita suku Lamaholot biasa pakai kwatek saat misa atau ibadat sabda di gereja. Kebiasaan lama ini masih bertahan sampai sekarang meski gadis-gadis remaja agak jarang pakai kwatek.

Kwatek itu sarung dari tenun ikat buatan mama-mama di kampung. Ada kwatek kiwanen: kwatek asli yang 100 persen bahannya diambil dari hasil bumi di kampung. Mulai kapas, pewarna hitam, kuning, biru.. memintal benang, menenun hingga jadi kain semuanya manual.

Kwatek kiwanan ini makin langka di era modern. Tahun 90-an mama-mama jalan kaki sambil "tue lelu" - memintal kapas jadi benang. Saat ini pemandangan masa kecilku itu hampir tak ada lagi. Sudah bisa dihitung dengan jari tangan.

Karena itu, dibuatlah kwatek muringen atawa sarung modern. Kain sarung dibuat pakai ATBM - alat tenun bukan mesin. Kainnya halus, bagus, modern. Tapi nilainya jauh berbeda dengan "kwatek kiwanen" yang asli 100 persen buatan sendiri di kampung itu meski teksturnya agak kasar.

Kwatek alias sarung Lamaholot sudah jadi busana wanita untuk acara-acara resmi. Salah satunya misa di gereja. Begitu besarnya nilai misa atau kebaktian, orang Lamaholot tidak boleh memakai pakai sembarangan.

 Kaos oblong tidak boleh. Baju mahal tapi sporty atau kasual setengah dilarang. Saya sering ditegur gara-gara memakai kaos meski ada kerahnya. 

"Kaos atau t-shirt tidak boleh untuk misa. Lembata ini bukan Jawa," kata Christophora adik saya serius.

Saya pun disuruh pulang ganti baju. Disuruh pakai baju batik. Atau kemeja resmi. Barangsiapa yang pakai kaos oblong ke gereja akan jadi gunjingan. Bahkan dilarang terima komuni.

Nostalgia kwatek di bumi Lamaholot muncul lagi di Malang belum lama ini. Saya lihat ada gadis berwajah Lamaholot memakai sarung atau kwatek ke Gereja Kayutangan, Malang. 

Haleluya! Puji Tuhan!

 Ternyata ada wanita muda Lamaholot yang mengenakan kwatek ke gereja. Persis di Adonara, Solor, Lembata, Flores bagian timur, Alor. Anak muda, generasi Z, yang saban hari main media sosial ternyata masih mempertahankan budaya Lamaholot. Kalau masih di NTT mah biasa, tapi ini di Malang. Di Gereja Kayutangan yang berada di pusat Kota Malang.

Betul dugaan saya. Nona ini berasal dari Adonara Barat. Kuliah di Malang. Dia memang biasa pakai kwatek ke gereja. Ada juga beberapa wanita lain yang pakai kwatek tapi motifnya bukan Lamaholot.

Kami pun ngobrol dalam bahasa Lamaholot. Beda dialek, beda lagu, tapi kata-katanya masih sama dan bisa saling mengerti. Luar biasa "kebarek" (gadis) ini. Di Surabaya dan Sidoarjo saya tidak pernah melihat gadis-gadis NTT mengenakan kwatek atau sarung ke gereja.

Minggu, 24 Desember 2023

Sei Babi Flobamora di Kota Malang

Flobamora itu julukan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Akronim dari Flores, Sumba, Timor - tiga pulau utama (besar) di NTT. Lembata, Solor, Adonara, Alor, Pantar, Sabu, Rote dsb tidak disebut karena dianggap pulau-pulau kecil.

Bae sonde bae, Flobamora lebe bae!
Baik (atau) tidak baik, Flobamora lebih baik!

Begitu semboyan orang NTT untuk memotivasi diri. Biar ada sedikit kebanggaan daerah.

Lagu Flobamora juga selalu dinyanyikan setiap ada pertemuan keluarga besar NTT di mana saja. Setelah lagu Indonesia Raya disusul "Flobamora.. tanah airku yang tercinta. Tempat beta dibesarkan ibunda..."

Di Kota Malang kata Flobamora identik dengan babi. Sei babi. Babi asap. Smoked pork. 

Sei Babi Flobamora sangat terkenal di kalangan para perantau NTT. Yang bukan muslim pastinya. Kalau ingin makan B2 biasanya lari ke Sei Flobamora. Masakan B2 khas Tionghoa dirasa kurang cocok dengan lidah orang-orang Flobamora.

Dalam waktu singkat Sei Babi Flobamora sudah punya 4 outlet di Malang. Pusatnya di Jalan Brigjen Slamet Riyadi 45 Oro-Oro Dowo, Pattimura 36 eks terminal, Raya Langsep 17, dan Rampal Lapangan Brawijaya.

"Penggemar sei babi cukup banyak di Malang Raya. Tidak semuanya dari NTT," kata bung asal Kupang yang jaga oulet di Oro-Oro Dowo.

Babinya dapat dari mana? Pasti butuh banyak daging?

"Di pasar kan banyak dijual daging babi. Persediaan selalu ada, Bung," kata bung tadi.

Ayas jadi ingat orang Lamaholot di Pulau Lembata. Mereka rata-rata pelihara babi dan kambing alias wawe + witi. Tapi tidak ada orang kampung makan babi kecap, babi asap, kecuali kalau ada hajatan kematian atau pernikahan atau sambut baru (komuni pertama). 

Di Malang orang bisa makan nasi plus B2 saban hari... kalau duitnya cukup. Haleluyaaaa!!!

Sabtu, 21 Oktober 2023

Tuwo teperohon pai hokon tepe sayang




Setiap kali ada kabar dukacita di kampung halaman, saya selalu teringat lagu lama. Tuwo Teperohon.

Syair dan melodi lagu ini benar-benar mengiris kalbu. Bagi masyarakat berbudaya dan berbahasa Lamaholot. Sedih banget.

Louk loranga helo tani ata maten!
Air mata jatuh seperti sedang meratap di dekat jenazah keluarga yang meninggal.

Lagu lama ini punya beberapa versi di YouTube. Tapi saya lebih suka versi asli yang sangat populer di Flores Timur dan Lembata pada tahun 1980-an dan 1990-an. 

Kami biasa nyanyikan saat SD di kampung. Kadang syairnya diganti, dimodifikasi karena lupa syair aslinya. Tapi tetap saja diganti syair yang sedih bagai syair Ratapan di kitab suci.

TUWO TEPEROHON

Tuwo teperohon 
pai hokon tepe sayang 
kaan noneng gare nire 

Teti seran sorong 
hau lali neten nein 
kai marin kabe aku 

go pi helon kiden 
go pi sama nukak
bera neten gere 
oh dewa rera wulan 

go pi helon kunang 
go pi sama nawa
dela nadon gere 
oh guna tanah ekan 

Maan dopi toban 
mai liku weli pita 
maan pita teme netun
Maan gala batan 
mai lapak weli nawe
Maan nawe teme nelin

Go pi helon kiden 
go pi sama nukak 
bera neten gere
 oh dewa rera wulan 

go pi helon kunang 
go pi sama nawa
dela nadon gere 
oh guna tanah ekan

Rabu, 04 Oktober 2023

Terkenang Lagu Ina Maria di Bulan Rosario

Tak terasa sudah bulan Oktober. Orang-orang Flores di perantauan bagi lagu Ina Maria. Lagu devosi untuk Bunda Maria dalam bahasa Lamaholot. Bahasa daerah yang digunakan di Flores Timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata. 

Kita orang tidak asing dengan lagu tersebut. Saya bahkan pernah menulis notasi angka Ina Maria. Sebab dulu belum ada partitur paduan suara di Jawa Timur. Sementara banyak orang minta teks lagu dan notasi Ina Maria untuk sebuah acara keluarga besar Flores di Surabaya.

Meskipun tidak pandai main musik, saya agak lancar baca notasi angka. Not balok bisa kalau kunci C dan G. Saya juga bisa menotasikan lagu-lagu yang belum ada notnya. Mulai lagu pop, lagu liturgi, lagu daerah, lagu karismatik.

Lagu Ina Maria dikarang oleh Thomas Kwaelaga. Almarhum seorang seniman asal Desa Sandosi, Adonara Timur. Dari dulu Sandosi atau Lewokemie banyak melahirkan seniman Lamaholot. Banyak lagu daerah Lamaholot yang diciptakan orang Sandosi.

Nah, berbekal kaset lagu rohani Victor Hutabarat, yang ada lagu Ina Maria, saya mulai menulis notasi Ina Maria. Tulisan tangan cakar ayam. Tidak sampai satu jam selesai. Tinggal memperbaiki ketukan, panjang not, triol, dan sebagainya.

Lagu itu kemudian saya muat di blog lama. Ternyata dalam waktu singkat tersebar ke mana-mana. Khususnya di kalangan orang Katolik asal NTT, khususnya Flores dan Lembata, di perantauan. 

Maklum, itu tadi, para perantau biasanya tidak punya simpanan partitur. Padahal, semangat untuk menggereja sangat tinggi. Di mana-mana orang Flores aktif di paduan suara gereja di Jawa, Sumatera, Papua, Kalimantan hingga Malaysia.

Sudah sekian tahun saya tidak melihat partitur Ina Maria tulisan sendiri. Hingga muncul lagi di awal Oktober 2023 partitur Ina Maria aransemen Robert. Lagu pokok atau CF (cantus firmus) sama dengan imajinasiku dulu. Hanya aransemen SATB berbeda.

 Suasananya tetap haru khas Lamaholot. 

Lagu Ina Maria ini sekaligus jadi pengingat orang Katolik di mana saja akan Bulan Rosario. Sembahyang kontas saban hari sepanjang bulan Oktober... idealnya!

Rabu, 02 Desember 2020

Puisi di Tengah Erupsi Ile Ape

Erupsi Gunung Lewotolok atau Ile Ape di Pulau Lembata, NTT, Minggu pagi 29 November 2020 memang sangat dahsyat. Tinggi semburan bisa mencapai 5.000 meter.

Ribuan penduduk dari 26 desa panik. Buru-buru mengungsi ke Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Tak bawa bekal apa pun. Asal selamat nyawa. ''Tidak sempat bawa baju. Baju di badan saja,'' kata seorang wanita asal Desa Lewotolok.

Erupsi Ile Ape ini juga menjadi inspirasi bagi sejumlah seniman Lamaholot untuk menulis syair, puisi, lagu-lagu, hingga oreng (lagu ratapan tradisional).

Ama Paulus Latera di Sidoarjo, yang asli Adonara Barat, membagi puisinya yang berjudul Duka Lembata, Dukanya Lewotanah. ''Ini bentuk simpati saya untuk saudara-saudari di Lembata,'' katanya.

Yang sangat menyentuh hatiku adalah puisi berbahasa Lamaholot karya Kristiani Claris. Wanita asal Honihama, Adonara, itu memotret kepulan awan yang membubung tinggi di atas puncak Ile Ape. Menyemburkan abu vulkanik ke Adonara, Solor, hingga Larantuka. Kawasan yang jauh dari Lembata pun kebagian abu hangat. Biar sama-sama dapat pupuk alam gratis dari langit.

Bagi kami yang berbahasa Lamaholot, puisi itu sangat mengharukan. Apalagi para korban bencana alam itu keluarga sendiri. Hujan abu, material panas, dsb menimpa kampung halaman kita.

''Go louk loranga,'' komentar seorang teman dari Ile Ape. Artinya, air mataku jatuh (membaca puisi itu).


DUKA LEMBATA - DUKANYA LEWOTANAH

Ketika dentuman gelegar di puncak ile ape
Asap membumbung tinggi
Panas lahar membara
Bikin heboh tanah Lembata
Orang berlari tak tentu arah
Yang penting selamat dulu
Kali ini Ile Lewotolok
Bikin cerita
Untuk ribu ratu
Lembata berduka
Torang po iko menangis

Tuan Deo
Dengarkan jerit tangis anak2mu di sana
Ke mana lagi air matanya ditampung
Tuhan
Jeritan ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Kami berdoa
Kami berharap
PadaMu Ema Lera Wulan
Biar Lembata kembali damai
Sama damainya hati kami 
di masa Natal ini
Oh nuba pulo dan nara lema
Jaga lapak lewo tana kami
Kami cinta lewo tana
Air mata ribu ratu
Adalah tangis kami juga
Duka Lembata, dukanya lewotana 
Dukanya anak Lamaholot

----------- 
Puisi Kristiani Claris

Doan pia lewo honihama
Doan go belelen lile....
Belelen kaan onek te kerudun
Lile kaan yonhek te menange.
Lela pia suku lein laka matan
Lela go peroin marin....
Turun aku tou nuanen.
puken aku tou musinen...
Na tula luga, soron sera, nuru nonin,naan nuluyen te beleku naan manonen te geridin...
sape naan tube dop,
ribhun rathun ina wae ama lake kesin belen pelae gerame , todok walet ,goka lengat.
Naku..
Koda ake taan odun
kirin ake taan pute..
Pai tite hama-hama..
tobo golen pae gole..
pupu uku, tutu tapan, marin holo koda usu, kirin asa...
hobe boke puin holo koda di belaga laga, kirin dimeneso peso..
Ti koda ake nai data doan..
kirin ake nai hoan lela....
Doan hulen te perohon...
Lela lile te menange...

Selasa, 09 Juli 2019

Air Hidup di Sumur Atawatung

Gereja Stasi Atawatung, Ile Ape, Lembata, NTT. 


Cukup lama saya tertegun di samping Sumur Atawatung di Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini. Dua puluh tahun lebih saya tak sempat mampir di sumur yang pernah menjadi bagian hidup saya itu. Sumur yang berjasa menyediakan air bagi kami di kampung.

Saya perhatikan bagian dalam sumur. Oh, masa sama seperti masa saya SD di Mawa dulu. Ada tonjolan batu besar, dalamnya sekitar 15-20 meter. Airnya pun selalu berlimpah, apalagi di musim hujan seperti ini. Pelataran sumur diplester dengan bagus. Beda banget dengan pemandangan tempo doeloe.

Perbedaan mencolok justru di suasananya. Kali ini, di awal tahun 2011, hanya ada SATU orang ibu yang terlihat sibuk menimba air. Tiga ember hitam ditaruh di bibir sumur. Timbanya pun bukan NERA atau MAYA yang dibuat dari KOLI alias daun lontar (siwalan), tapi plastik. Nuansa khas pedesaan sudah tak ada lagi.

Pikiran saya pun langsung melayangkan ke masa lalu. Dulu, setiap hari puluhan orang selalu memenuhi Sumur Atawatung itu. Jangankan menaruh ember di bibir sumur, kita sangat sulit mendapat tempat untuk menimba air. Begitu ramainya, tali-tali timba selalu melilit ke sana ke mari, tali putus, timba jatuh... dan sebagainya. Ribet bukan main!

Orang-orang Mawa, yang jalan kaki hampir dua kilometer, sering cekcok mulut dengan orang-orang Atawatung, si empunya sumur, karena rebutan tempat. UNO GENING ULI. Hehehe.... Cekcok mulut yang justru menciptakan keakraban di antara penduduk Mawa dan Atawatung. Orang Mawa sebagai tamu sering tidak ‘tahu diri’ karena paling banyak menimba air sumur di Atawatung.

Habis mau timba air tawar di mana lagi? Syukurlah, Tuhan berbaik hati sehingga perigi sederhana itu bisa menghidupi penduduk dua kampung dari generasi ke generasi. Ditimba terus-menerus, sampai jauh malam, tapi stok airnya tetap ada. Di musim kemarau memang sumurnya agak mengering, tapi tidak sampai tandas sama sekali.

Ketika membaca atau mendengar cerita AIR KEHIDUPAN dalam Alkitab, Yohanes 4:1-42, yang selalu muncul di benak saya selalu Sumur Atawatung ini. Sungguh! Sebuah sumur di desa terpencil yang bisa menghidupkan penduduk dari dua kampung sekaligus. Sumur yang tak pernah kering!

Kini, air di Sumur Atawatung masih tetap berlimpah. Tapi kita tak akan pernah lagi melihat warga uyel-uyelan atau UNO GENING ULI seperti dulu. Penduduk Mawa sudah ramai-ramai bikin bak untuk menampung air hujan yang kemudian diolah menjadi air minum. Kemudian ada lagi proyek instalasi penyulingan air laut menjadi air tawar di Desa Bungamuda yang jaringan pipanya menjangkau Mawa dan sekitarnya.

Romantika hidup anak kampung tempo doeloe, kewajiban menyetor jatah air minum untuk guru-guru SD, tak ada lagi. Tapi pengalaman masa kecil tentang air kehidupan, the water of life, dari Atawatung tetap melekat di dalam benak saya. Sampai kapan pun!

Pater Alex Beding SVD Pelopor Pers di NTT




Akhirnya, saya bisa bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi Surabaya, Kamis (17/2/2011) siang. Pater berusia 87 tahun ini sangat terkenal bukan saja di Lembata atau Flores Timur, tapi juga di seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pater Alex Beding SVD adalah pelopor penerbitan pers di bumi NTT dengan surat kabar DIAN yang sekarang sudah padam alias tidak terbit itu. Pekan lalu (9/2/2011), pada peringatan Hari Pers Nasional di Kupang, NTT, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pater Alex Beding menerima salah satu penghargaan bergengsi di bidang pers.

Award atas jasanya mendirikan surat kabar dua minggu DIAN, yang kemudian berubah menjadi mingguan, di Kota Ende, Pulau Flores. “Tapi saya tidak ikut ke Kupang karena ada urusan di Jakarta. Saya cukup diwakili oleh Charles,” kata pastor kelahiran Lamalera, Pulau Lembata, 13 Januari 1924, ini kepada saya.

Pater Alex Beding SVD bangga sekaligus sedih atas penghargaan itu. Bangga karena jasanya sebagai pendiri, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi DIAN diingat pemerintah. Bangga karena pada awal 1970-an, ketika masyarakat NTT masih banyak yang buta huruf, dia bersama misionaris Societas Verbi Divini (SVD) mampu menerbitkan koran yang sukses di NTT.

Tapi, di pihak lain, Pater Alex Beding sangat sedih karena DIAN hanya tinggal nama. Jadi catatan sejarah karena sengaja “dimatikan” oleh pater-pater yang lebih muda. Pater Alex sendiri mengaku tidak diajak bicara dengan keputusan penting mematikan koran mingguan DIAN.

“Tahu-tahu saja DIAN sudah tidak terbit,” katanya memelas. “Ada kebijakan yang sangat berbeda. Saya juga sampai sekarang tidak paham apa pertimbangan mereka-mereka di Ende.”

Koran DIAN memang sangat terkenal di NTT, khususnya Flores dan sekitarnya. Selama bertahun-tahun DIAN menjadi bacaan keluarga kami di kampung, Lewotanah, tercinta. DIAN yang biasanya hanya dilanggan guru-guru SD di kampung biasanya dibaca ramai-ramai para murid SD, kemudian beredar ke mana-mana. DIAN menjadi sumber informasi terpenting di Flores hingga akhir 1990-an.

Menurut Pater Alex Beding, penerbitan pers di Flores sebenarnya sudah dimulai pada 1926 dengan BINTANG TIMUR. Majalah bulanan ini diterbitkan para pastor SVD yang berbasis di Ende. Sebuah keberanian yang luar biasa, boleh dibilang nekat, mengingat pada saat itu hanya segelintir orang NTT yang bisa baca-tulis.

Hanya guru-guru sekolah rakyat (SR) dan murid-murid SR yang bisa membaca. Plus pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Majalah BINTANG TIMUR ini menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia memang belum ada. Hebatnya, menurut Alex Beding, majalah ini dicetak di Jogjakarta dan distribusinya di NTT, khususnya Flores. Bisa dibayangkan biaya distribusi dan lamanya perjalanan dengan kapal laut dari Jawa ke Flores.

Usia BINTANG TIMUR tak sampai 20 tahun. Ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan sesudahnya, NTT yang waktu itu ikut Provinsi Sunda Kecil sama sekali tak punya pers. Tak ada majalah bulanan atau dua bulanan, tabloid, surat kabar. Orang NTT hanya bisa mengikuti informasi melalui radio. Dan, ingat, pada tahun 1950-an radio masih merupakan barang mewah. Dus, boleh dikata, masyarakat NTT benar-benar tak punya akses pada informasi di luar kampung halamannya.

“Sekitar 15 tahun kita di Flores, NTT, vakum dengan media. Orang tidak punya bahan bacaan. Kita mau baca apa?” ujar Pater Alex Beding SVD.

Frater Alex Beding, yang kala itu berusia 27 tahun, ditahbiskan sebagai pastor di Nita, Kabupaten Sika, pada 24 oktober 1951. Alex Beding tercatat dalam sejarah sebagai putra Lembata pertama yang berhasil ditahbiskan sebagai pastor.

Bakat menulis Alex Beding sudah lama diasah seperti juga pemuda-pemuda Lamalera, kampung pemburu ikan paus di Pulau Lembata, yang akhirnya bersekolah dan terlibat aktivitas intelektual. Pater Alex Beding yang masih muda dan energetik cukup lama menjadi pengajar Seminari Menengah Mataloko.

Sebagai pastor intelektual, Alex Beding risau dengan kegelapan yang sedang melanda NTT, khususnya Flores, termasuk Pulau Lembata, kampung halamannya. Sekolah-sekolah rakyat sudah dibuka, tapi masih sedikit. Ada lulusan SR yang disekolahkan di SGB dan SGA sebagai guru-guru desa. Mulai banyak orang NTT yang bisa membaca. Tapi, jika tidak ada bahan bacaan, maka kemampuan baca-tulis ini perlahan-lahan akan hilang. Orang akan menjadi lupa huruf.

Misi SVD di Ende punya Percetakan Arnoldus yang banyak menerbitkan buku-buku katekese untuk pembinaan jemaat Katolik. Tapi, bagi Pater Alex Beding, buku-buku ini terlalu mahal. Siapa yang bisa beli? Sementara rakyat Flores tidak punya uang, masih bergelut dengan kemiskinannya. Alih-alih membeli buku, untuk makan sehari-hari saja masih kurang.

“Saya pikir, satu-satunya jalan adalah membuat surat kabar. Media yang terbit secara rutin, isinya tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan, tapi tetap sejalan dengan pengembangan Gereja Katolik. Bagaimanapun juga sebagian besar orang NTT itu Katolik dan Kristen Protestan,” kenang Pater Alex Beding.

Pater Alex Beding kemudian mendiskusikan gagasan ini bersama Marcel Beding (sekarang almarhum), yang juga kerabatnya. Marcel ini wartawan kawakan yang bekerja di harian KOMPAS, Jakarta. Gayung bersambut. Mereka sepakat menciptakan sebuah dian, lampu kecil, yang akan menerangi masyarakat NTT.

Melalui serangkaian diskusi, negosiasi, perhitungan untung-rugi, analisis segmen pembaca, sistem distribusi, konten, sumber daya manusia, staf redaksi... akhirnya para pembesar SVD di Ende setuju menerbitkan sebuah surat kabar. Persiapan, uji coba, dilakukan tahun 1973.

Termasuk mengurus Surat Izin Terbit (SIT) kepada Kementerian Penerangan di Jakarta. Di masa Orde Baru, 1966-1998, semua penerbitan pers harus punya SIT, yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Bupati Ende Herman Joseph Gadi Djou juga merestui dan mendukung penuh penerbitan surat kabar ini.

Dan pada 24 Oktober 1974 edisi pertama DIAN mulai beredar di bumi NTT. DIAN akhirnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan majalah BENTARA pimpinan Pater Adrianus Conterius SVD. BENTARA ini pun media yang usianya tak sampai 15 tahun.

“Kok tanggal pendirian sama dengan tanggal tahbisan Pater Alex Beding di Nita?” pancing saya.

Sang pastor senior ini tersenyum lebar. “Sengaja dibuat sama agar gampang diingat. Hehehe...,” katanya.

Saat itu DIAN terbit dua mingguan dalam format majalah. Isinya hampir 100 persen tentang berbagai informasi yang terjadi NTT. Pater Alex Beding langsung berperan sebagai pemimpin umum, penanggung jawab, sekaligus menyeleksi dan mengedit naskah-naskah yang masuk. Alex juga akhirnya berhasil meyakinkan Ben Oleona, juga orang Lamalera, Lembata, keponakan Pater Alex Beding, untuk memperkuat redaksi DIAN di Jalan Katedral 5 Ende.

Prinsip kehati-hatian ala pastor-pastor SVD benar-benar diterapkan Pater Alex Beding dalam mengelola DIAN. Karena itu, dalam usianya yang hampir mencapai 30 tahun, DIAN tak pernah menghadapi masalah dengan pemerintah. Pun tidak ada gugatan ke pengadilan atau gangguan terhadap wartawan dan korespondennya.

“Saya bahagia karena sempat merayakan pesta perak, 25 tahun, DIAN. Saya juga bahagia karena penerbitan DIAN ini berlangsung lancar, mulus, hampir tidak ada masalah yang berarti. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik,” katanya.

Keberhasilan DIAN sebagai pers berpengaruh di NTT selama tiga dekade tentu tak hanya berkat kehebatan Pater Alex Beding dan teman-teman Lamaleranya. Pastor-pastor SVD yang berkarya di NTT mendukung penuh. Para pastor ini berperan di lapangan sebagai agen dan distributor. Gereja-gereja baik di paroki maupun stasi menjadi oulet DIAN.

Guru-guru SD di kampung-kampung, yang dulu juga merangkap sebagai katekis-katekis ulung, ikut menjadi pelanggan dan penyalur. Sebuah kerja sama lintas sektoral ala total football yang membuat DIAN mampu berjaya ketika begitu banyak media di luar NTT yang senen-kemis, kemudian gulung tikar, karena kekurangan pembaca dan modal.

Namun, sejarah terus berulang! Nasib DIAN pun pada akhirnya mengikuti jejak BINTANG TIMUR dan BENTARA. Sama-sama meredup, kemudian padam, ketika sang pendirinya kian rapuh dimakan usia.