Wanita-wanita suku Lamaholot biasa pakai kwatek saat misa atau ibadat sabda di gereja. Kebiasaan lama ini masih bertahan sampai sekarang meski gadis-gadis remaja agak jarang pakai kwatek.
Kwatek itu sarung dari tenun ikat buatan mama-mama di kampung. Ada kwatek kiwanen: kwatek asli yang 100 persen bahannya diambil dari hasil bumi di kampung. Mulai kapas, pewarna hitam, kuning, biru.. memintal benang, menenun hingga jadi kain semuanya manual.
Kwatek kiwanan ini makin langka di era modern. Tahun 90-an mama-mama jalan kaki sambil "tue lelu" - memintal kapas jadi benang. Saat ini pemandangan masa kecilku itu hampir tak ada lagi. Sudah bisa dihitung dengan jari tangan.
Karena itu, dibuatlah kwatek muringen atawa sarung modern. Kain sarung dibuat pakai ATBM - alat tenun bukan mesin. Kainnya halus, bagus, modern. Tapi nilainya jauh berbeda dengan "kwatek kiwanen" yang asli 100 persen buatan sendiri di kampung itu meski teksturnya agak kasar.
Kwatek alias sarung Lamaholot sudah jadi busana wanita untuk acara-acara resmi. Salah satunya misa di gereja. Begitu besarnya nilai misa atau kebaktian, orang Lamaholot tidak boleh memakai pakai sembarangan.
Kaos oblong tidak boleh. Baju mahal tapi sporty atau kasual setengah dilarang. Saya sering ditegur gara-gara memakai kaos meski ada kerahnya.
"Kaos atau t-shirt tidak boleh untuk misa. Lembata ini bukan Jawa," kata Christophora adik saya serius.
Saya pun disuruh pulang ganti baju. Disuruh pakai baju batik. Atau kemeja resmi. Barangsiapa yang pakai kaos oblong ke gereja akan jadi gunjingan. Bahkan dilarang terima komuni.
Nostalgia kwatek di bumi Lamaholot muncul lagi di Malang belum lama ini. Saya lihat ada gadis berwajah Lamaholot memakai sarung atau kwatek ke Gereja Kayutangan, Malang.
Haleluya! Puji Tuhan!
Ternyata ada wanita muda Lamaholot yang mengenakan kwatek ke gereja. Persis di Adonara, Solor, Lembata, Flores bagian timur, Alor. Anak muda, generasi Z, yang saban hari main media sosial ternyata masih mempertahankan budaya Lamaholot. Kalau masih di NTT mah biasa, tapi ini di Malang. Di Gereja Kayutangan yang berada di pusat Kota Malang.
Betul dugaan saya. Nona ini berasal dari Adonara Barat. Kuliah di Malang. Dia memang biasa pakai kwatek ke gereja. Ada juga beberapa wanita lain yang pakai kwatek tapi motifnya bukan Lamaholot.
Kami pun ngobrol dalam bahasa Lamaholot. Beda dialek, beda lagu, tapi kata-katanya masih sama dan bisa saling mengerti. Luar biasa "kebarek" (gadis) ini. Di Surabaya dan Sidoarjo saya tidak pernah melihat gadis-gadis NTT mengenakan kwatek atau sarung ke gereja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar