Merokok itu sudah jadi budaya di Nusantara sejak zaman purbakala. Laki-laki Lamaholot di NTT kalau tidak merokok dianggap aneh. Setiap tamu yang datang ke rumah pertama kali disuguhi rokok klobot atau lintingan.
"Ama, pai golo bako ki," begitu sapaan orang kampung di Lembata Island, NTT, yang lewat di depan rumah, pondok, gubuk dan sebagainya.
"Golo bako ki" (ngelinting tembakau dulu) menjadi sapaan santun. Semacam unggah-ungguh. Bako arti awalnya tembakau tapi bisa juga rokok.
Siapa saja yang lewat diajak "golo bako" meski orang baru atau belum kenal. Kita dianggap tidak sopan di Lembata (dulu) kalau tidak mengajak orang laki untuk merokok sejenak di rumah.
Bagaimana kalau tidak ada "bako" di rumah? Jangan khawatir. Bisa minta atau pinjam di tetangga sebelah. Nanti dikembalikan atau tidak urusan belakang.
Begitu berakarnya "budaya golo bako" sehingga sulit melarang orang-orang kampung untuk berhenti merokok. Meskipun dikasih tahu ada banyak racun, bahaya nikotin, tar dsb, orang kampung sulit percaya.
Karena itu, peringatan pemerintah di bungkus rokok, gambar orang yang mulutnya rusak, kena kanker dsb dianggap angin lalu. Golo bako (merokok) dianggap sudah dilakukan nenek moyang.. dan bukan masalah.
Para perantau Lamaholot yang mudik biasanya didatangi orang kampung. Pertanyaan pertama, "Bako tega nai?" (rokoknya mana?)
Kalau lupa membawa oleh-oleh rokok, ya, terpaksa beli rokok di kios. Budaya golo bako (ngelinting rokok) tidak lagi harfiah seperti dulu. Sekarang rokoknya kebanyakan buatan pabrik di Kediri atau Kudus atau Surabaya.
Golo bako koli - ngelinting daun siwakan - sudah jarang dilakukan generasi muda. Sebab, Gudang Garam, Wismilak, 234, Djarum jauh lebih nikmat dan nagih, katanya.
Saya teringat budaya golo bako di Lembata setelah ngobrol dengan Dukut Imam Widodo di Surabaya. Lelaki asal Malang ini sangat terkenal sebagai penulis buku-buku berbau tempo doeloe. Soerbaia Tempo Doeloe, Malang Tempo Doeloe, Djember Tempo Doeloe... dan masih banyak lagi.
Dukut sedang mempersiapkan buku berjudul Ngrokok Matek, Gak Ngrokok Matek". Judul yang menarik meski berlawanan dengan peringatan pemerintah.
"Saya memang sengaja memilih judul yang kontroversial," katanya enteng.
Dukut Imam Widodo kemudian menulis:
"Saya sudah berhenti merokok sejak usia 50 tahun.
Lantas melalui buku ini apakah saya akan menganjurkan Sampeyan untuk berhenti merokok? Nggak blas!
Sampeyan katene ngrokok, yoo sak karepmu. Gak katene ngrokok, yoo sak karepmu.
Masalahnya, saya punya saudara sepupu perokok berat. Ia meninggal di usianya yang relatif masih sangat muda 40 tahun. Padahal kariernya sedang menanjak.
Di samping itu saya pun mempunyai saudara sepupu pula yang meninggal pada usia 40 tahun juga. Padahal dia sama sekali bukan perokok.
Mbah Sumo, mbahnya kerabat saya, sepanjang hidupnya adalah perokok berat. Rokoknya klobot, mbakonya rajangan yang dibeli di Pasar Bandar.
Suatu ketika salah seorang cucunya, menemukan Mbah Sumo sudah wafat di gubug sawah. Jari-jarinya masih menjepit sebatang rokok klobot yang masih menyala.
Usia beliau ketika meninggal menginjak 80 tahun. Sudah jelas kiranya bahwa: Hidup dan matinya manusia itu hanya ada di tangan Tuhan.
Kesimpulannya: "Ngrokok Matek, Gak Ngrokok yoo Tetep Matek".
Sebagai orang berpendidikan, layaknya semboyan tsb diubah: Ngerokok luwih kemungkinan matek, gak ngerokok luwih kemungkinan gak matek.
BalasHapusSepakat Cak Boen. Banyak orang Indonesia menganggap remeh bahaya rokok. Padahal penyakit² akibat merokok itu nyata.
HapusBos Dis sangat keras soal rokok ini. Karyawan yg merokok dihapus asuransinya dsb.