Gereja Stasi Atawatung, Ile Ape, Lembata, NTT. |
Cukup lama saya tertegun di samping Sumur Atawatung di Desa Lamagute, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum lama ini. Dua puluh tahun lebih saya tak sempat mampir di sumur yang pernah menjadi bagian hidup saya itu. Sumur yang berjasa menyediakan air bagi kami di kampung.
Saya perhatikan bagian dalam sumur. Oh, masa sama seperti masa saya SD di Mawa dulu. Ada tonjolan batu besar, dalamnya sekitar 15-20 meter. Airnya pun selalu berlimpah, apalagi di musim hujan seperti ini. Pelataran sumur diplester dengan bagus. Beda banget dengan pemandangan tempo doeloe.
Perbedaan mencolok justru di suasananya. Kali ini, di awal tahun 2011, hanya ada SATU orang ibu yang terlihat sibuk menimba air. Tiga ember hitam ditaruh di bibir sumur. Timbanya pun bukan NERA atau MAYA yang dibuat dari KOLI alias daun lontar (siwalan), tapi plastik. Nuansa khas pedesaan sudah tak ada lagi.
Pikiran saya pun langsung melayangkan ke masa lalu. Dulu, setiap hari puluhan orang selalu memenuhi Sumur Atawatung itu. Jangankan menaruh ember di bibir sumur, kita sangat sulit mendapat tempat untuk menimba air. Begitu ramainya, tali-tali timba selalu melilit ke sana ke mari, tali putus, timba jatuh... dan sebagainya. Ribet bukan main!
Orang-orang Mawa, yang jalan kaki hampir dua kilometer, sering cekcok mulut dengan orang-orang Atawatung, si empunya sumur, karena rebutan tempat. UNO GENING ULI. Hehehe.... Cekcok mulut yang justru menciptakan keakraban di antara penduduk Mawa dan Atawatung. Orang Mawa sebagai tamu sering tidak ‘tahu diri’ karena paling banyak menimba air sumur di Atawatung.
Habis mau timba air tawar di mana lagi? Syukurlah, Tuhan berbaik hati sehingga perigi sederhana itu bisa menghidupi penduduk dua kampung dari generasi ke generasi. Ditimba terus-menerus, sampai jauh malam, tapi stok airnya tetap ada. Di musim kemarau memang sumurnya agak mengering, tapi tidak sampai tandas sama sekali.
Ketika membaca atau mendengar cerita AIR KEHIDUPAN dalam Alkitab, Yohanes 4:1-42, yang selalu muncul di benak saya selalu Sumur Atawatung ini. Sungguh! Sebuah sumur di desa terpencil yang bisa menghidupkan penduduk dari dua kampung sekaligus. Sumur yang tak pernah kering!
Kini, air di Sumur Atawatung masih tetap berlimpah. Tapi kita tak akan pernah lagi melihat warga uyel-uyelan atau UNO GENING ULI seperti dulu. Penduduk Mawa sudah ramai-ramai bikin bak untuk menampung air hujan yang kemudian diolah menjadi air minum. Kemudian ada lagi proyek instalasi penyulingan air laut menjadi air tawar di Desa Bungamuda yang jaringan pipanya menjangkau Mawa dan sekitarnya.
Romantika hidup anak kampung tempo doeloe, kewajiban menyetor jatah air minum untuk guru-guru SD, tak ada lagi. Tapi pengalaman masa kecil tentang air kehidupan, the water of life, dari Atawatung tetap melekat di dalam benak saya. Sampai kapan pun!
Romantika hidup di kampung. Saya pernah bekerja selama 30 tahun disebuah desa yang berpenduduk hanya 2200 jiwa. Mayoritas penduduknya adalah petani peternak sapi perah, petani susu, 99 % penganut agama Katholik yang taat dan fanatik. Tiap minggu mereka ke gereja ikut missa, setelah missa selesai, para lelaki pergi ber-sama2 ke Rumah makan dekat gereja (disebut Kirchenwirt), untuk sarapan bersama sambil minum Bir atau Wein.
BalasHapusKebiasaan itu disebut Frühschoppen. Disana mereka berdebat tentang khotbah Pastor yang barusan mereka dengar, tentang Politik, kejadian di desa, juga menebar issuu, dll.
Setiap hari Senin pagi, salah seorang pegawai wanita saya, selalu melapor tentang kejadian yang aktuell di desa.
Saya selalu berkata: kamu kok tahu aja ? Jawabnya: Papa yang cerita, apa yang dia dengar di Frühschoppen.
Maksud saya menulis ini, adalah : betapa-pun taat-dan fanatik-nya seorang Katholik, dia tidak akan mau percaya membabi-buta dengan ceramah atau khobatnya Pastor paroki. Dia akan berdebat dengan kawan2-nya atau dengan si Pastor sendiri di Frühschoppen. Petani dan buruh juga punya akal sehat, walaupun mereka tidak bisa bahasa inggris, dan nalar-nya dipakai.
Sebenarnya saya tidak ada hubungan apa-pun dengan masalah yang ada di Ibu Pertiwi, tetapi entah kenapa saya merasa jengkel, jika ada orang2 yang membodohi, ngotoki orang Indonesia. Malahan merasa lebih jengkel lagi, mengapa orang Indonesia tidak mau memakai akal sehat mereka, seperti terhypnotis.
Contohnya : Habib A bilang : Ucapkan kalimat ini tujuh kali, maka semua keinginan-mu akan dikabulkan oleh Allah.
Habib B berkata : Ucapkan kalimat ini 40 kali, maka rejeki-mu akan berlimpah berkat Allah.
Habib C ngajari: Amalan Sholawat cepat kaya.
Habib D :.......tetek bengek kibulan.
Buat apa anak2 Indonesia sekolah jadi pintar, bekerja, berkarya ? Hafalkan saja beberapa ayat, hidup-mu akan jadi sempurna. Buat apa sekolah dan kerja !
Lacurnya mayoritas percaya ocehan habaib. Sebagian yang waras, yang tidak percaya, juga tidak berani membantah.
Wis dikotoki, malah dijaluki sedekah pisan. Quo vadis ?
Haiya.. itu betul adanya. Di kampung pelosok Lembata NTT juga orang kampung selalu bahas homilinya pater2 setelah sembahyang misa di gereja. Biasanya dulu habis misa tidak langsung pulang ke rumah tapi minum kopi atau minum tuak dulu. Toh dulu hari minggu itu orang tidak kerja kebun dsb.
BalasHapusSebagai bahan untuk ngobrol ya khotbah pater itu yg dibahas dan ditambah-tambahi dsb.
Saya perhatikan sekarang pun masih begitu. Cuman yg saya perhatikan orang2 kampung cenderung kritis dan tidak puas dengan romo2 pribumi. Pater2 belanda dan SVD boleh dikata sudah tidak ada lagi di Lembata. Mereka pigi kerja di kebun2 anggur di luar negara kita.
Beda dengan pater2 londo dan svd yg komentarnya positif, romo2 asli Indonesia itu sering dikritik karena jarang sambangi umat, suka buru2 pergi ke stasi lain dsb dsb. Pater2 eropa dulu memang benar2 melebur masuk kampung dan selalu membantu masyarakat yg sakit.
Dulu pater2 londo dibekali obat2an ke mana saja. Khususnya obat malaria, trisulfa, salep2an dsb. Kalau ada orang sakit dikasih obat. Puskesmas belum ada, polindes apa lagi. Yang ada cuma BKIA kecil yg obat2annya terbatas.
Kalau romo2 sekarang cuma melayani ekaristi doang. Orang sakit ya ke polindes atau puskesmas. Jadi, tugasnya romo2 sekarang lebih fokus ke urusan altar.
Tapi, di sisi lain, hubungan psikologis dan kedekatannya dengan umat di luar gereja sangat kurang. Kadang romonya belum dikenal betul sama umat tapi tiba2 sudah dimutasi ke paroki lain.
Beda dengan pater2 eropa. Mereka mulai dari nol. Ajar katekismus, ajar doa2 harian, nyanyian, hingga cara hidup yg bersih, bikin WC dsb.
Pater2 Eropa itu juga yg bikin gereja stasi (desa) yg semula gedeg lantai tanah menjadi bangunan yg megah kayak di kota.
Nah, orang2 lama yg mengalami pelayanan pater2 eropa punya nostalgia ini. Mereka jadi suka membanding-bandingkan dengan masa lalu.
Memang betul cerita Anda. Semua Pastor SVD yang akan diberangkatkan ke Asia, Afrika dan Amerika Latin sebagai calon missionaris, diajarkan atau dibekali pengetahuan tentang pengobatan. Mereka harus belajar dan membawa sejilid buku kedokteran yang disebut Pastoral-Medizin. Buku itu tebalnya seperti sebuah kamus. Didalamnya dibahas symtoma dan Therapie tentang penyakit2 yang sering ada di daerah Tropika. Gereja minta sumbangan obat2-an kepada pabrik2 farmacy dan kepada para dokter.
BalasHapusUntuk biaya membangun gereja2 dan rumah pengobatan, biasanya uang itu berasal dari sumbangan yang dikumpulkan oleh anak2 sekolah yang dirias sebagai Tiga Raja, mereka keliling dari satu rumah ke rumah lainnya membawa kotak amal, menyanyi lagu religi dan memberkati setiap rumah, di kusen palang pintu ditulis tahun dan C + M + B. Kegiatan itu berlangsung mulai tanggal 2 sampai 6 Januari.
Lucu dan mengharukan melihat anak2 SD dan SMP, berjubah kebesaran, bermahkota, seperti Caspar, Melhior dan Balthasar.
Tiap regu berjumlahkan 5 orang, anak yang terdepan dirias seperti malaikat pembawa Bintang Bethlehem, lalu diikuti oleh C+M+B, dan yang terachir seorang Ibu anggota Paroki yang aktiv.
Mengapa saya sebut lucu dan mengharukan. Awal bulan Januari di Austria adalah waktu lebat2-nya turun salju, apalagi di-desa2 dilereng pegunungan Alpina. Anak2 Tiga Raja dan si Bintang tertawa cekikikan waktu sepertiga badan mereka terbenam salju, begitu sampai didepan rumah warga, raut wajah mereka berubah serius, menyanyi dan berdoa. Anak perempuan saya yang terkecil suka ikut jadi si-Bintang. Untungnya dia keliling didalam kota, tidak seperti anak2 di desa2, yang jarak satu rumah ke rumah lainnya ratusan meter, dan jalan2 kecil desa tidak dikeruk salju-nya oleh pemerintah, sebab jalan2 kecil di desa, milik pribadi si-petani.