Ada Kompas nganggur di bengkel kawasan Wadungasri, Sidoarjo. Saya pun minta izin membaca koran terbitan Jakarta itu. Di warkop sekitar 60an meter dari bengkel.
"Permisi, korannya saya baca di warung ya?"
Ibu Tionghoa itu mengiyakan. Saya pun hendak menyeberang. Bawa koran Kompas yang masih gres. Belum dibaca oleh pengusaha bengkel motor itu. Dua anaknya malah asyik lihat ponsel karena konsumen lagi sepi. Maklum, sebentar lagi Jumatan.
"Sini... sini.. korannya di bawa ke sini," kata Bu Tenglang dengan suara dinaikkan.
Oh, rupanya Bu Tenglang tidak bersedia korannya saya bawa ke warkop. "Di warkop juga ada koran," kata si Taitai.
Hem... Taitai ini rupanya belum tahu kalau saya sering ngopi di warkop Emak itu. Tidak pernah ada koran. Emak di Wadungasri ini hanya jualan kopi, nasi pecel, kare ayam, bali, dan nasi campur.
Tak masalah lah. Taitai jelas melarang saya membawa korannya ke warkop. Juga melarang saya membaca korannya. Cuma cara melarangnya rada diplomatis khas wong Jowo.
Sayang, diplomasinya ngawur karena tidak didukung data dan fakta yang akurat. Bilang saja tidak boleh bawa koranku ke warkop. Titik. Tidak usah berbelok-belok begitu.
Saya hanya bisa tersenyum pahit. Ingin rasanya menarik motorku yang hendak diganti kampas ganda itu. Tapi sudah telanjur dibuka oleh Mas Montir.
Kok begitu takut korannya hilang? Bukankah ada sepeda motor sebagai agunan? Harga koran Kompas kan cuma Rp 4.000?
Ya wis...
Diambil hikmahnya saja. Di sisi lain saya justru gembira karena Bu Tenglang ini masih langganan koran. Meskipun bukan Jawa Pos atau Radar Surabaya. Ini pertanda baik. Bahwa surat kabar ternyata masih diminati pengusaha otomotif di Sidoarjo. Meskipun sampai jam 11 belum dibaca. Masih terlipat rapi. Mungkin Taitai baru baca nanti sore atau malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar