Orang Adonara rupanya sudah kebelet punya kabupaten sendiri. Memisahkan diri dari Kabupaten Flores Timur yang ibukotanya Larantuka. Seperti Lembata yang sudah lama jadi kabupaten sendiri.
Dari dulu ada grup-grup media sosial yang menyuarakan pentingnya Kabupaten Adonara. Agar pembangunan lebih cepat. Agar rakyatnya tidak "melarat" lagi ke Sabah atau Serawak di Malaysia Timur. Melarat dalam bahasa Lamaholot artinya merantau.
Selasa kemarin, kemendagri sampai bikin klarifikasi terkait hoaks 57 daerah otonomi baru. Termasuk Kabupaten Adonara. Raya Seran Goran, nama khas Adonara, bikin heboh medsos. "Hoaks itu. Tidak benar," kata Humas Kemendagri Bahtiar Baharudin.
Wacana Adonara jadi kabupaten memang sudah berlangsung lama. Persisnya setelah era otoda 2001. Politisi dan tokoh-tokoh Adonara (sebagian besar) merasa sudah waktunya jadi kabupaten. Sumber daya manusia (SDM) oke.
Gubernur NTT dua periode, Frans Lebu Raya, orang Adonara. Banyak sekali politisi dan birokrat NTT yang asli Adonara. Di Pemkab Flotim (Flores Timur) apalagi.
"Sudah waktunya Ama," kata seorang tokoh Adonara di Jatim.
"Silakan Ama-Ama Adonara berjuang. Kita orang pasti dukung," kata saya basa-basi ala Lamaholot.
Semua laki-laki Lamaholot (Adonara, Solor, Lembata, Flotim daratan) dipanggil Ama. Mulai anak-anak sampai kakek-kakek. Ama bisa berarti bapak, om, kakak, adik, kakek, atau teman laki-laki. Orang perempuan dipanggil Ina.
Sayang, rupanya perjuangan ama-ama dan ina-ina di Adonara belum berhasil. Adonara belum siap berdikari sebagai kabupaten. Beda dengan Lembata yang sudah disiapkan sejak orde baru. Begitu reformasi ya Lembata langsung dinaikkan status menjadi kabupaten.
Lalu, kapan Adonara naik status?
Ama Raya dan ama-ama lain harus sabar... sabar... dan tunggu. Sebab pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium daerah otonomi baru. Belum lagi banyak sekali kabupaten dan kota yang baru dinilai gagal atau kurang berhasil.
"Kalau jadi kabupaten baru kan kita orang tidak perlu ke Larantuka untuk sekolah di SMA negeri," kata Ama Payong yang sudah puluhan tahun "melarat" di Jawa.
"Nah, kalau itu soalnya, ya desak pemerintah untuk bangun 4 SMA negeri di Pulau Adonara. Bangun rumah sakit umum yang kualitasnya sama dengan RSUD Larantuka," kata Ama Lusi, orang Lembata.
Kalau bisa sih bikin lapangan terbang juga macam di Larantuka atau Lembata. Agar ama-ama dan ina-ina dari Adonara tidak perlu jauh-jauh ke Larantuka atau Lembata.
Membaca tulisan diatas membuat pikiran saya menjadi ambivalent.
BalasHapusDisatu sisi, lebih banyak kabupaten, berarti lebih banyak pula birokrat pegawai negeri yang dibutuhkan. Lebih banyak pula uang anggaran yang dihamburkan untuk membayar gaji para pegawai
negeri serta sarana2 yang diperlukan. Jika kita jujur berpikir secara ekonomis, pegawai negeri adalah pekerjaan yang tidak produktif, bikin ribet dan bikin susah. Tetapi pemerintah membutuhkan mereka absolut. Jadi kalau bisa birokrasi dirampingkan, bukannya malah digemukkan. Lebih effisien anggarannya dibuat untuk membangun sekolah2 negeri, rumah sakit umum, jalan yang bagus, perusahaan air-minum, dan Infrastruktur lainnya. Seperti saran Ama Lusi, si orang Lembata yang cerdas itu.
Di sisi lain nya, provinsi Nusa Tenggara, terdiri dari banyak pulau2 yang jaraknya sangat jauh satu dengan lainnya dan susah ditempuh, sehingga Idee desentralisasi juga ada benarnya.
Untung jaman sekarang ada Internet, Computer-Online, ada Smartphone, jadi saran Ama Lusi, orang Lembata, itulah yang paling bagus.
Pikiran jika Adonara menjadi kabupaten, lantas penduduknya langsung jadi makmur, adalah cara pikir yang salah dan absurd.
Buktinya Lembata sudah jadi kabupaten, tetapi menurut Bapak L. Hurek, penduduknya masih tetap melarat ke Sarawak dan Sabah.
Satu daerah bisa makmur, jika disana ada pengusaha-pengusaha yang baik dan inovatif, membuka lapangan pekerjaan untuk buruh-dan pegawai-nya. Sehingga penduduk tidak perlu lagi melarat ke Sarawak. Tentu saja harus ada pemerintah yang bijaksana, jujur, tidak koruptif untuk mengatur hal tersebut.
Saya membayangkan masa lalu, ketika masih ada Provinsi Kepulauan Sunda Ketjil yang ber-ibu-kota di Singaraja. Apakah ada orang NTT jaman sekarang, yang bisa membayangkan, betapa susah-nya orang jaman dulu mengurus surat2 resmi atau ijin, harus naik perahu ber-hari2 dari Rote ke Singaradja.
Itulah sebab utama, mengapa di Tiongkok banyak orang2 Cina-hoakiao yang berkulit hitam dan berambut keriting. Mereka tidak tahu, bagaimana cara-nya mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dari tempat tinggal mereka di pulau Sabu ke Singaradja. Akibatnya ketika ada PP. No.10/1959 mereka beserta nenek2- dan ibu2-mereka, wanita2 pribumi asli NTT, terpaksa hwee-kuok ke negeri asing yang disebut Tiongkok, naik kapal barang milik Russia.
dui dui... PNS itu hambur2kan uang negara. anggaran lebih banyak dipakai untuk bayar gaji pegawai. anggaran untuk pembangunan jadi sangat kecil.
BalasHapusmakanya jalan raya di lembata, solor, dan adonara sejak saya kecil sampai sekarang belum banyak berubah. bupatinya diganti berkali-kali tapi kondisinya tidak banyak berubah.
Apropos PNS, Maaf jika ada banyak orang yang tersinggung.
HapusSaya hanya mengutip ungkapan yang sering dipakai di Austria dan Jerman.
Di kedua negara tersebut, jika orang-tua kesal melihat anak mereka malas2-an bekerja, maka cacian yang keluar dari mulut mereka adalah; Mein Gott, du bist wie ein Beamte ! ( Ya Allah, kamu koq seperti PNS ! ).
Provinsi Sunda Ketjil ibu kotanya di Singaradja Bali.
BalasHapusSebagian besar orang NTT lupa kalau dulu Bali, NTT, dan NTB itu satu provinsi. Kemudian dimekarkan jadi 3 provinsi. Anak2 sekolah di NTT disuruh hafal 20 Desember 1958 sebagai hari kelahiran Provinsi NTT.
Mungkin sejak tanggal itulah Provinsi Sunda Ketjil dimekarkan jadi 3.
Sunda Kecil ini banyak pulau2nya. Ini yang menyulitkan hubungan antara satu pulau dengan pulau lain. Meskipun laut sebenarnya jadi penghubung alamiah tapi manusia2 lebih suka transportasi darat kayak di Pulau Jawa yg lebih cepat dan efektif.
NTT pun buanyaaak banget pulaunya. Koneksi antarpulau atau daerah pun sulit.