Selasa, 09 Juli 2019

Tante Tok Panen Kue Keranjang



Jelang xinnian, tahun baru Tionghoa, begini saya mampir ke rumah Tok Swie Giok di Jalan Raden Fatah, kawasan pecinan Sidoarjo. Tante Tok, 70-an tahun, sejak dulu selalu melestarikan tradisi Tionghoa, khususnya dalam soal makanan-makanan khas. Kue bulan, bacang, ronde, dan tentu saja nian gao alias kue keranjang khas tahun baru Imlek.

Rumah tua yang ditempati keluarga besar Tante Tok sepi. Oh, pasti mereka semua di dapur, bikin kue keranjang. Maka, setelah kulo nuwun, dan diterima si Tan, cucunya Tante Tok, saya pun langsung ke dapur. Benar saja. Tante Tok bersama tiga orang lain, salah satunya laki-laki, sedang asyik bikin nian gao.

Tepung ketan diayak. Gula pasir dipanaskan, jadi karamel. Menyiapkan pan dan dandang. Kemudian memasak. Sebagai pembuat nian gao, Tante Tok bertindak sebagai koordinator sekaligus pengawas kualitas. Rupanya, tahun ini tante yang sudah lama ditinggal mati suaminya, yang asli Hokkian (Fujian), itu kebanjiran pesanan. Bisnis musiman nan manis yang selalu ramai sebulan sebelum xinnian alias tahun baru Imlek.

Meskipun kue keranjang sudah banyak disediakan toko-toko makanan (bakery), warga Tionghoa, khususnya yang konservatif, lebih suka buatan rumahan macam produksi Tante Tok ini. Rata-rata mereka sudah punya langganan kue keranjang setiap tahun. Karena itu, Tante Tok tidak perlu promosi, pasang iklan di koran atau radio....

Cukup di rumah saja, telepon berdering... pesanan datang.

Selama hampir satu bulan ini, Tante Tok dan keluarga memang sibuk bukan main. Sebab, kue keranjang yang dibikin mencapai ribuan keping. Salah satu pengusaha asal Bali memesan sekitar 600 kue. Belum pemesanan dari Sidoarjo, Surabaya, dan kota-kota sekitar.

Rata-rata kue keranjang buatan Tante Tok dijual Rp 11.000. Naik sedikit dibandingkan tahun lalu gara-gara inflasi. Padahal, 20 tahun lalu, ketika Tante Tok mulai menekuni home industry ini, harga nian gao hanya Rp 700. Inflasi berapa persen itu?

"Tahun ini pesanan agak kurang. Gak kayak tahun-tahun lalu. Mungkin karena sudah banyak orang yang bikin dan gampang ditemukan di toko-toko," kata Tante Tok yang aktif di Vihara Dharma Bhakti Sidoarjo itu.

Bagi Tante Tok, yang lulusan sekolah Tionghoa di Sidoarjo dan Surabaya, kue keranjang alias nian gao ini bukanlah kue biasa macam pisang goreng, kue tar, bolu, atau kue-kue kering. Nian gao, kata dia, merupakan kue yang suci. Kue khusus yang dipakai untuk bersembahyang, meminta rezeki dari Tuhan Sang Pencipta.

Maka, tidak sembarang bisa bikin kue ini dengan berhasil. Harus memanjatkan doa-doa khusus. Harus keramas dulu. Harus punya niat suci. Hati bersih. Tak ada dendam atau iri hati. Bagaimana kalau si pembuat kue melanggar ketentuan itu? "Pasti kue keranjangnya tidak akan jadi. Nggak bisa matang," tegas Tante Tok.

Tok Swie Giok tak asal bicara. Dia punya pengalaman gagal menyelesaikan kue keranjang karena kebetulan beberapa tahun lalu punya sedikit halangan. Dia coba-coba bikin kue keranjang. Adonan sama, porsi gula, tepung... sudah standar. Perlengkapan memasak oke. Tapi tunggu punya tunggu, berjam-jam, nian gao itu tidak jadi.

Ada juga kejadian dandang yang dipakai untuk mengukus adonan nian gao jebol. Yah, orang boleh percaya boleh tidak, tapi pengalaman Tante Tok ini juga sering dialami oleh encim-encim Tionghoa yang terbiasa membuat nian gao menjelang tahun baru Imlek.

Setelah ngobrol-ngalor ngidul, ditemani secangkir teh Tiongkok yang khas, saya pun pamit. Aha, saya dikasih hadiah empat keping kue keranjang buatan Tante Tok yang terkenal itu. Xiexie nin! Terima kasih banyak, Tante Tok! Semoga tahun kelinci emas ini Anda sekeluarga diberi berkat rezeki dan kesehatan oleh Tuhan Allah!

Xinnian kuaile! Gongxi facai!

4 komentar:

  1. Bung, riko kok sopan nemen ! Iso coro cino kromo-inggil ; Xiexie nin ! Kalimat yang sangat korrekt ! Kata nin (您) sudah sangat jarang saya dengar. Lihat bedanya tulisan: ni (你) = kamu, dengan nin (您) = kata majemuk, ni ditambah 心 (xin) = jantung.
    Jadi bagaimana mendefinisikan kata itu ?
    Kamu jantung ku ? Tanpa kamu aku mati ?

    BalasHapus
  2. haiya... kamsia atas penjelasannya. kita pakai bahasa halus sama orang tua lah. unggah ungguh jarene wong jowo.

    BalasHapus
  3. Coba-coba meluruskan mispersepsi orang Tionghoa-Indonesia.
    Selama saya menikah, selalu saya dibenci dan dimaki oleh mertua-perempuan. Katanya, saya adalah menantu singkek yang kurang-ajar, kasar. Sebabnya hanya karena saya kalau bicara dengan mertua, pakai kata2 gua dan lu.
    Lalu saya bertanya : Mami, kalau gua tidak boleh pakai kata-kata gua dan lu, lu suruh gua pakai kata apa ?
    Jawabnya, saya harus pakai kata2, jij (je) dan ik (ike).
    Piye thoo, mosok cino-singkek dikongkon dadi londo-gosong, itu kan melawan sunnatullah !
    Lu, ucapan bahasa hokkien untuk 汝(ru), artinya Anda, Sampeyan, sebutan untuk orang yang dihormati pada zamannya Marco Polo di Fujian.
    Jij (je) artinya kowe, kon, du, 你(ni), dalam bahasa kolonial.
    Jadi mana yang lebih halus; Lu atau Jij ????

    Waktu pertama kali pulang kampung kerumah leluhur di Quanzhou-Fujian, saya disambut dengan hormat dan akrab, dijamu makan besar2-an oleh para famili disana.
    Tetapi saya, cino-singkek-Indonesia, tidak begitu ngerti bahasa hokkien, merasa tersinggung, sebab para famili di Tiongkok menyebut kita2, Hoakiao dari Indonesia atau Luar-negeri dengan sebutan Hwana.
    Dasar orang Indonesia yang jarang membaca kamus, gampang marah, mispersepsi, curiga istilah Hwana adalah kata hinaan.
    Padahal : 番(fan) 仔(zi) dalam bahasa Minnan (Hokkien) dibaca Hwana.
    番 artinya luar-negeri, ausländisch atau foreign.
    仔 artinya anak atau si buyung.
    Jadi 番仔, fanzi, alias Hwana artinya si Buyung-luarnegeri.
    Mangkanya dadi wong harus banyak membaca, jangan hanya dengar ceramah yang kebanyakan sifatnya subyektif dan menghasut.

    BalasHapus
  4. Dui dui... jadi wong kudu moco moco moco. Jangan termakan provokasi dan propaganda itu. Kamsia penjelasan panjenengan.

    BalasHapus