Jumat, 12 Juli 2019

Perlukah Gelar Haji di Depan Nama?



Di Nusa Tenggara Timur tidak banyak orang yang bergelar haji. Selain biaya naik haji mahal, sementara orang NTT kebanyakan miskin, umat Islam memang minoritas di NTT. Di kabupaten saya, Lembata, setiap tahun yang naik haji cuma 6 atau 10 orang saja. Dua puluh sudah banyak sekali.

Bandingkan dengan haji di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang ribuan orang setiap musim. Bahkan ada KBIH di Gedangan, Sidoarjo, yang bisa memberangkatkan satu sampai dua keloter. Satu kelompok terbang atawa keloter itu 450 orang.

Karena itu, haji-haji di NTT punya posisi yang sangat tinggi. Dengan naik haji, status sosianya yang sudah tinggi (karena berada) makin naik lagi. Maka, haji-haji di NTT, khususnya Flores Timur daerah saya selalu melekat di nama mereka. Haji Anwar. Haji Ibrahim. Haji Arsyad. Haji Payong. Haji Bala. Begitu pula hajah-hajah untuk yang wanita.

Seorang bapak yang baru pulang berhaji akan menolak dipanggil namanya yang lama. Dia tak akan menyahut kalau gelar haji yang mahal itu (butuh Rp 40-50 juta) diabaikan begitu saja meskipun tidak sengaja.

"Engkau harus panggil saya Bapak Haji X. Saya ini sudah pulang dari Mekah," katanya. Kisah Pak Haji X ini sering jadi bahan pelipur lara di kampung halaman saya.

Di Jawa populasi haji sudah telalu banyak. Yang antre naik haji jutaan orang, hingga lima hingga 10 tahun ke depan. Karena itu, haji-haji di Surabaya bukan gelar yang sangat khusus seperti di NTT. Mereka tidak merasa perlu mencantumkan gelar hajinya di depan nama.

"Haji itu salah satu rukun Islam, menunaikan ibadah haji. Yang penting mabrur, bukan gelarnnya," kata Eyang Siti yang tak pernah pakai gelar hajah meskipun sudah naik hajah pada awal 2000an.

Koran-koran di Surabaya, yang berpengaruh, pun tak pernah mencantumkan gelar di depan nama seseorang. Bahkan gelar profesor, dokter, dan sebagainya pun tidak perlu dicantumkan. Mantan ketua MPR hanya ditulis Amien Rais, bukan Prof Dr H Amien Rais MSi.

Mengapa? Karena di Jawa sudah terlalu banyak haji, profesor, doktor, sarjana ini itu, doktoranda, dan sebagainya. Akan sangat aneh kalau seorang pencuri sepeda motor atau mobil ditulis nama dengan gelarnya. Misalnya: Tersangka penggelapan mobil Drs H Bagong dicokok polisi.

Beda dengan di koran-koran di NTT yang sangat suka mencantumkan gelar akademis dan haji-hajah di depan nama seseorang. Misalnya Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya MSi membuka seminar pembangunan pertanian di Kupang.

Kita yang biasa membaca koran-koran Jakarta atau Surabaya pasti tergeli-geli melihat deretan gelar di depan nama orang. Bagaimana kalau seorang narasumber punya 5 atau 7 gelar? Apakah harus ditulis semua?

Ya, wartawan di NTT biasanya menuliskan semua. Amboi, betapa space koran dihabiskan untuk menulis gelar orang yang tidak jelas sumbangannya untuk dunia akademis di Indonesia.

Kembali ke gelar haji hajah. Bagi politisi atau pejabat, gelar haji sangat penting untuk menunjukkan siapa dia. Bukan saja sebagai penanda agama seseorang, tapi juga kualitas keimanannya. Paling tidak masyarakat diberi tahu bahwa orang itu sudah menjalankan lima rukun Islam secara lengkap.

Maka, jangan heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menulis namanya begini: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pesannya jelas: beliau sudah hebat secara akademis, keislamannya pun jangan diragukan lagi.

Teman saya di Bojonegoro pun suka menulis namanya: H. Haryono di kartu nama dan artikel-artikel yang ditulisnya. Padahal si Haryono ini biasanya membahas masalah gereja dan kitab suci kristiani.

"H itu Hendrikus. Hendrikus Haryono," katanya sambil tertawa kecil.

Andaikan jadi caleg, si Haryono bisa dikira haji.

11 komentar:

  1. Space formulir habis gara2 gelar kepanjangan.
    Bukan mau beta, disemua surat2 resmi beta, pasport, ktp, SIM, surat nikah, surat rumah, dll.-nya dicantumkan gelar akademisi oleh pegawai instansi yang bersangkutan.
    Beberapa contoh gelar akademisi ber-tele2 : Dr.rer.nat. , Dr.iur.et rer.pol., Dr.rer.soc.oec., dll. Bahkan ada teman saya anak Surabaya bergelar Prof.Dipl.-Ing.Dr.techn.Dr.hc,mult.
    Teman itu memang orang yang sangat pandai, bahkan bisa jadi Dekan di Fakultas Technik, gelar Doktor H.C.-nya mungkin ada 5 biji. Bukannya mau dia, melainkan diberikan oleh Universitas2 luar-negeri, atas jasa2-nya membimbing para sarjana asing yang melanjutkan pendidikan ke jenjang S3.
    Dulu dengan pasport lama, yang belum ada Chips elektronik-nya,
    imigrasi dan polisi Tiongkok selalu bingung membaca pasport saya. Makanya waktu harus ganti pasport baru yang pakai Chips, saya bilang kepada pegawai yang bersangkutan, titel tetek bengek-nya jangan ditulis, hanya bikin pusing imigrasi luar negeri, cukup dua huruf saja.
    Di Tiongkok SIM Eropa dan SIM internasional tidak berlaku, sebab itu saya dan istri pergi ke Kantor polisi lalulintas untuk membuat SIM Tiongkok. Ketika pak polisi harus mengisi formulir permohonan, dia tertegun plonga plongo memandang wajah kami. Dia bilang, kalian lihat space untuk nama hanya tersedia 4 Cm., bagaimana saya harus mencantumkan nama latin kalian ? Apakah kalian tidak punya nama cina ?
    Saya ketawa dan berkata kepada-nya; tentu saja punya, malahan lebih dulu daripada kamu. Dia memberikan secarik kertas dan bolpen. Saya tulis nama cina saya. Istri saya bingung, tulisin nama gua pakai aksara cina sekalian. Saya bilang, ndak, lu tulis sendiri ! Dia menggerutu; piye iki. Saya bilang, coba lu ingat2, bagaimana dulu paman-mu ngajari lu nulis nama cina-lu.
    Melihat kami berdua menulis nama cina, pak polisi tersenyum gembira dan nyeletuk; nah begini baru benar !
    Seandainya ada orang Lembata bernama Peter Hurek ingin membuat SIM Tiongkok, maka yang tercantum di kartu SIM-nya adalah sbb.:
    胡乐彼德 (hu le bi de ). Secara juridis sebenarnya SIM itu aspal (asli-palsu), seperti SIM saya sendiri, sebab orang cina yang tercantum diatas SIM-saya, sudah dilenyapkan oleh Suharto dari permukaan bumi. Nasib !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamsia ada nama tionghoa yg ciamik: HU LE BI DE. Nama yg dipas-paskan dengan bunyi mandarin.

      Bos Dahlan juga dikasih nama YU SHI GAN sama orang2 di tiongkok sana karena lidah mereka kesulitan dengan nama2 Indonesia atau Arab dsb. Makanya bos Dahlan biasa dipanggil Mr Yu.

      Dulu saya sering bertemu dan wawancara konjen tiongkok Mr Fu, kemudian diganti Mr Wang. Saya biasa dipanggil Mr Hu oleh sekretarisnya yg cakep dan langsing An Xiaojie.

      Lama2 beberapa narasumber tionghoa di surabaya juga ikut2an panggil Mr Hu. Teman2 saya juga akhirnya biasa sapa Bang Hu atau Pak Hu. Lebih singkat. Cukup 2 huruf saja.

      "Saya masih ada hubungan dengan Mr Hu Jintao mantan presiden Tiongkok," begitu guyonan saya yg sangat ngawur.

      Hapus
    2. Mas, lek sampean ketemu wong Tionghoa coba selalu bilang;

      Ni hao, wo xing Hu, ming jiao Le. 你好,我姓胡,名叫乐.

      Biasanya orang cina akan bertanya, Hu apa ? Hu Jintao punya Hu.
      Le apa ? 快乐, kuai-le punya le. Bukannya Tole punya le.

      Hapus
    3. Mas, isun tanggal 14 September iki, bakale mulih nyang cungkuok, beneran, ora ngerusoni riko maneh.

      Hapus
    4. Kamsia yg banyak sekali untuk Xiansheng yg sudah berbagi cerita dan komentar di sini. Cerita2 yg sangat menarik. Membuka kita punya mata dan pikiran untuk tahu banyak hal.

      Selamat menikmati alam Tiongkok yg indah. Selamat menikmati lagu2 cungkuo yg indah dan inspiratif.
      ban ban kamsia

      Hapus
  2. Mohon dijelaskan, apakah gelar Haji atau Hajah ada yang memberi, melantik dengan sumpah dan disertai surat piagam resmi pelantikan ? Beta hanya bertanya, karena ingin tahu.
    Setahu saya gelar akademisi diberikan oleh Universitas dalam acara perayaan resmi yang dihadiri oleh Rektor, Dekan dan seorang Professor sebagai Promotor acara tsb. Disumpah dihadapan hadirin dan handai taulan dengan iringan lagu
    Gaudeamus igitur. Setelah disumpah lalu diberikan piagam surat Dekret atau lazim disebut Promotion Urkunde.
    Salah satu abang saya adalah PNS, jabatannya adalah Kakanwil.
    Sebagai PNS karir, dia diberi berbagai gelar kehormatan pegawai negeri, sesuai pangkat dan masa kerjanya, oleh pemerintah.
    Beberapa bulan sebelum masa jabatan-nya selesai, pension karena tua, dia diberi gelar kehormatan Hofrat oleh Presiden.
    Gelar Hofrat ( HR ) adalah gelar kehormatan tertinggi yang diberikan kepada PNS. Gelar itu sebenarnya sudah ada sejak jaman kekaisaran. Oleh sebab itu banyak orang yang mengusulkan kepada pemerintah agar gelar kehormatan Hofrat dihilangkan saja. Lha wong Kaisar saja kita sudah tak punya, untuk apalagi gelar itu. Bapak Presiden menjawab dengan sangat bijaksana :
    Biarkanlah, harga gelar itu hanyalah secarik kertas dengan stempel kepresidenan dan tanda tangan saya, sama sekali tidak merugikan keuangan negara. Mengapa kita harus merasa tidak rela, para pegawai tinggi negeri yang telah berjasa itu, merasa senang di hati. Bagi saya juga bukan sebuah pekerjaan yang berat. Kita sama-sama senang.
    Orang2 yang nyinyir mengolok gelar tersebut sebagai penghias batu nisan. Sebab biasanya di batu nisan diukir HR i.R.,Hofrat in Ruhe, mantan.
    Saya pun ikut nyinyir, bilang kepada teman bule saya; Peter, engkoh-gua sekarang diberi gelar Hofrat oleh Presiden.
    Oh, sangat bagus, kata Peter.
    Bagus apanya, gelar kosong itu !, sanggah ku.
    Peter berkata; lu jangan begitu, berapa orangkah yang bisa mendapatkan gelar kehormatan setinggi itu, gua juga kepingin kalau bisa menyandang gelar Hofrat. Apa artinya gelar Professor, Doktor, dll. Sudah terlalu banyak keleleran, bak jamur dimusim hujan.
    Jancuk, orang bule itu koq lebih matang otaknya daripada aku, padahal dia lebih muda 4 tahun.

    BalasHapus
  3. Haiya menarik banget ceritanya mr Tjio yg tambah kita punya wawasan.
    Haji itu sapaan atau gelar untuk jamaah yg sudah ikut ibadah haji di makkah. Bukan gelar akademik atau grand master di olahraga catur.

    Yang kasih gelar itu ya masyarakat sendiri lah. Sebab tidak banyak yg punya kesempatan pigi haji. Apalagi sekarang kuotanya sangat sedikit. Punya uang banyak tapi zonder dapat kuota ya wassalam.

    Gelar haji yg dulu sangat istimewa belakangan jadi biasa2 aja. Sebab tiap tahun sedikitnya ada 200 ribu orang indonesia yg naik haji. Tidak eksklusif lagi kayak tahun 60an dan 70an yg memang masih langka. Apalagi zaman ketika orang naik haji pakai kapal laut.

    BalasHapus
  4. Guyonan teman-teman mahasiswa, entah benar atau tidak, yo mboh.
    Konon Kedutaan Besar Republik Indonesia di London punya seorang bujang Jawa ( pelayan laki ) bernama Roem.
    Suatu hari Ibu Duta Besar menyuruh Mas Roem pergi belanja kepasar. Roem, jangan lupa membeli jamur champignon ya !, pesan Ibu.
    Pergilah Mas Roem ke pasar, ketempat nyonya inggris menjual sayuran.
    I want to buy that, kata Mas Roem, sambil telunjuk-nya menunjuk-nunjuk kearah jamur Champignon, karena dia tidak tahu apa kata jamur dalam bahasa inggris.
    Si-nyonya bertanya, mushroom ?
    Mas Roem balik bertanya; Lho, you kok know my name ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe guyonan apik. bu dubes kudu ngguyu sama si bujang ini.
      nah.. kata bujang yg artinya pelayan atau pembantu digunakan di Alkitab Perjanjian Lama. sekarang sebagian besar orang Indonesia hanya paham bujang itu artinya single. khususnya laki2.

      xiansheng ini punya perbendaharaan kata2 lama yg sangat bagus.

      Hapus
    2. Kita anak2 luar-pulau terpaksa harus fasih berbahasa Indonesia jika melarat ke Jawa, tanpa demikian, bagaimana kita berkomunikasi di pulau Jawa.
      Anak2 Adenara dan Lomblen harus pergi ke Larantuka untuk melanjutkan sekolah SMP dan SMA. Demikian pula halnya kita anak2 Bali harus ke Jawa untuk melanjutkan sekolah, sebab dulu di Denpasar sekolah THHK hanya ada sampai kelas 6 SR. Saudara2 saya terpencar ke-mana2, ada yang ke Tegal, Ampenan, Jakarta dan Surabaya. Hanya saya yang diasingkan ke Srono, sebab sejak kelas 1 sampai kelas 2 SR, sudah jagoan membolos, pergi mengail ikan.
      1955 Mama sudah tidak kuat menangani saya, maka Mama menelpon kepada engkoh, agar menjemput saya, supaya diboyong ke Jawa. Mama semuanya yang menata dan membereskan koper, pakaian, rapor dan surat2. Saya hanya membawa semal ( bajing atau tupai ) kesayangan saya.
      Tupai itu saya pelihara sejak berupa cindil, dia jatuh dalam sarangnya dari pohon suar (trembesi) depan rumah, karena diterjang angin puting beliung.
      Waduh senangnya anak Bali, waktu pertama kali melihat Spoor di Banyuwangi. Saya loncat2 kegirangan sambil teriak2, spoor, spoor. Engkoh marah, ngomel dengan bahasa jawa: arek edan, kethok spoor wae kok senenge ora keruan. Kuping-saya dijewer, sebab opelet-nya sudah tidak sabaran menunggu.
      Istri-engkoh ( enso ), orang Temoegoeroeh asli, fasih berbahasa Hokkien, Mandarin, Jawa, Madura dan Melayu, entah mengapa dia sejak pertama kali bertemu muka dengan si-ipar-nya, anak Bali ini, selalu berbahasa melayu dengan nya.
      Suatu hari, hari pasaran di Srono, enso berpesan kepada ku; nanti kalau ada pedagang ayam lewat depan rumah, kamu panggil ya ! Iya, So.
      Kalau kebetulan Hari Pasaran disebuah desa, maka banyak para petani yang menjajakan hasil panen mereka, beras, sayur-mayur, ketela, ubi, kambing, ayam, dll. Pedagang- keliling juga berjualan pakaian, kebaya, selendang, dll. Orang Arab-nya jualan minyak wangi, minyak gosok tahan-lama, sarung dan kupluk. Entah mereka datang dari seluruh penjuru kabupaten. Waktu itu hampir seluruh penduduk memeluk agama Islam, tetapi di Srono saya belum pernah melihat orang Arab disana. Semua teman2 bermain saya kalau sore hari, seger, berpakaian necis, sarungan dan kuplukan, membawa Kitab Al Quran mengaji di Langgar. Bapak Kyai Haji dan Guru ngaji mereka semuanya orang2 Jawa atau Osing. Hanya 10 tahun terachir ini, saya mendengar istilah habib dan ustadz. Pedagang Tionghoa-nya ya duduk nongkrong di-toko2 mereka, sekitar pasar.
      Ketika ada pedagang ayam lewat, saya teriaki : We dagang siap ! We dagang siap ! Tetapi tak ada satu pun yang mau berhenti. Sudah jam 11, enso sudah mau masak makanan siang. Dia bertanya, mana pedagang ayam-nya ? Tidak tahu So, tidak ada yang mau kemari. Kamu panggilnya bagaimana ? We dagang siap. Enso tersenyum; siap itu pithek namanya di Jawa.
      Pertama kali melihat salju turun di Frankfurt, saya juga kegirangan, langsung saya mengambil- dan meremas-nya. Engkoh ke-5 ngomel, sarung tangan kulit yang kemarin aku belikan, rusak kalau lu pakai mainan salju. Lu tahu harganya 5 DM, coba lu kerja, betapa susahnya mendapatkan uang 5 DM.
      Waduh, jadi orang luar-pulau kok kampungan, di-mana2 diomelin.
      Kenapa ada istilah Luar-Pulau ? Bukankah kita lahir dan hidup di negeri Kepulauan. Sejak jaman Ken Arok Indonesia ini serba Jawa Centris.

      Hapus
  5. Masa-masa Jaya-jaya-nya Uang Rupiah Indonesia !!!
    Tahun 1955, seorang petani menuntun se-ekor kambing ( wedhus gibas betina ) lewat di depan rumah. Engkoh saya bertanya : Pak, wedhus riko iku didol tah ? Iyo yoek, jawab-nya.
    Achirnya engkoh membeli kambing itu, seharga 25 Rupiah, dan dihadiahkan kepada saya, sebagai teman penglipur lara.
    Semua teman2-saya, Sapei, Djoko, Supeno, Sujono, Djalil, Djamil, dll. juga punya wedhus atau kambing. Kita semuanya, selesai sekolah, ber-sama2 ngangon wedhus di lapangan rumput milik engkoh-saya yang luasnya ber-hektar2. Wedhus betina saya sesungguhnya masih sangat muda, masih perawan. Tetapi karena ingin cepat2 supaya wedhus saya bunting, maka sering2 saya kawinkan dengan wedhus2 jantan milik teman2. Tentu saja kambing muda itu memberontak tidak mau. Lehernya saya kempit antara paha, lalu ekor-nya saya tarik keatas, saya sajikan kepada kambing2 jantan itu. Perkosaan, KUHP No. ???. Masya Allah, kita anak2 Indonesia usia ingusan kok sudah ngerti cara-nya supaya mahluk betina jadi bunting.
    Jika dipikir secara jujur, memangnya kita orang2 didaerah panas, katulistiwa, lebih cepat matang daripada orang2 didaerah kutub.
    Makanya orang Bali, termasuk aku, kalau guyonan selaku suka pakai kata2 yang bersifat XXX. Yen sing jaruh (seronok), sing nak bali. Demikianlah ungkapan kita orang bali tempo dulu.
    Sayangnya aku tidak bisa ikut mengalami wedhus-pertama-ku itu bunting, sebab keburu kembali pulang ke Bali. Tetapi beberapa bulan sebelum pulang ke Bali, aku oleh engkoh dibelikan lagi seekor wedhus betina, babonan yang sudah bunting, warna putih campur hitam. Aku masih bisa melihat wedhus-ku kedua punya cempe kembar.
    Setelah aku tidak tinggal lagi di Srono, maka kambing2 itu oleh engkoh disumbangkan kepada bujang-kami, Pak Djuki, orang asal pulau Bawean.

    Ergo ; Se-ekor kambing hidup, harga-nya 25,- Rupiah di Indonesia.
    Sekarang istri-ku di Austria sering membeli daging kambing segar, di toko daging halal milik orang Turki, daging paha bersama tulang2-nya, per Kg. harganya 13 Euro. Lebih payah lagi 1 Kg daging kambing bagian rusuk per Kg. 19,- Euro. 19 Euro hanya untuk makan daging sedikit, sambil ngerokoti tulang belulang bagian tulang-punggung dan rusuk.

    BalasHapus