Sabtu, 13 Juli 2019

10 Bahasa Utama di Flores



Sejatinya riset tentang bahasa-bahasa di Flores sudah banyak. Namun, bahan-bahannya tersimpan rapi di Belanda. Orang Flores sendiri masih sedikit meneliti bahasa-bahasa di kampung halamannya sendiri. Beberapa nama yang patut disebut adalah Prof. Dr. Gorys Keraf (Universitas Indonesia), Dr. Inyo Yos Fernandez (Universitas Gadjah Mada), D.A. Kumanireng, A.N. Liliweri, M.M. Pareira. Saya berterima kasih kepada mereka semua.

Dari buku Dr. Inyo Yos Fernandez, saya akhirnya tahu bahwa Flores itu punya 10 bahasa utama. Bahasa-bahasa ini tidak sehomogen bahasa Jawa, tapi selalu ada variasi di sana-sini. Berikut bahasa-bahasa daerah yang dipakai penduduk Flores dan sekitarnya. Kita awali dari ujung timur.

1. BAHASA LAMAHOLOT

Digunakan sebagian besar penduduk Kabupaten Flores Timur dan Kepulauan Solor (Adonara, Solor, Lembata). Kami di kampung 100 persen bicara dalam bahasa ini. Susunan kalimatnya, seperti pengantar di atas, berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa sehingga anak-anak kampung macam saya awalnya kesulitan berbahasa Indonesia. Mengubah konstruksi kalimat bahasa Lamaholot ke bahasa Indonesia bukan pekerjaan gampang.

Maka, kalau Anda melihat di televisi orang-orang kampung Flores Timur sulit bicara dalam bahasa Indonesia, ya, begitulah kenyataannya. Memang paham sedikit-sedikit, tapi sulit lancar. Perbendaharaan kata bahasa Indonesia sangat minim. Saya sendiri baru "agak lancar" bahasa Indonesia setelah sekolah di SMP Pankratio Larantuka.

Wilayah Lamaholot dikelilingi lautan. Kontak dengan dunia luar sangat lancar. Maka, sejak dulu orang-orang Lamaholot sudah biasa kedatangan orang-orang luar yang berbahasa Melayu atau bahasa Indonesia. "Kelebihan" lain: sejak zaman penjajahan Portugis, Larantuka menjadi kota utama di Flores Timur dan Kepulauan Solor.

Penduduk Larantuka berbahasa Melayu (atau bahasa Nagi) yang tak lain bahasa Melayu pasar. Ini "memaksa" orang-orang Lamaholot macam kami untuk berbahasa Indonesia meskipun tertatih-tatif. Sampai sekarang pun bahasa Indonesia (yang sudah kompleks) itu masih disebut bahasa Melayu oleh orang-orang kampung di Flores Timur dan Lembata.

"Mo ake koda mang melayuhn terus. Koda mang lohumen hae," begitu teguran khas adik saya ketika saya selalu bicara dalam bahasa Indonesia dengan orang-orang kampung. (Kamu jangan bicara dalam bahasa Indonesia terus. Pakailah bahasa Lamaholot!)

Memang, orang yang tiap hari berbahasa Lamaholot biasanya tidak suka berbahasa Indonesia. Sebaliknya, orang yang tiap hari berbahasa Indonesia atau Jawa kesulitan mengubah cara berpikir, morfologi, serta sintaksis ala bahasa Lamaholot. Beda, misalnya, dengan bahasa Jawa yang strukturnya sama 100 persen dengan bahasa Indonesia. Wajar saja kalau orang Jawa sangat lentur ketika berbahasa Indonesia.

2. BAHASA KEDANG

Digunakan penduduk Kecamatan Omesuri dan Buyasuri di Kabupaten Lembata. Orang Kedang ini ibarat orang Madura di Jawa Timur yang bahasanya berbeda total dengan bahasa Jawa. Meski sama-sama di Lembata, dikelilingi oleh mayoritas penduduk berbahasa Lamaholot, orang Kedang punya bahasa sendiri.

Bapak saya pernah jadi guru di Kedang sehingga saya sedikit banyak paham bahasa Kedang. Beda banget dengan bahasa Lamaholot. Karena itu, guru-guru bahasa di Larantuka sering menjadikan bahasa Kedang sebagai bahan guyonan. "Siapa di sini yang asalnya dari Kedang? Angkat tangan," kata Pak Aldo, guru saya di SMPK San Pankratio Larantuka dulu.

Ketika ada teman Kedang yang angkat tangan, suasana kelas pun riuh. "Pandita ne amo?" canda Pak Guru. Maksudnya, "Bapak mau pergi ke mana?"

Hehehe.... Acap kali kaum "minoritas" menjadi bahan guyonan orang-orang dominan macam Lamaholot karena dianggap aneh. Kok bahasa Kedang lain sendiri? Begitu yang selalu muncul di benar orang Flores Timur.

3. BAHASA NAGI (MELAYU LARANTUKA)

Digunakan di Kecamatan Larantuka, Wure, dan Konga. Sejenis bahasa Melayu pasar yang berkembang seiring masuknya warga Melayu ke Flores Timur. Digunakan sekitar 25.000 orang. Kata-katanya sama dengan bahasa Indonesia, tapi terpengaruh bahasa Lamaholot dan Portugis.

Meski pemakainya tak sebanyak Lamaholot, bahasa Nagi sangat populer dan mudah dipelajari siapa saja. Macam bahasa Indonesialah. Orang-orang Lamaholot pun tak kesulitan menangkap bahasa Nagi. Karena itu, sejak dulu bahasa Nagi menjadi lingua franca yang andal.

4. BAHASA SIKA

Digunakan di enam kecamatan di Kabupaten Sika, yakni Talibura, Kewapante, Bola, Maumere, Nita, dan Lela. Menurut beberapa peneliti, ada dua dialek yang dipakai penutur bahasa Sika. Dialek Sika Barat dan Dialek Krowe atau Kangae atau Tana Ai di Sika Timur.

Maumere sejak dulu menjadi kota penting di Flores bagian timur. Ini membuat orang Flores Timur daratan paham beberapa kalimat dasar bahasa Sikka. Biasanya, anak-anak muda Larantuka belajar bahasa Sika dari para sopir atau kernet bus-bus Maumere yang tiap hari datang ke Larantuka.

5. BAHASA PALUE

Digunakan sekitar 15.000 penduduk Pulau Palue. Pulau vulkanis (ada Gunung Rokatenda) ini lebih dekat dengan Kabupaten Ende, tapi masuk Kabupaten Sika. Tokoh Palue yang terkenal di Jawa Timur adalah Damianus Wera. Dia tabib tradisional yang tiap hari mengoperasi pasien dengan pisau cutter tanpa pembiusan apa pun. Damianus belakangan ini membina Sasana Rokatenda yang mulai berkibar di Jawa Timur.

6. BAHASA LIO

Digunakan di Kabupaten Ende dengan jumlah penutur hampir sama dengan bahasa Lamaholot, sekitar 215.00 penduduk. Ada enam kecamatan yang menggunakan bahasa Lio: Nangapanda, Ende, Ndona, Wolowaru, Maurole, dan Detusoko.

Sejumlah pengamat menganggap bahasa Ende sebagai bahasa tersendiri. Namun, ahli-ahli terkemuka macam Dr Inyo Fernandez dan Dr Gorys Keraf memasukkan bahasa Ende sebagai salah satu dialek dalam bahasa Lio. "Sebab, tingkat saling pengertian antara penutur bahasa Ende dan Lio sangat tinggi," tulis Dr Fernandez.

7. BAHASA NGADA

Digunakan di Kabupaten Ngada, Flores Barat. Penutur bahasa Ngada tersebar di tujuh kecamatan: Aimere, Golewa, Mauponggo, Nangaroro, Boawae, Bajawa, Aesesa. Seperti bahasa-bahasa lain di Flores, bahasa Ngada pun mengenal macam-macam dialek.

Pater Arndt SVD sejak 1930-an sudah melakukan penelitian mendalam tentang bahasa dan budaya Ngada. Pada 1933 pastor ini bahkan sudah menulis tata bahasa Ngada, kemudian kamus Ngada-Jerman pada 1961. Ini menunjukkan bahasa bahasa dan kebudayaan Ngada menjadi kajian penting ketika misionaris SVD merintis misi Katolik di Flores.

8. BAHASA REMBONG

Digunakan di Riung Tengah, Kabupaten Ngada bagian utara. Kawasan ini berbatasan dengan Manggarai dan pengguna bahasa Ngada. Jumlah penuturnya cukup banyak, 20 ribu orang. Di kawasan ini, pesisir utara, juga ada penutur BAHASA BAJO. Bahasa ini dipakai orang-orang suku Bajo, kaum nelayan yang biasanya berumah di atas laut.

9. BAHASA MANGGARAI

Bahasa paling banyak penuturnya di Flores. Sekitar 500.000 penutur bahasa ini tinggal di Kabupaten Manggarai, ujung barat Flores. Ada sembilan kecamatan: Lembor, Satarmese, Mbrong, Elar, Lambaleda, Ruteng, Cibal, Reo, Kuwus. Menurut Fernandez, bahasa Manggarai kurang menampakkan pengaruh luar karena penuturnya "lebih akrab ke dalam".

Pakar-pakar Barat juga sudah lama meneliti bahasa Manggarai. Sebut saja J.A.J. Verheijen yang menulis Kamus Manggarai-Indonesia pada 1967 dan Kamus Indonesia-Manggarai pada 1970. "Alam yang bergunung-gunung dengan sungai dan hutan yang belum disentuh tangan manusia turut berperan dalam membentuk dialek-dialek di Manggarai," kata Dr. Fernandez.

10. BAHASA KOMODO

Digunakan di pulau-pulau kecil yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Selain Pulau Komodo yang terkenal dengan buaya darat, varanus komodoensis, pengguna bahasa Komodo tinggal di Pulau Rinca. Berbatasan dengan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, bahasa ini terpengaruh bahasa Bima yang dipakai penduduk Pulau Sumbawa.

6 komentar:

  1. untuk bahasa floresnya "tolong, maaf, dan terima kasih" itu apa yak ?

    BalasHapus
  2. Tolong - Campe
    Maaf - Neka rabo
    Terima kasih - tiba teing, welidi'a

    BalasHapus
  3. Mo ake koda mang melayuhn terus. Koda mang lohumen hae !
    Peringatan inilah yang membuat isun jadi pusing. Begini salah begitu salah , aku jadi mumet.
    Di satu sisi kita teriak2 "Satu Bahasa Kita" "Satu Bangsa Kita", dilain pihak "Kita Tidak Boleh Melupakan Budaya Asli Kita ".
    Kalau saya ke kota Chuan-chiu atau Quanzhou, selalu saya ngobrol memakai Bahasa Chuan-chiu (Min-nan-hua) dengan saudara sepupu saya.
    Kami ngobrol ngalor ngidul. Ketika thema nya tentang sogok-menyogok, suap-menyuap dengan uang kepada pejabat negara, saya memakai istilah "SUWIK" atau "SWEIK". Medadak Piaoko, saudara sepupu saya, tertawa ter-bahak2. Saya menjadi heran, dan bertanya, mengapa dia tertawa ?
    Dia masih tertawa sampai mengeluarkan air-mata.
    Achirnya dia cerita; istilah atau kata SWEIK tersebut sudah puluhan tahun tidak pernah dia dengar lagi di Chuan-chiu, di kota kelahirannya, yang belum pernah dia tinggalkan. Dia bilang, kata itu adalah istilah asli bahasa Chuan-chiu, yang kian hari bertambah punah.
    Lantas dia menunjuk kepada cucu-perempuannya. Lu lihat cucu-gua itu, dia orang kita, lahir disini, tapi tidak lancar berbahasa kita, tiap hari bicara pakai Bahasa Mandarin ( Putonghua).
    Padahal bahasa Min-nan yang saya kuasai hanyalah hasil nguping dari para encek-encek dan engkoh-engkoh Pasar Pabean kalau ngedabrus tentang dagangan.
    Piye sekarang ? Bahasa daerah dilestarikan ataukah kita ramai2 NgINGGRIS ala CIKEAS.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini pengalaman yg sangat menarik dan bikin kita orang ikut senang. Orang Lembata yg merantau sejak usia belasan ke Malaysia tempo doeloe biasanya punya kosa kata bahasa daerah lebih asli ketimbang bahasa yg berkembang sekarang yg sudah banyak oplosan bahasa Melayu atawa Indonesia. (Oh ya, bahasa Indonesia itu disebut Melayu di daerah Lembata dan Flores Timur.)

      Waktu mudik atawa balik kampung setelah 30an tahun para perantau itu berbicara dengan bahasa daerah seperti waktu mereka masih anak² dulu di kampung. Sementara masyarakat di kampung sudah jarang atawa tidak pakai itu kata².

      Saya pun pernah diketawai waktu bilang "go gere kapal mekangen" artinya "saya naik kapal terbang".

      Istilah kapal mekangen (terbang) ini sudah lama diganti dengan pesawat. Mestinya: Go gere pesawat.

      Hapus
    2. "Swik" itu memang kata hokkian yang masih populer di kalangan Tionghoa Surabaya. Bahkan penggunaannya menjadi luas, misalnya: wah aku mesti ngeswik calon morotuwo ku. Tak tukokno martabak disik, ben nek ngeterno anake mulih bengi gak dipleroki.

      Hapus
  4. Bahasa Utama diatas bumi, menurut Mbah Google :
    Jika disebuah pesta dihadiri oleh 100 tamu, maka ada:
    17 orang dari mereka kongkow pakai Bahasa Cina-Mandarin.
    6 orang kongkow pakai Bahasa Spanyol.
    5 orang kongkow pakai Bahasa Inggris.
    4 orang kongkow pakai Bahasa India-Hindi.
    3 orang kongkow pakai Bahasa Arab.
    3 orang kongkow pakai Bahasa Portugis.
    3 orang pakai Bahasa Benggali.
    2 orang pakai Bahasa Russia.
    2 orang pakai Bahasa Jepang.

    Sisanya 55 orang, plonga-plongo tidak ada yang ngerti dia bicara apa.
    Mengapa orang Tionghoa-Indonesia generasi saya justru banyak yang menolak berbahasa Cina, mereka lebih bangga kalau bisa nyerocos pakai Bahasa Belanda. Mungkin mereka dulu tidak tahu, kalau negara Belanda luasnya hanya sebesar opil sapi. Jumlah orang bule belanda pun bisa dihitung dengan jari.

    BalasHapus