Pekan lalu, Maret 2007, Slamet Abdul Sjukur (71) mengikuti festival dan konferensi komponis kontemporer di Selandia Baru. Slamet berjumpa dengan begitu banyak komponis dunia yang terilhami oleh musik tradisional Indonesia.
KOMPONIS Slamet Abdul Sjukur tetap seperti dulu. ‘Menyepi’ di rumahnya, Jalan Keputran Panjunan I/5 Surabaya, bikin komposisi, memberikan kursus musik, juga menghadiri undangan festival internasional. Bicaranya perlahan, tapi sangat kritis.
"Saya baru pulang dari Selandia Baru mengikuti festival dan konferensi komponis internasional,” ujar Slamet Abdul Sjukur saat saya temui di rumahnya, kemarin.
Festival ini diikuti pemusik-pemusik hebat dari negara-negara Asia-Pasifik, ditambah Meksiko, Amerika Serikat, Kanada, Lituania, Polandia, Rumania, Austria, Jerman, Belanda, Inggris. Selama 10 hari para komponis ini berdiskusi, menggelar 88 karya dalam 34 pertunjukan.
Slamet Abdul Sjukur hadir bersama Sutanto (Mendut, Jawa Tengah), serta Tony Prabowo serta Otto Sidharta (Jakarta). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengirim 10 seniman untuk memainkan Gondang Batak dan Sigalage.
"Saya dan teman-teman bisa berangkat karena ada sponsor dari Ford Foundation. Kalau pakai dana sendiri, mana bisa. Dukungan pemerintah kita malah nggak ada,” ujar arek Suroboyo asli ini lalu tertawa kecil.
Slamet mengaku menemukan hal menarik selama festival dan konferensi komponis kontemporer di Wellington, Selandia Baru. Di antaranya, para komponis sangat fokus pada musik, tidak bicara ngalor-ngidul tanpa arah.
“Lain dengan di Indonesia. Banyak pemusik senang melontarkan pernyataan-pernyataan di luar musik. Itu kan nggilani,” kata pria yang sempat tinggal dan belajar di Prancis pada 1962 hingga 1976 itu.
Menurut Slamet, orang-orang Selandia Baru yang menikmati konser terkesan dengan beberapa komposisi bernuansa Indonesia yang justru digarap oleh komponis-komponis Barat. Dua pemusik Amerika, Evan Ziporyn dan Christian Southworth, memukau penonton dengan genderan Bali.
Asal tahu saja, “Lebih dari 100 universitas di Amerika punya perangkat gamelan lengkap. Belanda, Prancis, Inggris, Kanada, Jepang juga mendalami gamelan,” ujar pria yang banyak mengoleksi berbagai penghargaan musik dari dalam dan luar negeri itu.
Kenapa pemusik Barat bisa mengambil esensi musik Indonesia dengan sangat baik?
Menurut Slamet, orang-orang Barat kebetulan punya cukup dana untuk membiayai empu-empu musik dari Indonesia. Mereka juga berkesempatan luas untuk belajar langsung pada seniman-seniman kita di sini.
“Sehingga, mereka tahu dari tangan pertama. Orang kita kan belajarnya sama tangan ke-48, 49, 50,” ujarnya.
Slamet kemudian bicara panjang lebar ihwal pendidikan atau kursus musik (klasik) di Surabaya yang semakin salah arah. Guru-guru musik, khususnya piano, bukannya memberikan kegembiraan kepada anak-anak yang belajar piano, melainkan membebani anak-anak dengan kompetisi. Ini sangat keliru.
“Anak-anak itu kan capek dengan pelajaran di sekolah. Lha, guru-guru musik kasih beban tambahan lagi,” kritik Slamet. Belum lagi mengikutkan anak-anak di kompetisi internasional yang tidak jelas juntrungannya.
Di Selandia Baru, Slamet terang-terangan menceritakan liku-liku kehidupan komponis musik kontemporer. Orang-orang Barat sangat terkejut karena komponis sekaliber Slamet Abdul Sjukur ternyata tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan musik.
"Saya harus kerja serabutan di luar urusan musik. Saya mengajar di pascasarjana Bandung dan Bogor, Akademi Jakarta, bahkan jadi tukang pijat, meramal nasib, dan buka warung,” beber Slamet.
“Anda nggak percaya kalau saya ini juga tukang pijat?” tukas Slamet.
Dia kemudian mempraktikkan kepiawaian pijat refleksinya di punggung saya. Aha, ternyata pijatan Slamet Abdul Sjukur cukup berasa, tak kalah mutunya dengan tukang pijat profesional.
“Di Jakarta sudah banyak orang tahu kalau saya bisa pijat. Di Surabaya saja yang belum. Hehehe...,” papar Slamet.
Komponis, pemijat, peramal, penjual nasi. Sebuah kombinasi yang janggal, tapi nyata di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar