Kamis, 11 Juli 2019

PPDB Zonasi, Anak Tak Perlu Pintar

Sidoarjo, 13 Juli 2018


''Sekarang tidak perlu anak pintar. Kalau punya SKTM ya gampang.''

Begitu keluhan Sigit di Jawa Pos. Pak Sigit kecewa berat karena anaknya gagal masuk SMA negeri. Padahal nilai reratanya di atas 90.

Sekolah-sekolah negeri tahun ini memang mengutamakan anak-anak yang orang tuanya miskin. Bukti miskinnya ya pakai surat keterangan tidak mampu alias SKTM. Maka surat miskin ini laku keras. Para orang tua berlomba-lomba jadi orang miskin. Agar anaknya bisa masuk negeri. Biarpun nilainya rendah.

Kebijakan menteri pendidikan sekarang ini niatnya baik. Biar kualitas pendidikan bisa merata. Tidak boleh lagi ada yang disebut sekolah favorit. Tidak boleh ada penumpukan anak-anak pintar di satu sekolah. Semua anak, berapa pun IQ-nya, dicampur di satu sekolah.

Ada juga kebijakan zonasi. Sekolah negeri wajib mengutamakan pelajar yang rumahnya di dekat sekolah. Tanpa perlu melihat hasil unasnya.

Memangnya sekolah-sekolah negeri sudah merata? Jangankan di luar Jawa, di Sidoarjo sekalipun sekolah negeri yang bagus (sekolah favorit, istilah warga) ada di tengah kota. Ada empat SMA negeri.

Maka berbahagialah warga Sidoarjo yang tinggal di Kelurahan Pucang dan Siwalanpanji. Sebab merekalah yang paling berhak masuk SMAN 1 Sidoarjo yang sangat favorit (dulu) itu. Sebab sekolah elite itu berlokasi di kampung halaman mereka.

Sebaliknya, warga Kecamatan Sukodono atau Balongbendo atau Wonoayu tidak akan bisa masuk SMA negeri. Begitu juga warga Kecamatan Sedati yang wilayahnya ada Bandara Internasional Juanda. Wilayah kecamatan-kecamatan ini tidak punya SMA dan SMK negeri.

Dari 18 kecamatan di Sidoarjo, masih banyak kecamatan yang tidak punya SMA negeri. Sekolah-sekolah negeri yang bagus justru numpuk di tengah kota. Beginikah zonasi pendidikan itu?

Kebijakan menteri pendidikan saat ini jelas mengubah filosofi persekolahan yang sudah bertahun-tahun dianut di Indonesia. Model rekrutmen berdasar nilai unas (dulu ebtanas) atau seleksi sepertinya tidak berlaku lagi.

Tidak ada lagi istilah anak pintar, sedang, atau lambat menangkap pelajaran. Semua murid dianggap punya kemampuan yang sama untuk mengikuti pelajaran. Filsafat yang sudah sering ditolak pakar-pakar pendidikan macam Pater Drost SJ.

''Kami khawatir siswa yang nilainya rendah tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik seperti teman-temannya yang nilainya tinggi,'' ujar Yuniarto, guru salah satu SMA negeri.

Syukur-syukur anak yang nilainya rendah itu ketularan temannya yang pintar. ''Kalau gurunya bagus, anak-anak yang nilainya jelek itu bisa dibuat pintar. Salahnya guru kalau ada anak yang nilainya di bawah 70,'' ujar Sugianto, teman saya yang guru bahasa Mandarin dan punya sekolah bisnis berbahasa Mandarin.

Mr Su ini tergolong aliran sama rata sama rasa khas Tiongkok. Dia sejak dulu menolak dikotomi sekolah favorit dan nonfavorit. Karena itu, dia sangat senang dengan kebijakan Menteri Muhadjir dalam penerimaan siswa baru.

''Sekolah swasta juga mestinya gitu. Semua pendaftar harus diterima selama kursinya cukup. Lan iso mbayar hehe,'' kata saya disambut tawa Mr Su.


Komentar di Blog Lama:

Anonymous
2:32 AM, July 14, 2018
Lambertus yang budiman, di belahan dunia yang lain, di kota New York, borough Manhattan, terjadi masalah yang sama. Di sana ada sekolah2 favorit yang penerimaannya hanya melalui tes masuk, yaitu antara lain Stuyvesant, Bronx Science High School. Banyak sekali (hingga 70%) orang Asianya yang masuk, walaupun bukan orang kaya, karena mereka belajar mati2an agar bisa tembus ujian penerimaan. Lulusan dari sekolah2 tsb dapat masuk ke universitas2 terbaik seperti 2 anak sepupu saya (yang kakek neneknya hoakiau dr Indonesia) yang meneruskan ke Harvard.

Walikota yang baru Bill Blasio (yang istrinya orang hitam) tidak menyukai sistem penerimaan tersebut. Ia memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan (School Superintendent) agar mengubah sistem dengan menerima lulusan to 10% dari semua SMP, tidak peduli berapa nilainya, agar semua ras di New York City terwakili sama rata.

https://www.nytimes.com/2018/06/02/nyregion/de-blasio-new-york-schools.html

Orang keturunan Asia protes: tidak adil! Diskriminasi thd Orang Asia yang rajin belajar untuk mengubah nasib mereka. Orang hitam dan Puerto Rico dll. ras yang merasa tak terwakili, senang: ini baru adil! Kan kami orang miskin, karena itu tidak punya akses ke bimbingan belajar! Padahal selama ini bimbel sudah diadakan secara gratis oleh New York City untuk semuanya demi melawan persepsi tersebut. Tetapi siapa yang datang ke bimbel? Hanya orang Asia-Amerika yang miskin, wkwkwkwkwkwk!

Inti permasalahannya: apakah definisi keadilan itu? Apakah keadilan itu sama rata untuk semua ras / kultur? Apakah keadilan itu buta ras?


Lambertus Hurek
11:54 AM, July 14, 2018
sistem pendidikan atau lebih tepat persekolahan itu kunci kemajuan bangsa. makanya perlu didesain dengan super serius oleh pemerintah, parlemen dsb. tidak bisa setengah2. tidak boleh ganti menteri ganti kebijakan.

presiden jokowi rupanya kurang super untuk ngurusin persekolahan di indonesia. buktinya menteri pendidikannya terkesan asal tunjuk. anies baswedan dicopot. lalu diganti muhadjir dari yayasan muhammadiyah. sistem persekolahannya, psb, diubah. unas juga. kesannya kayak trial and error.

siapa yg jamin sistem persekolahan kita tetap sama setelah menteri pendidikannya diganti? sistem zonasi bakal lanjut terus? jadi prosedur tetap seterusnya? tidak ada.

belum lagi kurikulum. guru. lab. buku2. pokoke ruwet.

Anonymous
1:15 PM, July 14, 2018
Sistem zonasi sama rata seperti itu memang bisa berhasil, tetapi hanya di 2 tempat: Jepang dan negara2 Nordik yg mempunyai ciri2 yg sama: masyarakatnya sangat homogen, penghasilan yg tinggi, dan guru2 yg sangat kompeten dan digaji sangat tinggi. Apakah Indonesia memenuhi persyaratan itu?

Sistem pendidikan utk Indonesia yg sangat majemuk itu seharusnya diserahkan ke provinsi atau bahkan kota. Boleh aja ada kurikulum nasional yg diadopsi ttp tidak bisa dipaksakan.

Digabung dgn sistem magang ala Jerman, untuk mereka yg tidak cocok di wilayah akademis.


Lambertus Hurek
6:16 PM, July 14, 2018
betul betul.. pendapat dan masukan yg sangat ciamik. indonesia memang sangat heterogen. tidak bisa pukul rata aja.
sistem zonasi yg paling sempurna dan sukses itu cuman di flores. itu pun cuman tingkat SD. semua anak pasti sekolah di kampung halamannya. tidak ada yg sekolah di desa tetangga. tingkat SD memang masih sangat homogen anaknya.


Anonymous
3:39 PM, July 14, 2018
Mutu sekolah dan universitas di Eropa semuanya sejajar, tidak ada istilah sekolah- atau universitas-favorit. Istilah itu mungkin hanya ada di England.
Tetapi anehnya Eropa memiliki sejenis sekolah untuk murid yang agak bebal, nakal, disebut Sonderschule. Janganlah memandang rendah anak2 lulusan Sonderschule, sebab mereka kelak akan menjadi tukang2 yang sangat ulung, yang mengharumkan barang2 berlebel Made in Germany.
Ketika kesebelasan sepakbola negara Jerman berhasil meraih gelar juara dunia tahun 1974, hanya ada satu orang dari para pemain yang memiliki ijasah lulusan SMA, yaitu Paul Breitner, sehingga oleh teman2-nya dia dipanggil Herr Professor. Pemain2 kelas dunia lainnya, Franz Beckenbauer, Gerd Mueller, Sepp Maier, Guenter Netzer, dll. hanya punya ijasah tanda lulus SMP.

Lambertus Hurek
6:02 PM, July 14, 2018
informasi yg menarik. model jerman itu yg ciamik. sekolah2 pertukangan alias kejuruan itulah yg lebih dibutuhkan. tidak perlu semua anak masuk sma karena rutenya terlalu panjang untuk nggolek penggawean.

saya baru tau kalo pemain2 jerman barat yg hebat banget itu ternyata hanya satu yg jalur sma. kamsia.

Anonymous7:42 AM, July 15, 2018
Lambertus, untuk generasi 1990, Juergen Klinsmann yg memenangkan Paula Dunia 1990 itu pun juga sekolah kejuruan menjadi tukang bikin roti (baker).


Lambertus Hurek
9:20 AM, July 15, 2018
klinsmann itu penyerang yg sangat tajam. dapat peluang sedikit aja gawang lawan sangat terancam. klinsmann saat itu didukung pemain2 lain yg merata kualitasnya di timnas jerman. apalagi ada dirigen yg namanya matthaeus. ciamik soro.


Lambertus Hurek
9:29 AM, July 15, 2018
sistem persekolahan ala jerman dan belanda itulah yg dijadikan rujukan oleh pater drost sj dalam tulisan2nya tentang pendidikan. intinya, yg saya ingat, siswa yg bisa melanjutkan sekolah ke sma itu pasti lebih sedikit. mayoritas lulusan smp sebaiknya ke smk atau sekolah pertukangan yg dikelola dengan bagus. kenapa? pater drost bilang pelajaran2 di sma atau universitas itu menuntut kemampuan akademik yg sangat tinggi. begitu juga universitas: hanya bisa diikuti mahasiswa2 yg otak akademiknya super. kalau sedang2 saja ya jalurnya di politeknik atau sejenisnya yg prakteknya lebih banyak.

dari mana kita tahu lulusan yg mampu akademik (bukan ortunya kaya) tentu lewat testing. ebtanas atau unas di smp. atau sipenmaru snmptn umptn dan sejenisnya.

kalau semua anak dianggap sama otaknya ya tes masuk atau unas tidak perlu lagi. berarti model piramida seperti yg digambarkan pater drost dan pakar2 pendidikan era orde baru sudah tidak cocok lagi.


Lambertus Hurek
9:33 AM, July 15, 2018

anak2 smk sering magang di tempat saya. setelah lulus, biasanya mereka adu untung ikut seleksi masuk ptn. atau daftar kuliah di swasta... pasti diterima. pokoke iso mbayar spp. lulusan smk memang belum siap kerja. tapi jarang yang nerusin ke politeknik.


Anonymous
2:32 PM, July 15, 2018
Ponakanku lulus sma dr St. Louis tapi gak mau melanjutkan sekolah pdhal nilainya bagus. Karena mamanya buka salon kecantikan, dia kursus rias kecantikan, dengan tujuan meneruskan bisnis mamanya. Jadi sebenarnya itu tergantung anaknya dan orangtuanya juga, berani gak melawan arus dan tidak sekedar ikut2an.

Lambertus Hurek
9:37 AM, July 16, 2018
joss itu. anaknya salah satu mantan bos di sidoarjo malah gak mau sekolah sma. dia milih kerja. buku usaha sendiri. hasilnya lebih sukses ketimbang teman2nya yg lulusan universitas.
cuman kebanyakan ortu khawatir anaknya bakal sulit cari kerja kalo gak sekolah. ijazah itu semacam tiket untuk melamar ke pabrik2.

Anonymous
2:39 AM, July 17, 2018
Memang itu cara memandang pendidikan yang salah. Ijazah (hasil akhirnya) yang dipandang sebagai tiket, bukan isi pendidikan itu sendiri. Saya kasih nasehat ke ponakan itu, universitas itu penting untuk membuka wawasan. Jadi kalau kamu meneruskan kursus kecantikan saja, ga papa, tetapi kamu harus mencari wawasan itu di luar. Kebanyakan orang Indonesia, termasuk dulur2 saya, walaupun lulusan universitas tetapi daya berpikir kritisnya sangat kurang karena masyarakat Indonesia (dan Asia Tenggara pada umumnya) memang tidak melatih ini.

Lambertus Hurek
10:53 AM, July 17, 2018
gak enak memang tapi nyata. ijazah memang tiket di nkri. lowongan jaga toko kudu punya tiket ijazah sma sederajat. jadi caleg atau bupati atau presiden atau wapres ya kudu punya tiket ijazah sma sederajat.
makanya menteri susi yg punya pesawat banyak, pengusaha kaya, ngomong english lebih lancar ketimbang indonesia, punya pilot2 bule... juga perlu tiket. minggu lalu dia lulus paket c. dapat ijazah yg disamakan dengan sma. dapatlah bu susi nyaleg atau dicalonkan jadi bupati gubernur wapres dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar