30 October 2012
Menengok Kamar Banthe yang Sederhana
Di pojok timur Vihara Majapahit dibangun asrama untuk para bhante atau rohaniwan Buddha. Setiap hari mereka bermeditasi, melakukan olah spiritual, serta melayani pengunjung dari berbagai daerah di tanah air.
Suasana Vihara Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ini sepi. Tapi menjadi sangat ramai saat hari raya Waisak atau acara buddhis lain. Bhante Ratanapanno mengajak saya melihat kamarnya. Wow, ternyata, kamar bhante-bhante Buddhayana ini sangat sederhana. Mirip kamar kos kelas menengah ke bawah.
Tapi, berbeda dengan kamar kos mahasiswa atau karyawan, yang dilengkapi televisi, tapi recorder, bahkan komputer atau laptop, kamar para bhikku ini hanya berisi satu tempat tidur. Tak ada hiasan, aksesoris, atau barang-barang berharga. Hanya ada sebuah meja kecil yang ditumpuki buku-buku rohani.
“Kamar saya dan teman-teman, ya, seperti ini. Sebab, kebutuhan kami di sini juga tidak banyak,” ujar bhante asal Jawa Tengah ini.
Syukurlah, Bhante Ratanapanno dkk tak perlu memikirkan makan dan minum karena sudah disediakan Yayasan Lumbini, pengelola vihara yang diresmikan Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita dan Gubernur Jawa Timur Soelarso pada 31 Desember 1989 ini. Di sana tersedia ruangan makan yang luas.
Siapa yang mencuci pakaian banthe?
“Ya, kami mencuci sendiri. Toh, pakaian kami nggak banyak. Sederhana saja,” katanya.
Bhante Ratanapanno mengatakan, para rohaniwan Buddhayana ini setiap hari tak hanya berkutat dengan urusan meditasi dan olah spiritual. Mereka juga melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik seperti masyarakat biasa. Cuci piring, kerja kebun, budidaya tanaman, dan sebagainya.
Saat ini ada 24 banthe yang tinggal di kompleks Mahavihara Majapahit. Namun, menurut Ratanapanno, para bhante yang selalu tampil dengan kepala pelontos ini sering ditugaskan ke berbagai kota untuk pembabaran dhamma. Memberikan pembekalan dan pendampingan rohani kepada umat.
“Kalau Waisak atau acara-acara besar lain baru kumpul semua di sini. Bahkan, beberapa banthe dari luar negeri pun datang bergabung,” ujar Bhante Ratanapanno.
Saya senang berada di kompleks vihara, ikut melihat dari dekat kamar para banthe, dan kegiatan rutin mereka. Pola hidup sederhana, asketis, berusaha menjauh dari hiruk-pikuk modernisasi yang membuat manusia semakin sibuk dan sibuk, sehingga sering lupa keutamaan hidup.
Nammo buddhaya!
KOMENTAR DI BLOG LAMA
Anonymous
4:21 PM, October 30, 2012
Kehidupan sederhana yang ayem tentrem seperti di Vihara Buddha, juga dilakoni oleh para biarawan atau biarawati penganut Gereja Katholik didalam biara ( Kloster, Stift ).
Petang hari sayup2 terdengar paduan suara mereka
menyanyikan Gregorian Choral yang sangat indah, tanpa bantuan alat musik atau pengeras suara.
Semua keperluan dikerjakan secara gotong royong,
jangan kaget jika bertemu seorang mengendarai traktor diladang, tampang seperti petani miskin, ternyata dia seorang pastor.
Wahai kalian para pendeta halleluja perlente, berapa jumlah babu dan jongos kalian dirumah ?
Berapa lama waktu dihabiskan oleh istri kalian, untuk menyasak rambutnya dan berhias. Berapa liter parfum kalian butuhkan setahun ?
Anonymous
6:53 PM, October 30, 2012
Gregorian Choral, gara2 kata ini, saya terkenang kembali akan masa remaja.
Saya waktu muda sangat tambeng, mbeling, males, ndableg, sehingga oleh ibu, saya dibuang atau diasingkan kedalam sebuah asrama Katolik. Disana-pun saya sering di-straf dan digaplok oleh kepala asrama.
Di asrama, kita sering menyanyikan lagu2 Gregorian, misalnya: Asperges Me, Tantum Ergo Sacramentum, dan dimasa Advent, nyanyi Adeste Fideles. Dan banyak lagi yang saya sudah lupa.
Saya dan seorang teman, sering jalan2 kenegeri Ceko melancong kekota Krumau ( Cesky Krumlov ), karena teman itu bekerja di Austria dekat perbatasan Ceko. Selagi enak2 jalan melihat keindahan kota tua, mendadak berklebat dikepala-saya, kata Asperges Me. Lalu saya tanya kepada dia, Josef, apakah artinya asperges me ? Dia menerangkan, kata itu asalnya dari kata aspergere, yang artinya memercikkan. Astaga, jadi aku ber-tahun2 nyanyi dan sembahyang, tanpa mengerti artinya. Asperges me Domine, artinya Percikilah hamba, oh Tuhan.
Lambertus Hurek
8:31 PM, October 30, 2012
Asperges me! Itu lagu wajib untuk perarakan imam masuk ke gereja saat pembukaan misa, khususnya zaman dulu. Di Flores sudah pakai syair bahasa Indonesia, PERCIKILAH AKU. Ada juga lagu gregorian serupa namanya AKU MELIHAT AIR.
Sejak akhir 1990an di Indonesia ada semacam gerakan kembali untuk menghidupkan lagu2 Gregorian. Sehingga, Asperges Me jelas semua orang tahu, khususnya petugas liturgi dan aktivis gereja. Apalagi, buku Puji Syukur yang dipakai di Jawa menggunakan syair Latin dan Indonesia.
Terjemahan Puji Syukur ini sangat mendekati aslinya. Beda dengan terjemahan Gregorian di buku2 liturgi lama kayak Syukur Kepada Bapa yang pakai terjemahan bebas, bukan terjemahan kata per kata, tapi menerjemahkan maksudnya.
Saya tidak menyangka kalau Xiang Sheng punya pengalaman religius di asrama Katolik. Kalau orang Flores, meskipun tidak tinggal di asrama, hampir pasti tahu lagu2 Gregorian yang anda sebut karena itu termasuk lagu wajib sepanjang tahun liturgi. Demikian tanggapan saya.
Anonymous
10:54 AM, October 31, 2012
hidup sederhana, gak neko-neko, memang sangat penting utk tahu makna hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar