Selasa, 16 Juli 2019

Orang Lembata Naik Haji

Haji Anwar Tadong (kanan) di Wisama Haji Surabaya, 2009


Oleh LAMBERTUS HUREK
Surabaya, 01 Februari 2009

Baru-baru ini saya mendapat "tugas khusus"--melalui SMS dari pelosok Flores Timur--untuk menjemput para haji asal Lembata. Para tamu Allah ini tidak bisa langsung kembali ke kampung halaman karena kendala transportasi. Mereka harus tinggal beberapa malam di Wisma Haji Jalan Kranggan, Surabaya.

"Tolong Anda dampingi haji-haji asal Ile Ape. Soalnya, mereka belum pernah ke kota. Mereka akan bingung kalau tidak ada teman bicara. Apalagi, tahun ini ada Haji Tadong, masih keluarga dekat kita. Mamanya suku Hurek seperti kita," begitu pesan pendek dari Kristofora, adik kandung saya.

Namanya juga "perintah", tengah malam, sekitar pukul 20:00, saya mampir ke Wisma Haji Kranggan. Begitu masuk kompleks ini suasana Flores Timur sudah terasa. Orang-orang--hampir semuanya berbusana haji, baik laki-laki maupun perempuan--berbicara dalam bahasa daerah yang sangat saya kenal. Bahasa Lamaholot.

Suara haji-haji asal Lamahala, Kecamatan Adonara Timur, paling keras. Sangat khas. Lamahala itu kampung di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, yang penduduknya 100 persen Islam. Mereka bekeja sebagai pedagang, nelayan, dan pelaut. Jarang yang jadi petani.

"Kakak, haji-haji Lembata lewun teika teku nai? [Kak, haji-haji asal Lembata di mana?]," tanya saya kepada seorang hajah asal Lamahala.

"Ari, lali papa. Mo mala tepe... [Ari, di sana. Kamu jalan lewat sana...]," balasnya ramah sekali.

Benar saja. Saya pun langsung menjumpai haji-haji asal Lembata, kabupaten baru hasil pemekaran Flores Timur. Saya memeluk Haji Muhammad Tadong, haji asal kampung saya, sambil memperkenalkan diri. Rupanya, Pak Tadong ini kurang mengenal saya. "Mo, amam heku? [Bapakmu siapa?]," tanyanya.

Setelah saya bercerita singkat, menyebut identitas saya, orang tua saya, Pak Haji Anwar Tadong pun memeluk saya erat-erat. Haji-haji lain pun saya sambut hangat. Dan malam itu kami ngobrol santai dalam bahasa daerah. Pak Tadong, yang suka bicara, menceritakan pengalaman berhaji di tanah suci. Bagaimana dia harus menabung selama puluhan tahun sampai akhirnya bisa naik haji.

"Rukun Islam kelima ini berat sekali. Tapi, setelah menjalani, rasanya puas sekali. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Alhamdulillah!" ujarnya berkali-kali.

Pak Tadong kemudian meminta teman-teman, yang muslim tentu saja, untuk mulai menabung agar suatu saat nanti bisa naik haji. "Kuncinya di NIAT. Kalau kalian punya niat, tawakal, insyaallah, bisa berhaji. Mulai sekarang kalian harus tanamkan niat itu," pesan Pak Tadong.

Wah, luar biasa orang kampung yang satu ini! Baru beberapa jam tiba di Bandara Juanda, setelah menunaikan ibadah haji, kata-katanya bijaksana amat. Kayak kiai-kiai senior di Jawa Timur. Tapi dia berkhotbah dalam bahasa Lamaholot dialek Ile Ape.

Pak Haji Tadong juga cerita bagaimana dia menangis tersedu-sedu gara-gara tersesat di Tanah Suci. "Mekkah pe atadiken aya-aya, ribun ratun... Ekan lae-lae, mela-mela.... Nepe ti tite sembeang di sare-sare...."

Mau tahu berapa jumlah haji asal kabupaten tempat asal saya?

Bukan ribuan seperti di Surabaya atau Sidoarjo. Bukan satu kelompok terbang (kloter), 450 jemaah, seperti haji bimbingan KBIH Mabruro di Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Tapi ENAM orang! Satu kabupaten hanya menghasilkan ENAM haji pada tahun 2008.

Enam haji asal Lembata itu: 3 dari Ile Ape (kampung saya), 1 dari Kedang, 2 dari Lewoleba. Yang Lewoleba ini aslinya dari Lamahala, cuma sudah lama menetap di Lembata. Ini merupakan rekor tersendiri karena selama bertahun-tahun belum pernah ada orang muslim Ile Ape yang naik haji.

Islam di Lembata memang minoritas sehingga wajar saja bahwa jumlah hajinya tidak sampai 10 orang. Sebab, pemerintah membuat kebijakan kuota per penduduk muslim.

Selain itu, "Sistem haji online ternyata membawa banyak masalah. Dan kita di Nusa Tenggara Timur jadi korban," kata Pak Sjamsir Alam, pendamping jemaah haji Kabupaten Lembata, kepada saya. Tahun 2008 jemaah haji asal provinsi NTT 439 orang.

Gara-gara sistem yang kacau itu, jumlah haji Lembata menurun sangat tajam. Tahun 2007 tercatat 34 orang. Sekarang ini sudah ada 43 orang di daftar tunggu.

"Mudah-mudahan jatah dari Lembata tahun 2009 lebih banyak lagi. Bagaimanapun juga umat Islam di daerah kita punya hak yang sama untuk berhaji," ujar Pak Sjamsir yang berasal dari Sulawesi Selatan itu.

Pertemuan dengan enam haji Lembata di Wisma Haji Jalan Kranggan sangat berkesan. Banyak hal menarik, cerita-cerita kecil, yang bisa menggugah kenangan saya tentang kampung halaman. Mereka pun bertekad menjadi haji mabrur, haji yang bermasalahat bagi orang banyak.

Esoknya, rombongan haji menumpang pesawat Batavia Air tujuan Kupang. Dari Kupang naik kapal laut ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. "Sesuai rencana, kami akan diterima secara resmi oleh Bapak Bupati Andreas Duli Manuk," kata Pak Sjamsir, ayahanda dr. Rahmi Sjam, dokter puskesmas di Lewoleba.

Dua hari kemudian saya mendapat SMS dari kampung. Isinya: rombongan haji disambut dengan tarian tradisional, diarak keliling kampung. Seluruh rakyat, yang nota bene sebagian besar beragama Katolik, menggelar pesta meriah.

"Kame pia poro sapi tou... hode Haji Tadong. Soka sikan pia lewotanah," begitu bunyi SMS adik saya, Kristofora.

Bahasa Indonesianya:

"Kami di sini menyembelih satu ekor sapi, menyambut Haji Tadong. Ada tari-tarian tradisional." (*)

KOMENTAR DI BLOG LAMA

Sallma dan Ceritanya
12:30 AM, February 01, 2009
Sesuatu yang benar2 bikin kami terharu atas perjuangan dan toleransi yang begitu apik dalam kehidupan masyarakat Lembata, semoga menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia, krn perjuangan itu akan berhasil karena doa kita bersama.

Anonymous
10:43 AM, February 01, 2009
aku juga org flores timur. menarik membaca cerita ini. salam dompet, ake lupang lewotanah.

wens

Anonymous
8:23 AM, February 03, 2009
Ama Lambert,
Saya sangat bangga dengan tulisan ama.Kita berbaahiah karna akhirnya ada haji asal Ile Ape. Ama ada cerita yang menarik dari Rm Anton Prakum, asal Lebala (yang kampng sebelanya mayoritas Ilsma dan yang sebelahnya Mayoritas Katolik - tapoi tak ada pernah kekacaun) waktu diterima di kampung setelah pentahbisannya jadi Imam Katholik, dia disambut pertama di Mesjid...menurut tua-tua adat..dia berketuruna dari daerah yang beragama Islam.. Jadi ada rama tamah khusus di Mesjid sebelum beranjak ke Gereja. Yang sangat terharu lagu pesta pentahbisan itu tidak hanya bagi orang Katholik tapi semua orang malah yang mengurus bagia belakan(seksi Masak adalah yang beragama Islam) supaya daging-daging jangan tercampur-campur...
Membaca tulisan ama, saya mengingat cerita ini...mungkin kita perlu angkat semua cerita bagus seperti ini agar memperkuat hidup hormat antar agama.ok reu

frans kupang ujan - Manila Philippines

Lambertus L. Hurek
11:49 AM, February 04, 2009
Ama Frans,
Begitulah sedikit cerita kecil dari Surabaya. Bagaimana orang-orang kampung yang polos, lugu, sederhana, itu akhirnya bisa naik haji. Dan mereka bahagia.
Salam damai.


Anonymous
5:18 PM, July 03, 2010
salam bang. saya haris, penggemar setia blog abang walau baru aja ketemu bulan juli 2010, satu malam sudah habisa ya baca semuanya
benar2 suara nusantara
mudah2an bisa diterbitkan dalam sebuah buku kelak ya bang kayak buku kakak linda yang di aceh itu
wassalam

6 komentar:

  1. Aku dicaci-maki oleh dua orang Haji.
    Tahun 2005 abang-ku tertua meninggal dunia, mendapat berita, aku langsung mengajak istri untuk segera pulang ke Indonesia.
    Ditempat penyemayaman peti-jenasah di Rogojampi, banyak kenalan engkoh yang datang melayat ( mai-song ), mereka datang berombongan.
    Satu malam, datang 2 bapak Haji beserta rombongannya mai-song, sambil mengucapkan doa secara agama Islam.
    Setelahnya mereka duduk, di meja kursi yang tersedia, sambil ngobrol dan makan camilan. Aku menghampiri mereka, mengucapkan rasa terima kasih dan ikut ngobrol.
    Waktu ngobrol mereka tanya kepada ku, bapak darimana ? Aku bilang dari Eropa dan juga hidup di Tiongkok. Mendengar kata Tiongkok, kedua pak Haji, mendadak sewot. Mereka maki2 : Jancuk, sialan ya, lu orang2 Cina-totok menganjurkan kita, orang Cina-baba, untuk pulang ke negeri Cina, sedangkan kalian pergi ke Eropa atau tetap di Indonesia. Engkoh-saya sejak tahun 1960 nyantol di Tiongkok.
    Aku lantas bertanya, nama engkoh-lu siapa ? Dia bilang, Gwan.
    Lho, si-Gwan khan teman sekolah-ku di SR. Dulu aku sama Gwan tiap pagi jam 5.00 sudah di-stasiun nunggu spoor-kluthuk dari Benculuk,untuk ditumpaki ke sekolah di Rogojampi.
    ( Waktu itu kita duduk di bangku kelas 4 SR. Kelas 5 dan kelas 6, aku diajak pulang ke Bali oleh Mama, sebab Mama tidak tega melihat aku tiap hari bangun pukul 4 pagi dan sampai di rumah- abang pukul 6 sore, karena spoor-nya baru berangkat pulang sore hari. )
    Coba lu kasih alamat dan nomor telpon-nya engkoh-lu, nanti di Tiongkok tak parani.
    Saya bilang kepada Haji Purnomo dan Haji Sutikno, jadi lu berdua ini, adalah Hien dan Tik, yang dulu sangat mbeling itu !
    Di Tiongkok saya pergi mencari Gwan dan nginap seminggu disana.
    Dia hidup disebuah kota kecil di kabupaten Yong-chun, provinsi Fujian. Bahasa Indonesia-nya kurang lancar, tetapi bahasa Jawa logat Banyuwangi-nya sangat lancar. Istri-nya juga hoakiao dari Medan, tetapi juga fasih berbahasa Jawa. Saya tanya, lho lu ini orang Medan, kok iso coro jowo ? Mereka bilang, satu desa itu penduduknya mayoritas hoakiao dari Jawa.
    Gwan, piye saiki, kowe nyesel tha mulih nyang negoro cino ?
    Mula2 nyesel, ora ono panganan, dhelog-en awak-ku lak kate, seje karo adik2-ku Hien ambik Tik, mereka dhuwur, gempal.
    Tetapi saiki urip-ku wis penak ning Cungkuok. Sudah biasa, rumah-ku dua biji, yang satu aku sewakan. Aku dan istri-ku dua2-nya dapat uang Pension dari negara,tak habis dimakan,
    hidup-ku ayem tentrem. Dua kali aku pernah pulang ke Indonesia, melihat kedua adik2-ku yang Haji dan pengusaha itu, bagaimana hidup mereka sedemikian stress, terus terang aku tidak mau tukar dengan cara hidup mereka, walaupun mereka kaya-raya, numpak Mercedes, sedangkan aku cuma numpak sepeda-motor.

    Kalau kadang2 saya menghafal kalimat Syahadat, kebetulan kedengaran oleh bojo-ku, dianya langsung marah cemburu, difitnah katanya aku pingin kawin lagi. Saya juga selalu menghafal Pater noster dan Ave Maria, supaya tidak lupa.
    Bahkan sering membaca ulang kalimat2 Taoteking.
    Salahnya dimana ?

    BalasHapus
  2. Biyen mbeling saiki taubat jadi bapa haji. Ciamik lah. Memang sudah banyak wong tenglang yg jadi haji dan ustad di NKRI. Mereka juga punya organisasi PITI: Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Komunitas untuk membina para mualaf tenglang agar hidup sesuai dengan jalan yg diajarkan agamanya.

    Setelah reformasi dibangun masjid2 dengan Masjid Haji Muhammad Cheng Hoo. Pertama kali dibangun di Surabaya dekat THR, kemudian diikuti kota2 lain.

    Orang Tionghoa yg sudah jadi hui ren adq yg sangat keras dan fanatik. Suka menyerang ajaran agama leluhurnya atau agamanya yg lain. Biasanya mereka ini merasa lebih Islam ketimbang orang2 Islam yg nenek moyangnya sudah jadi muslim sejak zaman Sunan Ampel.

    BalasHapus
  3. Kamsia Mas Hurek, memang banyak tionghoa, kawan2 SR saya di Srono yang jadi haji atau ustadz, sebagian lagi memeluk agama nasrani, sebagian besar pindah ke Malang, Surabaya atau Jakarta, dan banyak pula yang hwee-kuok ke negeri leluhur.
    Suasana desa sudah berubah total, tidak lagi seperti dulu, ada
    kawasan pecinan di sekitar pasar, saling kenal dan saling menyapa. Serasa tak ada perbedaan antara pri- dan non pri-. Sekarang suasana menjadi Dingin, seperti lagunya Rinto Harahap: Tapi janji tinggal janji, A Melting Pot hanya mimpi.
    Penyebaran agama di Nusantara berhasil 90%, sebab para Wali jaman dulu menganut aliran Sufi-tasawuf, sehingga suku Osing di Banyuwangi, keturunan Minak Jinggo, rela meninggalkan agama Hindu mereka. Namun mereka tetap saja sembahyang di petilasan Alas Purwo, yang bernuansa mistik.
    Sudahlah, tidak mau bicara lagi tentang kepercayaan, hanya bisa bikin ribut.

    Tentang tempat ibadah Cheng Hoo di Surabaya.
    Tahun 1955, saya pertama kali mengunjungi kota Surabaya, diajak engkoh-tertua, mem-bezoek, tacik2 dan engkoh2 lainnya yang sekolah di Chung-chung Surabaya.
    Tacik2 indekost di jalan Gading dan engkoh2 indekost di jalan Taman Kusuma Bangsa, depan THR. Seingat saya, rumah di jalan Taman Kusama Bangsa itu milik keluarga bermarga Yang atau Njoo, disana 3 engkoh2-saya ditidurkan di garasi mobil ber-sama2 dengan 2 kawan-nya asal Bali. Tiap hari anak-laki pemilik kos selalu nyanyi lagu2 seriosa dengan pacar-nya Fifi Young. Anak2 kos dari Bali selalu tertawa ter-pingkal2 jika harus terpaksa ikut mendengarkan lagu2 seriosa pakai bahasa asing, entah bahasa italy atau deutsch. Lha wong orang Bali waktu itu hanya bisanya nyanyi lagu2 Bali; Curik curik, atau Meong meong. Kalau pun lagu bahasa melayu, bisanya cuma lagu Terang Bulan dan Waktu semalam Bung aku bermimpi, digigit ular Bung...dst.
    Surabaya tempo doeloe masih ada trem-listrik trayek Jembatan Merah sampai Wonokromo, melintasi Alun-alun Contong-Tunjungan-Kaliasin-Urip Sumoharjo-Darmo-dst.
    Saya kenal betul Lapangan Taman Gading tempo dulu, yang sekarang berubah jadi mesjid Cheng-hoo. Taman Gading itulah penyebab, aku tercocok hidung, bak kerbau. Rumah istri-ku ada di jalan Telasih, yang ikut mengelilingi taman tsb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nuansa mistik masih terasa di kawasan Ampel, Pabean Cantikan. Kebetulan saya sering mampir ke Botoputih, kompleks makan mantan penguasa Surabaya Sidoarjo Gresik dsb. Juga makam ulama2 yg sangat dihormati.

      Di situ ada melting pot antara santri, kejawen, tunawisma, orang stres, suami2 yg minggat karena takut istri, orang2 yg ngelaku untuk cari ketenangan batin enz.

      Saat musim kemarau di Surabaya yg panas, petilasan Botoputih ini terasa sejuk nyaman karena dipenuhi pohon2 besar berusia tua. Cuma ya itu... kudu ati2 karena sering ada maling yg mengincar dompet atau HP.

      Hapus
  4. Melantur dari topik Haji dan Cheng-hoo . Tulisan yang hanya ditulis, bukannya untuk dibaca.
    Sekelumit pengalaman hidup, sedih-duka nya dilahirkan di dunia fana, seperti ajaran Sidhartha Gautama, lahir adalah Karma sengsara.
    Pengalaman sedih. Awal tahun 2001 saya dan istri sedang istirahat, kole-kole, di kamar sebuah Hotel di Peking. Mendadak HP istri-saya berdering, saya tanya ada apa, wajah istri-ku pucat, berkata ter-bata2, ini SMS dari anak2 dari Wina, isinya, papa-gua meninggal dunia di Surabaya.
    Sesuai Pieta (Pietät), tata-krama, saya bilang ke istri, ayo langsung beli ticket ke Surabaya.
    Sesampainya di bandara Juanda, pak imigrasi cari2 perkara, mana tiket pulangnya. Saya bilang cuma ada ticket pulang Peking ke Wina. Pak, bapak-mertua saya meninggal, jadi kami buru2 beli tiket Peking-Singapura-Surabaya. Tidak mikir tentang tiket kembali, karena tidak tahu berapa lamanya sampai acara pemakaman selesai. Waktu itu WN-Austria masuk Indonesia bebas Visa. Pak imigrasi tetap bersikukuh, tidak boleh masuk.
    Saya meratap, bapak orang timur, masakah tidak punya hati-nurani. Jawabnya, bisa saja saya bantu, asalkan tiap orang mau bayar ke saya 50 US$., tapi jangan bilang2 ke orang lain ya !
    Tidak masalah pak. Lalu saya kasih 100 US$ untuk kami berdua.
    Ada untung-nya juga, dengan secarik kertas warna hijau, semua masalah jadi beres.

    Pengalaman lucu. Tahun 2006 saya mem-bezoek seorang kawan sekolah yang sudah 47 tahun tak pernah bertemu.
    Dia hidup di sebuah desa di Tiongkok. Karena disana tidak ada Hotel atau losmen, maka saya, istri, anak laki2 dan saudara ipar (abang istri-ku) menginap di rumahnya teman itu. Rumahnya lumayan besar, jumlah kamar tidur juga cukup.
    Waktu saya permisi mau ke W.C., diantarlah oleh teman itu, namanya Gwan asal Srono-Banyuwangi. Sampai di kamar kecil, saya terperanjat, setengah menjerit: Gwan, piye carane isun ngising, kamar W.C.-lu tidak berpintu.
    Dia malah merasa heran atas gaya saya, katanya lugu : Oalah macem-macem, sopo sing arep ndelok kuwe ngising.
    W.C.-nya sudah tak berpintu, seperti gawang sepak-bola, malahan kloset-nya, kloset-jongkok yang cara makainya jongkok dengan badan depan menghadap gawang. Aduh biyung, saya membayangkan bojo-ku ndodok mekangkang menghadap gawang.
    Orang cina memang tidak kenal malu2 kucing. Subhanallah, pancene wong cino !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat menarik. Satus dolar bikin pegawai imigrasi klepak klepek. Duit pancen sakti. Gak ada urusan hati nurani dsb.


      Cerita WC itu yg sangat interesan. Kita orang ketawa sendiri saat menulis tanggapan ini pake jempol di sebuah warkop pinggir tambak dekat Bandara Juanda.

      Makin lama Bapa Tjio ini makin banyak keluarkan cerita2 yg menarik. Bisa ditulis jadi satu buku sendiri. kamsia

      Hapus