Kamis, 11 Juli 2019

Pengungsi Myanmar di Sidoarjo

Sidoarjo, 6 Maret 2015

Dari sekitar 200 imigran pencari suaka politik yang ditampung di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Kecamatan Taman, terdapat sekitar 20 orang warga negara Myanmar. Mereka terus bersabar menunggu keajaiban dari negara ketiga yang akan menampun dan memungkinan mereka bekerja.
Dilihat dari bentuk tubuh, warna kulit, tinggi badan, rambut, dan sebagainya para pengungsi Myanmar ini tak berbeda jauh dengan orang Jawa. Karena itu, ketika berada di pasar agrobisnis milik Pemprov Jatim itu, kita sulit membedakan mereka dengan para pedagang buah atau sayuran. Beda dengan pengungsi Somalia, Sudan, Iran, atau Afghanistan yang fisiknya beda dengan kebanyakan orang Indonesia.

"Banyak orang yang kecele sama pengungsi Myanmar. Diajak bicara bahasa Jawa atau bahasa Indonesia kok nggak nyambung. Biasanya mereka cuma senyum-senyum saja," ujar Mbak Sri kepada saya siang tadi (5/3/20145).

Salah satu pemilik warung nasi dan jus buah ini menjadi langganan pengungsi Myanmar di Puspa Agro. "Wong saya sendiri pernah kecele. Si Min itu saya kira orang Jawa," tambahnya lantas tertawa kecil.

Min yang dimaksud Sri ini tak lain Zow Min. Pria 38 tahun ini baru dua bulan menempati Rusunawa Puspa Agro setelah sebelumnya ditampung di lokasi pengungsian di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. "Kami dari Myanmar ada sekitar 20 orang. Saya sendiri Buddhis, yang lainnya muslim," tutur Zow Min dalam bahasa Indonesia yang lumayan lancar, meski dengan logat Myanmar yang terkesan aneh.

Sebelum dikirim ke Puspa Agro, Jemundo, Zow Min dan kawan-kawan tinggal di Tanjungpinang selama dua tahun lebih. Di kota pesisir itulah mereka belajar bahasa Indonesia dari penduduk setempat sambil berharap segera diberangkatkan ke negara maju yang mau menampung mereka.

Betapa senangnya Min ketika tiba-tiba diminta berkemas-kemas untuk berangkat ke tempat yang jauh. "Ternyata kami dikirim ke Puspa Agro. Tadinya saya kira ke Australia atau Kanada," ujar pria yang murah senyum ini.

Menurut Min, para pengungsi asal Myanmar alias Burma ini sebenarnya melarikan diri dari negaranya secara bergelombang. Tidak ada koordinasi di antara mereka. Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak saling mengenal sebelum dipertemukan pihak imigrasi di lokasi pengungsian.

"Saya berangkat dari Myanmar bersama istri, anak, orang tua, dan anak. Perahu kami tabrakan sehingga kami tercerai berai," tutur Min dengan mimik sedih. Karena itu, dia tidak tahu nasib keluarga dekatnya itu. "Apakah mereka masih hidup atau sudah tidak ada, saya tidak tahu," katanya.

Zow Min yang berusaha menyelamatkan diri dari pusaran arus laut akhirnya berhasil diselamatkan sebuah kapal nelayan. Singkat cerita, Min kemudian mendapat status resmi sebagai imigran pencari suaka dari IOM. Nah, di Tanjungpinang barulah dia bergabung dengan puluhan pengungsi Myanmar lain yang sudah lebih dulu berlayar mencari suaka.

"Kami terpaksa lari karena tidak aman. Nyawa kami terancam," katanya.

Min kemudian menceritakan perlakukan aparat keamanan di negaranya terhadap warga Myanmar yang berada di dekat perbatasan dengan Thailand. "Mungkin presiden atau menteri-menteri di Yangon (ibukota Myanmar) baik. Tapi petugas-petugas di bawah ini tidak mau tahu. Makanya, kami terpaksa ambil risiko dengan mencari suaka ke negara lain," ujarnya.

Saat hendak balik ke kamarnya di Rusunawa Puspa Agro, Min meminta bantuan agar dirinya segera dikirim ke Kanada atau USA. Kalau bisa jangan ke Australia, katanya. "Di sini kami memang tidak kelaparan. Makan minum dijamin IOM dan pemerintah Anda. Tapi status kami pengungsi. Kami nggak bisa kerja. Nggak bisa ke mana-mana," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar