Oleh Lambertus Hurek
Surabaya, 05 DESEMBER 2013
Ling Tien Kung baru saja merayakan ulang tahun ke-8. Ada resepsi sederhana, makan-makan di restoran, plus launching buku. Sang guru besar dan penemu senam terapi ala Tiongkok ini, Fu Long Swee, merilis buku bersampul kuning dengan judul: Ling Tien Kung - Making People Healthy.
Fu Laoshi memang sejak dulu selalu menekankan bahwa Ling Tien Kung yang diperkenalkan kepada publik Surabaya sejak 2005 ini bukan olahraga atau senam biasa. Ia lebih tepat disebut terapi kesehatan.
Mantan atlet lompat jauh peraih medali emas Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) V di Bandung, 1961, ini menegaskan:
"Ling Tien Kung merupakan gerakan penyembuhan penyakit. Ling Tien Kung bukan olahraga gerak badan, bahkan justru tidak boleh diolahragakan. Jangan menggebu-gebu dan memacu jantung. Relaks, tapi bukan santai!"
Dalam buku yang ditulis bersama istrinya ini, Sie Ie Ai alias Ellia Bestari, Fu Long Swee menjelaskan secara detail prinsip-prinsip Ling Tien Kung yang biasa dikenal masyarakat luas sebagais enam empet-empet anus. Selama 20 tahun dia mengkaji kebajikan Tiongkok kuno, membaca banyak buku klasik Tiongkok, setelah mengalami kelumpuhan yang parah.
Perlahan-lahan penyakitnya hilang setelah menekuni Ling Tien Kung di rumah bersama istri. Pada Agustus 2004, Tuan Fu mengajak 30-an orang untuk berlatih Ling Tien Kung di Central Park, Surabaya. Mula-mula orang heran dengan senam yang tak biasa itu. Olahraga kok empet-empet anus? Jongkok, kocok-kocok?
Di luar perkiraan Fu Laoshi, Ling Tien Kung dengan cepat menyebar ke berbagai kawasasan di Kota Surabaya. Ini karena banyak orang yang mengklaim kondisi tubuhnya membaik atau sembuh dari sakit kronis. Cukup banyak kesaksian praktisi Ling Tien Kung bisa dibaca di buku ini.
Kini, setelah delapan tahun, ribuan orang di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur, luar Jawa Timur, luar Jawa, bahkan luar negeri setiap hari menekuni Ling Tien Kung. Fu Laoshi pun merasa perlu membuat standar untuk para instruktur agar khasiat Ling Tien Kung benar-benar bisa dirasakan. Sebab, kalau gerakannya asal-asalan, khasiat itu tak akan didapat.
Bagi saya, cerita paling menarik justru di bagian belakang, tepatnya Bab 6 tentang biografi singkat. Kita bisa mengikuti perjalanan hidup Fu Laoshi, yang lahir di Singaraja, Bali, 25 Oktober 1935, sekolah di Bali, pindah ke Surabaya, jadi jawara atletik di sekolah Tionghoa, jadi juara lompat jauh dan sprint di Jawa Timur, hingga mewakili Jawa Timur ke PON dan dapat emas.
Padahal, saat itu kaki kirinya sedang cedera. Fu muda memaksakan diri melompat dan juara. Lompatannya sejauh 6,67 meter. Rekor terbaiknya di Surabaya 6,9 meter. "Saya hanya melakukan empat kali lompatan dari enam kali kesempatan," katanya.
PON V di Bandung itu merupakan puncak sekaligus akhir karier Fu sebagai atlet nasional. Dia mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya dengan menikahi Sie Ie Ai, teman SD-nya di Singaraja dulu. Cinta monyet yang terus berkembang dan berbuah hingga keduanya menjadi kakek-nenek sampai saat ini. Mereka dikaruniai lima anak yang sukses dalam karier.
Fu Laoshi menulis di halaman terakhir bukunya:
"Pada tahun 2004, kami memulai misi sosial kami, yakni making people healthy... hari ini dan seterusnya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar