Ngopi di warkop kampung seni, Pondok Mutiara Sidoarjo, menikmati hawa sejuk di bawah rumpun bambu. Amdo Brada, pelukis dan ketua kampung seni, telaten merawat bambu kuning itu sejak kampung seni diproklamasikan pada 2005.
Sayang, Cak Amdo yang asli Surabaya itu masih berada di Jakarta. Dia baru saja pameran tunggal di ibu kota selama sembilan hari. "Saya masih temu kangen teman-teman lama. Mampir ke Bengkel Teater Rendra dsb," kata Amdo via ponsel.
Syukurlah, ada seorang bapak yang sedang asyik main ponsel. Sambil ngisi baterai. "Saya yang dampingi Amdo di Jakarta. Mulai persiapan sampai selesai pameran," katanya.
Bapak yang selalu tampak serius, kurang guyon, ini bernama Sugiyono. Saya pun mulai ngobrol sekadar perintang waktu. Sebab anak-anak muda punkers di sebelah itu terlalu serius main HP. Pak Giyono yang bukan orang milenial tentu lebih muda diajak omong-omong ngalor ngidul.
Wow, ternyata Sugiyono ini bukan orang sembarangan. Dulu punya bioskop di Lawang dan Malang. "Saya berkecimpung di usaha bioskop mulai 1968 sampai 2005," katanya.
Tahun 2005 itulah akhir kejayaan bioskop-bioskop mandiri di Indonesia. Satu per satu tutup. Ditinggalkan penonton. Masa panen raya pada era 80an pun tidak bakal terulang lagi. Pahit rasanya bagi orang-orang bioskop macam Sugiyono ini.
Yang bikin saya terkejut, ternyata Sugiyono pemilik Bioskop Mutiara di Malang. Dia ambil alih dari pengusaha lain pada 1985.
Begitu menyebut Bioskop Mutiara, ingatan saya pun melayang ke masa lalu. Ketika hampir setiap minggu saya nonton film di Mutiara. Bahkan kadang dua kali seminggu.
Bioskop Mutiara terletak di dekat Terminal Patimura yang sekarang mangkrak itu. Juga dekat stasiun kereta api Malang. Dekat pula kompleks SMAN 1, SMAN 3, dan SMAN 4. Tidak jauh dari sekolah Kolese Santo Yusuf alias Hua Ing. Dekat studio Radio TT 77 yang dulu sangat terkenal.
Di Bioskop Mutiara inilah saya terpukau dengan film-film Amerika. Yang paling berkesan adalah Dirty Dancing. Film yang mirip pelajaran atau kursus dansa nan rumit. Lagu-lagu sound track-nya sangat indah dan asyik.
Saya menyenandungkan Time of My Life... kalau tak salah judulnya. Pak Sugiyono langsung tanggap. Tak lagi murung karena sedang punya sengketa perdata.
"Oh ya... itu masa yang luar biasa di Malang. Bioskop-bioskop penuh dengan penonton. Zaman itu Malang jadi rajanya hiburan. Mulai hiburan yang sehat sampai yang gak sehat," katanya.
Lalu, obrolan pun mulai fokus ke bioskop-bioskop lawas di Kota Malang. Mutiara, Merdeka dekat Gereja Kayutangan, Ria dekat alun-alun, Mandala di Malang Plaza....
Jangan lupa Dulek alias Kelud Theatre? Pak Giyono tertawa kecil mendengar Kelud. Bioskop misbar yang sangat ramai dengan segmen wong cilik.
Pak Giyono menceritakan berbagai persoalan yang mencekik pengusaha bioskop pada 1980an. Tata niaga yang dikontrol anaknya penguasa orde baru. Sampai kemudian muncul grup 21 taipan Sudwikatwono.
Dan... tamatlah riwayat bioskop-bioskop mandiri di tanah air. Bioskop Mutiara kemudian jadi rumah biliar. Terakhir saya lihat jadi minimarket. "Bangunan itu milik PJKA. Kita hanya kontrak aja," katanya.
Sayang, saya harus pamit karena segera ngantor. Obrolan nostalgia bioskop lawas bakal disambung lagi suatu ketika. Malamnya saya mutar lagu-lagu OST Dirty Dancing di Youtube.
Ciamik tenan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar