Jumat, 12 Juli 2019

Belajar Improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur



Surabaya, 23 OKTOBER 2012

Belajar improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur


Andaikan semua guru musik di sekolah kayak Slamet Abdul Sjukur, pelajaran musik pasti sangat menyenangkan. Murid-murid dijamin ketagihan. Para murid tentu saja tak dicetak jadi pemusik atau komponis (kayak Slamet Sjukur), tapi setidaknya bisa menikmati musik dengan asyik.

Musik, apa pun jenisnya, memang perlu diapresiasi. Dan, agar bisa mengapresiasi, kita perlu guru yang benar. Guru yang tak hanya tahu musik, tapi juga tak mengajarkannya kepada awam. Banyak pemusik hebat, pintar main piano, gitar, violin, cello dsb, tapi belum tentu bisa membagikan kemampuannya.

Mendengarkan musik pun sebetulnya ada pelajarannya. Sayang, kita di Indonesia masih kekurangan orang-orang macam Slamet Abdul Sjukur, komponis, pianis, penulis, budayawan (entah apa lagi) asli Surabaya yang tak bosan-bosannya berbagi ilmu.

Selama 55 tahun SAS mengampu Pertemuan Musik Surabaya alias SAS. Isinya, ya itu tadi, apresiasi musik. Mulai anak kecil, mahasiswa, guru piano, pianis, dirigen, hingga komponis top dia kumpulkan di satu forum. Lalu, kita diajak nonton film atau menikmati permainan piano, gamelan, atau hanya sekadar bermain-main.

Ini penting karena SAS melihat semakin lama orang Indonesia kehilangan kegembiraan. Dus, sulit menikmati musik. Pemain piano kurang lepas main piano, kehilangan kegembiraan main piano, karena takut salah, takut dikritik, kurang percaya diri, dan sebagainya.

Saya ikut menikmati kegembiraan dan gaya Slamet A Sjukur (77 tahun) yang nyantai, tapi serius, pada PMS di halaman Perpustakaan C20, Jalan dr Cipto 20 Surabaya. Sekitar 20 peserta, termasuk saya, duduk santai di kebun yang dikelola Kathleen Azali itu. SAS duduk dekat pintu. Gemma, komponis muda lulusan Unesa, bertugas memutar rekaman HERBIE HANCOCK berjudul WATERMELON MAN. Manusia semangka, kalau diterjemahkan lurus.

Yah, Herbie Hancock salah satu legenda jazz dari USA. Kita diajak menikmati komposisi Watermelon yang sederhana tapi asyik. Dimulai pukulan drum, perlahan-lahan diikuti satu per satu instrumen, termasuk suara-suara manusia yang aneh, kemudian dilengkapi saksofon.

Setelah diperdengarkan, kita disuruh berimajinasi. Menghidupkan lagi musik Paman Hancock secara bebas. Menambahkan lagi dengan suara kita, bertepuk tangan, bunyikan lidah, menghentakkan sepatu, memukul apa saja (asal jangan memukul teman)....

"Kita bebas merusak komposisi yang ada itu agar lebih baik. Mau menambah apa saja silakan," pinta SAS.

Awalnya sih masih ragu, malu, takut, entah apa lagi. Maklum, orang Indonesia jarang mendapat pelajaran apresiasi musik jazz secara spontan dan bebas macam ini. SAS tahu betul itu. Tapi SAS, dengan guyonannya yang tetap nyelekit dan sengak, membuat kita mau tidak mau harus mau bikin improvisasi. Satu per satu, mulai dari yang duduk di pojok kanan, bergiliran hingga pojok kiri. Komposisi watermelonman diputar lagi.... dan mulailah improvisasi bebas (dan rada liar) ala petani semangka di Jawa Timur.

Saya kira Paman Hancock bakal kaget jika melihat komposisinya diblejeti, diobrak-abrik, oleh Slamet Abdul Sjukur dan arek-arek Surabaya. Slamet rupanya suka dengan improvisasi kami meskipun temponya ternyata tidak pas dengan ketukan pemain band Hancock. "Tidak apa-apa, kita ulangi lagi, kita main-main lagi," kata SAS yang rambutnya belum uban di usia mendekati 80 tahun itu.

Slamet Abdul Sjukur kemudian memberikan kesimpulan:

"Musik yang sehat itu terbuka buat siapa saja. Demikian sehatnya dan terbukanya,sehingga siapa pun bisa menikmatinya bahkan ikut terlibat aktif dalam proses pembuatan musiknya."

Di Indonesia sudah mulai sering diadakan festival musik jazz (meskipun tidak murni jazz, karena penyanyi koplo atau rock pun ikut). Tapi pelajaran dasar apresiasi jazz ala Slamet Abdul Sjukur boleh dikata tidak banyak. Bahkan belum ada.

Ah, andaikan guru-guru SD dan SMP kita punya wawasan musik seperti Slamet Abdul Sjukur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar