KAMIS, 05 JULI 2012
80 Tahun Prof Josef Glinka
Oleh LAMBERTUS HUREK
Selama tiga hari FISIP Universitas Airlangga menggelar seminar bertajuk Celebrating Anthropology untuk merayakan hari jadi ke-80 Prof Dr Habil Josef Glinka SVD pekan lalu. Acara ini digagas dosen-dosen antropologi yang kebanyakan mantan murid Glinka. Mereka menilai sumbangsih profesor asal Polandia ini sangat besar bagi perkembangan antropologi di tanah air.
Di usia delapan dasawarsa, Prof Glinka masih terus berkarya baik sebagai akademisi maupun rohaniwan. Berikut petikan percakapan saya dengan Prof Glinka sembari ditunggui tujuh mahasiswi Antropologi Unair di ruang kerjanya.
Selamat ulang tahun Pater Glinka! Bagaimana perasaan Anda ketika genap berusia 80 tahun ini?
Terima kasih. Menurut tradisi Jawa, usia 80 tahun itu luar biasa. Kalau di Alkitab malah tertulis usia manusia rata-rata 70 tahun. Delapan puluh tahun itu kalau kita kuat. Hehehe.... Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan dibuat acara besar-besaran (untuk merayakan ulang tahun) seperti kemarin. Tapi, kata panitia, sekalian untuk memperkenalkan Antropologi Unair kepada masyarakat luas.
Apa resepnya bisa panjang usia dan tetap produktif?
Saya tidak punya resep khusus. Tapi mungkin karena setiap hari saya selalu bertemu dengan orang-orang muda. Ini membuat saya lebih semangat. Nah, itu ada para mahasiswi Unair yang datang ke sini untuk membicarakan soal perkuliahan.
Barangkali Anda punya pantangan khusus?
Saya tidak diet, cuma tidak makan daging sapi. Kalau makan daging sapi, perut saya mules, tidak enak. Kalau makanan-makanan lain tidak ada masalah.
Apakah Anda punya rencana setelah berusia 80 tahun?
Rencana apa? Saya tetap bekerja seperti biasa. Belum lama ini saya diminta menguji calon doktor di IAIN Sunan Ampel. Saya juga masih menulis, ikut seminar. Sekarang saya amsih capek setelah mengikuti acara selama tiga hari itu.
Bagaimana ceritanya Anda mendalami antropologi mengingat latar belakang Anda seorang pastor?
Saya studi antropologi sejak usia 27 tahun. Saya selesaikan sampai doktoral di Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia. Waktu itu disertasi doktoral saya tentang Indonesia. Tapi waktu itu Polandia masih jajahan Rusia sehingga saya cari data untuk penelitian saya ke Indonesia sangat sulit. Mau keluar dari Polandia sulitnya minta ampun.
Sejak kapan mengajar di Unair?
Sejak 1984. Sebelumnya, selama 20 tahun lebih saya tinggal di Flores, mengajar di Seminari Tinggi Ledalero dan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, jadi dosen tamu. Tahun 1984 itu saya diundang Pak Adi Sukadana (mantan dekan FISIP Unair) untuk pindah dan bantu mengajar di sini. Saya dipinjam mulai tahun 1984 sampai sekarang.
Sebagai antropolog, bagaimana Anda melihat orang Indonesia?
Indonesia itu punya 300 lebih suku dengan budaya dan bahasa berbeda-beda. Penelitian saya tentang dari mana suku-suku itu berasal dan bagaimana mereka memecah serta menyebar. Awalnya kan mereka satu. Ini dimulai dari imigrasi 10 ribu tahun silam setelah zaman es berakhir. Yang dari utara dan barat masuk ke nusantara, mereka bersifat Mongoloid. Yang dari timur lebih bersifat Austro-Melanoid. Dalam penelitian, saya sebut Proto-Malay karena mereka berbahasa Melayu dengan ras berbeda dari Melayu kebanyakan. Penelitian itu saya publikasikan jadi buku tahun 1977.
Sudah berapa banyak kader Anda hasilkan?
Cukup banyak. Selama 20 tahun lebih di Flores saya sudah hasilkan sekitar 800 pastor, 12 sudah jadi uskup. Di Unair lebih dari seribu mahasiswa. Doktor yang saya promotori sudah 13 orang, juga guru besar. Ada juga yang sudah pensiun.
Kenapa Anda begitu berminat bertugas di Indonesia?
Saya sendiri memang punya sentimen dengan Indonesia. Sejak umur enam tahun saya biasa mendengar kabar tentang Indonesia dari seorang sepupu dari bapak saya yang telah menjadi misionaris di Flores. Dari sepupu itu, saya sering mendengar cerita-cerita indah alam dan lingkungan sosial di Indonesia. Akhirnya, saya berangkat ke Indonesia, mendarat di Flores tahun 1965, untuk mengikuti kursus bahasa.
Apakah Anda mengalami kesulitan mempelajari bahasa Indonesia?
Tidak. Sebelumnya saya sudah biasa mempelajari bermacam bahasa. Bahasa Latin wajib kami kuasai semasa kuliah. Bahasa Jerman dekat dengan orang Polandia karena kami pernah dijajah oleh Jerman. Bahasa Inggris tentu saja harus dikuasai oleh mereka yang harus berangkat ke luar negeri. Bahasa Polandia sendiri mempunyai dialek yang paling banyak dari bahasa-bahasa besar Eropa. Banyak dialek kami yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain. Jadi, belajar Bahasa Indonesia tidak ada masalah buat saya.
Sekarang ini Indonesia punya berapa profesor di bidang antropologi?
Dua orang (Prof Glinka dan Prof Etty dari UGM Jogjakarta). Polandia itu negara yang luasnya hampir sama dengan Pulau Jawa, tapi memiliki 120 profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor. Padahal, begitu banyak fosil yang tersebar di seluruh Indonesia. (rek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar