Sabtu, 20 Juli 2019

Arswendo Atmowiloto Katolik Turis Khotbahi Romo

Terlalu banyak kenangan indah dengan Arswendo Atmowiloto (1948-2019). Mulai majalah Hai yang jadi buruan pelajar era 80an. Dengan cerita bersambung Lupus.

Lalu, buku yang bikin gila para pelajar sekolah menengah hingga perguruan tinggi karya Arswendo: Mengarang Itu Gampang. Saya pinjam dan perpustakaan sekolah dan diulangi lagi di kampus. Tapi ternyata tidak gampang. 

Asal ngarang sih bisa. Tapi bikin karangan yang bagus? Yang dimuat di Hai, Gadis, Anita dsb? Tidak gampang. Cerpen-cerpenku yang merujuk teori Arswendo: Mengarang Itu Gampang, ternyata tak satu pun yang tembus media di Jakarta.

 Yang rada gampang tembus justru artikel opini. Bukan cerita pendek atau cerita bersambung ala Arswendo.

Sudah terlalu banyak tulisan in memoriam Arswendo di media cetak dan online plus media sosial. Penulis-penulisnya jauh lebih dekat Mas Wendo ketimbang saya yang hanya bertemu sesekali di seminar atau lokakarya. Dus, tidak perlu diulangi.

Yang selalu saya ingat adalah ketika Arswendo diundang membawakan monolog di Gereja Katolik Pandaan. Wendo pakai blankon, baju lurik, ala priyayi Solo. Selepas sambutan pastor paroki, Wendo awalnya rada serius. Maklum, bicara di depan altar pada peringatan hari jadi paroki.

Tak sampai dua menit, Wendo keluar aslinya. Guyon maton, sentil sana sini, bikin umat yang memenuhi gereja tertawa ngakak. Termasuk romo-romo yang disentil kata-kata halus khas Wendo.

"Saya ini cuma Katolik Turis. Katolik Turut Istri," kata Wendo disambut derai tawa. "Sampai sekarang saya ndak paham mengapa saya harus jadi Katolik."

Arswendo kemudian berbagi pengalaman di penjara dsb. Berbuat sesuatu tanpa ada embel-embel evangelisasi, mewartakan kabar gembira Injil dsb. "Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan. Di sekitar kita," katanya.

Baru pertama kali ini saya terpukau mendengar paparan Arswendo di depan altar. Hampir satu jam kata-kata jurnalis senior ini menusuk relung hati umat Katolik di Pandaan. Kesaksian tanpa mengutip ayat-ayat Alkitab. Tanpa embel-embel Katolik, Kristen, Nasrani dsb.

Lah, wong cuma Katolik Turis.. hehehe! Mosok mau ngotbahi romo-romo atau suster-suster yang tiap hari ngaji Alkitab dan doa brevis sejak bangun tidur sampai mau tidur malam.

Di akhir khotbahnya, eh.. monolog, Arswendo membacakan puisi ini. Ditujukan untuk romo-romo di Indonesia:

"Aku mendamba Romo yang penuh kasih, bukan yang pilih kasih
Aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean
Itu berarti pemberian umat
sebagai tanda cinta, tanda hormat

Aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak,
kaku pada dogma, tapi lucu kala canda,
yang lebih sering memegang rosario
dibandingkan blackberry warna hijau
Aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar, dibandingkan berujar

Aku mendamba Romo yang menampung air mataku,
tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual

Duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekali
tapi aku percaya tetap terpenuhi
karena Romoku mau dan mampu selalu memberi
- inilah damba dan doaku, Romoku

Eeee,... masih ada satu lagi

Sekali mengenakan jubah, jangan berubah
Jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah
bahkan sampai ada laut terbelah
kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku

Aku mendamba Romo yang menatapku kalem
bersuara adem

"Berkah Dalem …"

Selamat jalan Arswendo Atmowiloto!
Selamat beristirahat dengan tenang!

4 komentar:

  1. Terkadang pas beli tahu takwa di depan gereja katolik persis di sebelah pintu masuk gereja,saya selalu inget tulisan bung hurek,tentang gereja ini.

    BalasHapus
  2. Njeh mas Gandi. Dulu saya memang sering banget misa di pandaan yg sesi sabtu malam karena saya libur sabtu. Sekarang tidak bisa lagi karena liburku diganti hari Jumat. Makanya irama liburan + agenda misa di gerejanya pun berubah.

    Matur nuwun atas perhatian sampean. Saya memang senang misa di pandaan karena hawanya sejuk dan umatnya sangat kekeluargaan. Maklum kota kecil. Beda dengan di Surabaya atau Jakarta.

    Apalagi di pandaan ini ada romo stanislaus beda dan romo john lado di tempat retret Ledug. Kebetulan kedua pastor ini orang Lembata, satu daerah dengan saya.

    Salam sehat dan bahagia Mas!

    BalasHapus
  3. Waktu masih SD saya pembaca majalah Kawanku (sudah berhenti terbit), yang ada kartun2 buatan Satmowie, kakak dari Sarwendo (nama asli Arswendo). Kartun2 tsb jenaka nan absurd, tetapi menggugah imajinasi. Setelah masuk SMP, barulah saya membaca karya2 Arswendo di majalah Hai, seperti Kiki dan komplotannya, Keluarga Cemara, Timung detektif remaja. Di kemudian hari, Senopati Pamungkas, yang merupakan reaksi Arswendo terhadap cersil2 dengan latar belakang sejarah Tiongkok karangan Jin Yong yang menyerbu Indonesia lewat filem seri dari Hongkong. Ketika beliau masuk penjara karena dituduh penistaan agama, saya termasuk yang tidak mengerti mengapa umat beragama begitu mudah kehilangan rasa humor. Syukurlah di belakangan hari beliau mendapatkan kembali mata pencariannya dan kehormatannya sebagai seorang jenius. Terima kasih atas hiburan yang engkau berikan kepadaku semasa mudaku, Pak Arswendo. Semoga engkau damai di sisiNya.

    BalasHapus
  4. Arswendo almarhum memang makhluk langka di dunia literasi dan jurnalistik Indonesia. Dialah otak di balik pabrik majalah2 dan tabloid di lingkungan Kompas Gramedia dan perusahaan media yg lain. Orangnya jenius. Sangat berbakat.

    Saya paling suka majalah Hai yg ada Lupus itu. Kemudian tabloid Monitor yg sangat entertaining. Terlepas dari jurnalisme lher yg sering dikritik orang, Monitor menawarkan warna segar dalam dunia jurnalisme hiburan di Indonesia.

    Gara-gara Monitor itulah, Wendo kesandung angket iseng2an. Isu super sensitif di Indonesia. Kalau yg itu tidak bisa dibikin humor di NKRI.

    Namanya juga jenius, Arswendo tetap hebat baik selama di dalam penjara maupun setelah bebas. Belakangan Arwendo sering dijadikan narasumber di televisi. Buat selingan di ILC dan beberapa program lain.

    Tapi sebagai penikmat tulisan, bukan omongan, saya lebih suka Arwendo berbicara dengan kata2 yg bisu. Sama dengan Goenawan Mohamad lah. Bakatnya nulis, bukan ngomong. Yang ngomongnya enak dinikmati di televisi ya kayak Mario Teguh itu.

    BalasHapus