Selasa, 09 Juli 2019

Pater Alex Beding SVD Pelopor Pers di NTT




Akhirnya, saya bisa bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan Pater Alex Beding SVD di Biara Soverdi Surabaya, Kamis (17/2/2011) siang. Pater berusia 87 tahun ini sangat terkenal bukan saja di Lembata atau Flores Timur, tapi juga di seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pater Alex Beding SVD adalah pelopor penerbitan pers di bumi NTT dengan surat kabar DIAN yang sekarang sudah padam alias tidak terbit itu. Pekan lalu (9/2/2011), pada peringatan Hari Pers Nasional di Kupang, NTT, yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pater Alex Beding menerima salah satu penghargaan bergengsi di bidang pers.

Award atas jasanya mendirikan surat kabar dua minggu DIAN, yang kemudian berubah menjadi mingguan, di Kota Ende, Pulau Flores. “Tapi saya tidak ikut ke Kupang karena ada urusan di Jakarta. Saya cukup diwakili oleh Charles,” kata pastor kelahiran Lamalera, Pulau Lembata, 13 Januari 1924, ini kepada saya.

Pater Alex Beding SVD bangga sekaligus sedih atas penghargaan itu. Bangga karena jasanya sebagai pendiri, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi DIAN diingat pemerintah. Bangga karena pada awal 1970-an, ketika masyarakat NTT masih banyak yang buta huruf, dia bersama misionaris Societas Verbi Divini (SVD) mampu menerbitkan koran yang sukses di NTT.

Tapi, di pihak lain, Pater Alex Beding sangat sedih karena DIAN hanya tinggal nama. Jadi catatan sejarah karena sengaja “dimatikan” oleh pater-pater yang lebih muda. Pater Alex sendiri mengaku tidak diajak bicara dengan keputusan penting mematikan koran mingguan DIAN.

“Tahu-tahu saja DIAN sudah tidak terbit,” katanya memelas. “Ada kebijakan yang sangat berbeda. Saya juga sampai sekarang tidak paham apa pertimbangan mereka-mereka di Ende.”

Koran DIAN memang sangat terkenal di NTT, khususnya Flores dan sekitarnya. Selama bertahun-tahun DIAN menjadi bacaan keluarga kami di kampung, Lewotanah, tercinta. DIAN yang biasanya hanya dilanggan guru-guru SD di kampung biasanya dibaca ramai-ramai para murid SD, kemudian beredar ke mana-mana. DIAN menjadi sumber informasi terpenting di Flores hingga akhir 1990-an.

Menurut Pater Alex Beding, penerbitan pers di Flores sebenarnya sudah dimulai pada 1926 dengan BINTANG TIMUR. Majalah bulanan ini diterbitkan para pastor SVD yang berbasis di Ende. Sebuah keberanian yang luar biasa, boleh dibilang nekat, mengingat pada saat itu hanya segelintir orang NTT yang bisa baca-tulis.

Hanya guru-guru sekolah rakyat (SR) dan murid-murid SR yang bisa membaca. Plus pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Majalah BINTANG TIMUR ini menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia memang belum ada. Hebatnya, menurut Alex Beding, majalah ini dicetak di Jogjakarta dan distribusinya di NTT, khususnya Flores. Bisa dibayangkan biaya distribusi dan lamanya perjalanan dengan kapal laut dari Jawa ke Flores.

Usia BINTANG TIMUR tak sampai 20 tahun. Ketika Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, dan sesudahnya, NTT yang waktu itu ikut Provinsi Sunda Kecil sama sekali tak punya pers. Tak ada majalah bulanan atau dua bulanan, tabloid, surat kabar. Orang NTT hanya bisa mengikuti informasi melalui radio. Dan, ingat, pada tahun 1950-an radio masih merupakan barang mewah. Dus, boleh dikata, masyarakat NTT benar-benar tak punya akses pada informasi di luar kampung halamannya.

“Sekitar 15 tahun kita di Flores, NTT, vakum dengan media. Orang tidak punya bahan bacaan. Kita mau baca apa?” ujar Pater Alex Beding SVD.

Frater Alex Beding, yang kala itu berusia 27 tahun, ditahbiskan sebagai pastor di Nita, Kabupaten Sika, pada 24 oktober 1951. Alex Beding tercatat dalam sejarah sebagai putra Lembata pertama yang berhasil ditahbiskan sebagai pastor.

Bakat menulis Alex Beding sudah lama diasah seperti juga pemuda-pemuda Lamalera, kampung pemburu ikan paus di Pulau Lembata, yang akhirnya bersekolah dan terlibat aktivitas intelektual. Pater Alex Beding yang masih muda dan energetik cukup lama menjadi pengajar Seminari Menengah Mataloko.

Sebagai pastor intelektual, Alex Beding risau dengan kegelapan yang sedang melanda NTT, khususnya Flores, termasuk Pulau Lembata, kampung halamannya. Sekolah-sekolah rakyat sudah dibuka, tapi masih sedikit. Ada lulusan SR yang disekolahkan di SGB dan SGA sebagai guru-guru desa. Mulai banyak orang NTT yang bisa membaca. Tapi, jika tidak ada bahan bacaan, maka kemampuan baca-tulis ini perlahan-lahan akan hilang. Orang akan menjadi lupa huruf.

Misi SVD di Ende punya Percetakan Arnoldus yang banyak menerbitkan buku-buku katekese untuk pembinaan jemaat Katolik. Tapi, bagi Pater Alex Beding, buku-buku ini terlalu mahal. Siapa yang bisa beli? Sementara rakyat Flores tidak punya uang, masih bergelut dengan kemiskinannya. Alih-alih membeli buku, untuk makan sehari-hari saja masih kurang.

“Saya pikir, satu-satunya jalan adalah membuat surat kabar. Media yang terbit secara rutin, isinya tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan, tapi tetap sejalan dengan pengembangan Gereja Katolik. Bagaimanapun juga sebagian besar orang NTT itu Katolik dan Kristen Protestan,” kenang Pater Alex Beding.

Pater Alex Beding kemudian mendiskusikan gagasan ini bersama Marcel Beding (sekarang almarhum), yang juga kerabatnya. Marcel ini wartawan kawakan yang bekerja di harian KOMPAS, Jakarta. Gayung bersambut. Mereka sepakat menciptakan sebuah dian, lampu kecil, yang akan menerangi masyarakat NTT.

Melalui serangkaian diskusi, negosiasi, perhitungan untung-rugi, analisis segmen pembaca, sistem distribusi, konten, sumber daya manusia, staf redaksi... akhirnya para pembesar SVD di Ende setuju menerbitkan sebuah surat kabar. Persiapan, uji coba, dilakukan tahun 1973.

Termasuk mengurus Surat Izin Terbit (SIT) kepada Kementerian Penerangan di Jakarta. Di masa Orde Baru, 1966-1998, semua penerbitan pers harus punya SIT, yang kemudian diubah menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Bupati Ende Herman Joseph Gadi Djou juga merestui dan mendukung penuh penerbitan surat kabar ini.

Dan pada 24 Oktober 1974 edisi pertama DIAN mulai beredar di bumi NTT. DIAN akhirnya mengisi kekosongan yang ditinggalkan majalah BENTARA pimpinan Pater Adrianus Conterius SVD. BENTARA ini pun media yang usianya tak sampai 15 tahun.

“Kok tanggal pendirian sama dengan tanggal tahbisan Pater Alex Beding di Nita?” pancing saya.

Sang pastor senior ini tersenyum lebar. “Sengaja dibuat sama agar gampang diingat. Hehehe...,” katanya.

Saat itu DIAN terbit dua mingguan dalam format majalah. Isinya hampir 100 persen tentang berbagai informasi yang terjadi NTT. Pater Alex Beding langsung berperan sebagai pemimpin umum, penanggung jawab, sekaligus menyeleksi dan mengedit naskah-naskah yang masuk. Alex juga akhirnya berhasil meyakinkan Ben Oleona, juga orang Lamalera, Lembata, keponakan Pater Alex Beding, untuk memperkuat redaksi DIAN di Jalan Katedral 5 Ende.

Prinsip kehati-hatian ala pastor-pastor SVD benar-benar diterapkan Pater Alex Beding dalam mengelola DIAN. Karena itu, dalam usianya yang hampir mencapai 30 tahun, DIAN tak pernah menghadapi masalah dengan pemerintah. Pun tidak ada gugatan ke pengadilan atau gangguan terhadap wartawan dan korespondennya.

“Saya bahagia karena sempat merayakan pesta perak, 25 tahun, DIAN. Saya juga bahagia karena penerbitan DIAN ini berlangsung lancar, mulus, hampir tidak ada masalah yang berarti. Semuanya bisa kami selesaikan dengan baik,” katanya.

Keberhasilan DIAN sebagai pers berpengaruh di NTT selama tiga dekade tentu tak hanya berkat kehebatan Pater Alex Beding dan teman-teman Lamaleranya. Pastor-pastor SVD yang berkarya di NTT mendukung penuh. Para pastor ini berperan di lapangan sebagai agen dan distributor. Gereja-gereja baik di paroki maupun stasi menjadi oulet DIAN.

Guru-guru SD di kampung-kampung, yang dulu juga merangkap sebagai katekis-katekis ulung, ikut menjadi pelanggan dan penyalur. Sebuah kerja sama lintas sektoral ala total football yang membuat DIAN mampu berjaya ketika begitu banyak media di luar NTT yang senen-kemis, kemudian gulung tikar, karena kekurangan pembaca dan modal.

Namun, sejarah terus berulang! Nasib DIAN pun pada akhirnya mengikuti jejak BINTANG TIMUR dan BENTARA. Sama-sama meredup, kemudian padam, ketika sang pendirinya kian rapuh dimakan usia.

1 komentar:

  1. Sayang sekali ya perjalanan Dian sudah mencapai garis akhir. Saya ingat, sewaktu SMP di daerah Hokeng dan tinggal di asrama, saya selalu menantikan kiriman Dian beberapa edisi dari Opa saya. Meski bukan edisi baru, koran-koran itu berhasil menuntaskan dahaga baca saya.

    BalasHapus