Minggu, 08 Maret 2020

Gak Nyangka Pendeta Hanny Layantara Bisa Gini



Siapa pun bisa jatuh dalam dosa. Termasuk pendeta atau pastor atau ustad atau pemuka agama. Agama apa pun.

Roh memang penurut tapi daging lemah!

 Itulah komentar ringan saya ketika Pendeta Hanny Layantara, 57, dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencabulan.

Sabtu 7 Maret 2020, Hanny Layantara ditahan di Polrestabes Surabaya. "Tersangka hendak pergi ke luar negeri," kata polisi.

Tak pernah dibayangkan Pendeta Hanny Layantara jadi pesakitan. Apalagi kasus asusila. Mencabuli perempuan jemaatnya sendiri selama 10 tahun. Sejak korban berusia 12 tahun. Di lingkungan gereja pula.

"Aneh.. kok bisa bertahun-tahun? Kok korban gak cerita ke mamanya atau keluarganya?" ujar seorang aktivis gereja yang kenal dekat Hanny Layantara.

Nasi sudah jadi bubur.

Korban dan keluarganya sudah kadung membawa kasus ini ke polisi. Reputasi Pendeta Hanny Layantara dan Gereja Happy Family (HFC) sudah pasti akan tergerus.

Hanny Layantara ini kelahiran Kupang NTT. Sejak kecil dibawa ayahnya ke Surabaya. Sempat jadi pengusaha kemudian belok jadi "pengusaha" gereja. Apalagi setelah kawin dengan Pendeta Agnes Maria yang lebih dulu terkenal.

Pasutri tanpa anak ini kemudian bikin Gereja HFC. Fokusnya menciptakan keluarga-keluarga yang bahagia. Dalam waktu singkat HFC berkembang pesat. Jadi gereja yang besar.

"HFC itu gereja yang ajaib," kata seorang pengurus Bamag di Surabaya. "Terlalu cepat besarnya. Sepertinya tidak alami."

Salah satu media di Surabaya secara khusus membahas gaya hidup sang pendeta yang dianggap tidak lazim. Gaya hidup mewah ala pengusaha papan atas. Hanny disebut koran itu punya koleksi mobil mewah sekelas Porsche.

"Dari mana uangnya? Memangnya pendeta itu banyak uang?" tanya seorang wartawan.

"Aku yo gak ngerti. Bisa jadi sumbangan atau hadiah dari jemaatnya yang pengusaha-pengusaha," kata saya sekenanya saja.

Melihat foto Hanny Layantara di koran pagi ini, aku ikut prihatin. Gak nyangka pendeta yang sering khotbah tentang bahaya godaan seksual itu digiring dua orang polisi.

Roh memang penurut tapi daging lemah!
Maka banyak-banyaklah berdoa dan berpuasa.

8 komentar:

  1. Wah wah, hebat betul engkau pendeta Hanny, bukan hanya Roh-mu yang kukuh, tapi daging-mu juga kaku.

    Suatu pagi Oom Hans berkunjung kerumahnya Tante Lanny. Hans mulai merayu Lanny dengan kata2 gombal, tetapi hanya mendapat tanggapan dingin dari si Lanny.
    Dasar Oom Hans yang Roh-nya kukuh, berpendirian dan tak gampang menyerah, lalu merayu lagi : Ayo-lah, gua kasih lu 300 Yuan, sekali saja ! Lanny Roh-nya tetap tak bergeming berkata : Tidak mau, sebab kalau ketahuan suami-ku, aku bisa dibikin mati oleh nya.
    Oom Hans merayu tak henti2-nya, apalagi daging-nya sudah kaku : Ayolah, gua kasih lu 800 Yuan, ayolah !
    Tante Lanny berpikir sejenak, lalu berkata : Sungguh2 sekali ini saja ya ! Lalu menerima uang 800 Yuan tersebut.

    Sore hari suami-nya Lanny pulang dari kerjaan, langsung bertanya kepada istri-nya : Si Hansye bulan lalu ada pinjam uang kepada ku, sebanyak 800 Yuan, dia janji hari ini mau mengembalikan utang-nya itu.
    Apakah dia tadi datang kesini ?
    Tante Lanny senyum-senyum : Ya, si-Hans tadi pagi datang dan memberi uang kepada ku sebanyak 800 Yuan, tetapi dia tidak bilang, uang tersebut adalah seyogianya milik lu.
    Sang Suami ikut senyum2, memuji teman-nya si Hansye setinggi langit; Hansye orangnya jujur, baik, bisa dipercaya !

    Yah yah dasar manusia, semua-nya ada menyimpan bangkai di diri-nya masing2.

    BalasHapus
  2. dui dui.. cerita yg menarik dan penuh hikmah. kamsia

    BalasHapus
  3. Power corrupts, but absolute power corrupts absolutely. Di dalam suatu gereja, apalagi di masyarakat di mana agama dijunjung tinggi, seorang pendeta atau pastor memiliki kuasa yang begitu besar terhadap umatnya. Ditambah lagi ada kejomplangan antara orang yang dituakan dan anak-anak. Tanpa ada supervisi dari umat, bapak pendeta bisa berbuat apa pun.

    BalasHapus
  4. Dui dui.. sistem kontrol perlu diperketat di lingkungan gereja.
    Gereja HFC ini mutlak dikuasai Pendeta HL selaku pendiri dan pemilik. Pengurus2 lain sepertinya tidak banyak berperan karena kedudukan mereka tidak seimbang.

    Early warning system rupanya tidak jalan di Happy Family Center. Akhirnya meledak di kepolisian.

    BalasHapus
  5. Bgmn kontrol di Gereja Katolik?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di gereja katolik juga selalu ada oknum2 rohaniwan yg terlibat kasus. Dan sudah sering dibahas media massa. Khususnya di luar negara.

      Bedanya dengan pdt HL, romo2 itu bukan pemilik gereja. Setiap saat mereka dimutasi ke paroki lain atau pastoral kategorial. Ada kontrol dari dewan stasi, lingkungan, wilayah, dewan paroki, orka2, dekenat, kevikepan hingga keuskupan.

      Paroki atau gereja katolik itu didesain sebagai persekutuan milik umat katolik. Romo2 atau uskup boleh datang dan pergi tapi sistem manajemen paroki tetap jalan.

      Inilah bedanya dengan gerejanya pdt HL yang evangelical churches itu. Manajemennya model perusahaan keluarga. Kalau bukan keluarga atau lingkaran dalam ya sulit ikut cawe2. Emangnya lu siapa? Begitu.

      Hapus
    2. “Setiap saat mereka dimutasi ke paroki lain atau pastoral kategorial”

      Inilah “loophole” sumber segala masalah Gereja Katolik saat ini. Pada saat Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus bertahta, para uskup hanya memutasi pastur2 bermasalah, sehingga di paroki lain mereka mengulangi kegiatan bejat yang sama. Ketika umat (laity) yang sudah muak menemukan permainan para uskup ini, paus2 tsb melindungi uskup2 tsb dengan permainan yang sama. Contohnya Cardinal Law dari
      Chicago, krn mereka termasuk “bolone” paus2 yg konservatif tsb. Ketika kasus2 di keuskupan Boston meledak, terbukalah semua permainan ini. Umat berontak. Kasus2 itu dibuka oleh wartawan (investigative journalists) dari The Boston Globe https://en.wikipedia.org/wiki/Catholic_Archdiocese_of_Boston_sex_abuse_scandal

      Dan sekarang sudah difilmkan dgn judul Spotlight (2015). Sebagai seorang wartawan dan Katolik, Lambertus selayaknya nonton.

      Kasus2 itulah titik balik saya mengundurkan diri dari kegiatan gereja. Saya merasa kecewa dengan hierarki gereja dari atas sampai ke uskup.

      Semoga di Indonesia tidak seperti itu.

      Hapus
    3. Maaf, Kardinal Law dari Boston, bukan Chicago.

      Hapus