Selasa, 03 Maret 2020

Siswa-siswa vs Siswa-siswi

Koran pagi ini menulis:

"Siswa-siswa kelas XII menjalani hari pertama ujian satuan pendidikan berbasis komputer dan smartphone (USP-BKS) kemarin (2/3)."

Smartphone.

Rupanya belum ada terjemahan yang diterima secara luas. Ada yang bilang ponsel pintar atau ponsel cerdas atau HP pintar. Tapi belum berterima.

Dinas Pendidikan masih pakai smartphone. Padahal kamus bahasa Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada lema ponsel pintar. Sudah lama banget.

Bagi saya, yang menarik itu "siswa-siswa" di awal kalimat. Mengapa bukan "siswa-siswi"?

Dulu saya sering diprotes di Sidoarjo karena membuang siswi saat mengedit naskah berita berbayar alias advertorial. Saya anggap siswa ya termasuk siswi atau pelajar yang perempuan.

"Tidak bisa. Harus pakai siswa-siswi karena pelajar sekolah itu tidak hanya laki-laki. Perempuannya juga banyak," kata mbak yang protes itu.

Diterima! Saya ikuti kemauan yang pasang iklan. Khawatir tidak mau bayar. Atau tidak beriklan lagi di masa yang akan datang.

Siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, satrawan-sastrawati, seniman-seniwati, wartawan-wartawati....

Koran-koran Indonesia sudah lama membuang kata wartawati. Padahal makin lama perempuan yang jadi jurnalis makin banyak. Malah cenderung lebih banyak daripada laki-laki dalam 10 tahun terakhir.

"Kata wartawan itu sudah mengandung wartawati. Jadi, tidak perlu pakai wartawati," kata seorang wartawan veteran mantan redaktur kawakan.

Saya juga bertanya ke beberapa editor bahasa di media besar. Termasuk Uu Suhardi, editor bahasa majalah Tempo. Pendapatnya sama. Cukup siswa saja. Tidak perlu siswi.

Para mahasiswa, bukan mahasiswa-mahasiswi. Ratusan karyawan PT X berunjuk rasa... Bukan: Ratusan karyawan dan karyawati berunjuk rasa...

Bagaimana kalau kita pakai kata "murid" atau "pelajar" saja agar netral?

Bisa saja. Saya memang sangat suka kata murid dan pelajar. Tapi, masalahnya, orang Indonesia, khususnya di Jawa, lebih suka siswa-siswi, mahasiswa-mahasiswi, karyawan-karyawati, wartawan-wartawati....

Yang pasti, lembaga pendidikan polopor di Jawa bernama Taman Siswa. Bukan Taman Siswa-Siswi. Murid-muridnya pun laki-laki dan perempuan.

8 komentar:

  1. Kata-kata Sansekerta itu efek samping Orde Baru karena dipimpin oleh Pak Harto , Wong Jawa Tengah yang sangat njawani dan mengawini Bu Tien yang Wong Solo, dibandingkan Sukarno, Orang Surabaya yang egaliter dan mengawini perempuan dari semua penjuru Nusantara.

    Saya juga lebih suka murid, pelajar, pegawai, pekerja, jurnalis, penulis, pelacur, pekerja seks, atlet, pelancong, turis, pengusaha, pemikir budaya, perupa, dll.

    Dibandingkan: siswa, karyawan, wartawan, sastrawan, wanita tuna susila (= perempuan tanpa moral, lha kalau koruptor lelaki bolehkah disebut pria tuna susila?), olahragawan, wisatawan, usahawan, budayawan, seniman, dll.

    BalasHapus
  2. Betul.. zaman orde baru memang sangat terasa kramanisasi bahasa. Kata2 sansekerta sangat banyak dipakai untuk menggantikan kata2 Indonesia yg sudah umum dan sederhana.

    Masih ingat Eka Prasetya Pancakarsa? hehehe

    Bahasa Indonesia yg aslinya melayu pasar, melayu tionghoa, melayu larantuka, melayu papua, melayu betawi dan melayu2 lain jadi rumit saat orde baru.

    Kata2 Sansekerta itu juga untuk eufemisme. Alias kramanisasi itu tadi.

    Bung Karno itu arek suroboyo yang poliglot. Makanya kata2nya sederhana dan enak. Gaya bahasanya mirip melayu tionghoa.

    BalasHapus
  3. WTS: wanita tuna susila.
    Awalan tuna ini sangat produktif zaman orba.
    Tunakarya, tunawisma, tunaaksara, tunanetra, tunadaksa... dsb dsb.

    Orang2 tuli protes kata tunarungu hehe. "Kami bukan tunarungu tapi tuli," kata pengurus komunitas tuli.

    BalasHapus
  4. Lebih tepat dan gamblang:

    tunakarya: pengangguran, pencari kerja;
    tunawisma: gelandangan
    tunaaksara: buta huruf, ataukah kertas kosong yang tidak ada hurufnya?
    tunanetra: buta
    tunadaksa: cacat, buntung, pincang, dll. yang lebih akurat
    dsb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tepat dan gamblang tapi dianggap kasar. Makanya dibuatlah kata2 yang halus alias kromo kayak bahasa Jawa itu.

      Sekarang WTS disebut WRSE: wanita rawan sosial ekonomi hehe...

      Birokrasi memang suka memproduksi frase2 baru. Orang miskin disebut MBR: masyarakat berpenghasilan rendah.

      Hapus
    2. Kalau yang itu sepertinya istilah ilmu ekonomi atau sosial. WRSE, MBR. Terjemahan langsung dari bahasa Inggris. Economically and socially vulnerable women. Low income community

      Hapus
    3. WRSE bukan mengacu kepada WTS. Kebanyakan WTS termasuk WRSE, tetapi WRSE tidak melulu pelacur. Ini istilah ilmu sosial dan ekonomi masyarakat, misalnya: https://jurnal.ugm.ac.id/mgi/article/view/24227

      Hapus
  5. Mestinya begitu. Tapi siaran pers satpol pp selalu menyebut PSK atau WTS dengan WRSE. Setiap usai razia di tempat2 gituan, pihak satpol selalu rilis dapat tangkapan sekian WRSE di wonokromo, kembang kuning, benowo dsb.

    BalasHapus