Minggu lalu ada diskusi ringan tentang kolonialisme di Indonesia. Khususnya Belanda alias Londo. Sejak kapan sebenarnya Nusantara ini dijajah Belanda?
Sejak kedatangan de Houtman?
Sejak VOC berdagang rempah-rempah?
Sejak VOC bangkrut karena korupsi?
Sejak VOC diambil alih pemerintah Belanda awal 1800-an?
Tidak jelas.
Penjelasan beberapa pengamat dan pemerhati sejarah di Sidoarjo itu ngambang. Mbah Gatot masih menyebut 350 tahun. Persis hafalan murid-murid SD itu.
Yang pasti, wilayah yang sekarang bernama Indonesia ini tidak sekaligus dijajah Belanda. Londo Keju itu ambil satu-satu wilayah. Sebab pada saat itu wilayah-wilayah di Nusantara sangat otonom. Alias punya kedaulatan sendiri-sendiri. Bisa dikatakan sudah ada puluhan bahkan ratusan negara/kerajaan.
Karena itu, ketika Banten diambil Belanda, wilayah lain seperti Madura, Blambangan, Bali, Timor, Flores, atau Papua masih merdeka. Bahkan tidak tahu ada virus kolonialisasi dari negeri kincir angin itu.
Saya pikir angka 350 tahun itu sengaja digunakan para pejuang untuk membangkitkan semangat orang Indonesia untuk melawan penjajah Belanda. Angka persisnya pasti tidak sebanyak itu.
Belanda diusir Jepang tahun 1942. Indonesia proklamasi 1945. Tapi de facto Belanda masih bercokol di tanah air kita sampai akhir 1949. Kerajaan Belanda baru menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.
Selasa 10 Maret 2020, Raja Belanda Willem Alexander berkunjung ke Indonesia. Adem ayem aja. Sangat sepi pemberitaan. Apalagi sekarang lagi ramai virus corona alias Covid-19.
Walaupun tak ada corona, tetap saja lawatan raja dan ratu Belanda ini tidak dianggap penting. Sama saja dengan lawatan presiden Timor Leste atau PM Malaysia atau Sultan Brunei atau PM Papua Nugini.
"Apanya yang istimewa? Belanda itu masa lalu. Sudah tidak ada hubungan dengan kita," kata mantan wartawan senior di Surabaya.
Mungkin yang sedikit menarik perhatian media adalah sambutan Raja Willem. Dia sempat minta maaf atas masa lalu Belanda di Indonesia. Minta maaf atas penjajahan yang 350 tahun itu?
Awalnya saya kira begitu. Tapi setelah saya baca berita di beberapa media daring, Raja Willem sama sekali tidak singgung sepak terjang VOC dan kolonialisme Kerajaan Belanda yang sangat eksploitatif itu.
Willem ternyata hanya minta maaf atas "perpisahan yang menyakitkan" setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Saat itu ribuan pejuang Indonesia berguguran. Termasuk Arek-Arek Surabaya.
"Saya ingin minta maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda," kata Raja Willem Alexander di Istana Bogor.
Begitulah angle penjajah. Belanda rupanya tidak merasa bersalah atas kolonialisme di Indonesia hingga 1945 (minus pendudukan Jepang) itu. Bisa jadi Belanda justru merasa berjasa sudah membangun berbagai infrastruktur di tanah air kita.
Syukurlah, Indonesia bukan Malaysia, Singapura, atau Brunei yang masih terus memupuk hubungan dengan bekas penjajahnya. Kita sudah lama melupakan Belanda.
Dan... naga-naganya kita tidak lagi membutuhkan duit Belanda sejak IGGI dibubarkan. Go to hell with your money!!!
"Belanda itu penjajah yang paling keparat dan brengsek," kata salah satu peserta sarasehan asal Sidoarjo.
Yaaa bersangka yang baik sajalah... beliau kan fokus kepada kekerasan yg dilakukan sekitar agresi militer (aksi polisi, kalau menurut bahasa penjajah). Hanya bahasanya itu yg menghaluskan kejahatan yg dilakukannya sendiri. “Kekerasan berlebihan”, seakan-akan tidak sengaja di lapangan. Yang terjadi ialah kejahatan perang.
BalasHapusYang lebih penting lagi ialah meminta maaf atas keserakahan pemerintah dan kerajaan Belanda waktu itu. Karena rasa serakah dan angkara murka itulah akar dari kejahatan yg dilakukan di Indonesia.
Nah, betul banget. Luar biasa keserakahan kekejaman dan penindasan belanda selama ratusan tahun di nusantara. Semakin banyak baca buku2 lama, baca pidato2 bung karno dan tulisan2 para pejuang semakin kita benci yg namanya belanda meskipun kita tidak ikut mengalami masa gelap itu. Sangat mengerikan.
HapusMakanya ketika ditanya orang belanda kemarin: apakah orang indonesia mau memaafkan belanda pada masa lalu?
Saya bilang sulit.. sangat sulit. Di mulut kita bilang baiklah, okelah, sudahlah... tapi sejatinya tidak bisa dihapus. Dan permintaan maaf Raja Willem itu pun boleh dikata cuma basa basi saja alias lips service doang. Minta maaf kok setelah 75 tahun.
Lambertus, kekejaman itu dimulai dengan terbitnya Scientific Revolution, yg kemudian beriringan dengan terbitnya Capitalism melahirkan Industrial Revolution. Kapitalisme dan Revolusi Sains melahirkan era eksplorasi untuk mencari uang dan kemuliaan bagi mahkota Portugis, Sepanyol, dan kemudian Perancis, Inggris, Belanda. Ke mana saja mereka pergi, malapetaka lah yang terjadi bagi penduduk lokal. Sekarang sejak 1945, negara2 itu sudah mengundurkan diri dari bisnis penjajahan, tetapi malapetaka yang ditinggalkan masih tetap tersisa secara nyata, bukan hanya di hati rakyat lokal.
HapusDui dui.. revolusi industri itu antara lain melahirkan 16 suiker fabriek alias pabrik gula di sidoarjo. Sekarang tinggal 2 PG yang masih giling tebu. Tidak lama lagi yang 2 pabrik gula eks belanda di candi dan krembung itu pun tidak akan bertahan.
HapusMelihat kekejaman belanda, maka pabrik2 gula itu merupakan bukti otentik penindasan belanda dengan tanam paksa, rampok tanah, bunuh petani dsb. Uangnya diangkut ke den haag dan amsterdam.
Raja Willem yang dulu mahasiswa sejarah tentu sudah tahu kekejaman nenek moyangnya dulu di Hindia Belanda.
Tapi Koning ini tidak mau menyinggung masa VOC sampai 1945. Dia hanya menyentuh soal agresi militer 47 dan 48.
Tentang masa VOC sampai dengan dikalahkannya kolonialisme Belanda di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer memberikan kredit kepada Multatuli atawa Edouard Douwes Dekker, yang menulis buku Max Havelaar, yang mengisahkan penderitaan rakyat Indonesia melalui persona2 Saijah dan Adinda.
HapusLihat: https://www.nytimes.com/1999/04/18/magazine/best-story-the-book-that-killed-colonialism.html
Malaysia itu masih memupuk hubungan dgn Inggris krn kerajaan2 mereka tidak disentuh. Coba tanyakan ke orang India bagaimana perasaan mereka thd penjajah Inggris. Lain lagi ceritanya. Rakyat India masih sakit hati hingga hari ini, krn pola kolonialisasinya sama persis dgn Belanda di Indonesia. Dimulai dengan East India Company, dan kemudian diambil alih oleh Kerajaan Inggris.
BalasHapusMasih untung Indonesia dan Malaysia bisa berdiri sebagai bangsa sendiri. Coba tanyakan kepada orang Aborigin, Maori, orang2 Amerika asli... mereka tidak ae beruntung itu.
Hampir setahun ini saya ngopi dan eksplor kota lama, pecinan, ampel, rajawali, jembatan merah, sikatan dsb. Hampir tiap hari duduk di sisi Kalimas Jembatan Merah. Ada gedung internatio di sebelah.
BalasHapusSaya seperti dipaksa untuk refleksi masa kolonial di surabaya dulu. Baca tulisan2 di internet dan buku sejarah. Aroma penindasan belanda menjadi sangat dekat dengan hidung saya.
Luar biasa! Belanda yg kecil bisa mengeksploitasi nusantara yg luas selama ratusan tahun. Mungkin bukan 350 tahun tapi sekitar 150 tahun.
Saya juga ngantor di bekas gedung bank belanda anno 1880. Luar biasa.. tahun segitu Belanda sudah sangat maju dan membangun kerajaan justru di tanah bangsa Indonesia. Orang Indonesia malah dibiarkan bodoh, tidak boleh sekolah, dinista, dianggap bukan manusia.
Syukurlah.. kita punya sukarno hatta sjahrir dan para pejuang yg sangat cerdas membaca geopolitik dan sejarah.. lalu melakukan perlawanan yang luar biasa. Jembatan Merah dan gedung2 tua di Rajawali, Pahlawan dsb jadi saksi pertumpahan darah itu.
Dulu saya aktif bersama komunitas2 bangunan cagar budaya di surabaya dan sidoarjo. Kami prihatin sebagian besar gedung2 tua kolonial hancur dan hilang.
BalasHapusSekarang saya sangat mengerti mengapa bangunan2 eks belanda itu dibongkar dan dihancurkan penduduk. Sebab kebencian rakyat terhadap belanda itu sangat sangat kuat sampai sekarang. Bangunan2 tua itu mengingatkan orang Indonesia pada masa lalu yang sangat pahit.
Makanya melestarikan bangunan2 belanda di indonesia bisa sangat dilematis. Di satu sisi ada undang2 cagar budaya, di sisi lain kita punya trauma sejarah yang sangat berdarah dengan belanda.
Makanya sekarang saya sih tenang2 aja kalau ada bangunan2 belanda yang dihancurkan. Biarin aja.. itu karena cucu2 dan cicit2 para pejuang sangat membenci kolonialisme khususnya Belanda.
Kita harus berpikir rasional dan jujur jika menyangkut gedung2 ini. Apakah menghancurkan gedung itu krn kebencian thd eks penjajah atau karena nafsu kapitalisme ingin mencetak keuntungan dengan developer? Jika yg belakangan berarti kita sama saja dengan penjajah, meninggikan keuntungan di atas kepentingan umum.
HapusKombinasi keduanya. Masyarakat sangat anti semua yg berbau belanda, sementara developer juga butuh tanah. Klop.
HapusItulah yg terjadi di jalan kayoon surabaya.
Yang jadi masalah itu markas pejuang Bung Tomo juga dihancurkan sama developer di jalan mawar. Pasti ramai. Kalau bangunan2 belanda yang dirusak ya warga biasanya tutup mata. Diam aja.
Betulkah kebencian thd semua yg berbau Belanda itu sampai segitu dalamnya di antara rakyat Surabaya? Rupanya pelestarian cagar budaya hanya populer di kalangan menengah ke atas yg turunan pedagang Tionghoa dan priyayi, yg semuanya dulu bekerja utk Belanda.
HapusBetul.. pelestarian cagar budaya atau gedung2 tua itu lebih banyak disuarakan orang indo kayak meneer samson, komunitas sejarah dan beberapa wartawan.
HapusOrang2 tionghoa pun kelihatannya malas merawat bangunan2 era kolonial. Buktinya ratusan bangunan di pecinan lama surabaya dibiarkan mangkrak dan hancur. Mereka lebih suka tinggal di perumahan2 elit kayak citraland.
Di Surabaya malah ada gedung setan yang gak karuan kotornya karena tidak dirawat. Rakyat dan pemerintah sepertinya tidak ada minat untuk merenovasi gedung setan itu. Tidak lama lagi akan hancur.
Sbg eks penghuni Surabaya, dan seorang anak semua bangsa , saya menyayangkan sih kalau bangunan2 lama yg termasuk cagar budaya itu dirobohkan . Suatu kota itu mempunyai identitas, termasuk “gen” yg ditinggalkan penjajah melalui bangunan2. Apalagi arsitek yg membuatnya waktu itu memikirkan bgmn membuat bangunan untuk iklim tropis, jadi tidak sekedar bangun.
HapusTauke2 tionghoa yang dulu jadi kaki tangan belanda di pecinan surabaya sejak orde baru sudah kabur ke luar negeri. Termasuk Tuan The yg eks gedung antiknya sekarang jadi tempat kerjaku itu meninggal dunia di UK.
HapusApakah bangsa Indonesia bisa melupakan kekejaman Belanda? tanya wong Londo di media sosial.
BalasHapusSaya bilang tidak mungkin. Hampir tiap hari ada pertunjukan ludruk, ketoprak, dan kesenian tradisional lainnya. Lakonnya kebanyakan tentang belanda keparat atau f**king dutch.
Lakon ludruk yang paling terkenal itu Sarip Tambak Oso. Sarip berjuang membela petani2 yang sawahnya dirampas oleh antek2 belanda. Itu masa tanam paksa dan revolusi industri gula dan pabrik2 lain.
Meskipun cuma ludruk, banyak guyonan, tapi saya selalu perhatikan betapa belanda2 di lakon itu kejamnya luar biasa. Lebih jahat daripada setan.
Teater2 rakyat ala ludruk dan Sarip Tambak Oso juga ada di daerah lain di Indonesia. Saya kira Raja Belanda perlu nonton Sarip Tambak Oso biar bisa ketawa2 sambil menangis.
Maka itu Indonesia harusnya bisa simpati terhadap Orang Timor Leste yg menganggap Indonesia itu agresor dan penjajah.
HapusBetul...itu noda hitam dalam sejarah RI. Kalau tidak salah Indonesia ke sana karena "disuruh" sama USA dan Australia dalam konteks perang dingin.
HapusKalau situasi normal, saya kira Timor Timur itu sangat tidak menarik untuk diambil. Tanahnya kering dan tandus. Tak ada hasil bumi.
Indonesia keluar banyak uang untuk bangun macam2 di Timtim. Beda dengan Hindia Belanda yang sangat subur dan memberikan kekayaan untuk penjajah Belanda.
Selama ini Indonesia tidak pernah merasa menjajah Timtim. Begitu pula Belanda juga sepertinya tidak merasa bersalah karena menjajah Indonesia. Mungkin Belanda merasa sudah berjasa membangun Indonesia selama ratusan tahun hehehe.
Tim-tim itu punya minyak Bung! Nyaaak minyaaaak. Indonesia bukan disuruh USA dan Australia, tetapi kedip2 mata ke mereka utk kirim sinyal. Dikedipi balik, ok lah, kan untuk mencegah domino jatuh ke tangan komunis (katanya). Indonesia pikir negara kecil, diserbu kan beres habis perkara. Lupa dengan sejarahnya sendiri, bhw rakyat yg dijajah dan lain budaya dan sejarahnya itu sampai mati berkalang tanah pun tak sudi diduduki dan akan bikin repot dgn perang gerilya berkesinambungan dan berkepanjangan. Pak Harto kemaruk krn dipikir minyaknya bisa dijual untuk nutup ongkos invasi dan pendudukan. Tak disangka nama buruk lah dan tentara mati yang diperoleh.
HapusPrestasi terbesar Habibie ialah membawa Indonesia keluar dari Timor Leste sehingga Menlu Indonesia tidak dianggap pariah / pesakitan dan bahan olok2 di konferensi2 internasional.
Jepang juga penjajah yang kejam. Tapi image Jepang masa kini tidak seburuk penjajah Belanda.
BalasHapusBahasa Jepang diajarkan di banyak kampus. Bahasa Belanda tidak ada.
Anak2 muda sering bikin festival Jepang di Surabaya dan kota2 lain di Jatim. Dan.. jangan lupa, ratusan juta honda yamaha suzuki toyota daihatsu kawasaki dan nama2 Jepang setiap saat memenuhi jalan raya.
Penjajah kolonial yang paling mengerikan sih bagi saya Ottoman dan Russia. Imperial Russia dengan paksa melakukan "Russification" ke negara-negara yang mereka invasi sementara Ottoman menciptakan sistem "kasta" bagi muslim dan non-muslim (dhimmi).
BalasHapusNegara-negara yang dijajah kedua bangsa tersebut juga sekarang gak sukses-sukses amat, malah masih "diintai" sama bekas tuan kolonial mereka.
Ukraina? diserang lagi sama Russia. Georgia? diserang juga sama Russia. Bapak Putin masih punya "post imperial complex" dengan negara-negara bekas jajahan mereka, dibayangi kejayaan Soviet.
Begitu pula Bapak Erdogan yang masih menggelorakan Neo-Ottomanisme dan ikut-ikutan menyerbu bekas jajahan mereka, terbaru ya si Suriah.
Asia Tenggara, dan sebagian China dibawah pendudukan Jepang itu wajar diperlakukan secara kejam soalnya saat itu Jepang hanya melakukan "pendudukan" dimana yang berkuasa adalah militer, bukan sipil.
Koloni yang benar-benar memang milik Jepang murni itu hanya dua : Taiwan (1895) dan Korea (1910). Dan keduanya justru menjadi negara sukses yang maju.
Beda dengan bekas jajahan Rusia maupun Turki tadi.
Beberapa orang tua dan indo pernah cerita bahwa saat dijajah Belanda itu suasananya enak, tenang, teratur, layaknya negara yg normal. Makanya ketika Jepang datang, mereka ingin kembali ke zaman normal. Setelah proklamasi 1945, terjadi pergolakan karena Belanda merasa masih punya hak untuk berkuasa di Indonesia. Lima tahun itu pun dianggap kacau. Mereka ingin kembali ke zaman normal.
BalasHapusRibuan orang Tionghoa juga merasa lebih nyaman dan normal saat dijajah Belanda. Karena itu, mereka memilih repatriasi ke Tiongkok ketimbang hidup di Indonesia yg tidak lagi dikuasai oleh Belanda.
Nah, kaum bumiputra sejak VOC, Hindia Belanda, sampai Jepang berada di kasta sudra. Kasta paling bawah. Maka pribumi2 yg ngotot mengusir penjajah Belanda itu. Jepang tidak perlu diusir karena sudah ditangkap sama sekutu hehe.
Sudah mendingan raja belanda basa-basi minta maaf kepada Jokowi.
BalasHapusOrang bangsa eropa tidak harus minta maaf kepada bangsa kulit berwarna di benua Amerika, Afrika, Asia dan Australia + Selandia Baru.
Orang kulit putih berhak mengambil, merampas, semuanya yang ada diatas bumi, dengan alasan " Menjalankankan Perintah Agama " !
Baca Kitab Injil Genesis 1,28.
Biawak-Isis-Taliban-Kilafah juga tidak boleh disalahkan, sebab mereka hanya menjiplak kitab dan meniru tingkah orang2 kulit putih.
Masya Allah, Dominus vobiscum.