Surabaya, 25 November 2013
"Lanjutan Kho Ping Hoo-nya mana? Ceritanya sudah seru nih! Kok diputus?" tanya seorang pengusaha Tionghoa di kompleks Masjid Cheng Hoo, Surabaya, kepada saya.
Dia ternyata sangat aktif membaca cerita silat lawas karya mendiang Khoo Ping Hoo dari Solo itu. Gaya bercerita Paman Kho ini memang luar biasa dahsyat. Deskripsinya begitu kuat. Seakan-akan dia sudah pernah tinggal di Tiongkok. Dia bisa membahasakan aneka jurus silat ala Tiongkok dengan sangat hidup.
Penggemar Kho Ping Hoo ini sempat kecewa karena beberapa kali ceritanya salah muat atau diulang. Saya sendiri terkejut. Tak menyangka Khoo Ping Hoo masih dibaca di era internet ini. Di era audio visual. Apa sih sulitnya masuk ke internet dan membaca versi online?
Amboi, surat kabar ternyata masih jadi rujukan... untuk membaca cerita silat Tionghoa. Syukur puji bagi Tuhan!
Kemudian datang pesan pendek (SMS) dari Su Laoshi, guru bahasa Mandarin di Surabaya, yang paling sering mengantar rombongan pelajar dan guru dari Jawa Timur ke Tiongkok. Su Laoshi baru saja pulang dari Guangdong. Tentu dia membawa cerita, reportase bagus, plus teh hijau khas Tiongkok alias zhongguo cha (baca: cungkuo cha). Itu lho teh sepet yang juga berfungsi sebagai jamu peluruh kolesterol... katanya.
"Kayaknya kamu butuh teh deh. Saya baru kembali dari negeri tirai bambu," katanya.
Sayang, dia kaget karena halaman khusus LAMPION tidak ada lagi di koran. Sudah dihentikan sejak 23 November 2013. LAMPION itu rubrik khusus seni, budaya, tradisi, komunitas, bahasa, dan semua yang berbau Tionghoa baik di Surabaya, kota-kota lain, hingga Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Singapura.
Su Laoshi alias Andrean Sugianto pun maklum bahwa hidup itu memang selalu berubah. Tiap hari kita berubah, tiap detik pun usia kita bertambah. Ada tantangan sekaligus peluang baru. Apalagi media massa yang tengah menghadapi tsunami informasi yang luar biasa.
Kalau tidak mau berubah, menyesuaikan irama zaman, ya, bisa jadi dinosaurus. Masih untung komodo-komodo di Flores yang masih sanggup bertahan ketika rekan-rekannya sudah musnah ribuan tahun lalu. Hebat benar engkau, wahai komodo, lambang Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak 20 Desember 1958. Si komodolah pemenang sejati hukum besi survival of the fittest!
Bagi saya, LAMPION memang rubrik yang luar biasa. Berkat LAMPION, saya mau tidak mau dipaksa untuk belajar, membaca, terjun langsung, ke komunitas Tionghoa. Saya pun akhirnya bisa menulis begitu banyak naskah berita, opini, kolom, andekdot.. tentang budaya Tionghoa. Entah sudah berapa tulisan karena saya tidak pernah hitung.
Bahkan, gara-gara tulisan saya di LAMPION pula, yang sebagian dimuat lagi di blog ini, saya sering dianggap sebagai "pemerhati dan pengamat budaya Tionghoa" oleh sejumlah orang. Ada saja yang bertanya ini itu tentang Tionghoa. Memangnya saya ini sinolog seperti almarhum Dr Ong Hok Ham?
Silakan googling wayang potehi di internet, kemungkinan besar nyasarnya ke blog ini. Karena dulu belum ada orang yang membahas wayang potehi di internet. Tradisi budaya Tionghoa dipinggirkan sejak Orde Baru, 1966, dan baru berkembang luas sejak era Gus Dur. Mau cari informasi kelenteng-kelenteng di Surabaya atau Sidoarjo, ya, nyasarnya ke sini.
Emangnya saya orang kelenteng?
Hehehe... ternyata tulisan saya tentang kelenteng-kelenteng itu dijiplak, di-copy paste naskah dan foto, kemudian diklaim sebagai tulisan sendiri di blognya orang Tionghoa. Begitulah di Indonesia. Orang Tionghoa sendiri malah minim informasi tentang tradisi budaya leluhurnya, kemudian membaca LAMPION dan blog ini, kemudian mau melacak kembali jejak leluhurnya yang sempat diharamkan Orde Baru.
Saya sedih tapi juga senang karena paling tidak tulisan-tulisan saya di LAMPION, yang sebagian besar dimuat lagi di blog ini, jadi referensi banyak orang. Saya dianggap "pakar masalah Tionghoa". Hehehe....
Rupanya rubrik LAMPION sudah berhasil membangun kesepahaman dan interaksi antaretnis yang beragam di Surabaya, bahkan Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dan, setelah reformasi berjalan selama 15 tahun, isu-isu tentang Tionghoa sudah sangat biasa di media massa. Media massa malah seakan berlomba meliput perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh, sembahyang rebutan King Hoo Ping, Ceng Beng, perayaan bulan purnama alias Tiong Ciu Jie, dan acara-acara kelenteng.
Ki Subur, dalang wayang potehi yang dulu tinggal di Sidoarjo, kini menjadi SEHU alias dalang potehi paling populer di Indonesia. Setiap kali melihat liputan-liputan tahun baru Imlek di televisi, koran, majalah, internet... rupanya Ki Subur yang badannya memang subur ini paling sering muncul. Ki Subur selalu padat job di pusat belanja di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.
Say (mungkin) pertama kali membahas fenomena Ki Subur dan dalang potehi etnis Jawa di internet. Sebab, dulu, ketika saya mencari wayang potehi di internet baik yahoo, google, dan sebagainya, dalang unik macam Ki Subur dan wayang potehi belum ada. Saya lalu coba-coba menulis dan posting di blog pribadi. Eh, beberapa bulan kemudian, ketika perayaan tahun baru Imlek digelar besar-besaran naskah sederhana itu menjadi sangat laku.
Kembali ke LAMPION yang ditutup. Di satu sisi saya pribadi kehilangan, karena ikut merintis dan paling banyak menulis, tapi di sisi lain ada bagusnya. Sebab, liputan-liputan tentang budaya dan komunitas Tionghoa sudah begitu hebatnya di Surabaya.
Bahkan ada dua surat kabar harian berbahasa Mandarin di Surabaya, yakni GUOJI RIBAO (Jawa Pos Group) dan JIANTAO RIBAO. Sulit dibayangkan ada koran berbahasa Mandarin dengan begitu mendalamnya menurunkan berita dalam bahasa dan aksara Tionghoa. Aksara yang diharamkan rezim Orde Baru karena dianggap sebagai "aksara setan" yang hanya akan membuat orang Indonesia jadi komunis. Inilah kebodohan terbesar rezim Orde Baru selama 32 tahun.
Kini, zaman berubah, dunia terbalik. Semua penindasan itu ada karmanya. Bahasa dan aksara Tionghoa alias hanzhi (saya tahu hanzhi dan putonghua ini juga karena LAMPION) justru berkembang pesat di Indonesia saat ini. Bahasa Tionghoa alias Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah. Pemerintah Tiongkok membuka Institut Konfusius di Surabaya dan banyak kota di Indonesia.
Sebaliknya, berapa banyak sih orang Jawa, yang berusia di bawah 40 tahun, yang bisa hanacaraka? Yang bisa krama inggil?
Pemerintah Kota Surabaya pernah membuat kebijakan hari wajib bahasa Jawa setiap Jumat, tapi tidak jalan karena diprotes setiap hari. Sekolah-sekolah negeri dan swasta malah lebih gencar mengajarkan bahasa Inggris dan Mandarin demi globalisasi.
Hidup Tionghoa!
Hidup LAMPION!
Yang pasti, meski rubrik LAMPION tidak ada lagi, berita-berita tentang Tionghoa tetap ada meskipun tidak lagi punya halaman khusus di Radar Surabaya. Dicampur dengan berita-berita lain tentang Surabaya dan sekitarnya. Apalagi, orang Tionghoa di Jawa Timur, dan Indonesia umumnya, sebetulnya sudah sangat membaur dengan penduduk setempat.
Sudah jadi arek Surabaya! Bicara bahasa Jawa ala Surabaya yang khas dan malah tidak bisa bahasa Hokkian, apalagi Mandarin standar Beijing alias Putonghoa. Arek Kapasan, Bibis, Kembang Jepun, Gemblongan, Blauran... yo podo-podo arek Suroboyo!