Minggu, 21 Juli 2019

Jadi Ingat Paus Benediktus XVI

Sudah lama saya lupa bahwa Paus Benediktus XVI itu masih ada. Berstatus Paus Emeritus di Vatikan. Bapa Suci asal Jerman ini sekarang berusia 92 tahun.

Paus Benediktus XVI mengundurkan diri pada 28 Februari 2013 karena alasan kesehatan dan usia. Sejak itu beliau mengisi hari-harinya dengan berdoa, membaca, menulis, dan berolahraga ringan. Biasanya jalan kaki di kompleks Vatikan yang antik itu.

Sejak digantikan Paus Fransiskus dari Argentina, nama Paus Emeritus Benediktus XVI tidak lagi disebut-sebut di Indonesia. Sebab ekaristi atau misa memang hanya menyebut nama Paus Fransiskus dan uskup setempat. Bukan paus emeritus atau uskup emeritus.

Makanya saya agak terkejut ketika mengikuti misa streaming dari Amerika Serikat. Pater dari ordo Pasionis yang memimpin misa mendoakan Paus Fransiskus, Paus Benediktus, dan uskup setempat dalam doa syukur agung.

Oh, Paus Benediktus XVI.

Sudah lama banget saya tidak ingat beliau. Padahal beliau masih berada di Vatikan meskipun tidak lagi menjadi gembala agung umat Katolik sedunia.

Tidak hanya di Indonesia. Saya yakin umat Katolik di negara-negara lain pun sudah melupakan Sri Paus yang dikenal sebagai teolog terkemuka itu. Sebab dari dulu kita tidak mengenal Paus Emeritus.

Seorang Paus atau Bapa Suci dipilih oleh para kardinal lewat konklaf setelah paus yang lama meninggal dunia. Makanya tidak ada yang namanya Paus Emeritus. Kalau Uskup Emeritus sih biasa dan banyak.

Terima kasih Pater Paul Fagan CP yang membuat saya jadi ingat lagi Paus Benediktus XVI. Apalagi saya punya rosario pemberian seorang tokoh di Surabaya setelah berwisata rohani di Vatikan. Rosario ini sudah diberkati Paus Benedict XVI, katanya.

Sabtu, 20 Juli 2019

Ribetnya merawat motor tua

Sepeda motor tua itu paling aman. Tidak akan dicuri maling. Sebab tidak bisa dijual ke penadah. Terlalu murah. Dibandingkan risiko sang maling yang bertaruh nyawa.

Pengendara motor tua juga jarang disemprit polisi. Sebab polisi tahu motor tua itu bukan hasil curanmor. Biasanya maling motor di Surabaya dan Sidoarjo incar motor-motor balita. Yang usianya di bawah lima tahun. Yang harga jualnya masih tinggi.

Tapi ya itu, seperti manusia tua, motor tua sering rewel. Kalau pemiliknya kurang melakukan perawatan dengan baik. Khususnya ganti oli. Telat oli bisa berabe.

Jumat 20 Juli 2019. Saya membawa pasien lansia ke bengkel di Berbek I/45 Waru, Sidoarjo. Yamaha Vega yang sudah mengabdi selama 20 tahun saatnya masuk UGD. Beberapa onderdil jerohan sudah waktunya diganti.

Saya curiga kopling dan kampas ganda yang bermasalah. Ini penyakit berat. Mas Montir sangat sigap melakukan diagnosa. Dinaiki sebentar kemudian membuka jerohan motor itu. 

"Kampas ganda aman, kampas kopling yang parah," katanya. "Tapi rumah kampas gandanya yang kudu diganti."

Sudah kuduga. Termasuk ongkos totalannya. Pasti di atas 400 atau 500an rupiah. Sebab rumah kopling biasanya di atas 200. Bahkan ada motor yang rumah koplingnya di atas 400 versi Bukalapak itu.

Reparasi besar pasti lama. Maka saya pun naik ojek ke kawasan Jembatan Merah Surabaya.

 "Total di atas 500. Silakan diambil motornya," kata Baba pemilik bengkel via telepon.

"Besok saja. Sudah kesorean," jawab saya.

Begitulah lika-liku kendaraan lawas. Kudu telaten merawat agar usianya bisa panjang. 

Di bengkel itu saya melihat 6 motor yang sedang diservis. Tiga di antaranya motor balita. Alias motor matic yang usianya belum 3 tahun.

"Servis besar karena ada onderdil yang rusak," ujar sang pemilik motor matic asal Sedati.

Ohhh... hohoho... ternyata motor lawas dan baru sama saja. Sama-sama masuk UGD.

 "Motor-motor baru memang lebih cepat rusaknya ketimbang motor lawas. Apalagi kalau pengendaranya ceroboh dan tekat oli," kata Mas Bengkel.

Arswendo Atmowiloto Katolik Turis Khotbahi Romo

Terlalu banyak kenangan indah dengan Arswendo Atmowiloto (1948-2019). Mulai majalah Hai yang jadi buruan pelajar era 80an. Dengan cerita bersambung Lupus.

Lalu, buku yang bikin gila para pelajar sekolah menengah hingga perguruan tinggi karya Arswendo: Mengarang Itu Gampang. Saya pinjam dan perpustakaan sekolah dan diulangi lagi di kampus. Tapi ternyata tidak gampang. 

Asal ngarang sih bisa. Tapi bikin karangan yang bagus? Yang dimuat di Hai, Gadis, Anita dsb? Tidak gampang. Cerpen-cerpenku yang merujuk teori Arswendo: Mengarang Itu Gampang, ternyata tak satu pun yang tembus media di Jakarta.

 Yang rada gampang tembus justru artikel opini. Bukan cerita pendek atau cerita bersambung ala Arswendo.

Sudah terlalu banyak tulisan in memoriam Arswendo di media cetak dan online plus media sosial. Penulis-penulisnya jauh lebih dekat Mas Wendo ketimbang saya yang hanya bertemu sesekali di seminar atau lokakarya. Dus, tidak perlu diulangi.

Yang selalu saya ingat adalah ketika Arswendo diundang membawakan monolog di Gereja Katolik Pandaan. Wendo pakai blankon, baju lurik, ala priyayi Solo. Selepas sambutan pastor paroki, Wendo awalnya rada serius. Maklum, bicara di depan altar pada peringatan hari jadi paroki.

Tak sampai dua menit, Wendo keluar aslinya. Guyon maton, sentil sana sini, bikin umat yang memenuhi gereja tertawa ngakak. Termasuk romo-romo yang disentil kata-kata halus khas Wendo.

"Saya ini cuma Katolik Turis. Katolik Turut Istri," kata Wendo disambut derai tawa. "Sampai sekarang saya ndak paham mengapa saya harus jadi Katolik."

Arswendo kemudian berbagi pengalaman di penjara dsb. Berbuat sesuatu tanpa ada embel-embel evangelisasi, mewartakan kabar gembira Injil dsb. "Lakukan apa saja yang bisa kita lakukan. Di sekitar kita," katanya.

Baru pertama kali ini saya terpukau mendengar paparan Arswendo di depan altar. Hampir satu jam kata-kata jurnalis senior ini menusuk relung hati umat Katolik di Pandaan. Kesaksian tanpa mengutip ayat-ayat Alkitab. Tanpa embel-embel Katolik, Kristen, Nasrani dsb.

Lah, wong cuma Katolik Turis.. hehehe! Mosok mau ngotbahi romo-romo atau suster-suster yang tiap hari ngaji Alkitab dan doa brevis sejak bangun tidur sampai mau tidur malam.

Di akhir khotbahnya, eh.. monolog, Arswendo membacakan puisi ini. Ditujukan untuk romo-romo di Indonesia:

"Aku mendamba Romo yang penuh kasih, bukan yang pilih kasih
Aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean
Itu berarti pemberian umat
sebagai tanda cinta, tanda hormat

Aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak,
kaku pada dogma, tapi lucu kala canda,
yang lebih sering memegang rosario
dibandingkan blackberry warna hijau
Aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar, dibandingkan berujar

Aku mendamba Romo yang menampung air mataku,
tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual

Duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekali
tapi aku percaya tetap terpenuhi
karena Romoku mau dan mampu selalu memberi
- inilah damba dan doaku, Romoku

Eeee,... masih ada satu lagi

Sekali mengenakan jubah, jangan berubah
Jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah
bahkan sampai ada laut terbelah
kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku

Aku mendamba Romo yang menatapku kalem
bersuara adem

"Berkah Dalem …"

Selamat jalan Arswendo Atmowiloto!
Selamat beristirahat dengan tenang!

Jumat, 19 Juli 2019

Jangan baca koranku! Beli sendiri dong!

Ada Kompas nganggur di bengkel kawasan Wadungasri, Sidoarjo. Saya pun minta izin membaca koran terbitan Jakarta itu. Di warkop sekitar 60an meter dari bengkel.

"Permisi, korannya saya baca di warung ya?"

Ibu Tionghoa itu mengiyakan. Saya pun hendak menyeberang. Bawa koran Kompas yang masih gres. Belum dibaca oleh pengusaha bengkel motor itu. Dua anaknya malah asyik lihat ponsel karena konsumen lagi sepi. Maklum, sebentar lagi Jumatan.

"Sini... sini.. korannya di bawa ke sini," kata Bu Tenglang dengan suara dinaikkan.

Oh, rupanya Bu Tenglang tidak bersedia korannya saya bawa ke warkop. "Di warkop juga ada koran," kata si Taitai.

Hem... Taitai ini rupanya belum tahu kalau saya sering ngopi di warkop Emak itu. Tidak pernah ada koran. Emak di Wadungasri ini hanya jualan kopi, nasi pecel, kare ayam, bali, dan nasi campur.

Tak masalah lah. Taitai jelas melarang saya membawa korannya ke warkop. Juga melarang saya membaca korannya. Cuma cara melarangnya rada diplomatis khas wong Jowo.

 Sayang, diplomasinya ngawur karena tidak didukung data dan fakta yang akurat. Bilang saja tidak boleh bawa koranku ke warkop. Titik. Tidak usah berbelok-belok begitu.

Saya hanya bisa tersenyum pahit. Ingin rasanya menarik motorku yang hendak diganti kampas ganda itu. Tapi sudah telanjur dibuka oleh Mas Montir.

Kok begitu takut korannya hilang? Bukankah ada sepeda motor sebagai agunan? Harga koran Kompas kan cuma Rp 4.000?

Ya wis...

Diambil hikmahnya saja. Di sisi lain saya justru gembira karena Bu Tenglang ini masih langganan koran. Meskipun bukan Jawa Pos atau Radar Surabaya. Ini pertanda baik. Bahwa surat kabar ternyata masih diminati pengusaha otomotif di Sidoarjo. Meskipun sampai jam 11 belum dibaca. Masih terlipat rapi. Mungkin Taitai baru baca nanti sore atau malam.

Rabu, 17 Juli 2019

Menulis Asyik ala Dahlan Iskan

Di GRAHA PENA Surabaya, markas Grup JAWA POS, DAHLAN ISKAN lebih akrab disapa Pak Bos. Pria kelahiran Magetan 17 Agustus 1951 ini memang bos Grup JAWA POS. Di masthead koran-koran di lingkungan Grup JAWA POS, jabatan resmi Dahlan Iskan adalah chairman. Memang, selain membesarkan JAWA POS (dan grupnya) dialah mahaguru para wartawan Grup JAWA POS.


Yang menarik, berbeda dengan bos-bos media lainnya, Dahlan Iskan ini tetap menulis. Bikin reportase, kolom, analisis berita… pokoknya menulis. Menulis kapan saja dia suka. 

Menulis dan membaca sudah menjadi darah daging tokoh pers nasional itu. Kalau sudah ada ide, di mana pun, kapan pun… Dahlan Iskan menulis.


Belum lama ini, Pak Bos jalan-jalan di Singapura. Jalan kaki di Orchard Road dengan trotoar yang rindang. Nah, di trotoar itu muncul ide untuk menulis masalah kota, sekadar masukan untuk Kota Surabaya. Maka, ayah dua anak ini menulis di trotoar itu. Besoknya, tulisan itu dimuat di JAWA POS, dan beberapa koran anak perusahaan JAWA POS.


“Dahlan Iskan itu penulis dan wartawan yang belum ada duanya di Jawa Timur, bahkan Indonesia,” kata BAMBANG SUJIYONO, seniman teater, pentolan BENGKEL MUDA SURABAYA, kepada saya.


“Harusnya kita punya banyak wartawan kayak dia. Sekarang ini wartawan buanyaaaaak sekali, media berlimpah, tapi hampir nggak ada wartawan yang punya tulisan bagus. Kayaknya wartawan-wartawan sekarang ini nggak bakat menulis deh. Makanya, tulisannya nggak karuan,” kata Bambang, bekas anggota DPRD Jawa Timur, juga bekas pemimpin redaksi beberapa media cetak di Surabaya.


Bambang Sujiyono, juga sejumlah seniman, mahasiswa, pengamat, serta kalangan terdidik di Jawa Timur, memang sejak lama ‘kecanduan’ tulisan Dahlan Iskan. Kalau Pak Bos lama tak menulis karena sibuk (maklum, urusan dan jabatannya banyak), orang-orang macam Bambang ini telepon atau titip pesan lewat redaksi agar Pak Bos segera menulis lagi.

“Ada teman saya yang hanya mau baca tulisan Dahlan Iskan. Tulisan-tulisan lain dianggap nggak ada. Hehehe…,” kata Bambang Sujiyono lalu tertawa khas. Saya hanya mengangguk mendengar komentar Bambang. Lalu tertawa.


Bu Yuliani, pemimpin sebuah kelenteng besar di Surabaya, juga berkali-kali ‘titip pesan’ lewat saya agar Pak Dahlan Iskan sering-sering menulis. Katanya, tulisan-tulisan Dahlan Iskan sangat kinclong, hidup, menarik, dan bikin pembaca ketagihan. Dia baca berkali-kali tulisan Pak Dahlan, tapi tidak pernah bosan.


“Hurek, kalau bisa kalian wartawan yang masih muda-muda ini belajar dari Pak Dahlan Iskan. Orang itu memang luar biasa. Ciamik soro, kata orang Tionghoa,” kata Bu Yuli.

Tokoh Tionghoa ini kebetulan sangat dekat dengan saya. Tiap kali ada hajatan besar di kelentengnya, entah itu Sincia, Cap Go Meh, sejit, hari jadi Kongco… saya pasti diundang.


Pendapat sama sebetulnya juga disampaikan pembaca JAWA POS dan RADAR SURABAYA, khususnya mereka yang punya ‘rasa bahasa’. Mereka menilai karya Dahlan Iskan itu unik, sulit ditiru, mengandung kejutan, jenaka, jelas, menghibur.


“Wislah, bilang bosmu itu (maksudnya Dahlan Iskan) supaya menulis terus. Sibuk ya sibuk, tapi ojo lali menulis. Penggemare akeh,” papar Bambang Sujiyono (sekarang sudah almarhum).


Saya pun sepakat dengan penilaian pembaca-pembaca kritis ala Bambang Sujiyono. Selain enak dan menghibur, Dahlan Iskan mampu mendudukkan persoalan secara terang dan jernih. Apa-apa yang tadinya gelap, remang-remang, jadi jernih setelah saya membaca tulisan Pak Bos.


Ambil contoh kasus haji (2007). Soal muasasih di Makkah yang menyediakan katering jemaah haji. Saya sering baca tulisan teman-teman wartawan, baca artikel di banyak media, dengar penjelasan dari wartawan senior yang sudah naik haji. Tapi penjelasan tentang seluk-beluk katering dan pengaturan makan jemaah haji tak pernah jelas. 

Tulisan wartawan-wartawan muda di koran malah bikin bingung. “Mbulet,” kata orang Jawa Timur.


Sabtu, 20 Januari 2007, Dahlan Iskan menulis di halaman satu JAWA POS. Dia bahas masalah katering, muasasah, kebijakan Menteri Agama MUHAMMAD MAFTUH BASYUNI. Begitu membaca tulisan Pak Bos, saya langsung paham apa yang menimpa sekitar 200 ribu jemaah haji kita di Arab Saudi akhir Desember 2006.


Pak Bos menulis pendek, sederhana, logis, cespleng. Cukup satu artikel pendek, Dahlan Iskan berhasil memberi gambaran seputar persoalan haji. 


“Kalau bisa disederhanakan, kenapa harus rumit-rumit?” begitu kira-kira salah satu jurus menulis Pak Bos.


Senada dengan Bambang Sujiyono, saya sepakat bahwa Pak Bos ini punya talenta lebih. Dus, sulit ditiru wartawan lain, termasuk saya, meskipun dulu beliau sering memberikan bengkel atau latihan menulis kepada wartawan JAWA POS dan beberapa koran anak perusahaan. Karena tulisannya enak, selalu ditunggu, redaktur selalu menempatkannya di halaman muka.


“Daya tarik tulisan Dahlan Iskan memang luar biasa,” kata LUTFI SUBAGYO, bekas pemimpin redaksi SUARA INDONESIA (Grup JAWA POS). Karena itu, dulu, saban Sabtu Lutfi menempatkan ‘catatan ringan’ Dahlan Iskan di halaman satu. Oplah hari itu pun naik, karena banyak warga Surabaya yang beli koran hanya untuk menikmati tulisan Pak Bos.


Nah, sebagai wartawan di Graha Pena, saya beruntung pernah mendapat gemblengan langsung dari Pak Bos meski tidak secara khusus. Learning by doing, itulah yang dilakoni Pak Bos. Saya pernah mencoba meniru gayanya, tapi gagal.


Berikut sedikit KIAT MENULIS ALA DAHLAN ISKAN hasil interpretasi saya sendiri:


LEAD HARUS SANGAT MENARIK

Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.


“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.

“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.
Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu, terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu atau dua biji. Sedikit tapi merata.

Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik tersendiri.

HUMOR CERDAS

Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah. Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.
Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”

Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya. Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.

KALIMAT-KALIMAT PENDEK

Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.

“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).

“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. 

“Enak pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat majemuk.

Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasa Indonesia. Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimat kan tidak bisa berdiri sendiri?” protes editor bahasa.

Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang, pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan kitab tata bahasa.

Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:

“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi sebenarnya penting.

Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian. Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.

Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.

Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan menjadi lincah.

Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang. Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.

Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”

MENULIS SEPERTI BERBICARA

Gaya bicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.

Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.

KALIMAT SEDERHANA, NARATIF

Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.
Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru, jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an. Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.

“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.

Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah, mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?

MEMORI SUPER, TIDAK MENCATAT

Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret… Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.
Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!

Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya, ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.


Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga ‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.

MEMBACA, MEMBACA, MEMBACA


Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan bacaannya.

Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA (Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.

Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan wartawan? 

Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena kurang baca.

TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS

Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri. Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu, diraba, dikecap… itulah yang ditulis.

Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siang Jakarta, sore, makassar, malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah tulisan yang hidup.

Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih, supermewah, buatan Prancis itu.

KUASAILAH BANYAK BAHASA

Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya harus bisa,” katanya.

Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas di Surabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons pembaca luar biasa.

CINTA SASTRA

Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar lainnya.

Mereka-mereka ini praktisi sastra Indonesia. Mereka peminat kata. Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan, meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.

Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia di Surabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.

MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)

Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA POS.

“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.

Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak, urusan redaksi.

Selasa, 16 Juli 2019

Orang Lembata Naik Haji

Haji Anwar Tadong (kanan) di Wisama Haji Surabaya, 2009


Oleh LAMBERTUS HUREK
Surabaya, 01 Februari 2009

Baru-baru ini saya mendapat "tugas khusus"--melalui SMS dari pelosok Flores Timur--untuk menjemput para haji asal Lembata. Para tamu Allah ini tidak bisa langsung kembali ke kampung halaman karena kendala transportasi. Mereka harus tinggal beberapa malam di Wisma Haji Jalan Kranggan, Surabaya.

"Tolong Anda dampingi haji-haji asal Ile Ape. Soalnya, mereka belum pernah ke kota. Mereka akan bingung kalau tidak ada teman bicara. Apalagi, tahun ini ada Haji Tadong, masih keluarga dekat kita. Mamanya suku Hurek seperti kita," begitu pesan pendek dari Kristofora, adik kandung saya.

Namanya juga "perintah", tengah malam, sekitar pukul 20:00, saya mampir ke Wisma Haji Kranggan. Begitu masuk kompleks ini suasana Flores Timur sudah terasa. Orang-orang--hampir semuanya berbusana haji, baik laki-laki maupun perempuan--berbicara dalam bahasa daerah yang sangat saya kenal. Bahasa Lamaholot.

Suara haji-haji asal Lamahala, Kecamatan Adonara Timur, paling keras. Sangat khas. Lamahala itu kampung di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, yang penduduknya 100 persen Islam. Mereka bekeja sebagai pedagang, nelayan, dan pelaut. Jarang yang jadi petani.

"Kakak, haji-haji Lembata lewun teika teku nai? [Kak, haji-haji asal Lembata di mana?]," tanya saya kepada seorang hajah asal Lamahala.

"Ari, lali papa. Mo mala tepe... [Ari, di sana. Kamu jalan lewat sana...]," balasnya ramah sekali.

Benar saja. Saya pun langsung menjumpai haji-haji asal Lembata, kabupaten baru hasil pemekaran Flores Timur. Saya memeluk Haji Muhammad Tadong, haji asal kampung saya, sambil memperkenalkan diri. Rupanya, Pak Tadong ini kurang mengenal saya. "Mo, amam heku? [Bapakmu siapa?]," tanyanya.

Setelah saya bercerita singkat, menyebut identitas saya, orang tua saya, Pak Haji Anwar Tadong pun memeluk saya erat-erat. Haji-haji lain pun saya sambut hangat. Dan malam itu kami ngobrol santai dalam bahasa daerah. Pak Tadong, yang suka bicara, menceritakan pengalaman berhaji di tanah suci. Bagaimana dia harus menabung selama puluhan tahun sampai akhirnya bisa naik haji.

"Rukun Islam kelima ini berat sekali. Tapi, setelah menjalani, rasanya puas sekali. Alhamdulillah! Alhamdulillah! Alhamdulillah!" ujarnya berkali-kali.

Pak Tadong kemudian meminta teman-teman, yang muslim tentu saja, untuk mulai menabung agar suatu saat nanti bisa naik haji. "Kuncinya di NIAT. Kalau kalian punya niat, tawakal, insyaallah, bisa berhaji. Mulai sekarang kalian harus tanamkan niat itu," pesan Pak Tadong.

Wah, luar biasa orang kampung yang satu ini! Baru beberapa jam tiba di Bandara Juanda, setelah menunaikan ibadah haji, kata-katanya bijaksana amat. Kayak kiai-kiai senior di Jawa Timur. Tapi dia berkhotbah dalam bahasa Lamaholot dialek Ile Ape.

Pak Haji Tadong juga cerita bagaimana dia menangis tersedu-sedu gara-gara tersesat di Tanah Suci. "Mekkah pe atadiken aya-aya, ribun ratun... Ekan lae-lae, mela-mela.... Nepe ti tite sembeang di sare-sare...."

Mau tahu berapa jumlah haji asal kabupaten tempat asal saya?

Bukan ribuan seperti di Surabaya atau Sidoarjo. Bukan satu kelompok terbang (kloter), 450 jemaah, seperti haji bimbingan KBIH Mabruro di Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Tapi ENAM orang! Satu kabupaten hanya menghasilkan ENAM haji pada tahun 2008.

Enam haji asal Lembata itu: 3 dari Ile Ape (kampung saya), 1 dari Kedang, 2 dari Lewoleba. Yang Lewoleba ini aslinya dari Lamahala, cuma sudah lama menetap di Lembata. Ini merupakan rekor tersendiri karena selama bertahun-tahun belum pernah ada orang muslim Ile Ape yang naik haji.

Islam di Lembata memang minoritas sehingga wajar saja bahwa jumlah hajinya tidak sampai 10 orang. Sebab, pemerintah membuat kebijakan kuota per penduduk muslim.

Selain itu, "Sistem haji online ternyata membawa banyak masalah. Dan kita di Nusa Tenggara Timur jadi korban," kata Pak Sjamsir Alam, pendamping jemaah haji Kabupaten Lembata, kepada saya. Tahun 2008 jemaah haji asal provinsi NTT 439 orang.

Gara-gara sistem yang kacau itu, jumlah haji Lembata menurun sangat tajam. Tahun 2007 tercatat 34 orang. Sekarang ini sudah ada 43 orang di daftar tunggu.

"Mudah-mudahan jatah dari Lembata tahun 2009 lebih banyak lagi. Bagaimanapun juga umat Islam di daerah kita punya hak yang sama untuk berhaji," ujar Pak Sjamsir yang berasal dari Sulawesi Selatan itu.

Pertemuan dengan enam haji Lembata di Wisma Haji Jalan Kranggan sangat berkesan. Banyak hal menarik, cerita-cerita kecil, yang bisa menggugah kenangan saya tentang kampung halaman. Mereka pun bertekad menjadi haji mabrur, haji yang bermasalahat bagi orang banyak.

Esoknya, rombongan haji menumpang pesawat Batavia Air tujuan Kupang. Dari Kupang naik kapal laut ke Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata. "Sesuai rencana, kami akan diterima secara resmi oleh Bapak Bupati Andreas Duli Manuk," kata Pak Sjamsir, ayahanda dr. Rahmi Sjam, dokter puskesmas di Lewoleba.

Dua hari kemudian saya mendapat SMS dari kampung. Isinya: rombongan haji disambut dengan tarian tradisional, diarak keliling kampung. Seluruh rakyat, yang nota bene sebagian besar beragama Katolik, menggelar pesta meriah.

"Kame pia poro sapi tou... hode Haji Tadong. Soka sikan pia lewotanah," begitu bunyi SMS adik saya, Kristofora.

Bahasa Indonesianya:

"Kami di sini menyembelih satu ekor sapi, menyambut Haji Tadong. Ada tari-tarian tradisional." (*)

KOMENTAR DI BLOG LAMA

Sallma dan Ceritanya
12:30 AM, February 01, 2009
Sesuatu yang benar2 bikin kami terharu atas perjuangan dan toleransi yang begitu apik dalam kehidupan masyarakat Lembata, semoga menjadi contoh bagi seluruh masyarakat Indonesia, krn perjuangan itu akan berhasil karena doa kita bersama.

Anonymous
10:43 AM, February 01, 2009
aku juga org flores timur. menarik membaca cerita ini. salam dompet, ake lupang lewotanah.

wens

Anonymous
8:23 AM, February 03, 2009
Ama Lambert,
Saya sangat bangga dengan tulisan ama.Kita berbaahiah karna akhirnya ada haji asal Ile Ape. Ama ada cerita yang menarik dari Rm Anton Prakum, asal Lebala (yang kampng sebelanya mayoritas Ilsma dan yang sebelahnya Mayoritas Katolik - tapoi tak ada pernah kekacaun) waktu diterima di kampung setelah pentahbisannya jadi Imam Katholik, dia disambut pertama di Mesjid...menurut tua-tua adat..dia berketuruna dari daerah yang beragama Islam.. Jadi ada rama tamah khusus di Mesjid sebelum beranjak ke Gereja. Yang sangat terharu lagu pesta pentahbisan itu tidak hanya bagi orang Katholik tapi semua orang malah yang mengurus bagia belakan(seksi Masak adalah yang beragama Islam) supaya daging-daging jangan tercampur-campur...
Membaca tulisan ama, saya mengingat cerita ini...mungkin kita perlu angkat semua cerita bagus seperti ini agar memperkuat hidup hormat antar agama.ok reu

frans kupang ujan - Manila Philippines

Lambertus L. Hurek
11:49 AM, February 04, 2009
Ama Frans,
Begitulah sedikit cerita kecil dari Surabaya. Bagaimana orang-orang kampung yang polos, lugu, sederhana, itu akhirnya bisa naik haji. Dan mereka bahagia.
Salam damai.


Anonymous
5:18 PM, July 03, 2010
salam bang. saya haris, penggemar setia blog abang walau baru aja ketemu bulan juli 2010, satu malam sudah habisa ya baca semuanya
benar2 suara nusantara
mudah2an bisa diterbitkan dalam sebuah buku kelak ya bang kayak buku kakak linda yang di aceh itu
wassalam

Blog Hurek Jadi Sejarah

Selamat pagi!

Sudah kuduga. Upaya banding ke Google gagal. Pagi ini saya dapat jawaban dari tim Google:

Pelanggan yang terhormat,
Terima kasih telah menghubungi kami. Kami telah meninjau permintaan Anda terkait akun hurek2007@gmail.com Anda dan mengonfirmasi bahwa Anda telah melanggar Persyaratan Layanan kami. Oleh karena itu, kami tidak akan mengaktifkan kembali akun Anda.
Untuk informasi selengkapnya terkait kebijakan kami dan tindakan yang kami ambil sebagai tanggapan atas pelanggaran kebijakan produk kami, harap lihat Persyaratan Layanan kami.

Hormat kami,
Tim Google

Apa boleh buat. Blog Hurek di www.hurek.blogspot.com itu tidak bisa dipulihkan. Dihapus selamanya oleh Google Inc. Mengapa? "Karena telah melanggar persyaratan layanan kami," kata Google.

Persyaratan apa yang dilanggar? Tidak diungkap. Tahu-tahu saja akun hurek2007 dihapus. Akibatnya, semua layanan terkait Google dimatikan oleh perusahaan raksasa dari USA ini.

Apakah konten blog yang melanggar? AdSense bermasalah? Komentar-komentar di YouTube? Penggunaan perambah Chrome?

Hanya Tuhan dan Google yang tahu. Kita bisa apa? Maka, 3.662 tulisan atau postingan di hurek.blogspot.com itu pun lenyap. Ibarat tanah longsor, disrupsi, yang merontokkan satu kampung.

Blog lama itu sudah jadi sejarah. Tulisan-tulisan lama pun begitu. Jadi masa lalu. Bisa saja saya mengais segelintir arsip yang tersisa. Tapi tidak mungkin mengembalikan 3.000 lebih tulisan-tulisan lama ke blog baru.

"Semua berita yang kita tulis hari ini besoknya jadi sejarah. Baik yang dimuat maupun yang tidak dimuat," kata teman wartawan senior.

Bung Jurnalis ini biasa menulis 3 berita sehari. Kadang 4 atau 2. Tapi tidak semuanya dimuat. Lebih banyak yang tidak dimuat karena spasi sangat terbatas. Apalagi halaman koran dikepras cukup banyak.

"Berita-berita yang tidak dimuat itu jadi sejarah," kata si Bung yang selalu ceria ini.

Kata-kata kawan lama ini membuat saya jadi semangat lagi. Merajut kata, menata pikir, untuk membuka lapak baru. Ibarat buku diari lawas yang hilang atau penuh, kudu menulis di buku diari yang baru.

Senin, 15 Juli 2019

Jalan-Jalan di Bulan 50 Tahun Lalu

50 tahun lalu orang Amerika Serikat sudah jalan-jalan di bulan. Apollo 11 diluncurkan pada 16 Juli 1969 dan tiba di bulan pada 20 Juli 1969.

Siapakah manusia pertama yang mendarat di bulan? Begitu pertanyaan guru kita di SD dulu. Dan kita pasti hafal nama 3 astronaut itu: Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins.

Luar biasa! Manusia ternyata bisa jalan-jalan di bulan. Lima dekade lalu. Sudah cukup lama. Ekspedisi ke angkasa luar juga terus dilakukan.

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Dulu sempat ramai ada calon astronaut Indonesia bernama Dr Pratiwi (kalau tidak salah). Berhari-hari diberitakan di media massa pada era Orde Baru.

Anak-anak sekolah pun takjub dengan kehebatan Pratiwi. Meskipun tidak jadi ke luar angkasa, fenomena Pratiwi ini jadi bahan perbincangan nasional. Termasuk di warkop-warkop di desa.

Kini, di era digital, orang Indonesia tidak tertarik membahas Apollo 11, angkasa luar, teknologi dirgantara macam pesawatnya BJ Habibie. Warganet kelihatannya lebih suka berdebat tentang kampret atau cebong. Lebih dekat dan nyata. Ketimbang membahas orang jalan-jalan ke bulan atau mars atau venus.

Orang Indonesia zaman now juga lebih banyak bicara soal agama. Halal, haram, kafir, musyrik dsb.

Tulisan yang bukan untuk dibaca



Tulisan itu sebaiknya penting dan menarik. Penting tapi tidak menarik tidak akan dibaca. Menarik tapi tidak penting? Masih lumayan.

"Tidak penting + tidak menarik? Habislah koranmu. Siapa yang mau keluar duit untuk membeli koran yang isinya tidak penting dan tidak menarik."

Begitu antara lain pesan wartawan senior di Surabaya. Anda harus bisa menemukan sisi-sisi menarik dari kegiatan yang penting. Pidato kenegaraan atau sidang-sidang parlemen jelas penting. Tapi apanya yang menarik?

Nah, kemarin Dahlan Iskan, mantan pemred dan bos Jawa Pos, bikin tulisan di blognya. Tentang seorang bankir di luar negeri.

 "Ini tidak penting. Juga tidak menarik. Apalagi juga tidak menyangkut nasib kita sama sekali," tulis Dahlan Iskan di awal tulisannya.

"Tapi setahun sekali saya ingin menulis yang beginian. Bukan untuk dibaca. Tapi hanya untuk ditulis."

Aha... menarik. Tulisan yang hanya untuk ditulis. Bukan untuk dibaca. Sebab tidak penting + tidak menarik.
Sudah lama saya amati begitu banyak tulisan atau berita-berita di koran, majalah, atau laman daring. Pembacanya sedikit. Bahkan tidak ada.

Kita yang biasa membaca koran pun biasanya tidak membaca semua berita di halaman depan sampai belakang. Membaca separo saja sudah bagus. Rata-rata di bawah 30 persen. Apalagi di era digital ini. Membaca 10 persen isi koran sudah bagus banget.

Lantas, berita-berita yang 90 persen itu? 

Ya lewat.... Ditulis, dicetak, tapi tidak dibaca.

Para blogger pasti tahu artikel-artikel mana saja yang paling banyak diklik hingga yang nihil klik. Klik doang. Belum tentu dibaca.

 Saya perhatikan banyak sekali tulisan atau postingan yang tidak klik. Atau cuma satu dua klik. Bisa dipastikan yang ngklik itu si blogger itu sendiri.

Apakah kita menyerah karena tulisan kita tidak dibaca?

Pesan Dahlan Iskan tadi sangat kena. Bahwa ada tulisan yang memang hanya untuk ditulis doang. Bukan untuk dibaca.

Tulisan-tulisan saya di blog lama (hurek.blogspot.com) tentang seriosa rupanya masuk kategori ini. Tidak untuk dibaca. Jarang yang klik.

Hingga beberapa tahun kemudian ada peneliti dari Malaysia yang nyasar. Sharifa namanya. Dia begitu antusias membaca semua artikelku tentang seriosa di Indonesia. Dijadikan bahan untuk riset doktoralnya di Malaysia.

Ouw... tulisan-tulisanku yang niat awalnya hanya untuk ditulis, bukan untuk dibaca, ternyata dibaca juga. Oleh akademikus internasional.

Maka, menulis menulis menulis dan teruslah menulis. Dibaca atau tidak itu urusan nomor 47. Toh, ada tulisan yang memang hanya untuk ditulis. Bukan untuk dibaca.

Sabtu, 13 Juli 2019

Mbah Greg Senang Lagu Seriosa

Mbah Greg, seniman yang pernah dibuang di Pulau Buru, ternyata suka menyanyikan lagu-lagu seriosa lawas. Meskipun suaranya pas-pasan, pelukis bernama lengkap Gregorius Suharsojo Gunito ini sangat menjiwai syair dan melodi seriosa yang memang bagus. Saya jadi teringat pelukis tua Mbah Bambang Thelo (almarhum) yang juga biasa bersenandung lagu-lagu seriosa.

Kok bisa ya lagu-lagu serius begitu sangat populer dan membekas di kalangan mbah-mbah jadul? "Rasanya lain bung! Beda dengan lagu-lagu pop sekarang yang terlalu cengeng," kata Mbah Greg di rumahnya Beringinbendo, Taman, Sidoarjo, yang tergenang air sejak pekan lalu.

Mbah Greg kemudian bercerita bahwa ketika masih sangat muda, belajar melukis, teater, drama, musik...di Balai Pemuda Surabaya, lagu-lagu seriosa ciptaan Maladi, Muchtar Embut, Cornel Simanjuntak, FA Warsono, Binsar Sitompul dsb sering dinyanyikan para seniman dan orang kebanyakan. Kebetulan majalah-majalah tahun 1960an dan 1970an sering memuat teks lagu-lagu seriosa lengkap dengan not angka, not balok, dan syair.

"Jadi, kami dulu memang dipaksa untuk belajar notasi. Kaset atau PH nggak ada. Itulah yang membuat saya bisa mengarang lagu selama berada di pembuangan (Pulau Buru)," kata mbah Greg yang akrab dengan komponis terkenal macam Subronto Kusumo Atmodjo dan Sudharnoto, sesama seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) itu.

Akhirnya, secara tak sengaja saya menemukan teks lagu Di Sela Rumput Hijau karangan R. Maladi di tumpukan majalah bekas. Majalah Minggu Pagi (MP edisi 25 Maret 1962. Luar biasa! Di masa itu redaksi majalah (dan koran) menyediakan ruang yang sangat luas untuk mempublikasikan lagu seriosa. Media massa tempo doeloe rupanya melakoni fungsi edukasi dan apresiasi kesenian.

Orang-orang lama macam Mbah Greg, Mbah Telo, Mbah Bete, atau Mbah Rijati biasa menggunting teks lagu itu untuk dipelajari. Dan disimpan bertahun-tahun hingga tutup usia. Itulah yang saya temui dari koleksi mbah Rijati almarhumah.

Bagi penggemar lagu seriosa, apalagi penyanyi klasik di Indonesia, Di Sela Rumput Hijau ini luar biasa populer. Melodinya indah, syairnya bagus, tidak terlalu sulit. Karena itu, biasa dipakai untuk mengenalkan musik seriosa Indonesia kepada para siswa pemula. Asyik banget!

Di YouTube pun sudah ada beberapa video lagu Di Sela Rumput Hijau yang dibawakan soprano senior Rose Pandanwangi dan Binu D. Sukaman. Kedua soprano ini pernah menjadi juara Bintang Radio dan Televisi pada masa lalu. Rekaman Binu D. Sukaman terasa lebih dahsyat dengan paduan suara sebagai backing vocal.

"Sayang, sekarang ini lagu-lagu seriosa sudah tidak ada lagi," kata Greg.

3.262 Postingan Saya Hilang

Bukan 2.000-an konten yang hilang. Ternyata 3.262 postingan. Amblas habis di blog hurek.blogspot.com. Gara-gara dipenalti tim Google. Tanpa pemberitahuan.

Senin 8 Juli 2019 pukul 23.29 WIB. Tiba-tiba ada pesan pendek (SMS) dari Google. Isinya singkat saja:

"Google Account disabled (hurek2007@gmail.com). Sign in to try to restore: accounts.google.com"

Oh Tuhan!

Saya pun lekas mencoba masuk ke akun Gmail saya itu. Tidak bisa. Masuk blogger pun diblokir.

Lalu kirim permintaan untuk peninjauan sesuai aturan Google. Besoknya dibalas: akun hurek2007 tidak bisa dipulihkan.

Yo wis...

Mau bagaimana lagi?

Toh, selama ini saya cuma nunut akun gratisan yang disediakan Google. Dimulai dari Gmail, lalu masuk blogger (blogspot), masuk YouTube dsb pakai akun yang sama. Maka, ketika akun hurek2007 dimatikan, semua layanan pun jadi amblas.

Nasi sudah jadi bubur. Rumah sudah terbakar (tepatnya: dibakar). Maka, yang bisa saya lakukan adalah mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dipakai. Bersiap merintis rumah baru. Dari nol.

Mulailah saya bikin akun Gmail yang baru. Pakai hurek2019. Tidak bisa. Rupanya sudah ada yang pakai. Ganti hurek2020 pun tak bisa. Akhirnya hurek2021 yang bisa.

Dengan akun baru itu, saya mulai belajar lagi bikin blog. Kebetulan nemu beberapa naskah lawasku di internet. Naskah-naskah itu saya posting ulang di blog baru. Nama sementaranya Blog Sederhana.

Sambil menunggu siapa tahu tim Google berkenan memulihkan akun hurek2007 yang dihapus itu. 3.262 postingan jelas tidak sedikit. Tidak mungkin bisa di-repost ke blog baru.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga untuk saya dan semua blogger di tanah air. Bahwa musibah kebakaran dsb bisa menimpa siapa saja, kapan saja, di mana saja.

Blog Hurek Dihapus, Apa Salahku?????



"Blog telah dihapus
Maaf, blog di hurek.blogspot.com telah dihapus. Alamat ini tidak tersedia untuk blog baru."

Begitu pesan dari manajemen Google. Blog saya yang dirintis sejak 2006 pun mati. RIP. Sekitar 2000 naskah + foto pun hilang. Rasanya seperti disambar petir.

Apa salahku? Saya pun meminta pemulihan ke Google. Salahku di mana? Konten yang melanggar TOS? Adsense bermasalah? Komentar di Youtube yang melanggar kebijakan?

Tidak ada jawaban. Google memang tidak akan memberikan jawaban yang spesifik. Cuma kasih jawaban yang umum saja.

Tim Google menulis:

"Pelanggan yang terhormat,
Terima kasih telah menghubungi kami.
Kami telah meninjau permintaan Anda terkait akun hurek2007@gmail.com Anda dan mengonfirmasi bahwa Anda telah melanggar Persyaratan Layanan kami. Oleh karena itu, kami tidak akan mengaktifkan kembali akun Anda.
Untuk informasi selengkapnya terkait kebijakan kami dan tindakan yang kami ambil sebagai tanggapan atas pelanggaran kebijakan produk kami, harap lihat Persyaratan Layanan kami.
Hormat kami,
Tim Google"

Oh Tuhan... betapa berat hukuman dari Google. Akun hurek2007 dimatikan. Konsekuensinya: semua layanan yang terkait Google amblas. Mulai Gmail, blogger (hurek.blogspot.com), AdSense, YouTube dsb.

Kalaupun kesalahan di Adsense, yang tidak pernah saya utak-atik, okelah. Hapus saja iklan klik itu. Yang jadi masalah besar dua: Gmail dan Blogger.

Sejak hijrah dari mail.yahoo ke gmail, praktis email gratisan dari Google itu jadi akun email utama saya. Semua arsip tulisan, foto dsb ada di Gmail. Email yahoo sudah lama tidak dipakai.

Begitu juga blog pribadi saya di hurek.blogspot itu. Sudah ada 2000an naskah. Maklum, blog lawas ini dibangun ketika masih booming komunitas blogger pada 2005/2006. Media sosial belum seheboh sekarang.

Berikut statistik konten-konten di Blog Hurek sebelum dimatikan :

►  2019 (110)
►  2018 (152)
►  2017 (179)
►  2016 (169)
►  2015 (278)

►  2014 (261)
►  2013 (320)
►  2012 (343)
►  2011 (204)
►  2010 (219)

►  2009 (230)
▼  2008 (238)
►  2007 (387)
►  2006 (156)
►  2005 (16)

Begitu banyak hikmah dan pelajaran dari musibah ini. Sudah saya renungkan beberapa hari terakhir. Inilah saatnya kembali ke titik nol. Semua orang harus siap kehilangan apa saja.

Kemarin ada kebakaran di Surabaya. Sebanyak 21 rumah ludes. Harta benda habis. Jadi abu dan arang.

"Mengapa kamu sedih hanya karena kehilangan blog? Jauh lebih banyak orang yang kehilangan rumah, harta benda, pekerjaan, bahkan keluarganya," begitu bisikan halus yang saya terima.

Benar. Bulan lalu ada pengusaha di Sidoarjo  yang cerita ke saya kalau kehilangan uang Rp 15 miliar gara-gara skandal investasi. Dibawa lari investor. Toh, baba ini masih ceria. Masih senang nyanyi-nyanyi di tempat karaoke. Tralalala....

10 Bahasa Utama di Flores



Sejatinya riset tentang bahasa-bahasa di Flores sudah banyak. Namun, bahan-bahannya tersimpan rapi di Belanda. Orang Flores sendiri masih sedikit meneliti bahasa-bahasa di kampung halamannya sendiri. Beberapa nama yang patut disebut adalah Prof. Dr. Gorys Keraf (Universitas Indonesia), Dr. Inyo Yos Fernandez (Universitas Gadjah Mada), D.A. Kumanireng, A.N. Liliweri, M.M. Pareira. Saya berterima kasih kepada mereka semua.

Dari buku Dr. Inyo Yos Fernandez, saya akhirnya tahu bahwa Flores itu punya 10 bahasa utama. Bahasa-bahasa ini tidak sehomogen bahasa Jawa, tapi selalu ada variasi di sana-sini. Berikut bahasa-bahasa daerah yang dipakai penduduk Flores dan sekitarnya. Kita awali dari ujung timur.

1. BAHASA LAMAHOLOT

Digunakan sebagian besar penduduk Kabupaten Flores Timur dan Kepulauan Solor (Adonara, Solor, Lembata). Kami di kampung 100 persen bicara dalam bahasa ini. Susunan kalimatnya, seperti pengantar di atas, berbeda dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa sehingga anak-anak kampung macam saya awalnya kesulitan berbahasa Indonesia. Mengubah konstruksi kalimat bahasa Lamaholot ke bahasa Indonesia bukan pekerjaan gampang.

Maka, kalau Anda melihat di televisi orang-orang kampung Flores Timur sulit bicara dalam bahasa Indonesia, ya, begitulah kenyataannya. Memang paham sedikit-sedikit, tapi sulit lancar. Perbendaharaan kata bahasa Indonesia sangat minim. Saya sendiri baru "agak lancar" bahasa Indonesia setelah sekolah di SMP Pankratio Larantuka.

Wilayah Lamaholot dikelilingi lautan. Kontak dengan dunia luar sangat lancar. Maka, sejak dulu orang-orang Lamaholot sudah biasa kedatangan orang-orang luar yang berbahasa Melayu atau bahasa Indonesia. "Kelebihan" lain: sejak zaman penjajahan Portugis, Larantuka menjadi kota utama di Flores Timur dan Kepulauan Solor.

Penduduk Larantuka berbahasa Melayu (atau bahasa Nagi) yang tak lain bahasa Melayu pasar. Ini "memaksa" orang-orang Lamaholot macam kami untuk berbahasa Indonesia meskipun tertatih-tatif. Sampai sekarang pun bahasa Indonesia (yang sudah kompleks) itu masih disebut bahasa Melayu oleh orang-orang kampung di Flores Timur dan Lembata.

"Mo ake koda mang melayuhn terus. Koda mang lohumen hae," begitu teguran khas adik saya ketika saya selalu bicara dalam bahasa Indonesia dengan orang-orang kampung. (Kamu jangan bicara dalam bahasa Indonesia terus. Pakailah bahasa Lamaholot!)

Memang, orang yang tiap hari berbahasa Lamaholot biasanya tidak suka berbahasa Indonesia. Sebaliknya, orang yang tiap hari berbahasa Indonesia atau Jawa kesulitan mengubah cara berpikir, morfologi, serta sintaksis ala bahasa Lamaholot. Beda, misalnya, dengan bahasa Jawa yang strukturnya sama 100 persen dengan bahasa Indonesia. Wajar saja kalau orang Jawa sangat lentur ketika berbahasa Indonesia.

2. BAHASA KEDANG

Digunakan penduduk Kecamatan Omesuri dan Buyasuri di Kabupaten Lembata. Orang Kedang ini ibarat orang Madura di Jawa Timur yang bahasanya berbeda total dengan bahasa Jawa. Meski sama-sama di Lembata, dikelilingi oleh mayoritas penduduk berbahasa Lamaholot, orang Kedang punya bahasa sendiri.

Bapak saya pernah jadi guru di Kedang sehingga saya sedikit banyak paham bahasa Kedang. Beda banget dengan bahasa Lamaholot. Karena itu, guru-guru bahasa di Larantuka sering menjadikan bahasa Kedang sebagai bahan guyonan. "Siapa di sini yang asalnya dari Kedang? Angkat tangan," kata Pak Aldo, guru saya di SMPK San Pankratio Larantuka dulu.

Ketika ada teman Kedang yang angkat tangan, suasana kelas pun riuh. "Pandita ne amo?" canda Pak Guru. Maksudnya, "Bapak mau pergi ke mana?"

Hehehe.... Acap kali kaum "minoritas" menjadi bahan guyonan orang-orang dominan macam Lamaholot karena dianggap aneh. Kok bahasa Kedang lain sendiri? Begitu yang selalu muncul di benar orang Flores Timur.

3. BAHASA NAGI (MELAYU LARANTUKA)

Digunakan di Kecamatan Larantuka, Wure, dan Konga. Sejenis bahasa Melayu pasar yang berkembang seiring masuknya warga Melayu ke Flores Timur. Digunakan sekitar 25.000 orang. Kata-katanya sama dengan bahasa Indonesia, tapi terpengaruh bahasa Lamaholot dan Portugis.

Meski pemakainya tak sebanyak Lamaholot, bahasa Nagi sangat populer dan mudah dipelajari siapa saja. Macam bahasa Indonesialah. Orang-orang Lamaholot pun tak kesulitan menangkap bahasa Nagi. Karena itu, sejak dulu bahasa Nagi menjadi lingua franca yang andal.

4. BAHASA SIKA

Digunakan di enam kecamatan di Kabupaten Sika, yakni Talibura, Kewapante, Bola, Maumere, Nita, dan Lela. Menurut beberapa peneliti, ada dua dialek yang dipakai penutur bahasa Sika. Dialek Sika Barat dan Dialek Krowe atau Kangae atau Tana Ai di Sika Timur.

Maumere sejak dulu menjadi kota penting di Flores bagian timur. Ini membuat orang Flores Timur daratan paham beberapa kalimat dasar bahasa Sikka. Biasanya, anak-anak muda Larantuka belajar bahasa Sika dari para sopir atau kernet bus-bus Maumere yang tiap hari datang ke Larantuka.

5. BAHASA PALUE

Digunakan sekitar 15.000 penduduk Pulau Palue. Pulau vulkanis (ada Gunung Rokatenda) ini lebih dekat dengan Kabupaten Ende, tapi masuk Kabupaten Sika. Tokoh Palue yang terkenal di Jawa Timur adalah Damianus Wera. Dia tabib tradisional yang tiap hari mengoperasi pasien dengan pisau cutter tanpa pembiusan apa pun. Damianus belakangan ini membina Sasana Rokatenda yang mulai berkibar di Jawa Timur.

6. BAHASA LIO

Digunakan di Kabupaten Ende dengan jumlah penutur hampir sama dengan bahasa Lamaholot, sekitar 215.00 penduduk. Ada enam kecamatan yang menggunakan bahasa Lio: Nangapanda, Ende, Ndona, Wolowaru, Maurole, dan Detusoko.

Sejumlah pengamat menganggap bahasa Ende sebagai bahasa tersendiri. Namun, ahli-ahli terkemuka macam Dr Inyo Fernandez dan Dr Gorys Keraf memasukkan bahasa Ende sebagai salah satu dialek dalam bahasa Lio. "Sebab, tingkat saling pengertian antara penutur bahasa Ende dan Lio sangat tinggi," tulis Dr Fernandez.

7. BAHASA NGADA

Digunakan di Kabupaten Ngada, Flores Barat. Penutur bahasa Ngada tersebar di tujuh kecamatan: Aimere, Golewa, Mauponggo, Nangaroro, Boawae, Bajawa, Aesesa. Seperti bahasa-bahasa lain di Flores, bahasa Ngada pun mengenal macam-macam dialek.

Pater Arndt SVD sejak 1930-an sudah melakukan penelitian mendalam tentang bahasa dan budaya Ngada. Pada 1933 pastor ini bahkan sudah menulis tata bahasa Ngada, kemudian kamus Ngada-Jerman pada 1961. Ini menunjukkan bahasa bahasa dan kebudayaan Ngada menjadi kajian penting ketika misionaris SVD merintis misi Katolik di Flores.

8. BAHASA REMBONG

Digunakan di Riung Tengah, Kabupaten Ngada bagian utara. Kawasan ini berbatasan dengan Manggarai dan pengguna bahasa Ngada. Jumlah penuturnya cukup banyak, 20 ribu orang. Di kawasan ini, pesisir utara, juga ada penutur BAHASA BAJO. Bahasa ini dipakai orang-orang suku Bajo, kaum nelayan yang biasanya berumah di atas laut.

9. BAHASA MANGGARAI

Bahasa paling banyak penuturnya di Flores. Sekitar 500.000 penutur bahasa ini tinggal di Kabupaten Manggarai, ujung barat Flores. Ada sembilan kecamatan: Lembor, Satarmese, Mbrong, Elar, Lambaleda, Ruteng, Cibal, Reo, Kuwus. Menurut Fernandez, bahasa Manggarai kurang menampakkan pengaruh luar karena penuturnya "lebih akrab ke dalam".

Pakar-pakar Barat juga sudah lama meneliti bahasa Manggarai. Sebut saja J.A.J. Verheijen yang menulis Kamus Manggarai-Indonesia pada 1967 dan Kamus Indonesia-Manggarai pada 1970. "Alam yang bergunung-gunung dengan sungai dan hutan yang belum disentuh tangan manusia turut berperan dalam membentuk dialek-dialek di Manggarai," kata Dr. Fernandez.

10. BAHASA KOMODO

Digunakan di pulau-pulau kecil yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Selain Pulau Komodo yang terkenal dengan buaya darat, varanus komodoensis, pengguna bahasa Komodo tinggal di Pulau Rinca. Berbatasan dengan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat, bahasa ini terpengaruh bahasa Bima yang dipakai penduduk Pulau Sumbawa.

Pantun Dolo-Dolo Lamaholot




Masyarakat etnis Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata, NTT, punya kebiasaan berbalas pantun. Pantun dolo-dolo. Pakai bahasa Lamaholot, bahasa daerah di sana.

Dolo-dolo itu musik rakyat yang sederhana. Bagian tetapnya adalah refren atau ulangan atau chorus. Kemudian solis bergantian menyanyikan pantun. Gantian laki-laki dan perempuan.

 
Tarian dolo-dolo ini dulu biasa dimainkan sampai jelang matahari terbit.

Itu dulu... ketika saya masih SD. Ketika belum ada listrik. Tidak ada televisi. Apalagi telepon dan HP. Karena itu, anak-anak dulu sangat terbiasa mendengar pantun dolo-dolo ini.

Tapi sekarang kelihatannya sudah berubah. Dolo-dolo masih ada tapi tidak seramai dulu. Anak-anak muda di tanah Lamaholot sekarang sudah jarang yang bisa merangkai kata-kata Lamaholot menjadi pantun yang berkesan.

"Ada yang bisa dolo-dolo tapi tidak banyak," kata Kaka Paulina akhir tahun 2018 lalu di kampung Bungamuda, Lembata.

Saya justru lebih banyak mendapat kiriman pantun dolo-dolo dari Ama Paulus Latera. Guru SMA Kristen Petra yang asli Botung, Adonara Barat. Biasanya dua kali seminggu ada kiriman pantun Lamaholot.

Pendek, sederhana, berkesan. Bikin kangen kampung halaman alias Lewotanah.

Nah, ini dia beberapa pantun dolo-dolo goresan Ama Paulus:

Teti belang lewo tolok
Tobo doan ata lewo
Tobo doanek ata lewo
Lohuk teti goka lodo

Lite rae lite
Mete soron rae lite
Sapu tangan sulam bunga
Mete soron rae lite

Hede bo kehede
Herin lodo bokehede
Nonin kame nimun take
Herin lodo bokehede

Kire inak kire
Tuen Tena inak kire
Inak rae lango tobo
Tuen tena inak kire

Wai lali wai
Gelu kila lali wai
Kete kaan tanda mata
Gelu kila lali wai

Ama Tena bera dai
dai hule suku lango
Ama Tena bera dai

Teti Ambon ro Menado
Moi heku nadon moe
Lali tokan Surabaya
Moi heku mete baya moe

Jumat, 12 Juli 2019

Mampir ke Kelenteng Bangkalan

Sudah lama kita orang tidak pigi Madura. Tidak melintas di Jembatan Suramadu yang panjangnya 5,4 km itu. Maka saya pun memanfaatkan tanggal merah untuk jalan-jalan ke Bangkalan.

Mampir ke Kelenteng Eng An Bio Bangkalan. Ibu Yuyun alias Kho Yoe Nio sendiri di pelataran Kelenteng Eng An Bio. Menyaksikan televisi.

"Ni hao ma?" saya menyapa bio kong asal Salatiga itu.

"Selamat pagi. Ndak usah ni hao ma... Aku ndak bisa bahasa Mandarin," ujar Bu Yuyun lantas ketawa renyah.

Cukup lama saya tidak mampir ke kelenteng-kelenteng. Padahal dulu sangat sering. Eng An Bio di Jalan PB Sudirman Bangkalan ini termasuk favorit saya. Tempatnya luas dan bersih. Bio kong alias pengurus hariannya, Yuyun Kho, pun sangat terbuka. Akrab layaknya konco lawas.

"Saya bertugas di Eng An Bio Bangkalan ini sejak 1992," ujar Yuyun yang bahasa Indonesianya medhok Jawa Tengahan.

Saat itu Yuyun diminta pengurus TITD Bangkalan, Margono alias Sing Hien, untuk jadi bio kong. Sebab, kelenteng di kawasan pecinan ini tidak punya bio kong yang paham seluk beluk tradisi Tionghoa. Apalagi Yuyun ternyata seorang pelukis spesialias figur dewa-dewi Tionghoa.

"Yah... bekerja di kelenteng itu pengabdian saya untuk Yang di Atas. Bukan untuk cari uang dsb," kata Kho Yoe Nio yang dipelesetkan oleh seorang tokoh Tridharma menjadi Yuyun itu.

Semula Yuyun bertugas di TITD Lawang pada 1984-1992. Mengurusi kelenteng milik Ong Kie Tjay, pengusaha Surabaya, yang dikenal sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mendiang yang juga pimpinan Kelenteng Dukuh Surabaya ini merupakan ketua Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia.

Anda masih ingat almarhum Ong Kie Tjay?

"Lupa," kata saya. "Saya tahu Ong Kie Kiong yang di Kelenteng Dukuh."

"Itu putranya. Keluarga mereka yang ngopeni kelenteng-kelenteng Tridharma," kata Yuyun.

Lalu, bio kong ini masuk mengambil foto mendiang Ong Kie Tjay. Lahir di Tiongkok tahun 1917, meninggal 1985.

Berarti Tionghoa totok?

"Totok banget. Kata-kata bahasa Indonesianya tidak jelas. Saya aja yang Tionghoa kesulitan nangkap. Yoe Nio dibilang Yuyun. Akhirnya saya dipanggil Yuyun sampai sekarang," tutur perempuan yang kerap mengikuti berbagai hajatan di kelenteng-kelenteng di Jawa itu.

Sudah 27 tahun lamanya Yuyun bertugas di TITD Bangkalan. Dibantu seorang bapak asli Madura yang menangani kebersihan kelenteng. Yuyun juga kerap ngobrol dengan beberapa tetangga asli Madura.

"Tapi saya sama sekali tidak bisa bahasa Madura. Sulit banget. Sama sulitnya dengan bahasa Mandarin," katanya.

Banyak suka duka menjadi bio kong di Bangkalan. Pada 1996 kelenteng ini diserang sekelompok orang tak dikenal. Begitu juga beberapa gereja. Satu rangkaian dengan kasus penyerangan gereja-gereja di Situbondo. Saat itu Yuyun sedang nyenyak tidur di kamarnya di kompleks kelenteng.

"Syukurlah, saya dilindungi sama Yang Kuasa," katanya.

Penyerangan itu dilakukan massa yang dikerahkan dari luar. Bukan warga Bangkalan. Apalagi yang tinggal di sekitar kelenteng. Sebab hubungan jemaat Eng An Bio dengan masyarakat setempat sangat baik. Pihak kelenteng juga rutin adakan bakti sosial.

"Kalau hubungan tidak baik pasti kelenteng ini tidak bisa bertahan. Buktinya, sekarang jadi lebih luas," katanya.

Namun, di sisi lain, Yuyun agak prihatin karena jemaat yang datang sembahyang atau mampir ke kelenteng berkurang. Khususnya setelah ada Jembatan Suramadu.

"Sembahyangan tanggal 15 Imlek barusan hanya ada 4 atau 5 orang saja. Padahal dulu bisa 20 sampai 30 orang," katanya.

Tersambungnya Surabaya dan Bangkalan membuat kebanyakan orang Tionghoa di Madura lebih suka ke Surabaya. Jalan-jalan, rekreasi, belanja, hingga sembahyangan. Bahkan arisan bulanan pun di Surabaya.

"Latihan pingpong dan karaoke juga ndak ada lagi. Mereka lebih suka pigi ndek Surabaya," kata Yuyun.

Lagu rohani vs lagu religi


Iseng-iseng saya ketik "lagu rohani" di YouTube. Dan keluarlah lagu-lagu gospel kristiani. Mulai lagu rohani lawas ala Ade Manuhutu, Victor Hutabarat, Grace Simon, hingga lagu-lagu praise and worship terbaru.

Lagu-lagu liturgi untuk misa rupanya tidak masuk kriteria lagu rohani YouTube. Apalagi yang pakai paduan suara atau kor atau koor atau choir.

Lalu, saya iseng lagi mengetik "lagu religi". Maka YouTube langsung memamerkan ratusan hingga ribuan lagu-lagu islami. Lagu-lagu yang menggunakan syair atau lirik islami.

Rupanya lagu-lagu religi ini tidak termasuk kasidah atau gambus. Lagu-lagu Nasida Ria, grup kasidah lawas yang sangat terkenal itu, sepertinya tidak masuk kriteria lagu religi. Apalagi lagu-lagu gambus yang berbahasa Arab.

Di jaman now, rupanya lagu-lagu religi itu yang ngepop, bisa jazzy.. dan islami. Band-band terkenal biasanya merilis single religi jelang bulan Ramadan. Dulu Ungu bikin album religi yang sangat sukses di pasaran. 

Penyanyi-penyanyi koplo yang biasanya tampil seksi dengan goyangan hot pun berubah religius di panggung. Nyanyikan lagu-lagu religi, busana muslimah, pakai hijab dsb.

Menarik juga perkembangan bahasa Indonesia hari ini. Kata rohani yang berasal dari bahasa Arab justru lebih banyak dipakai di kalangan kristiani. Ekaristi atau misa di Gereja Katolik selalu ada istilah "santapan rohani". Para romo, frater, dan bruder juga biasa disebut rohaniwan. Suster-suster disebut biarawati. Saya belum pernah dengar rohaniwati.

Kalau rohani atau ruhani (roh/ruh) dari bahasa Arab, kata religi jelas dari bahasa Latin. Religi, religare, religio, religium... Kata Latin ini kemudian diserap semua bahasa Eropa. Juga dipungut bahasa Indonesia menjadi religi dan religius.

Yang menarik dari lagu rohani vs lagu religi ya di sini. Orang Nasrani memakai bahasa Arab untuk istilah "lagu rohani", sementara orang Islam menyebut "lagu religi" yang notabene dari bahasa Latin. Seperti diketahui, bahasa Latin adalah bahasa resmi Gereja Katolik. Misa atau ekaristi sebelum 1979 selalu dan wajib pakai bahasa Latin.

Perlukah Gelar Haji di Depan Nama?



Di Nusa Tenggara Timur tidak banyak orang yang bergelar haji. Selain biaya naik haji mahal, sementara orang NTT kebanyakan miskin, umat Islam memang minoritas di NTT. Di kabupaten saya, Lembata, setiap tahun yang naik haji cuma 6 atau 10 orang saja. Dua puluh sudah banyak sekali.

Bandingkan dengan haji di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang ribuan orang setiap musim. Bahkan ada KBIH di Gedangan, Sidoarjo, yang bisa memberangkatkan satu sampai dua keloter. Satu kelompok terbang atawa keloter itu 450 orang.

Karena itu, haji-haji di NTT punya posisi yang sangat tinggi. Dengan naik haji, status sosianya yang sudah tinggi (karena berada) makin naik lagi. Maka, haji-haji di NTT, khususnya Flores Timur daerah saya selalu melekat di nama mereka. Haji Anwar. Haji Ibrahim. Haji Arsyad. Haji Payong. Haji Bala. Begitu pula hajah-hajah untuk yang wanita.

Seorang bapak yang baru pulang berhaji akan menolak dipanggil namanya yang lama. Dia tak akan menyahut kalau gelar haji yang mahal itu (butuh Rp 40-50 juta) diabaikan begitu saja meskipun tidak sengaja.

"Engkau harus panggil saya Bapak Haji X. Saya ini sudah pulang dari Mekah," katanya. Kisah Pak Haji X ini sering jadi bahan pelipur lara di kampung halaman saya.

Di Jawa populasi haji sudah telalu banyak. Yang antre naik haji jutaan orang, hingga lima hingga 10 tahun ke depan. Karena itu, haji-haji di Surabaya bukan gelar yang sangat khusus seperti di NTT. Mereka tidak merasa perlu mencantumkan gelar hajinya di depan nama.

"Haji itu salah satu rukun Islam, menunaikan ibadah haji. Yang penting mabrur, bukan gelarnnya," kata Eyang Siti yang tak pernah pakai gelar hajah meskipun sudah naik hajah pada awal 2000an.

Koran-koran di Surabaya, yang berpengaruh, pun tak pernah mencantumkan gelar di depan nama seseorang. Bahkan gelar profesor, dokter, dan sebagainya pun tidak perlu dicantumkan. Mantan ketua MPR hanya ditulis Amien Rais, bukan Prof Dr H Amien Rais MSi.

Mengapa? Karena di Jawa sudah terlalu banyak haji, profesor, doktor, sarjana ini itu, doktoranda, dan sebagainya. Akan sangat aneh kalau seorang pencuri sepeda motor atau mobil ditulis nama dengan gelarnya. Misalnya: Tersangka penggelapan mobil Drs H Bagong dicokok polisi.

Beda dengan di koran-koran di NTT yang sangat suka mencantumkan gelar akademis dan haji-hajah di depan nama seseorang. Misalnya Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya MSi membuka seminar pembangunan pertanian di Kupang.

Kita yang biasa membaca koran-koran Jakarta atau Surabaya pasti tergeli-geli melihat deretan gelar di depan nama orang. Bagaimana kalau seorang narasumber punya 5 atau 7 gelar? Apakah harus ditulis semua?

Ya, wartawan di NTT biasanya menuliskan semua. Amboi, betapa space koran dihabiskan untuk menulis gelar orang yang tidak jelas sumbangannya untuk dunia akademis di Indonesia.

Kembali ke gelar haji hajah. Bagi politisi atau pejabat, gelar haji sangat penting untuk menunjukkan siapa dia. Bukan saja sebagai penanda agama seseorang, tapi juga kualitas keimanannya. Paling tidak masyarakat diberi tahu bahwa orang itu sudah menjalankan lima rukun Islam secara lengkap.

Maka, jangan heran kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu menulis namanya begini: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pesannya jelas: beliau sudah hebat secara akademis, keislamannya pun jangan diragukan lagi.

Teman saya di Bojonegoro pun suka menulis namanya: H. Haryono di kartu nama dan artikel-artikel yang ditulisnya. Padahal si Haryono ini biasanya membahas masalah gereja dan kitab suci kristiani.

"H itu Hendrikus. Hendrikus Haryono," katanya sambil tertawa kecil.

Andaikan jadi caleg, si Haryono bisa dikira haji.

Rubrik Lampion di Radar Surabaya Tamat



Surabaya, 25 November 2013

"Lanjutan Kho Ping Hoo-nya mana? Ceritanya sudah seru nih! Kok diputus?" tanya seorang pengusaha Tionghoa di kompleks Masjid Cheng Hoo, Surabaya, kepada saya.

Dia ternyata sangat aktif membaca cerita silat lawas karya mendiang Khoo Ping Hoo dari Solo itu. Gaya bercerita Paman Kho ini memang luar biasa dahsyat. Deskripsinya begitu kuat. Seakan-akan dia sudah pernah tinggal di Tiongkok. Dia bisa membahasakan aneka jurus silat ala Tiongkok dengan sangat hidup.

Penggemar Kho Ping Hoo ini sempat kecewa karena beberapa kali ceritanya salah muat atau diulang. Saya sendiri terkejut. Tak menyangka Khoo Ping Hoo masih dibaca di era internet ini. Di era audio visual. Apa sih sulitnya masuk ke internet dan membaca versi online?

Amboi, surat kabar ternyata masih jadi rujukan... untuk membaca cerita silat Tionghoa. Syukur puji bagi Tuhan!

Kemudian datang pesan pendek (SMS) dari Su Laoshi, guru bahasa Mandarin di Surabaya, yang paling sering mengantar rombongan pelajar dan guru dari Jawa Timur ke Tiongkok. Su Laoshi baru saja pulang dari Guangdong. Tentu dia membawa cerita, reportase bagus, plus teh hijau khas Tiongkok alias zhongguo cha (baca: cungkuo cha). Itu lho teh sepet yang juga berfungsi sebagai jamu peluruh kolesterol... katanya.

"Kayaknya kamu butuh teh deh. Saya baru kembali dari negeri tirai bambu," katanya.

Sayang, dia kaget karena halaman khusus LAMPION tidak ada lagi di koran. Sudah dihentikan sejak 23 November 2013. LAMPION itu rubrik khusus seni, budaya, tradisi, komunitas, bahasa, dan semua yang berbau Tionghoa baik di Surabaya, kota-kota lain, hingga Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Singapura.

Su Laoshi alias Andrean Sugianto pun maklum bahwa hidup itu memang selalu berubah. Tiap hari kita berubah, tiap detik pun usia kita bertambah. Ada tantangan sekaligus peluang baru. Apalagi media massa yang tengah menghadapi tsunami informasi yang luar biasa.

Kalau tidak mau berubah, menyesuaikan irama zaman, ya, bisa jadi dinosaurus. Masih untung komodo-komodo di Flores yang masih sanggup bertahan ketika rekan-rekannya sudah musnah ribuan tahun lalu. Hebat benar engkau, wahai komodo, lambang Provinsi Nusa Tenggara Timur sejak 20 Desember 1958. Si komodolah pemenang sejati hukum besi survival of the fittest!

Bagi saya, LAMPION memang rubrik yang luar biasa. Berkat LAMPION, saya mau tidak mau dipaksa untuk belajar, membaca, terjun langsung, ke komunitas Tionghoa. Saya pun akhirnya bisa menulis begitu banyak naskah berita, opini, kolom, andekdot.. tentang budaya Tionghoa. Entah sudah berapa tulisan karena saya tidak pernah hitung.

Bahkan, gara-gara tulisan saya di LAMPION pula, yang sebagian dimuat lagi di blog ini, saya sering dianggap sebagai "pemerhati dan pengamat budaya Tionghoa" oleh sejumlah orang. Ada saja yang bertanya ini itu tentang Tionghoa. Memangnya saya ini sinolog seperti almarhum Dr Ong Hok Ham?

Silakan googling wayang potehi di internet, kemungkinan besar nyasarnya ke blog ini. Karena dulu belum ada orang yang membahas wayang potehi di internet. Tradisi budaya Tionghoa dipinggirkan sejak Orde Baru, 1966, dan baru berkembang luas sejak era Gus Dur. Mau cari informasi kelenteng-kelenteng di Surabaya atau Sidoarjo, ya, nyasarnya ke sini.

Emangnya saya orang kelenteng?

Hehehe... ternyata tulisan saya tentang kelenteng-kelenteng itu dijiplak, di-copy paste naskah dan foto, kemudian diklaim sebagai tulisan sendiri di blognya orang Tionghoa. Begitulah di Indonesia. Orang Tionghoa sendiri malah minim informasi tentang tradisi budaya leluhurnya, kemudian membaca LAMPION dan blog ini, kemudian mau melacak kembali jejak leluhurnya yang sempat diharamkan Orde Baru.

Saya sedih tapi juga senang karena paling tidak tulisan-tulisan saya di LAMPION, yang sebagian besar dimuat lagi di blog ini, jadi referensi banyak orang. Saya dianggap "pakar masalah Tionghoa". Hehehe....

Rupanya rubrik LAMPION sudah berhasil membangun kesepahaman dan interaksi antaretnis yang beragam di Surabaya, bahkan Jawa Timur, bahkan Indonesia. Dan, setelah reformasi berjalan selama 15 tahun, isu-isu tentang Tionghoa sudah sangat biasa di media massa. Media massa malah seakan berlomba meliput perayaan tahun baru Imlek, Capgomeh, sembahyang rebutan King Hoo Ping, Ceng Beng, perayaan bulan purnama alias Tiong Ciu Jie, dan acara-acara kelenteng.

Ki Subur, dalang wayang potehi yang dulu tinggal di Sidoarjo, kini menjadi SEHU alias dalang potehi paling populer di Indonesia. Setiap kali melihat liputan-liputan tahun baru Imlek di televisi, koran, majalah, internet... rupanya Ki Subur yang badannya memang subur ini paling sering muncul. Ki Subur selalu padat job di pusat belanja di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.

Say (mungkin) pertama kali membahas fenomena Ki Subur dan dalang potehi etnis Jawa di internet. Sebab, dulu, ketika saya mencari wayang potehi di internet baik yahoo, google, dan sebagainya, dalang unik macam Ki Subur dan wayang potehi belum ada. Saya lalu coba-coba menulis dan posting di blog pribadi. Eh, beberapa bulan kemudian, ketika perayaan tahun baru Imlek digelar besar-besaran naskah sederhana itu menjadi sangat laku.

Kembali ke LAMPION yang ditutup. Di satu sisi saya pribadi kehilangan, karena ikut merintis dan paling banyak menulis, tapi di sisi lain ada bagusnya. Sebab, liputan-liputan tentang budaya dan komunitas Tionghoa sudah begitu hebatnya di Surabaya.

Bahkan ada dua surat kabar harian berbahasa Mandarin di Surabaya, yakni GUOJI RIBAO (Jawa Pos Group) dan JIANTAO RIBAO. Sulit dibayangkan ada koran berbahasa Mandarin dengan begitu mendalamnya menurunkan berita dalam bahasa dan aksara Tionghoa. Aksara yang diharamkan rezim Orde Baru karena dianggap sebagai "aksara setan" yang hanya akan membuat orang Indonesia jadi komunis. Inilah kebodohan terbesar rezim Orde Baru selama 32 tahun.

Kini, zaman berubah, dunia terbalik. Semua penindasan itu ada karmanya. Bahasa dan aksara Tionghoa alias hanzhi (saya tahu hanzhi dan putonghua ini juga karena LAMPION) justru berkembang pesat di Indonesia saat ini. Bahasa Tionghoa alias Mandarin diajarkan di sekolah-sekolah. Pemerintah Tiongkok membuka Institut Konfusius di Surabaya dan banyak kota di Indonesia.

Sebaliknya, berapa banyak sih orang Jawa, yang berusia di bawah 40 tahun, yang bisa hanacaraka? Yang bisa krama inggil?

Pemerintah Kota Surabaya pernah membuat kebijakan hari wajib bahasa Jawa setiap Jumat, tapi tidak jalan karena diprotes setiap hari. Sekolah-sekolah negeri dan swasta malah lebih gencar mengajarkan bahasa Inggris dan Mandarin demi globalisasi.

Hidup Tionghoa!
Hidup LAMPION!

Yang pasti, meski rubrik LAMPION tidak ada lagi, berita-berita tentang Tionghoa tetap ada meskipun tidak lagi punya halaman khusus di Radar Surabaya. Dicampur dengan berita-berita lain tentang Surabaya dan sekitarnya. Apalagi, orang Tionghoa di Jawa Timur, dan Indonesia umumnya, sebetulnya sudah sangat membaur dengan penduduk setempat.

Sudah jadi arek Surabaya! Bicara bahasa Jawa ala Surabaya yang khas dan malah tidak bisa bahasa Hokkian, apalagi Mandarin standar Beijing alias Putonghoa. Arek Kapasan, Bibis, Kembang Jepun, Gemblongan, Blauran... yo podo-podo arek Suroboyo!

Buku Ling Tien Kung Karya Fu Long Swie

Oleh Lambertus Hurek
Surabaya, 05 DESEMBER 2013

Ling Tien Kung baru saja merayakan ulang tahun ke-8. Ada resepsi sederhana, makan-makan di restoran, plus launching buku. Sang guru besar dan penemu senam terapi ala Tiongkok ini, Fu Long Swee, merilis buku bersampul kuning dengan judul: Ling Tien Kung - Making People Healthy.

Fu Laoshi memang sejak dulu selalu menekankan bahwa Ling Tien Kung yang diperkenalkan kepada publik Surabaya sejak 2005 ini bukan olahraga atau senam biasa. Ia lebih tepat disebut terapi kesehatan.

Mantan atlet lompat jauh peraih medali emas Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) V di Bandung, 1961, ini menegaskan:

"Ling Tien Kung merupakan gerakan penyembuhan penyakit. Ling Tien Kung bukan olahraga gerak badan, bahkan justru tidak boleh diolahragakan. Jangan menggebu-gebu dan memacu jantung. Relaks, tapi bukan santai!"

Dalam buku yang ditulis bersama istrinya ini, Sie Ie Ai alias Ellia Bestari, Fu Long Swee menjelaskan secara detail prinsip-prinsip Ling Tien Kung yang biasa dikenal masyarakat luas sebagais enam empet-empet anus. Selama 20 tahun dia mengkaji kebajikan Tiongkok kuno, membaca banyak buku klasik Tiongkok, setelah mengalami kelumpuhan yang parah.

Perlahan-lahan penyakitnya hilang setelah menekuni Ling Tien Kung di rumah bersama istri. Pada Agustus 2004, Tuan Fu mengajak 30-an orang untuk berlatih Ling Tien Kung di Central Park, Surabaya. Mula-mula orang heran dengan senam yang tak biasa itu. Olahraga kok empet-empet anus? Jongkok, kocok-kocok?

Di luar perkiraan Fu Laoshi, Ling Tien Kung dengan cepat menyebar ke berbagai kawasasan di Kota Surabaya. Ini karena banyak orang yang mengklaim kondisi tubuhnya membaik atau sembuh dari sakit kronis. Cukup banyak kesaksian praktisi Ling Tien Kung bisa dibaca di buku ini.

Kini, setelah delapan tahun, ribuan orang di Surabaya dan kota-kota lain di Jawa Timur, luar Jawa Timur, luar Jawa, bahkan luar negeri setiap hari menekuni Ling Tien Kung. Fu Laoshi pun merasa perlu membuat standar untuk para instruktur agar khasiat Ling Tien Kung benar-benar bisa dirasakan. Sebab, kalau gerakannya asal-asalan, khasiat itu tak akan didapat.

Bagi saya, cerita paling menarik justru di bagian belakang, tepatnya Bab 6 tentang biografi singkat. Kita bisa mengikuti perjalanan hidup Fu Laoshi, yang lahir di Singaraja, Bali, 25 Oktober 1935, sekolah di Bali, pindah ke Surabaya, jadi jawara atletik di sekolah Tionghoa, jadi juara lompat jauh dan sprint di Jawa Timur, hingga mewakili Jawa Timur ke PON dan dapat emas.

Padahal, saat itu kaki kirinya sedang cedera. Fu muda memaksakan diri melompat dan juara. Lompatannya sejauh 6,67 meter. Rekor terbaiknya di Surabaya 6,9 meter. "Saya hanya melakukan empat kali lompatan dari enam kali kesempatan," katanya.

PON V di Bandung itu merupakan puncak sekaligus akhir karier Fu sebagai atlet nasional. Dia mulai membuka lembaran baru dalam hidupnya dengan menikahi Sie Ie Ai, teman SD-nya di Singaraja dulu. Cinta monyet yang terus berkembang dan berbuah hingga keduanya menjadi kakek-nenek sampai saat ini. Mereka dikaruniai lima anak yang sukses dalam karier.

Fu Laoshi menulis di halaman terakhir bukunya:

"Pada tahun 2004, kami memulai misi sosial kami, yakni making people healthy... hari ini dan seterusnya."

Belajar Improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur



Surabaya, 23 OKTOBER 2012

Belajar improvisasi bersama Slamet Abdul Sjukur


Andaikan semua guru musik di sekolah kayak Slamet Abdul Sjukur, pelajaran musik pasti sangat menyenangkan. Murid-murid dijamin ketagihan. Para murid tentu saja tak dicetak jadi pemusik atau komponis (kayak Slamet Sjukur), tapi setidaknya bisa menikmati musik dengan asyik.

Musik, apa pun jenisnya, memang perlu diapresiasi. Dan, agar bisa mengapresiasi, kita perlu guru yang benar. Guru yang tak hanya tahu musik, tapi juga tak mengajarkannya kepada awam. Banyak pemusik hebat, pintar main piano, gitar, violin, cello dsb, tapi belum tentu bisa membagikan kemampuannya.

Mendengarkan musik pun sebetulnya ada pelajarannya. Sayang, kita di Indonesia masih kekurangan orang-orang macam Slamet Abdul Sjukur, komponis, pianis, penulis, budayawan (entah apa lagi) asli Surabaya yang tak bosan-bosannya berbagi ilmu.

Selama 55 tahun SAS mengampu Pertemuan Musik Surabaya alias SAS. Isinya, ya itu tadi, apresiasi musik. Mulai anak kecil, mahasiswa, guru piano, pianis, dirigen, hingga komponis top dia kumpulkan di satu forum. Lalu, kita diajak nonton film atau menikmati permainan piano, gamelan, atau hanya sekadar bermain-main.

Ini penting karena SAS melihat semakin lama orang Indonesia kehilangan kegembiraan. Dus, sulit menikmati musik. Pemain piano kurang lepas main piano, kehilangan kegembiraan main piano, karena takut salah, takut dikritik, kurang percaya diri, dan sebagainya.

Saya ikut menikmati kegembiraan dan gaya Slamet A Sjukur (77 tahun) yang nyantai, tapi serius, pada PMS di halaman Perpustakaan C20, Jalan dr Cipto 20 Surabaya. Sekitar 20 peserta, termasuk saya, duduk santai di kebun yang dikelola Kathleen Azali itu. SAS duduk dekat pintu. Gemma, komponis muda lulusan Unesa, bertugas memutar rekaman HERBIE HANCOCK berjudul WATERMELON MAN. Manusia semangka, kalau diterjemahkan lurus.

Yah, Herbie Hancock salah satu legenda jazz dari USA. Kita diajak menikmati komposisi Watermelon yang sederhana tapi asyik. Dimulai pukulan drum, perlahan-lahan diikuti satu per satu instrumen, termasuk suara-suara manusia yang aneh, kemudian dilengkapi saksofon.

Setelah diperdengarkan, kita disuruh berimajinasi. Menghidupkan lagi musik Paman Hancock secara bebas. Menambahkan lagi dengan suara kita, bertepuk tangan, bunyikan lidah, menghentakkan sepatu, memukul apa saja (asal jangan memukul teman)....

"Kita bebas merusak komposisi yang ada itu agar lebih baik. Mau menambah apa saja silakan," pinta SAS.

Awalnya sih masih ragu, malu, takut, entah apa lagi. Maklum, orang Indonesia jarang mendapat pelajaran apresiasi musik jazz secara spontan dan bebas macam ini. SAS tahu betul itu. Tapi SAS, dengan guyonannya yang tetap nyelekit dan sengak, membuat kita mau tidak mau harus mau bikin improvisasi. Satu per satu, mulai dari yang duduk di pojok kanan, bergiliran hingga pojok kiri. Komposisi watermelonman diputar lagi.... dan mulailah improvisasi bebas (dan rada liar) ala petani semangka di Jawa Timur.

Saya kira Paman Hancock bakal kaget jika melihat komposisinya diblejeti, diobrak-abrik, oleh Slamet Abdul Sjukur dan arek-arek Surabaya. Slamet rupanya suka dengan improvisasi kami meskipun temponya ternyata tidak pas dengan ketukan pemain band Hancock. "Tidak apa-apa, kita ulangi lagi, kita main-main lagi," kata SAS yang rambutnya belum uban di usia mendekati 80 tahun itu.

Slamet Abdul Sjukur kemudian memberikan kesimpulan:

"Musik yang sehat itu terbuka buat siapa saja. Demikian sehatnya dan terbukanya,sehingga siapa pun bisa menikmatinya bahkan ikut terlibat aktif dalam proses pembuatan musiknya."

Di Indonesia sudah mulai sering diadakan festival musik jazz (meskipun tidak murni jazz, karena penyanyi koplo atau rock pun ikut). Tapi pelajaran dasar apresiasi jazz ala Slamet Abdul Sjukur boleh dikata tidak banyak. Bahkan belum ada.

Ah, andaikan guru-guru SD dan SMP kita punya wawasan musik seperti Slamet Abdul Sjukur!

80 Tahun Prof. Josef Glinka SVD Sang Antropolog Ragawi

KAMIS, 05 JULI 2012
80 Tahun Prof Josef Glinka

Oleh LAMBERTUS HUREK


Selama tiga hari FISIP Universitas Airlangga menggelar seminar bertajuk Celebrating Anthropology untuk merayakan hari jadi ke-80 Prof Dr Habil Josef Glinka SVD pekan lalu. Acara ini digagas dosen-dosen antropologi yang kebanyakan mantan murid Glinka. Mereka menilai sumbangsih profesor asal Polandia ini sangat besar bagi perkembangan antropologi di tanah air.

Di usia delapan dasawarsa, Prof Glinka masih terus berkarya baik sebagai akademisi maupun rohaniwan. Berikut petikan percakapan saya dengan Prof Glinka sembari ditunggui tujuh mahasiswi Antropologi Unair di ruang kerjanya.

Selamat ulang tahun Pater Glinka! Bagaimana perasaan Anda ketika genap berusia 80 tahun ini?

Terima kasih. Menurut tradisi Jawa, usia 80 tahun itu luar biasa. Kalau di Alkitab malah tertulis usia manusia rata-rata 70 tahun. Delapan puluh tahun itu kalau kita kuat. Hehehe.... Saya sendiri tidak pernah membayangkan akan dibuat acara besar-besaran (untuk merayakan ulang tahun) seperti kemarin. Tapi, kata panitia, sekalian untuk memperkenalkan Antropologi Unair kepada masyarakat luas.

Apa resepnya bisa panjang usia dan tetap produktif?

Saya tidak punya resep khusus. Tapi mungkin karena setiap hari saya selalu bertemu dengan orang-orang muda. Ini membuat saya lebih semangat. Nah, itu ada para mahasiswi Unair yang datang ke sini untuk membicarakan soal perkuliahan.


Barangkali Anda punya pantangan khusus?

Saya tidak diet, cuma tidak makan daging sapi. Kalau makan daging sapi, perut saya mules, tidak enak. Kalau makanan-makanan lain tidak ada masalah.


Apakah Anda punya rencana setelah berusia 80 tahun?

Rencana apa? Saya tetap bekerja seperti biasa. Belum lama ini saya diminta menguji calon doktor di IAIN Sunan Ampel. Saya juga masih menulis, ikut seminar. Sekarang saya amsih capek setelah mengikuti acara selama tiga hari itu.


Bagaimana ceritanya Anda mendalami antropologi mengingat latar belakang Anda seorang pastor?

Saya studi antropologi sejak usia 27 tahun. Saya selesaikan sampai doktoral di Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia. Waktu itu disertasi doktoral saya tentang Indonesia. Tapi waktu itu Polandia masih jajahan Rusia sehingga saya cari data untuk penelitian saya ke Indonesia sangat sulit. Mau keluar dari Polandia sulitnya minta ampun.


Sejak kapan mengajar di Unair?

Sejak 1984. Sebelumnya, selama 20 tahun lebih saya tinggal di Flores, mengajar di Seminari Tinggi Ledalero dan di Universitas Nusa Cendana, Kupang, jadi dosen tamu. Tahun 1984 itu saya diundang Pak Adi Sukadana (mantan dekan FISIP Unair) untuk pindah dan bantu mengajar di sini. Saya dipinjam mulai tahun 1984 sampai sekarang.

Sebagai antropolog, bagaimana Anda melihat orang Indonesia?

Indonesia itu punya 300 lebih suku dengan budaya dan bahasa berbeda-beda. Penelitian saya tentang dari mana suku-suku itu berasal dan bagaimana mereka memecah serta menyebar. Awalnya kan mereka satu. Ini dimulai dari imigrasi 10 ribu tahun silam setelah zaman es berakhir. Yang dari utara dan barat masuk ke nusantara, mereka bersifat Mongoloid. Yang dari timur lebih bersifat Austro-Melanoid. Dalam penelitian, saya sebut Proto-Malay karena mereka berbahasa Melayu dengan ras berbeda dari Melayu kebanyakan. Penelitian itu saya publikasikan jadi buku tahun 1977.


Sudah berapa banyak kader Anda hasilkan?

Cukup banyak. Selama 20 tahun lebih di Flores saya sudah hasilkan sekitar 800 pastor, 12 sudah jadi uskup. Di Unair lebih dari seribu mahasiswa. Doktor yang saya promotori sudah 13 orang, juga guru besar. Ada juga yang sudah pensiun.

Kenapa Anda begitu berminat bertugas di Indonesia?

Saya sendiri memang punya sentimen dengan Indonesia. Sejak umur enam tahun saya biasa mendengar kabar tentang Indonesia dari seorang sepupu dari bapak saya yang telah menjadi misionaris di Flores. Dari sepupu itu, saya sering mendengar cerita-cerita indah alam dan lingkungan sosial di Indonesia. Akhirnya, saya berangkat ke Indonesia, mendarat di Flores tahun 1965, untuk mengikuti kursus bahasa.


Apakah Anda mengalami kesulitan mempelajari bahasa Indonesia?

Tidak. Sebelumnya saya sudah biasa mempelajari bermacam bahasa. Bahasa Latin wajib kami kuasai semasa kuliah. Bahasa Jerman dekat dengan orang Polandia karena kami pernah dijajah oleh Jerman. Bahasa Inggris tentu saja harus dikuasai oleh mereka yang harus berangkat ke luar negeri. Bahasa Polandia sendiri mempunyai dialek yang paling banyak dari bahasa-bahasa besar Eropa. Banyak dialek kami yang sulit dicari padanannya dalam bahasa lain. Jadi, belajar Bahasa Indonesia tidak ada masalah buat saya.


Sekarang ini Indonesia punya berapa profesor di bidang antropologi?

Dua orang (Prof Glinka dan Prof Etty dari UGM Jogjakarta). Polandia itu negara yang luasnya hampir sama dengan Pulau Jawa, tapi memiliki  120 profesor antropolog. Sementara Indonesia hanya punya 10-20 antropolog dan hanya dua profesor. Padahal, begitu  banyak fosil yang tersebar di seluruh Indonesia. (rek)