Senin, 30 Desember 2019

Hitam Manis Tinggal Kenangan

Pagi buta Mas Jum di Sydney mengepos foto orang Australia menikmati wisata pantai. Asyik banget. Memang lagi musim panas di benua selatan itu.

Lalu, seperti biasa, saya nyentil seniman lukis dan dosen asal Sidoarjo itu. Orang Indonesia tidak suka berjemur di pantai karena takut hitam. Orang Indonesia memilih menghindari matahari.

"Harus diakui iklan pemutih kulit sukses besar di Indonesia," kata Mas Jum yang nikah sama wanita bule Aussie itu.

Mas Jum komentar lagi: "... seiring jaman, fashionnya sudah menutup tubuh keseluruhan. Matahari dan proses penghitaman terlerai."

Klop sudah. Di satu sisi ada kampanye iklan pemutih kulit, di sisi lain ada fashion menutup seluruh tubuh. Dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Tentu saja wisata mandi matahari makin tidak cocok dengan ideologi mayoritas orang Indonesia hari ini. Mungkin akan ada wisata pantai halal atau syariah untuk mengakomodasi tren mode tertutup penuh itu.

Aku jadi ingat Hitam Manis, lagu hit 1970an dari Mus Mulyadi diiringi OM Pancaran Muda. Lagu ini pernah viral (istilah media sosial) di nusantara. Anak-anak kampung yang belum punya listrik pun menyanyikannya.

hitam manis
hitam manis
pandang tak jemu
pandang tak jemu
.....

Paul Widyawan, dirigen dan pelatih paduan suara terkenal dari Jogjakarta, bahkan membuat aransemen SATB untuk lagu Hitam Manis. Dibawakan berbagai paduan suara mahasiswa di tanah air pada 1980an dan 1990an.

Lagu yang memuja gadis berkulit hitam manis ala nusantara yang tropis. Rancak nian aransemen kor ala Paul Widyawan yang memang dikenal sebagai raja musik liturgi inkulturasi.

Sayang... Indonesia sudah berubah. Gadis hitam manis sudah tak lagi membuat jejaka pandang tak jemu, pandang tak jemu.

 "Cewek hitam manis ramai-ramai beli pemutih agar kehitaman kulitnya terlerai," kata Mas Jum di Sydney.

Gara-gara obrolan soal wisata pantai dan gadis hitam manis tempo dulu, aku ngecek YouTube. Lagu Hitam Manis Mus Mulyadi ternyata banyak banget.

 Bahkan ada versi aslinya tahun 1954 dari Malaysia. Dari R. Azmi. "Godfather of lagu Melayu adalah R. AZMI, suaranya pula sangat unik, tidak ada sapa yg lebih sedap nyanyi lagu ini daripada R. AZMI," tulis orang Malaysia.

Oh, ternyata aku salah. Selama ini aku sangka Hitam Manis itu ya lagunya OM Pancaran Muda dengan vokalis Mus Mulyadi.

Orkes Pancaran Muda dulu sering main di istana untuk menghibur Presiden Soekarno. Bahkan resepsi pernikahan Bu Megawati Soekarnoputri dulu dimeriahkan OM Pancaran Muda pimpinan Zakaria, musisi hebat dan jenius pada masanya.

Masih soal hitam manis. Minggu lalu Prof Budi Darma menulis di Jawa Pos. Masih terkait industri hiburan kita yang hampir semua pemainnya bule atau setengah bule.

"Rambut hitam di-toning jadi blonde. Kulit sawo matang di-white cleansing supaya tampak seperti bule. Tanpa sadar kita merasa rendah diri terhadap bekas penjajah kita, dan karena itulah kita berlagak seperti bekas penjajah kita," tulis Prof Budi Darma dari Universitas Negeri Surabaya.

Jumat, 27 Desember 2019

Aning Katamsi dan Dewa Budjana Bawakan O Holy Night



Ada kiriman link menarik dari orang NTT di Jatim. Lagu O Holy Night dibawakan dengan sangat bagus oleh Aning Katamsi dengan iringan gitaris Dewa Budjana.

Aku pun masuk ke YouTube. Wow... bagus banget. Harmoni yang indah saat Natal begini. Ketika polemik soal selamat natal dan tahun baru masih berseliweran di media sosial.

Aning Katamsi siapa tak kenal? Dia juara bintang radio seriosa pada era 1990-an. Mamanya juga juara seriosa tempo doeloe: Pranawengrum Katamsi.

Orang-orang lawas sangat hafal lagu seriosa yang dulu sangat populer macam Kisah Mawar di Malam Hari. Aning pun kerap membawakannya.

Aning lebih terkenal karena sering kolaborasi dengan penyanyi pop papan atas macam Chrisye. Vokal soprano di album pop biasanya diisi Aning.

Dewa Budjana? Gitaris asal Bali ini juga hebat banget. Selain gitaris Gigi, dia juga bikin album solo nan unik. Sangat jarang musisi Indonesia bikin album instrumentalia. Dewa punya kelas.

Kolaborasi Aning dan Budjana membawakan lagu Natal terkenal itu sangat berkesan di hati saya. Kualitasnya sih oke meskipun mungkin bukan yang terbaik. Ada ribuan atau jutaan artis atau orang biasa yang membawakannya di YouTube.

Tapi di tengah suasana yang selalu hangat di NKRI jelang Natal (tradisi tahunan), duet Aning dan Budjana ibarat oase di padang tandus. Aning yang muslim, pakai hijab, melantunkan O Holy Night dengan teknik dan penjiwaan luar biasa. Budjana yang Hindu memainkan gitar dengan petikan yang khas.

Duet artis Hindu dan Islam itu membawakan O Holy Night. Membagikan pesan damai untuk sesama anak bangsa Indonesia. Bahwa Natal adalah hari kelahiran Kristus sang pembawa damai. Bahwa kedamaian itu perlu disebarluaskan di bumi ini.

Aning Katamsi dan Dewa Budjana... terima kasih!
Damai di bumi!
Damai di hati!

Misa Natal di Semarang - Nostalgia Madah Bakti

Suasana Natal tahun ini sangat berbeda. Saya tidak mudik ke NTT karena kuota cuti sudah habis. Jatahnya sudah saya pakai saat ayahku meninggal dunia pada 22 Juli 2019 lalu.

Gak enak kalau ambil cuti lagi untuk natalan. Dan tidak mungkin dikasih libur minimal 5 hari. Paling cuma 2 hari. Dus, tidak mungkin bisa pulang ke Lembata untuk misa plus perayaan Natal ala orang Lamaholot.

Maka, saya memutuskan ikut tur bersama seluruh karyawan ke Semarang. Studi banding ke Radar Semarang, koran daerah yang paling sukses di Jawa, sekaligus menikmati kota lama yang penuh bangunan kolonial yang cantik.

Sebelum tur, saya dan Novilawati yang ditugaskan untuk melakukan survei ke Semarang untuk tur 25-26 Desember 2019. Makanya aneh kalau saya tidak ikut piknik ke Semarang.

Nah, saat survei ke kota lama Semarang itu, saya juga survei gereja. Ada Gereja Blenduk yang terkenal di kota lama. Tapi gereja itu Protestan. GPIB Immanuel. Aku tidak mungkin misa di situ.

Bergeser ke pojokan, keluar sedikit dari areal wisata kota lama... wow, ada gereja katolik. Gereja Santo Yusuf, Gedangan, Semarang. Gereja Katolik tertua di Pulau Jawa.

Gereja Gedangan ini sangat terkenal karena dulu Monsinyur Soegijapranata melayani di sini. Beliau uskup pribumi pertama yang juga pahlawan nasional. Gereja Gedangan juga jadi lokasi syuting film Soegija.

Saya juga survei ke Katedral Semarang. Lokasinya dekat Lawang Sewu. Sama-sama gereja tua yang bersejarah.

Maka, jauh hari saya sudah rencana misa malam Natal di Gedangan atau Katedral. Mana yang dekat hotel dan jamnya cocok.

Ternyata Gereja St Yusuf Gedangan yang paling dekat. Tidak sampai 7 menit (kalau tidak macet). Misa keduanya pukul 20.30. Di Katedral Semarang pukul 21.00. Maka pilihanku jelas di Gedangan.

Selasa malam, 24 Desember 2019.

Ketika 69 peserta tur Kota Lama Semarang mulai mlaku-mlaku nang kota lama, saya berbelok ke arah Gedangan. Ada tukang ojek yang mendekat.

"Gerejanya dekat. Sampean kasih berapa aja terserah," kata ojek merangkap jukir di kota lama itu.

Satu jam sebelum misa gereja sudah terisi 80%. Saya pun masuk dan dapat tempat duduk agak depan. Lokasi ideal untuk menikmati suasana gereja tua anno 1870 itu. Juga dekat paduan suara yang pakai baju lurik dan blankon khas Jawa.

Arsitektur gereja ini memang indah. Ruangannya membulat dengan lukisan klasik di atasnya. Beda dengan gereja-gereja tua di Surabaya yang cenderung mengotak. Pilar-pilarnya juga besar.

Setelah menunggu hampir satu jam, ekaristi malam Natal pun dimulai. Kor baju lurik diiringi musik campuran keroncong dan klasik ala gereja. Lengkap dengan bas betotnya. Kualitas musik dan kor di sini di atas rata-rata nasional. Baik aransemen, harmoni paduan suara, tempo dsb.

Misa di Semarang ini juga mengingatkan saya pada Madah Bakti. Buku nyanyian liturgi ini sampai sekarang dipakai di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Di Jawa Timur sudah tidak dipakai sejak 1994 (kalau tidak salah) karena diganti Puji Syukur.

Lagu-lagu Madah Bakti memang dirancang sebagai musik inkulturasi nusantara. Karena itu, ensambel keroncong ala Gedangan Semarang ini sangat cocok. Apalagi dirigen dan pemusiknya memang seniman beneran. Bukan umat yang penguasaan musiknya pas-pasan.

Semua lagunya memang dari Madah Bakti. Mulai ordinarium Misa Pustardos yang dari Flores, Alam Raya Karya Bapa, Malam Kudus, Gegap Gempita di Alam...

Saya benar-benar menikmati misa malam Natal meskipun jauh dari keluarga di NTT. Juga tidak kenal romonya. Seorang pastor Yesuit yang homilinya sangat bermutu. Omongan Romo Maryono SJ halus tapi mendalam.

Selepas misa--ini yang beda dengan Surabaya atau Sidoarjo--jemaat tidak langsung pulang. Ada semacam pesta rakyat di halaman gereja dan sekolah. Sudah disiapkan soto, rawon, gudeg dan minuman kopi, teh, es dsb.

Suasananya benar-benar meriah layaknya pesta rakyat. Umat berbaur menikmati nasi soto, rawon, gudeg yang lezat. Di panggung ada pertunjukan musik keroncong dan kesenian anak-anak muda.

Meskipun sudah ganti hari, lewat pukul 00.00, umat Katolik di Semarang tidak buru-buru pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya mereka menghayati kegembiraan gembala-gembala Bethlehem yang menemani Sang Bayi Kudus bersama Yosef dan Maria di kandang sederhana itu.

"Tiap tahun ya acaranya seperti ini. Biar umatnya guyub dan rukun," ujar seorang bapak yang memakai baju lurik.

Malam kian larut berganti pagi. Saya pun makin ngantuk. Jalan kaki lima menit ke pangkalan ojek di kota lama. Lalu menumpang ojek motor ke Pesonna Hotel Semarang. Teman-teman sudah pada ngorok.

Hidup sebagai Sahabat! Selamat Natal!

Selalu tidak enak menjelang Natal di Indonesia. Polemik lawas soal halal haram mengucapkan selamat Natal selalu muncul.

Selalu ada jumpa pers seminggu atau dua tiga hari jelang Natal. Isinya mengingatkan kembali fatwa MUI tentang larangan itu. Belakangan ada ribut-ribut soal tulisan di kue atau roti.

Di televisi pun polemik soal Natal ini jadi bahan diskusi. Aku malas. Ganti channel. Ada berita tentang larangan mengadakan kebaktian atau misa Natal di wilayah Sumatera Barat.

Ya.. sudahlah. Biarkan saja mereka bicara berbusa-busa di televisi atau media sosial. Siapa saja bebas berpendapat sesuai alam pikiran dan ideologinya.

Aku lebih suka nonton diskusi atau debat di televisi-televisi internasional. Topik bahasan mereka sudah jauh ke depan. Amerika bahas impeachment. Ada lagi televisi yang bahas Brexit. Tiongkok bahas investasi dsb dsb.

Tidak ada yang bahas halal haramnya selamat Natal. Oh, ada juga di Malaysia. Tapi tidak seramai di NKRI.

Bagaimana ini Romo Benny? Polemik selamat Natal makin ramai? Ada kabar larangan kebaktian dan perayaan Natal di daerah tertentu?

"Biarkan saja. Orang Katolik itu sejak dulu tidak pernah minta dikasih ucapan selamat Natal. Gak penting. Gak perlu dibahas lagi," kata pastor yang sekarang jadi staf khusus BPIP.

Romo asal Malang ini tiap hari bicara Pancasila Pancasila Pancasila... Bhinneka Tunggal Ika dan sejenisnya. Romo Benny juga paling sering diwawancarai koran, televisi, media daring, radio tentang isu di Dharmasraya soal pelarangan itu.

"Masih banyak isu besar yang perlu dibahas untuk masa depan bangsa ini. Tidak perlu dibesar-besarkan soal selamat Natal dan sejenisnya," katanya.

Kalau begitu, Romo bikin renungan Natal untuk surat kabar. Tidak usah panjang-panjang. Temanya Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang. Sesuai dengan pesan Natal bersama KWI dan PGI.

"Kamu nanya aja biar saya jawab. Jawabanku nanti kamu olah sendiri jadi artikel yang bagus," kata pastor projo Keuskupan Malang yang sudah lama "dikaryakan" di Jakarta itu.

Siaaaap!

Aku pun menulis 5 pertanyaan lewat WA. Tidak sampai 20 menit sudah dijawab semua.

Romo Benny antara lain menulis:

"Hidup sebagai sahabat berarti menjalankan perintah Tuhan mengasihi sesama. Siapakah sesama itu? Setiap manusia yang ada di bumi. Kita tidak membedakan suku, etnis, agama.

"Paus Fransiskus menekankan pentingnya membangun dialog antar umat Kristiani dan Muslim. Untuk mewujudkan aktualisasi agama menjadi rahmat perdamaian."

Kepingan-kepingan pendapat Romo Benny itu kemudian aku rangkai menjadi artikel untuk Renungan Natal 2019. Lalu dimuat di halaman 1. Lengkap dengan foto Romo Benny yang sejak frater suka potongan rambul gundul-gundul pacul.

"Ais ju Tuhan pung ana bua dong pulang kambali pi sorga. Ju itu gambala dong baźžŒomong bilang,

"We! Mari kotong pi Betlehem ko pi lia itu Ana dolo! Te Tuhan su kirim itu kabar kasi kotong.

"We! Mari kotong pi Betlehem ko pi lia itu Ana dolo! Te Tuhan su kirim itu kabar kasi kotong."

(Injil Bahasa Melayu Kupang, NTT)

Selamat Natal!

Minggu, 15 Desember 2019

Menteri Penerangan vs Menteri Penggelapan

Musim hujan tugas para menteri penerangan jauh lebih berat. Mereka harus kerja keras untuk menghalau awan agar tidak turun hujan di suatu tempat. Lokasi si menteri penerangan itu dibayar.

Saya baru tahu pawang hujan atau tukang sarang disebut menteri penerangan di Banyuwangi. Menteri-menteri penerangan di Kota Blambangan itu dikenal paling sakti di Jawa Timur. Olah spiritual kanuragannya tinggi. Jarang mengecewakan konsumen yang punya hajatan.

"Di Banyuwangi ada banyak menteri penerangan," kata Samsudin Adlawi, Direktur Radar Banyuwangi.

Di semua 25 kecamatan di Kabupaten Banyuwangi pasti ada menteri penerangan. Bahkan, ada kecamatan yang punya lebih dari satu pawang hujan.

Suka tidak suka, percaya tidak percaya, menteri penerangan sangat dibutuhkan untuk menghalau awan gelap. Agar hajatan pernikahan atau launching produk di alun-alun berjalan sukses.

Menteri penerangan yang bukan Harmoko itu selalu hadir di acara-acara besar di Sidoarjo, Surabaya, Banyuwangi dsb. Dia membaur dengan warga lain sehingga tidak terdeteksi. Panitia pun tidak semuanya tahu.

"Bagaimana kondisi hari ini? Aman kondusif?" tanya saya.

"Insya Allah, aman," jawab seorang menteri penerangan di alun-alun beberapa tahun lalu.

Saat itu ribuan orang berkumpul menikmati pertunjukan wayang kulit. Dalangnya paling joss se-Indonesia. Mendung tebal. Maklum, musim hujan. Tapi pak menteri penerangan itu komat-kamit bercakap dengan alam.

Benar saja. Pergelaran wayang kulit lancar sampai dini hari. Tidak ada hujan. Awan sudah dihalau ke tempat lain.

Ngomong-ngomong berapa tarif menteri penerangan?

Tidak ada patokan resmi. Tergantung besar kecilnya acara dan potensi hujan. Kalau diorder saat puncak musim hujan tentu beda dengan awal musim hujan. Apalagi kemarau.

Kalau menteri penerangan gentayanga di mana-mana, menteri penggelapan praktis tidak ada. Dukun mana yang bisa mengundang awan gelap agar turun hujan untuk menyirami sawah ladang petani?

Wilayah NTT, khususnya Lembata, Solor, Adonara, Alor, Pantar, Palue.. tidak membutuhkan menteri penerangan. Yang diperlukan adalah menteri-menteri penggelapan.

Jumat, 13 Desember 2019

Musim Hujan Ditunda Januari 2020

Beberapa menit lalu saya lewat di kawasan Juanda. Tak jauh dari BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Badan ini yang tiap hari merilis ramalan cuaca.

Mampir di warkop Pulungan, Sedati, kompleks AL, seperti biasa baca koran. Warkop-warkop di Sidoarjo dan Surabaya memang langganan koran. Sebetulnya bukan abonemen bulanan tapi membeli eceran setiap pagi.

Aha... ada berita dari BMKG di halaman belakang. Intinya, musim hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah ditunda bulan depan. Januari 2020 baru musim hujan.

Meskipun sudah turun hujan beberapa kali, intensitas dan keseringannya belum masuk kriteria musim hujan. Begitu penjelasan Herizal dari BMKG yang jadi narasumber Jawa Pos.

Waduh... musim hujan tertunda lagi. BMKG meleset lagi.

Bulan Oktober lalu, saya masih ingat, BMKG di Juanda, Sidoarjo, menyatakan musim hujan jatuh pada bulan November 2019. Minggu kedua atau ketiga. Beritanya dimuat besar-besar di koran. Lengkap dengan ilustrasi yang bagus.

Tapi, namanya juga ramalan, tidak selalu akurat. Mirip peramal-peramal nomor togel atau porkas yang biasanya mbeleset. BMKG kemudian merevisi prediksi musim hujan.

Apa boleh buat. Alam punya hukum sendiri. Ada saja misterinya meskipun manusia-manusia modern sudah bisa pigi jalan-jalan ke bulan.

Suhu pagi ini panas banget. Mungkin di atas 36. Nggowes sepeda lawas di kawasan tambak jadi gak asyik.

Yang pasti, musim hujan yang tertunda ini jadi berkah bagi para pedagang es tebu, es degan, es jus buah segar, dan sebagainya. Para petani yang mengandalkan air hujan pasti sangat menderita. Bisa paceklik.

Kamis, 12 Desember 2019

NTT Mestinya Nomor 1 Paling Toleran

Dulu saya sering menulis tentang toleransi dan kerja sama antarumat Katolik dan Islam di Flores Timur dan Lembata. Atau Flores dan NTT umumnya. Luar biasa! Orang Jawa atau Jakarta atau Sumatera pasti geleng-geleng kepala.

Kok bisa seerat itu?

Tidak pernah ada masalah atau benturan antara orang Katolik dan Islam di Lembata dan Flores Timur (Flotim). Di kampung halaman saya ini sekadar toleransi atau membiarkan atau menghormati (pasif) tidak cukup. Di sana masyarakat hidup guyub rukun tanpa melihat latar belakang agamamu.

Oh ya, daerah saya itu cuma ada 2 agama: Katolik dan Islam. Agama asli yang tidak punya nama (biasa saya sebut Lera Wulan) sudah tak punya penganut karena anak-anak dan cucu mereka masuk Katolik atau Islam. Ada satu dua yang konversi ke Protestan atau Pentakosta setelah menikah di luar NTT.

Tentu saja cerita saya tentang kerukunan hidup beragama di NTT sangat subjektif. Hanya berdasar pengalaman masih kecil saya di Lembata dan masa remaja saya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bukan hasil kajian ilmiah yang objektif.

Nah, akhirnya pagi ini Kementerian Agama RI merilis data tentang indeks kerukunan agama di 34 provinsi di Indonesia. Datanya sangat objektif dan terukur. Bukan cuma klaim subjektif seperti yang saya lakukan dulu di blog yang sudah almarhum itu.

Tapi saya tetap kaget karena Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya peringkat 2. Mestinya nomor 1 menurut saya. Peringkat 1 Papua Barat dengan nilai 82,1. NTT peringkat kedua dengan nilai 81,2.

Berikut data dari Kemenag, Desember 2018 :

1. Papua Barat 82,1
2. NTT 81,2
3. Bali 80,1
4. Sulawesi Utara 79,9
5. Maluku 79,9
6. Papua 79,0
7. Kalimantan Utara 78,0

17. Jawa Timur 73,7


27. DKI Jakarta 71,3
28. Jambi 70,7
29. NTB  70,4
30. Riau  69,3
31. Banten  68,9
32. Jawa Barat 68,5
33. Sumatera Barat 64,4
34. Aceh 60,2

Syukurlah... apa yang saya klaimkan selama 10 tahun terakhir beroleh konfirmasi langsung dari Kemenag RI. Bisa jadi ada sedikit masalah di NTT bagian selatan (Kupang dan sekitarnya) sehingga skor yang diperoleh NTT kalah oleh Papua Barat.

Seandainya sampel yang diambil hanya dari NTT Utara alias Flores, Lembata, Solor, Adonara, dan Alor, saya yakin NTT bisa dapat skor di atas 90.

Begitu banyak contoh kerja sama dan gotong royong antara umat Katolik dan Islam dalam berbagai hal. Masjid di Desa Napasabok Mawa misalnya dibangun ramai-ramai seluruh masyarakat desa. Baik yang Katolik maupun Islam. Penggagas pembangunan masjid justru Bapa Carolus Nimanuho, kepala desa saat itu.

Saya dan kawan-kawan yang masih SD pun ikut mengambil material batu dan pasir untuk pembangunan Masjid Nurul Jannah itu. Saat jadi tuan rumah Idul Fitri, semua warga pun ikut sibuk. Mempersiapkan pesta, sembelih kambing, untuk menjamu umat Islam satu kecamatan.

Di Lembata ada kebiasaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Paskah digilir antardesa. Semua warga, tak peduli agamanya, dengan gembira menerima umat Islam yang berlebaran. Besok siang makan enak bersama setelah umat Islam salat Id di lapangan desa.

Begitu pula perayaan Natal sebentar lagi. Saat ini skalanya tidak lagi satu kecamatan tapi sepertiga kecamatan. Umat Katolik dari 7 desa merayakan ekaristi atau misa kudus di salah satu gereja stasi (desa). Giliran setiap tahun.

Stasi atau desa yang jadi tuan rumah tentu saja "berkewajiban" untuk menjamu tamu-tamu dari 6 desa itu. Tentu saja perlu sembelih babi, kambing, kadang sapi untuk makan bersama. Jadi, Natal tidak melulu urusan liturgi atau ekaristi seperti di Jawa.

Nah, umat muslim di desa yang ketiban sampur jadi tuan rumah natalan ya ikut sibuk. Bahkan saya lihat mereka paling sibuk karena tidak ikut misa, bukan? Sibuk masak, menyiapkan tenda, meja kursi.. untuk tamu-tamu dari desa tetangga.

Selepas misa Natal pagi (bukan Malam Natal) langsung bersalaman di tenda yang sudah disediakan tuan rumah. Ngobrol, cerita ringan... dan makan besar alias pesta ala rakyat desa. Tidak ada heboh Santa Claus atau Sinterklaas di desa-desa di NTT.

Ini cuma contoh kecil betapa toleransi antarumat sudah menyatu dalam napas dan darah manusia-manusia sederhana di Bumi Lamaholot, Keuskupan Larantuka. Orang Lamaholot tidak perlu penataran P4 atau Pendidikan Moral Pancasila untuk melaksanakan toleransi antarumat beragama.

Makanya, orang Lamaholot yang merantau di Jawa atau Sumatera atau Kalimantan sering heran ada unjuk rasa menuntut gereja ditutup. Heran mendengar gereja disegel. Kaget melihat berita di TV acara sembahyang rosario di rumah warga dibubarkan dsb dsb.

Kembali ke data Kemenag RI. Saya perhatikan ternyata provinsi-provinsi yang tingkat toleransinya sangat tinggi berada di kawasan timur dan tengah. Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, Papua.

Dan... kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Ini cuma sekadar pembacaan data statistik kemenag.

Sebaliknya, Aceh yang sudah lama memberlakukan hukum syariat berada di nomor 34 alias juru kunci. DKI Jakarta yang orangnya pintar-pintar, modern, kosmopolitan, paling maju, paling wah... paling segalanya justru berada di nomor 27.

Saya masih optimistis NTT bakal jadi nomor 1 untuk urusan toleransi beragama kalau sampel yang diambil lebih banyak lagi.

Rabu, 11 Desember 2019

Saatnya Belum Tiba untuk Indonesia

Timnas Indonesia kalah lagi. Again again again again! Belum bisa dapat medali emas sepak bola SEA Games.

Indonesia U23 kalah 0-3 oleh Vietnam. Kalah segalanya. Fisik, taktik, mental, strategi. Apalagi setelah Evan Dimas, arek Suroboyo yang jadi motor serangan dibuat cedera berat. Harus keluar lapangan pada menit ke-20.

Suasana di warkop-warkop pun murung. Impian untuk meriah emas tingkat Asia Tenggara pun sirna. Sudah 28 tahun Indonesia tanpa medali emas sepak bola. Terakhir pada 1991 di Manila, di stadion yang sama.

Lumayanlah... dapat medali perak. Ketimbang timnas senior yang kalah kalah kalah 100%. Timnas U23 asuhan Indra Sjafri sebetulnya bagus di babak penyisihan dan semifinal. Tapi antiklimaks di final.

Pelatih Vietnam, Park Hangseo, saya lihat keras dan meledak-ledak. Memompakan semangat kepada para pemainnya untuk berperang. Semangat inilah yang menular ke anak-anak Vietnam. Mereka bisa bermain dengan nyaman dan enak.

Lantas, kapan Indonesia jadi juara sepak bola SEA Games atau Piala AFF? (Jangan mimpi juara Asia atau tembus Olimpiade atau Piala Dunia!)

Entahlah. "Semua itu atas izin Allah," kata Pelatih Indra yang sangat religius itu.

Saya jadi ingat kata-kata di kitab suci: "Ibu, panjenengan ngarsakaken punapa dhateng Kula? Dereng dumugi wekdal Kula."

Dereng dumugi wekdal.
Saatnya belum tiba.

Akan tiba saatnya timnas Indonesia jadi juara SEA Games atau Piala AFF!

Entah kapan.

Selasa, 10 Desember 2019

Konser Ke-93 Surabaya Symphony Orchestra

Sudah lama saya tidak mengikuti kegiatan konser Surabaya Symphony Orchestra (SSO) pimpinan Dr HC Solomon Tong. Orkestra ini biasa bikin konser besar 3 kali setahun di Surabaya. Konser Natal, Konser Paskah, dan Konser Kemerdekaan.

Rutinitas itu dilakukan Pak Tong sejak Desember 1996. Itulah konser perdana sekaligus hari lahir SSO. "Kota sebesar Surabaya harus punya symphony orchestra yang bagus," kata Solomon Tong kepada saya.

Biasanya pekan pertama bulan Desember SSO bikin konser Natal. Bagaimana dengan tahun 2019?

Apakah SSO masih punya energi?
Apakah Pak Tong masih semangat dan... sehat?

Asal tahu saja, Solomon Tong belum lama ini merayakan ulang tahun ke-80. Meskipun rajin olahraga, banyak berdoa, rajin bermusik, minum jamu-jamu Tiongkok, kondisi beliau tentu tidaklah sebugar saat berusia 70 atau 60 tahun.

Maka, saya pun iseng mengirim salam dan pertanyaan singkat via WA. Apa kabar Pak Tong? Selamat ulang tahun ke-80. Kapan SSO bikin Christmas Concert?

Tak sampai 5 menit, Bapak Solomon Tong menjawab.

"Terima kasih... saya baru ulang tahun ke 80, dan tgl 10 Desember ada konser SSO di Hotel Swissbell Jl. Manyar Kertoarjo No 100 jam 18.00. datang ya," tulis dirigen sekaligus pendiri SSO itu.

Luar biasa!

SSO ternyata masih eksis. Masih bikin konser musik klasik di akhir tahun. Pak Tong juga masih punya energi untuk membina orkestra yang sangat langka itu.

Hanya saja, tempatnya bukan lagi di Shangri-La atau Westin (sekarang jadi JW Marriott) atau Sheraton tapi di Swissbell. Hotel baru ini tentu tidak sementereng tiga hotel yang selalu jadi jujukan SSO itu.

Apakah pertimbangan biaya? Atau pertimbangan lain? Saya belum tanya.

Mbak Mimin, sekretaris SSO yang asal Waru, Sidoarjo, kemudian mengirim sedikit informasi tentang Christmas Concert 2019. Judulnya Glory to God. Tema yang cocok dengan visi dan misi Solomon Tong yang dikenal sebagai pendiri sejumlah gereja Tionghoa di Surabaya.

Wow... konser ke-93!

Ternyata SSO sudah 93 kali bikin konser besar di bawah pimpinan Solomon Tong. Artinya, setiap tahun SSO bikin 4,04 kali konser skala besar dan sedang. Belum termasuk konser-konser kecil yang sifatnya internal atau ditanggap sejumlah perusahaan.

Pak Tong juga memanfaatkan konser-konsernya untuk regenerasi pemusik, penyanyi, dirigen dsb. Karena itu, di semua konser SSO selalu ada penampil anak-anak, remaja belasan tahun, dewasa, hingga lansia.

Penyanyi lao ren itu biasanya dari Tiongkok. Bisa juga pengusaha atau pejabat yang doyan menyanyi. Salah satunya, dulu, Jenderal Pur Wiranto.

"Kita harus mengakomodasi banyak selera dan kepentingan," kata Pak Tong.

Resep itulah yang membuat SSO masih bertahan sampai sekarang. Masih bikin konser natal sekaligus merayakan ulang tahun ke-23.

Senin, 09 Desember 2019

Koran Quoji Ribao dan Qiandao Ribao Masih Diminati

Senin pagi 9 Desember 2019.

Saya masih melihat 2 koran berbahasa Tionghoa (Mandarin) di kawasan Pondok Candra, Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Masing-masing 4 eksemplar.

"Koran Mandarin itu untuk langganan. Mereka dari dulu setia baca koran Tionghoa," kata ibu pemilik kios koran.

Wanita itu keturunan Tionghoa tapi tidak bisa berbahasa Tionghoa. Apalagi membaca aksara Tionghoa yang antik itu. Sejak terbit pada awal 2000an, saat Gus Dur jadi Presiden RI, pelanggan dua koran Tionghoa tersebut stabil.

Beda dengan koran-koran cetak berbahasa Indonesia yang peminatnya turun tajam. Ibu itu mengaku tidak bisa mengambil banyak surat kabar pagi. Takut tidak laku. "Di belakang masih numpuk koran-koran lama," katanya.

Di Surabaya ada 2 koran harian berbahasa Tionghoa. Guoji Ribao yang tebal banget milik Dato Taher Mayapada dan Qiandao Ribao milik beberapa pengusaha Tionghoa Surabaya.

Porsi berita murni di 2 koran Tionghoa itu tidak banyak. Paling banyak berita-berita pesanan dari komunitas Tionghoa. Mirip album foto-foto perayaan ulang tahun, reuni, peluncuran produk dsb.

"Komunitas-komunitas Tionghoa itulah yang menghidupi koran. Sebab koran Tionghoa tidak bisa dijual kayak koran-koran biasa. Pasarnya kan sangat sempit," kata Sun, teman lama mantan wartawan media Tionghoa.

Sun juga bilang pembaca setia koran Tionghoa adalah para lao ren alias tiyang sepuh alias orang tua. Mereka memang butuh bacaan dengan aksara Tionghoa agar tidak lupa bahasa Tionghoa tulisan.

"Anak-anak muda jarang yang baca koran Tionghoa. Jangankan koran Tionghoa, koran-koran berbahasa Indonesia pun mereka jarang baca. Generasi milenial itu membaca media sosial dan HP," kata Sun yang tidak fasih bahasa Tionghoa.

"Bahasa Tionghoa itu kan baru diizinkan sejak Gus Dur jadi presiden. Otomatis generasi Tionghoa kelahiran masa Orde Baru tidak bisa bahasa Tionghoa. Mungkin ada beberapa yang bisa tapi tidak banyak," katanya.

Yan Shi, guru senior bahasa Tionghoa, jadi pengisi rubrik sastra di koran Qindao Ribao alias Harian Nusantara. Dia bilang kehadiran koran macam Qindao dan Guoji sangat penting untuk mengangkat kembali sastra Tionghoa yang sempat mati suri selama tiga dasawarsa.

Gara-gara ada koran Tionghoa, gairah Yan Shi menulis puisi, syair, dan cerita pakai bahasa Tionghoa melonjak tinggi. Nenek 80an tahun ini setiap hari menulis sastra Tionghoa untuk koran dan bikin buku.

Sudah ada 5 atau 7 buku yang diterbitkan Ibu Yan Shi. Tulisan itu awet, katanya. Beda dengan omongan yang cepat hilang terbawa angin. Dan cepat dilupakan orang.

Membaca dan menulis aksara Tionghoa juga membuat para lao ren tidak cepat pikun.

Minggu, 08 Desember 2019

Gregorius Soeharsojo Goenito Seniman Eks Pulau Buru


Usianya 83 tahun. Namun, Gregorius Soeharsojo Goenito masih akrab dengan kanvas, cat, kertas, dan tinta. Bahkan, belakangan ini pria yang akrab disapa Greg atau Harsojo itu juga rajin menulis puisi dan cerita tentang pengalaman hidupnya di Pulau Buru, Maluku, dan mengikuti diskusi politik di radio dan televisi.

Ketika ditemui di rumahnya, kawasan Trosobo, Taman, Sidoarjo, Pak Greg itu sedang sibuk membongkar dokumentasi sketsa-sketsa lamanya yang disimpan di beberapa map. Ada pula foto-foto berusia puluhan tahun yang sudah tidak jelas lagi gambarnya.

 Namun, pria kelahiran Madiun, 10 Februari 1936, ini masih ingat nama-nama kawan seperjuangannya di Pulau Buru, Maluku. Pulau tempat pembuangan sekitar 10 ribu sampai 12 ribu tahanan politik aliran kiri yang dianggap pendukung Bung Karno dan Nasakom.

"Sebagian besar sudah tidak ada lagi di dunia ini. Makanya, saya sangat bersyukur kepada Gusti Allah yang masih memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati hidup. Ini merupakan berkah yang luar biasa," kata Greg.

Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Soeharsojo Goenito di rumahnya di Desa Beringinbendo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Apa kegiatan Anda sekarang?

Sama seperti dulu. Membuat sketsa, melukis, bikin puisi, ya, kumpul dengan teman-teman. Sekarang saya hampir selalu di rumah karena tenaga saya sudah sangat kurang, namanya juga tiyang sepuh. Tapi saya merasa masih punya banyak energi untuk melanjutkan perjuangan ini.

Perjuangan apa?

Yah, macam-macamlah, perjuangan di bidang kesenian karena saya kan seniman. Saya ingin agar di era reformasi ini bangsa kita bisa belajar dari sejarah. Jangan sampai kita terjatuh dalam lubang yang sama. Sebagai orang yang sudah tua, saya sedih karena korupsi kok kayaknya makin menjadi-jadi di tanah air kita. Itu kan bertentangan dengan tujuan reformasi.

Para mahasiswa dulu pada tahun 1998 berunjuk rasa di mana-mana untuk menjatuhkan rezim Orde Baru karena dianggap KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Lha, kok sekarang KKN itu malah makin banyak. Ini artinya kita tidak belajar dari sejarah. Kesannya seperti meniru KKN yang dilakukan oleh Orde Baru.

Sekarang kan sudah banyak koruptor yang ditangkap KPK?

Tapi koruptornya malah tidak takut sama KPK. Setiap hari kita melihat televisi, membaca koran, kasus korupsi terjadi di mana-mana. Dan itu sangat memprihatinkan.

Anda belum lama ini menerbitkan buku memoar berisi sketsa-sketsa di Pulau Buru. Prosesnya bagaimana?

Saya menyiapkan bahan-bahan dan menyusun naskah selama lima tahun lebih. Revisi berkali-kali agar informasinya lebih menarik dan akurat. Soalnya, buku itu kalau sudah dicetak sulit direvisi.

Ide buku itu dari mana?

Justru dari orang Amerika Serikat, Dr Janet Steele, profesor dari George Washington University. Suatu ketika Bu Janet mengunjungi saya di rumah ini. Dia terkejut ketika koleksi sketsa saya tentang Pulau Buru begitu banyak, hanya menumpuk di map. Prof Janet Steele mendorong saya untuk segera membukukan sketsa-sketsa itu agar bisa dinikmati oleh orang banyak.

Kemudian ide dari Janet Steele ini juga direspons positif oleh teman-teman di Jogjakarta. Nah, sejak itulah saya mulai serius untuk menyusun sebuah buku kenangan dari Pulau Buru. Buku itu saya kasih judul Tiada Jalan Bertabur Bunga.

Buku itu isinya semacam kumpulan skesta Anda semasa berada di Pulau Buru?

Yah, semacam itulah. Sketsa-sketsa itu saya beri catatan dan keterangan singkat. Sehingga pembaca bisa mengetahui latar belakang dan konteks sebuah peristiwa atau objek yang saya bikin di sketsa tersebut.

Dan, jangan lupa, sketsa-sketsa itu asli dibuat di Pulau Buru, bukan baru dibuat setelah kami dipulangkan ke Jawa. Jadi, ini semacam catatan sejarah dalam bentuk gambar, bukan sekadar naskah atau tulisan. Kalau almarhum Pramoedya Ananta Tour membuat catatan pengalaman di Pulau Buru dalam bentuk novel dan esai, saya bikin dalam bentuk sketsa.

Biasanya sebagian besar orang sengaja melupakan pengalaman yang buruk. Mengapa Anda kok malah membeberkan pengalaman selama dibuang di Pulau Buru?

Ini persoalan sejarah bangsa kita Bung! Bung Karno mengatakan Jas Merah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Apa yang sudah terjadi pada masa lalu, seperti saya dan teman-teman alami di Pulau Buru, hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda, anak cucu kita. Supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh generasi terdahulu.

Apakah Anda punya dendam sejarah karena berada di pihak korban?

Sama sekali tidak ada dendam. Buat apa? Saya dari dulu sangat rileks, biasa-biasa saja. Kalau dendam, sakit hati, saya bisa stres berat. Dan, mungkin saya sudah lama tidak ada di dunia ini. Saya justru bersyukur kepada Tuhan karena diberi usia yang panjang, sementara sebagian besar teman saya sudah tidak ada lagi.

Saya bersyukur diberi kesempatan untuk hidup di era reformasi, sementara banyak teman saya yang sudah meninggal dunia pada tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka tidak sempat menikmati udara reformasi. Mereka tidak bisa menyaksikan rezim Orde Baru yang dulu sangat berkuasa dan ditakuti itu ternyata bisa ambruk juga. Makanya, sebagai orang tua yang pernah menjadi korban Orde Baru, saya hanya bisa mengingatkan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan di masa lalu.

Ngomong-ngomong, apakah Anda masih punya keinginan untuk pameran?

Jelas dong. Saya malah ingin mengadakan pameran tunggal. Sebab, banyak sekali karya saya tentang Pulau Buru yang belum diketahui masyarakat.

Oh ya, apa resep umur panjang dan tetap sehat di usia senja?

Selalu optimis, berpikir positif. Kalau punya masalah, silakan berkarya, melukis, membuat puisi, bernyanyi, olahraga. Jangan suka memanjakan tubuh. Sebaiknya kita lebih sering jalan kaki atau naik sepeda pancal daripada naik motor atau mobil. Olahraga juga bisa dilakukan dengan menyapu halaman, berkebun, atau menyiram bunga. Makanya, saya ini kelihatan seperti lebih muda 20 tahun. Hehehehe..... (*)



Satu Barak dengan Pramoedya

Selama sepuluh tahun (1969-1979) Soeharsojo Goenito menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. Meski 'hanya' satu dasawarsa di sana, kenangannya akan Buru tak pernah hilang dari ingatannya. Dia masih ingat nama-nama rekannya yang tinggal di barak berukuran 10 x 25 meter.

"Satu barak berisi 14 tahanan. Salah satu teman saya satu barak adalah Pramoedya Ananta Tour," tutur Gregorius Suharsojo.

Pramoedya, novelis besar yang menulis tertralogi Pulau Buru itu, digambarkan Greg sebagai seniman yang sangat tegas pada pendirian dan punya disiplin tinggi. Dia menjadi inspirasi bagi seniman lain agar terus berkarya meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas. Itu pula yang mendorong Greg rajin membuat sketsa selama berada di pulau pembuangan itu.

Nah, goresan sketsa-sketsa yang dibuat di Pulau Buru itu kemudian dilukis ulang ketika ayah empat anak ini sudah kembali ke Jawa. Lukisan-lukisan Greg didominasi warna biru laut dan hijau.

 "Itu warna alam di sana yang masih saya ingat sampai sekarang," katanya.

Bukan hanya penulis, penyair, atau pelukis, sejumlah seniman musik dan teater pun rajin berkarya selama berada di Pulau Buru. Mereka mengajak teman-temannya bernyanyi bersama atau berlatih sandiwara untuk dipentaskan di sebuah aula yang cukup bagus.

"Waktu itu kesenian memang cukup hidup di sana. Berkesenian itu membuat kami bisa mengisi hari-hari kami dengan gembira dan optimis," katanya.

Gencarnya tekanan dari dunia internasional dan aktivis hak asasi manusia, proyek Instalasi Rehabilitasi alias Inrehab di Pulau Buru ini pun akhirnya ditutup. Dan, pada 12 November 1979 rombongan terakhir tapol meninggalkan Pulau Buru, termasuk di dalamnya Pramoedya Ananta Tour.

"Sayang, Pram sudah lebih dulu meninggalkan kita sebelum mendapat Hadiah Nobel kesusastraan. Pram itu sastrawan terbesar kita yang diakui dunia, tapi dibuang ke Buru," kata Greg. (rek)



CV SINGKAT

Nama : Gregorius Soeharsojo Goenito
Lahir : Madiun, 10 Februari 1936
Alamat : Trosobo, Taman Sidoarjo

Pendidikan :

- Sekolah Rakyat Taman Siswa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Dewasa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Madya, Madiun
- Akademi Administrasi Perusahaan Veteran, Surabaya


Perjalanan Karier :
- Bergabung di Sanggar Tunas Muda, Madiun, dibawah bimbingan pelukis Sediyono, Soenindya dan Kartono, 1952.
- Bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 1963-1965.
- Diasingkan bersama para seniman Lekra lainnya ke Pulau Buru, Maluku, 1969.
- Kembali ke Jawa, menetap di Surabaya, 1978.
- Pameran Bersama Bunga Rampai Pelukis Lekra di Galeri Surabaya, 2005.
- Pameran Tunggal Memoar Pulau Buru di Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.
- Menyusun buku Tiada Jalan Bertabur Bunga.

Kamis, 05 Desember 2019

Tak Akan Ada Lagi Ir Ciputra


Tak akan ada lagi orang seperti Ir Ciputra (1931-2019).

Kamis ini 5 Desember 2019 jenazah Pak Ci diantar menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

Orang super istimewa macam Ciputra belum tentu hadir dalam satu abad. Kalaupun ada kalibernya di bawah Pak Ci. Ibarat tinju, Ciputra itu bukan lagi petinju kelas berat, tapi di atasnya.

Dulu, kali pertama ke Surabaya, saya sempat lewat di kawasan Surabaya Barat. Daerah Lidah, Sambikerep dan sekitarnya. Suasananya benar-benar khas desa. Sawah yang luas. Rumah-rumah gedeg sederhana.

Kendaraan bermotor pun belum banyak. Belum ada lampu penerangan jalan. Lebih parah dibandingkan kampung di NTT saat ini.

Siapa sangka kalau kawasan yang dulu dibilang tempat jin buang anak itu sekarang jadi Citraland Surabaya. Suasananya sudah mirip kota-kota modern di luar negeri. Citraland pun jadi kawasan paling elite di Kota Surabaya.

Minggu lalu saya mampir ke daerah Beringinbendo, Sidoarjo. Ngopi dan ngobrol sama Gregorius Suharsojo, seniman lukis dan musik eks buangan di Pulau Buru. Pak Greg cerita banyak hal tentang Lekra, genjer-genjer hingga lagu Nasakom Bersatu.

"Saya dekat sama Pak Subronto Kusumo Atmojo. Komponis hebat yang menciptakan lagu Nasakom Bersatu dan lagu-lagu terkenal tahun 1960an," katanya.

Pak Greg tak lupa menyanyi dan membirama layaknya dirigen paduan suara. "Harus tegas. Jangan kayak orang menari. Ini lagu mars. Begitu yang diajarkan Pak Subronto," kata pria 83 tahun ini.

Saya menyimak lagu lawas yang dilarang Orde Baru itu. Lalu memandang perumahan mewah tak jauh dari rumah Pak Greg. Citra Harmoni Sidoarjo. Banyak patung yang sangat indah. Ada patung kuda yang terasa istimewa.

"Itu karya seni yang luar biasa. Ciputra rupanya seorang penikmat seni kelas tinggi. Makanya perumahan-perumahannya selalu ada sentuhan seni," kata Greg.

Selain Citra Harmoni, di Sidoarjo ada Citra Garden dan Citra Indah. Tidak seelite Citraland di Surabaya. Tapi tata lokasi, tata taman, tata rumah, dan tata-tata lain sangat khas Ciputra. Sedap dipandang mata.

Pak Ci telah meninggalkan warisan yang sangat berharga. Bukan hanya untuk anak cucu, keluarga besar dan perusahaan-perusahaannya, tapi juga untuk Indonesia.

"Tidak akan ada lagi orang seperti Ciputra," kata Dahlan Iskan.

Selamat jalan Pak Ci!
Selamat berbahagia bersama-Nya!

Rabu, 04 Desember 2019

Shalat Salat vs Sembeang Sembahyang



Shalat atau salat?
Sholat atau solat?

Masih banyak versi di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sudah lama pakai salat. Kamus yang lama juga salat. Tapi masih banyak orang Indonesia yang menulis atau mengucap shalat atau sholat (pakai h).

Koran-koran atau media cetak juga tidak seragam. Ratusan media Grup Jawa Pos sejak dulu pakai salat. Sebaliknya, Kompas dan koran-koran kelompoknya pakai shalat.

Kompas juga pakai hektar. Padahal KBBI pakai hektare.

Koran-koran memang tidak selalu ikut kamus resmi. Sebab tim editor bahasa media sering berbeda pandangan dengan pakar-pakar di Badan Bahasa dan KBBI.

Yang menarik, Kementerian Agama rupanya tidak sreg dengan salat. Maka kemenag mengusulkan agar salat diganti shalat. Alquran yang serapan diganti Al-Qur'an yang transliterasi bahasa Arab.

Tim ahli Badan Bahasa menerima usulan Al-Qur'an tapi menolak shalat. Sehingga kata baku bahasa Indonesia tetap salat. Silakan Kemenang, Kompas, dan pihak lain menggunakan shalat atau sholat.

Di pelosok NTT, kampung asal saya, umat Islam yang berbahasa Lamaholot di Kabupaten Flores Timur dan Lembata tidak biasa menyebut shalat atau salat atau sholat atau solat. Sehari-hari saudara-saudari muslim menggunakan kata SEMBEANG atau SEMBAHYANG.

"Mo tobo tepi, go sembeang ki," kata Mama Siti Manuk, bibi saya yang muslimah tulen, adik kandung mendiang ibunda saya. Artinya, Anda duduk sebentar, saya sembahyang (salat) dulu.

Kata sembeang hanya dipakai dalam konteks salat atau doa umat Islam di bumi Lamaholot. Umat Katolik di Lamaholot menggunakan kata sembahyang untuk misa atau ekaristi atau ibadat sabda tanpa imam. Kata sembeang dan sembahyang ini asalnya sama-sama sembahyang.

Pagi ini saya perhatikan sebuah foto menarik di koran Jawa Pos. Ada tulisan besar di proyek Teluk Lamong, Surabaya. UTAMAKAN SHOLAT DAN KESELAMATAN KERJA.

Pesannya bagus. Seberat-beratnya kerja proyek, kuli bangunan, sholat atau solat atau shalat atau salat tetap yang paling utama. Kuli-kuli dari Tiongkok yang ateis ya tidak perlu salat.

Bahasa Lamaholotnya:
AKE LUPANG SEMBEANG (SEMBAHYANG)!

Selasa, 03 Desember 2019

Alquran atau Al-Qur'an?


Minggu lalu Badan Bahasa merevisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Juga menambah lema-lema baru di senarai dalam jaring (jaring). Tentu saja KBBI Luring alias buku cetak belum bisa direvisi segera karena prosesnya panjang. Biaya cetak juga mahal.

Yang mengagetkan adalah Badan Bahasa mengakomodasi beberapa usulan Kementerian Agama soal kata-kata serapan dari bahasa Arab. Kata-kata itu sudah lama mengindonesia. Tapi bagi Kemenag dan sejumlah ormas dan aktivis Islam dianggap kurang pas.

Maka, atas permintaan Kemenag RI, Badan Bahasa mengubah ejaan enam kata serapan bahasa Arab. Enam kata itu:

1. Alquran → Al-Qur'an 
2. Baitulmakdis → Baitulmaqdis
3. Kakbah → Ka'bah 
4. Lailatulkadar → Lailatulqadar
5. Masjidilaksa → Masjidilaqsa
6. Rohulkudus → Ruhulkudus

Sebagai pengguna bahasa Indonesia sekaligus penyunting, saya tidak sepakat dengan perubahan Alquran menjadi Al-Qur'an dan Kakbah menjadi Kabah. Kalau penggunaan huruf 1 dalam Lailatulqadar dan Masjidilaqsa sih boleh saja.

Sudah lama isu ini dipersoalkan. Sangat sensitif karena menyangkut agama Islam. Tapi ini bukan masalah teologi atau doktrin agama. Ini masalah kata serapan dari bahasa asing. Khususnya bahasa Arab yang jadi rujukan Kemenag itu.

Rupanya banyak pihak di Indonesia yang gagal paham tentang kaidah penyerapan kata asing. Mereka tidak bisa membedakan kata serapan dan transliterasi.

Al-Qur'an itu transliterasi. Kata ini jelas bahasa Arab yang ditulis dengan aksara Latin. Karena itu, perlu bantuan apostrof atau koma ain.

Kalau diserap dalam bahasa Indonesia, maka kaidah fonetik bahasa Indonesia yang berlaku. Al-Qur'an yang bahasa Arab menjadi Alquran yang bahasa Indonesia. Sederhana. Tanpa apostrof.

Begitu pula Ka'bah jadi Kakbah, Jum'at jadi Jumat, ni'mat jadi nikmat, ma'ruf jadi makruf, dsb.

Kalau kata Alquran dan Kakbah yang sudah puluhan tahun jadi penghuni KBBI dikembalikan ke Al-Qu'ran dan Ka'bah maka kita mundur jauh ke belakang. Kembali ke kata asli alias hanya transliterasi atau cuma mengubah aksara Arab menjadi bahasa Latin.

Rupanya kegalauan saya ternyata dirasakan sejumlah pembina bahasa Indonesia di Jawa Timur. Seorang pakar bahasa Indonesia menulis begini:

 "Semestinya kalau Kemenag mau menulis Alquran dan Kakbah dengan Al-Qur'an dan Ka'bah ya silakan saja mengacu pada pedoman transliterasi. Namun, kalau ejaan kemudian ikut ditundukkan, itu berarti kembali ke masa lalu alias mundur. 

Penggunaan apostrof sebagai pengganti bunyi glotal tentu bertabrakan dengan PUEBI. Masyarakat baru saja paham bahwa Jum'at harus ditulis Jumat, eh tiba-tiba kebijakannya lentur."

Selasa pagi ini, 3 Desember 2019, saya baca Jawa Pos di warkop dekat Bandara Juanda. Ada kalimat berbunyi: "... dai diwajibkan fasih membaca Alquran dan memiliki wawasan Islam wasathiyah atau moderat."

Syukurlah, Jawa Pos masih taat asas dengan kaidah bahasa Indonesia sesuai dengan PUEBI dan KBBI yang lama. Bukan Al-Qur'an melainkan Alquran.

Saya pun menghubungi Mas Andri, koordinator editor bahasa Jawa Pos. Saya anggap Mas Andri ini yang paling paham kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang benar.

Apakah Grup Jawa Pos akan menyesuaikan diri dengan keinginan Kemenag dan KBBI yang baru?

 "Kami belum mengikuti perubahan itu Mas. Masih pakai kesepakatan sebelumnya," jawab Mas Andri.

Sepakat!

Penggunaan apostrof membuat bahasa Indonesia tidak sederhana lagi. Kata-kata bahasa Indonesia seharusnya bebas dari apostrof. Bahasa Indonesia sering dipuji orang asing justru karena kesederhanaannya itu.

Minggu, 01 Desember 2019

Kolekte vs Nyawer Artis



Misa di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo, baru saja usai. Minggu Pertama Adven. Persiapan jelang Natal. Paternya asal Flores, sudah pasti SVD, tak tahu namanya. Mungkin romo tamu.

Saya tidak fokus ke homili tentang Nuh dan sebagainya. Entah mengapa, kali ini saya tertarik ke kolekte. Sumbangan sukarela ke kotak atau kantong kain. Nilainya terserah. Ada yang masukkan 100, 50, 20, 10, bahkan 2000an.

Tidak apa-apa menyumbang sedikit. Lama-lama jadi bukit, bukan? Kolekte ini berbeda dengan persembahan 10% alias perpuluhan di gereja-gereja yang bukan katolik.

Giliran kantong warna ungu itu sampai ke tangan saya. Kudu nyumbang. Berapa pun nilainya? bisik hati kecilku. Uang merah atau biru atau 20?

Akhirnya saya masukkan susu tante alias sumbangan sukarela tanpa tekanan ke kantong kolekte. Suara hati berbisik lagi, kok lebih sedikit ketimbang nyawer penyanyi dangdut koplo? Kok berat banget nyawer gereja?

Gereja kan sudah banyak yang nyumbang? Artis koplo dan pemain keyboard itu kan jarang dapat job akhir-akhir ini. Begitu suara hati berbisik lagi.

Jadi malu memang kalau membandingkan nyawer artis dan nyawer gereja alias kolekte. Mestinya sumbangan untuk gereja lebih besar daripada kasih saweran ke penyanyi. Gak nyawer pun gak apa-apa. Gak kolekte pun gak papa.

Minggu lalu ada bacaan tentang persembahan seorang janda miskin di tempat ibadah. Duit yang dimasukkan ke dalam kotak amal hanya beberapa sen. Tapi Yesus bilang saweran, eh.. sumbangan janda miskin itu jauh lebih besar ketimbangan persembahan orang kaya.

Markus 12 : 43-44

Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka:

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.

Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

Rabu, 27 November 2019

Sing Hallelujah to TheLord di Hongkong

Apa kabar Hongkong?
Apa masih unjuk rasa?
Demo ribuan orang memprotes kebijakan pemerintah?

James Chu, seniman musik keroncong dan campursari, warga negara HK, tidak menjawab. Pak Chu malah kirim rekaman terbarunya. Lagu Rayuan Kelapa dalam bahasa Mandarin.

"Kita ingin mempererat hubungan antara Indonesia dan Tiongkok. Penyanyinya cakep lho," kata Chu.

Pengusaha ini lahir di Banyuwangi, sekolah di Surabaya, kemudian terusir gara-gara PP 10 bersama ribuan warga Tionghoa lainnya. Lama di Wuhan dan beberapa daerah di Tiongkok, James Chu kemudian menetap di HK. Buka usaha dan sukses. Tapi hobi musiknya tidak mati. Malah tambah gila aja.

Sebetulnya saya mau bertanya mengapa massa di HK selalu menyanyi Sing Hallelujah to The Lord saat unjuk rasa. Memangnya banyak warga HK yang Kristen? Kenapa lagu pujian kepada Tuhan itu dijadikan sarana untuk memprotes pemerintah?

James Chu gak mau ngurus yang ada bau politiknya. Chu hanya fokus ke musik dan bisnis. "Itu urusan mereka. Kita bahasa keroncong aja," katanya. Saya yang malas bahas keroncong. Musik lawas yang sudah lama meranggas di Indonesia.

Saya justru dapat jawaban dari Mr Yu, mantan menteri yang juga mantan bosku. Kebetulan Mr Yu sangat sering ke Tiongkok. Tentu saja mampir juga ke HK yang masih satu negara itu.

Mr Yu menulis:

"Kristen-Katolik merupakan agama dari 15 persen penduduk Hongkong. Sebagian lain Buddha, Konghuchu dan agama-agama kecil. Sebagian besar lagi agama mereka uang. Tuhannya angka-angka."

Wkwkwkwk... cerita berbalut humor khas Yu Xianshen.

"Pemimpin tertinggi Hongkong sendiri, Carrie Lam, juga Katolik. Tokoh-tokoh gereja juga pernah bertemu Lam. Untuk menyampaikan komplain atas kekerasan yang dilakukan polisi. Tapi Lam saat itu menjawab: mengapa gereja tidak mengecam kekerasan yang dilakukan pendemo. Belakangan polisi tidak begitu peduli lagi. Polisi mulai berani masuk gereja. Mengejar pendemo yang menyelamatkan diri ke gereja," tulis Yu.

Yang pasti, saya tidak ingin membahas agama uang dan tuhannya angka-angka. Apalagi doktrin, rukun iman, liturgi dsb. Terlalu ruwet.

Saya cuma ingat Sing Hallelujah to The Lorld!

Lagu ini sangat populer di kalangan para ekspatriat Filipina di Surabaya. Selalu dinyanyikan setiap Sunday Mass di Gereja Katolik Redemptor Mundi, Jalan Dukuh Kupang Surabaya. Satu-satunya Gereja Katolik di Surabaya, mungkin Jawa Timur, yang mengadakan misa berbahasa Inggris setiap Minggu pagi.

Dulu saya sering ikut Sunday Mass itu. Sekalian belajar bahasa Inggris dengan orang Filipina, Amerika, Australia dsb. Semuanya kumpul di sini. Dan sangat menghayati lagu Sing Hallelujah to The Lord.

"Itu biasa kami nyanyikan di Filipina," kata Emilio. "Kami juga biasa nyanyi di Australia," kata perempuan kulit putih.

Di Indonesia setahu saya tidak ada lagu itu di gereja. Setidaknya di semua paroki yang ada di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Nuansanya lebih ke PDKK alias Persekutuan Doa Karismatik Katolik.

Sudah 2 tahunan saya tidak lagi misa bahasa Inggris di Surabaya. Cukup misa bahasa Indonesia dan sesekali bahasa Jawa. Sayang tidak ada misa bahasa Latin. Suasana misa bahasa Inggris alias Sunday Mass rasanya terlalu meriah, gitaran, tamborin, tepuk tangan ala karismatik.

Maka, saya lupa lagu Sing Hallelujah to The Lord. Belakangan teringat lagi setelah membaca tulisan Yu Xiansheng di laman pribadinya. Bahwa Sing Hallelujah ternyata jadi lagu kebangsaan para pengunjuk rasa di Hong Kong.

Selasa, 26 November 2019

Generasi Milenial vs Generasi Kolonial

Istilah milenial sangat populer sejak 5 tahun lalu. Acara-acara dilabeli milenial milenial milenial. Jalan sehat milenial. Parade musik milenial. Belakangan pejabat milenial macam Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.

Minggu lalu Presiden Jokowi mengangkat staf khusus yang milenial karena usia mereka relatif muda. Rata-rata masih kepala tiga.

Menurut saya, yang benar-benar generasi milenial ya mereka yang lahir mulai tahun 2000. Milenium baru. Generasi yang tidak kenal mesin ketik. Tidak menikmati musik lewat kaset dan tape recorder. Jarang baca koran atau media cetak.

Selasa pagi, 26 November 2019, seperti biasa, saya nggowes sepada lawas. Khas generasi lawas. Entah mengapa saya lebih suka sepeda keluaran di bawah 1980an ketimbang sepeda-sepeda milenial produksi Sidoarjo yang sangat terkenal itu. Sepeda milenialku malah saya pinjamkan dan (kayaknya) tidak akan kembali.

Setelah mengayuh 30an menit, kecepatan rendah, mampirlah di warkop. Baca koran pagi. Sebagian besar warkop di Surabaya dan Sidoarjo memang berlanggan Jawa Pos. Peminat surat kabar cetak masih banyak. Ada juga beberapa anak milenial yang suka baca koran.

Ada judul menarik. Tidak Ada Milenial, Hanya Kolonial.

Ini karena 8 staf khusus Wapres KH Maruf Amin bukan generasi milenial. Tidak ada yang di bawah 40 tahun. "Karena Kiai dari generasi kolonial, ya banyak yang kolonial lah," kata Masduki staf khusus Wapres Maruf Amin.

Generasi kolonial.

Istilah yang sangat menarik. Generasi yang lahir pada masa kolonial. Alias sebelum tahun 1945. Di masa Orde Baru generasi kolonial ini biasa disebut angkatan 1945. Angkatan (generasi) yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam perjuangan fisik untuk kemerdekaan.

Generasi kolonial itu sebenarnya mereka yang lahir sebelum 1950. Sebab faktanya kolonial Belanda masih bercokol di Indonesia sampai 27 Desember 1949. Indonesia baru benar-benar bebas merdeka dari Kerajaan Belanda pada 1 Januari 1950.

Suka tidak suka, generasi kolonial ini sangat tangguh. Wapres Maruf Amin 76 tahun, jelas generasi kolonial. Orang-orang yang berusia di atas 70 tahun pun masih banyak yang mengurus partai politik, ormas, dan sebagainya.

Di luar negeri generasi kolonial juga banyak. PM Malaysia Mahathir 94 tahun. Tun M ini hebat banget. Di usia yang mendekati satu abad omongannya tetap kritis, tajam, dan jernih. Saya sering mengikuti pidatonya yang berisi otokritik terhadap etnis Melayu kaumnya sendiri.

Usia Prabowo 68 tahun. Bisa dibilang generasi kolonial juga. Ia masih punya kesempatan untuk nyapres lima tahun lagi. Apalagi sekarang ia dapat kesempatan "magang" sebagai menteri pertahanan.

Sabtu, 23 November 2019

Taruhan Hujan Tidak Dibayar

Apa saja bisa dibuat taruhan di Jawa. Yang paling populer tebak skor sepak bola. Saya sering menang kalau tebak skor Liga 1. Khususnya Persebaya atau Arema.

Lima hari ini langit mendung di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Tepatnya di kawasan Gununganyar Rungkut. "Nanti hujan gak," tanya saya ke Mbak Min pedagang rujak cingur langganan saya.

"Hujan," tegasnya. "Ini mendung banget. Aku kok yakin hujan."

"Gak mungkin hujan," kata saya enteng-entengan.

"Hujan.. hujaaan," kata mbak yang aslinya dari wilayah kulonan (barat) karena sering boso halus itu.

Akhirnya, saya tantang dia taruhan. Kecilan-kecilan aja. Kalau saya menang, rujak cingurnya gratis. Kalau kalah ya saya kasih duit seharga rujak itu.

Langit makin mendung. Ongkep. Banyak warga sambat di Suara Surabaya dan media sosial. Ada juga yang tanya BMKG kapan hujan di Surabaya. Memangnya BMKG itu panitia persiapan kedatangan sang hujan?

Makin siang awan gelap hilang. Diganti panas terik khas kota buaya. Bunga tabebuya bermekaran sangat indah tapi suhunya seperti di Sahara, tulis salah satu warga di medsos Suara Surabaya.

Tengah hari doa malaikat alias angelus. Saya selipkan doa minta hujan. Meskipun saya kehilangan uang 15 ribu karena kalah taruhan sama mbak rujak itu.

Rupanya Sang Khalik belum merestui doa-doa orang Surabaya yang minta hujan. Belum saatnya. Cepat atau lambat akan datang hujan. Bisa awal Desember, bisa juga akhir tahun.

Dua hari kemudian saya mampir ke warung itu. Pesan kopi, rujak, baca koran Jawa Pos seperti biasa. "Surabaya kok belum hujan ya?"

Mbak tertawa kecil. Lalu membuatkan kopi racikan plus gula satu sendok biar terasa agak pahit. Hidup memang ada manis pahitnya. Maka kopi tidak boleh terlalu manis kayak kopi sasetan Kapal Api atau Tora Biko itu.

Berita koran pagi ini tentang Ahok. Mantan gubernur Jakarta itu diangkat jadi komisaris utama Pertamina. Ada gambar Ahok lagi pegang selang bensin kayak di SPBU.

Mendekati pukul 07.00 hawa terasa terik seperti biasa. Awan mendung tak ada. Mbak itu lupa kalau dia kalah taruhan. Saya tetap bayar kopi dan rujak.

Judi itu bikin sengsara, kata Rhoma Irama.

Selasa, 19 November 2019

Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris

Orang Indonesia selayaknya bangga dengan bahasa Indonesia. Sayang, masih banyak ditemukan tulisan-tulisan berbahasa asing di ruang publik. Nama-nama kegiatan pun banyak yang menggunakan bahasa Inggris.

"Identitas keindonesian kita, ya, salah satunya dilihat dari penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik," kata Kepala Balai Bahasa Mustakim di depan 30-an redaktur media cetak dan elektronik di Surabaya belum lama ini.

Dia kemudian mencontohkan penggunaan bahasa Inggris yang makin lama makin masif. Mulai dari nama-nama acara atau kegiatan, nama perumahan, hingga tulisan di pintu atau keset.

"Boleh pakai kata bahasa Inggris, tapi harus ada bahasa Indonesianya. Dan, kata bahasa Indonesianya harus lebih besar. Kata dorong ditulis di atas dengan ukuran lebih besar daripada push," katanya.

Selain masyarakat biasa, menurut Mustakim, masih ada instansi pemerintah yang menamakannya kegiatannya dalam bahasa Inggris. Padahal, sudah ada undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia.

Menurut Mustakim, saat ini ada sekitar 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Paling banyak di Australia dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia punya potensi menjadi bahasa internasional.

"Kalau orang asing saja mau mempelajari bahasa Indonesia, mengapa kita tidak memartabatkan bahasa Indonesia di dalam negeri," kata pria yang berkantor di Desa Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, itu.

Senada dengan Mustakim, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Prof Dr Suyatno juga prihatin dengan maraknya penggunaan bahasa asing dan bahasa gado-gado Indonesia dan Inggris di ruang publik. Hal itu sudah berlangsung lama sehingga dianggap biasa saja. "Masyarakat sepertinya sudah imun," katanya.

Tak lupa Suyanto memperlihatkan beberapa foto tentang penggunaan bahasa yang amburadul untuk iklan hingga ucapan selamat datang. Belum lagi tulisan alay yang sulit dibaca karena menggabungkan huruf dan angka.

Prof Suyanto optimistis suatu saat bahasa Indonesia jadi bahasa internasional keenam. Sebab bahasa Indonesia memenuhi hampir semua syarat sebagai bahasa antarbangsa. Mulai dari penuturnya yang ratusan juta hingga tata bahasa dan sistem fonetiknya yang ilmiah.

Bahasa Indonesia juga menggunakan aksara Latin sehingga sangat mudah dipelajari orang asing. Beda dengan bahasa Mandarin atau Thailand atau Vietnam atau Arab atau India yang aksaranya sangat rumit.

Sabtu, 16 November 2019

Jadi Ingat 10 Program PKK


Saya lagi ngopi di sebuah warkop di pinggir jalan raya. Daerah Pandaan, Kabupaten Pasuruan. Di sebelahnya ada tulisan 10 program PKK. Masih ingat?

Saya sudah lupa. Di zaman Orde Baru PKK jadi salah satu program pemerintah sampai ke kampung-kampung. Bahkan kata PKK dan KB ditulis besar-besar di tembok dan atap rumah.
Setelah Orde Baru jatuh, PKK juga ikut tenggelam. Sebab PKK dianggap mendomestifikasi kaum perempuan. Seakan-akan para wanita atau ibu-ibu tidak boleh berkarir di luar rumah. Cukup jadi ibu rumah tangga saja.

Saya perhatikan 10 program PKK secara saksama. Ternyata masih relevan dengan kondisi sekarang. Nomor 1 Pancasila. Ideologi negara terus dirongrong sejak reformasi. Beberapa hari lalu ada teror bom di Medan. Tahun lalu teror bom di tiga gereja di Surabaya.

Pancasila mau diganti dengan ideologi lain oleh para teroris dan simpatisannya. Presiden Jokowi pun merasa perlu membentuk BPIP. Orang sepertinya mulai rindu PMP, P4, santiaji Pancasila dan semacamnya.
Program PKK yang kedua adalah gotong royong. Ini juga semakin hilang di tanah air. Dan itu tidak lepas dari monetisasi di hampir segala bidang. Mendatangkan tukang doa atau tukang nyanyi rohani pun perlu duit.

Beda dengan kami saat mahasiswa dulu. Senang mengisi paduan suara untuk pernikahan, peresmian gedung dsb tanpa bayaran. Dulu kita menyanyi atau menari karena senang atau hobi. Benar-benar kerja sosial.
Qui bene cantat bis orat, kata pater-pater di gereja. Siapa yang bernyanyi dengan baik, dia berdoa dua kali.
Pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan jelas sangat relevan. Begitu juga koperasi, lingkungan hidup, perencanaan sehat. Dus, PKK pun masih relevan di Indonesia.

Tinggal bagaimana pemerintah daerah merevitalisasi PKK sesuai dengan perkembangan zaman. Agar orang tidak alergi PKK atau KB atau Pancasila.

Minggu, 10 November 2019

Romo Benny Prihatin Sekolah Roboh

Romo Benny Susetyo memberikan kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya.


Sudah lama saya tidak bertemu Romo Antonius Benny Susetyo. Pater asli Malang ini memang sudah lama bertugas di Jakarta. Ia lebih banyak "bermain" di luar lingkungan gereja. Romo Benny justru lebih mudah dijumpai di televisi-televisi nasional.

Saat ini Romo Benny Susetyo jadi anggota BPIP. Badan Pengembangan Ideologi Pancasila. Karena itu, ia selalu bicara tentang Pancasila Pancasila Pancasila. 

Saya tidak pernah dengar Romo Benny bicara tentang liturgi, ekaristi, aksi puasa dan sejenisnya. "Kamu aja yang jadi pemazmur. Suaramu kan bagus," kata Romo Benny saat menugaskan saya jadi pemazmur di Gereja Paroki Situbondo beberapa tahun lalu.

Banyak kenangan menarik dengan romo kelahiran 1968 di Malang itu. Antara lain saya sering mengedit tulisan-tulisannya. Kalimat-kalimat panjang khas klerus saya sunat habis.

 "Pakai kalimat-kalimat pendek saja Romo! Hindari kalimat majemuk," pesan saya menirukan ajaran Mr Yu Shigan di Jawa Pos.

Pater Benny ternyata manut. Maka ia pun jadi salah satu kolumnis penting di Indonesia saat ini. Juga pembicara yang sering tampil di televisi. Sebab tugas-tugas pastoralnya di gereja tidak banyak. "Saya itu pastor kategorial," katanya.

Semalam Romo Benny Susetyo mengirim pesan WA tentang sekolah yang ambruk di Pasuruan. Dua orang tewas. Belasan murid terluka. Sebagai orang BPIP, Romo Benny mengaitkan insiden itu dengan penghayatan nilai-nilai Pancasila.

"Robohnya sekolah di Pasuruan itu sebagai simbol bahwa dunia pendidikan perlu ditata kembali agar pendidikan memiliki keadaban," kata Benny.

"Pendidikan kehilangan keadaban dan cenderung menghasilkan manusia yang tidak memiliki karakter kejujuran dan keutaman publik.

Penting menata kembali nilai keutaman dalam pendidikan untuk mengarusutamakan habitusasi Pancasila dalam tata kelola sekolah," tulis sang romo.

"Kita berharap menteri pendidikan memfokuskan pendidikan karakter guru yang bisa jadi role model bagi siswa. Siswa SD harus dibekali nilai-nilai karakter yang mengutamakan nilai displin, kejujuran, sportif, dan penghargaan kemajemukan," katanya.

Begitulah kalau Romo Benny sedang gundah gulana. Kata-kata mengucur deras kayak aliran Sungai Brantas di musim hujan. Saat ini sungai itu nyaris kering karena minim pasokan air dari langit.

Lalu saya tanggapi sedikit omongan RD Benny. Sebetulnya kasus robohnya sekolah di Pasuruan itu juga terjadi di daerah lain. Tapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Pasuruan jadi ramai karena ada 2 orang yang mati.

Proyek asal-asalan sebetulnya sudah jadi budaya di Indonesia. Habitus buruk, istilahnya romo. Campuran pasir dan semen yang mestinya 4:1 dibuat 6:1 bahkan 8:1. Biar hemat semen. Tentu saja bangunan sekolah-sekolah itu tidak akan kuat.

"Itu ada kaitannya dengan manusia yang tidak jujur dan tidak bertangung jawab. Tata kelola sekolah yang buruk. Mental mencuri. Makanya, perlu pendidikan karakter," kata sang Reverendus Dominus (RD) alias romo diosesan yang selalu kritis sejak jadi mahasiswa STFT Widya Sasana Malang itu.

Obrolan selesai. Saya pun kembali menikmati pertunjukan musik campursari di panggung Mami Kola (Malam Minggu Kota Lama) di Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya. Penyanyi cantik membawakan lagu Pamer Bojo, Banyu Langit, Bojo Galak, dst.

 Beberapa om-om naik ke atas panggung untuk joget bareng sang biduanita Indah dari Tanah Merah, Surabaya. Ada juga kakek 92 tahun yang masih tahes (sehat) dan ikut nyanyi. Musik campursari memang bikin orang lupa utang, lupa bojo yang galak, dan segala keruwetan hidup.

Saya pun merenung sejenak. Gedung tua di dekat gapura Kya Kya Kembang Jepun itu dibangun tahun 1880. Usianya 139 tahun. Jauh lebih tua daripada sekolah yang ambruk di Pasuruan itu. Jauh lebih tua ketimbang semua bangunan sekolah di Nusantara.

Tapi kok bisa kuat kokoh sampai hari ini? Sepertinya penjajah Belanda dulu punya karakter yang bagus dan mengamalkan Pancasila. Ratusan bangunan lawas di kota lama pun masih kokoh.

Selamat Hari Pahlawan!
Rawe-rawe rantas!
Malang-malang putung!
Merdeka!

Kamis, 07 November 2019

Adat Minta Hujan ala Lamaholot

Amas Gaspar Hurek membuat upacara adat di Desa Bungamuda, Kecamatan Ileape, Lembata, NTT.


Musim kemarau tahun ini lebih panjang dan ekstrem. Hujan sempat gerimis sekali di Surabaya pada 1 November 2019. Lalu belum ada pertanda bakal turun hujan rutin khas bulan-bulan berakhiran -ber.

Dulu bulan Oktober sudah mulai masuk awal musim hujan. Sekarang November pun panas gak karuan. Nyamuk-nyamuk makin ganas di mana-mana.

 Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa sejak bulan lalu sering mengajak masyarakat melakukan ibadah untuk meminta hujan. Salat istisqa. Maklum, banyak kebakaran lahan, hutan, dan bangunan tahun ini. Paling parah di Gunung Welirang.

Hasil sembahyang minta hujan itu belum kelihatan. Tuhan masih menunda pengucuran air hujan dari langit. Tingkap-tingkap langit belum dibuka, istilah Alkitab.

Setiap kali Bu Gubernur bicara salat minta hujan, saya jadi ingat kampung halaman. Khususnya saat saya masih anak-anak di Lembata, NTT. Hampir tiap tahun ada acara minta hujan. Tapi bukan sembahyang atau misa di gereja-gereja stasi alias gereja desa.

Orang kampung lebih suka TULA GUDUNG. Bikin acara adat khusus khas suku Lamaholot untuk minta hujan kepada Lera Wulan Tanah Ekan alias Sang Penguasa Langit. Meskipun orang Lembata dan Flores Timur itu mayoritas Katolik, adat istiadat nenek moyang ini tidak pernah hilang. Bahkan orang lebih takut kualat adat ketimbang ancaman hukuman gereja.

"Kita orang Lamaholot itu 100 persen Katolik dan 100 persen Lamaholot. Adat istiadat dan gereja harus jalan sama-sama," kata Ama Daniel yang mantan pejabat yang sering blusukan ke rumah-rumah adat nenek moyang Lamaholot.

Upacara adat minta hujan ini cukup panjang. Beberapa sesepuh adat mula-mula sowan ke penguasa di Gunung Ileape. Mengambil sejumlah sampel hasil bumi dan sebagainya. Lalu dibuatkan rumah-rumahan dan dibawa ke pantai.

Semua warga kampung kemudian berkumpul di pantai. Ada upacara, koda kiring, yang dipimpin tetua adat. Semacam mantra atau permohonan kepada Lera Wulan (Lera: Matahari, Wulan: Bulan) agar diturunkan hujan ke bumi. Sebab warga akan kelaparan kalau tidak bisa menanam.

Lantas, tandu dari gunung tadi diantar ke laut lepas. Dibiarkan mengapung ke perairan Laut Flores yang luas dan dalam itu.

Masyarakat kembali ke rumah masing-masing. Tidak boleh banyak bercanda. Tidak boleh pesta atau hura-hura. Minum tuak atau arak boleh tapi dilarang mabuk. Suasana prihatin. Kalau tidak salah selama tiga hari atau satu minggu.

Apakah lantas turun hujan? Belum tentu. Namanya juga orang minta ya terserah yang punya hujan. Bisa dikasih minggu depan, dua minggu ke depan... bisa bulan depan.

Kebetulan saat saya kecil di kampung hujan pun datang tak sampai satu minggu kemudian. Deras sekali. Pengalaman itu membuat saya percaya bahwa permintaan atau sembahyang minta hujan ternyata sangat efektif. Tapi jangan minta hujan di musim kemarau.

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmiah?



Bulan bahasa baru lewat. Presiden Jokowi bikin kepres agar semua instansi pemerintah, swasta, rakyat biasa mengutamakan bahasa Indonesia. Bahasa asing macam Inggris atau Mandarin atau Arab perlu dikuasai. Bahasa daerah perlu dilestarikan. Bahasa Indonesia wajib dijunjung tinggi.

Itu pesan Sumpah Pemuda yang sering dilupakan. Nama-nama hotel, perumahan, kegiatan di Surabaya belakangan lebih banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan acara jalan sehat Polri pun pakai English. Padahal polisi adalah penegak hukum.

Pejabat-pejabat pun banyak yang nginggris. Suka bicara gado-gado Indonesia, Inggris, Jawa dsb. Contohnya: Menkumham Yasonna saat bicara di televisi. Gubernur Khofifah juga senang memasukkan frase atau kalimat English dalam pidato atau pernyataannya.

"Strong partnership antara Pemprov Jatim dan Lantamal ini akan menjadi role model blablabla...," kata Gubernur Khofifah di Pulau Sapudi, Sumenep, Madura, saat menyerahkan bantuan air bersih kepada warga yang krisis air.

Kemarin ada pertemuan 154 guru besar di Surabaya. Mereka berasal dari 31 perguruan tinggi di sejumlah negara di Asia. Para profesor ini bikin deklarasi. Minta agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dijadikan bahasa ilmiah internasional.

Para guru besar ini komplain karena keahlian mereka tidak diakui gara-gara kendala bahasa Inggris. Maklum, banyak profesor tidak fasih berbicara, mengajar, dan menulis dalam bahasa Inggris. "Mengapa bahasa membatasi seseorang untuk menjadi profesor?" kata Prof Koentjoro dari UGM.

Prof Kamaruddin dari Malaysia dan Prof Endina dari Singapura berpendapat sama. Mereka menyebut saat ini bahasa Melayu dan Indonesia sudah diajarkan di 45 negara. Punya lebih dari 100 ribu kata. Dus, sudah memenuhi syarat sebagai bahasa ilmiah.

Akankah deklarasi para guru besar ini diterima gubes-gubes Barat? Kita tunggu saja.

Yang jelas, guru-guru besar, insinyur, pakar-pakar atau suhu-suhu di Tiongkok tidak bisa berbahasa Inggris. Sebagian besar juga tidak bisa membaca aksara Latin. Tapi siapa yang menafikan kehebatan Tiongkok di bidang ilmu dan teknologi. Buta bahasa Inggris bukan alasan untuk maju.

Nenek moyang kita dulu juga tidak bisa berbahasa Inggris. Juga tidak bisa berbahasa Indonesia atau Melayu. Toh, mereka bisa membangun candi-candi yang spektakuler macam Candi Borobudur.

Mangkanya... ojo kemelondo, ojo keminggris!
Bung Karno: "Inggris kita linggis... Amerika kita setrika!"

Selasa, 05 November 2019

Mas Nadiem Menteri Out of The Box


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ini sangat unik dan menarik. Bukan hanya karena masih sangat muda, tapi latar belakangnya yang bukan orang pendidikan, perguruan tinggi, ormas, atau politisi.

Nadiem swasta murni. Bos Gojek yang fenomenal itu. Siapa sangka dia bukan saja jadi super kaya dalam waktu singkat, tapi juga inspirasi bagi generasi milenial. Bahwa orang perlu kerja cerdas, memanfaatkan IT, di era ekonomi digital ini.

Sebagai orang lawas, yang rada konservatif, dari dulu saya berpendapat bahwa Gojek motor itu melanggar hukum. Melawan ketentuan undang-undang lalu lintas. Bahwa sepeda motor tidak dibenarkan menjadi kendaraan umum. Negara-negara lain pun saya yakin tidak memperbolehkan sepeda motor mengangkut penumpang.

Tapi ini era disrupsi, Bung! Undang-undang atau hukum ikut terkena longsor alias disrupsi. Nadiem mampu berpikir di luar kotak. Out of the box. Bukan cuma berpikir, Nadiem berhasil membangunan Kerajaan Gojek dengan aplikasinya yang hebat itu.

Dalam waktu singkat ribuan orang jadi tukang ojek online. Kostum hijau makin hari makin dominan di jalan raya. Awalnya polisi lalu lintas menilang ojol-ojol ini. Tapi lama-lama kompromi. Gojek jalan terus.

Bagaimana dengan undang-undang lalu lintas?

Masih ada. Masih melarang roda dua jadi kendaraan umum. Tapi cuma macan kertas. Pasal-pasalnya tetap tapi tidak bisa dieksekusi.

Mas Nadim, bos Gojek, malah diangkat Presiden Jokowi jadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Menteri yang beban anggaran dan tugasnya paling banyak. Boleh dikata Mas Nadiem ini super minister.

Disrupsi digital ini seperti wolak walike zaman. Apa yang kita anggap benar, bahkan undang-undang, di masa lalu tiba-tiba kehilangan relevansinya di era digital. Orang yang dulu kita nilai melanggar hukum karena memasalkan ribuan atau jutaan motor sebagai kendaraan umum justru diangkat jadi menteri di Indonesia.

Ini juga menunjukkan bahwa Jokowi presiden yang benar-benar thinking out of the box. Sampai sekarang saya masih sulit mengikuti jalan pikiran Jokowi yang memilih orang-orang yang "gak lumrah" menjadi anggota kabinetnya. Yang paling gak lumrah ya Mas Nadiem ini.

Zaman memang sudah berubah begitu cepat. Ebiet G. Ade bilang, "Roda zaman menggilas kita terseret tertatih-tatih."

SPBU Terindah di Dunia di Lembata

Masih tentang Ignatius Jonan. Arek Surabaya ini sudah tak lagi menjabat menteri di kabinet Jokowi. Masa jabatannya selesai pada 19 Oktober 2019. Satu hari sebelum pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI untuk periode kedua.

Namun, Ignasius Jonan meninggalkan kesan yang mendalam untuk rakyat NTT. Khususnya di Pulau Lembata. Pulau yang kini menjadi Kabupaten Lembata itu. Menteri BUMN Jonan meresmikan 13 Penyalur BBM Satu Harga di NTT, Jumat 11 Oktober 2019 dipusatkan di SPBU Kompak Kecamatan Omesuri Selatan, Kabupaten Lembata, NTT.

"SPBU Omesuri di Pulau Lembata bisa dikatakan SPBU dengan lokasi terindah di dunia," tulis Jonan.

"Dengan peresmian 13 Lembaga Penyalur BBM Satu Harga ini maka target program BBM Satu Harga sebanyak 170 lokasi di seluruh Indonesia telah tercapai."

Sebagai putra asli Lembata, saya ikut terharu dengan gebrakan Jonan. Juga tersanjung dengan kata-kata "lokasi terindah di dunia". SPBU yang unik di daerah Kedang alias Omesuri itu.

Apa betul terindah di dunia? Bisa jadi cuma basa-basi khas Jawa demi kepentingan unggah-ungguh. Bisa juga karena baru kali ini Jonan melihat langsung daerah pedalaman yang masih perawan. Wilayah yang tidak pernah muncul di televisi dan media-media di tanah air.

Saya sudah sering menulis keluhan tentang betapa sulitnya BBM di Lembata. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang hanya ada satu SPBU di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Maka antrean pun mengular sejak subuh hingga SPBU ditutup.

Bisa saja kita membeli bensin botolan di pinggir jalan. Tapi harganya bisa dua hingga empat kali lipat dari harga di SPBU. Bensin dimasukkan dalam botol-botol plastik bekas air kemasan 1500 ml. Bukan botol kaca macam di Jawa.

Karena itu, begitu banyak orang Lembata yang antre bensin berkali-kali untuk kulakan. Dimasukkan di tangki motor, dikeluarkan, lalu antre lagi dan lagi. Sebab pihak SPBU melarang orang membeli bensin pakai wadah jeriken atau kaleng besar dan sebagainya.

"Daripada merantau di Malaysia lebih baik antre bensin untuk dijual lagi," kata beberapa anak muda saat saya mudik ke Lembata.

Kini, dengan peresmian SPBU di Kedang berarti sudah ada dua SPBU di Lembata. Maaf, yang benar baru dua, bukan sudah dua. Hanya ada dua SPBU di satu kabupaten. Jangan bandingkan Kabupaten Sidoarjo yang punya ratusan SPBU hingga ke desa-desa.

Di daerah Pondok Candra, Waru, hingga ke kawasan Juanda Sedati saja ada 5 SPBU. Padahal jaraknya hanya sekitar lima kilometer saja. Di Lembata, sekali lagi, satu kabupaten cuma ada 2 SPBU. Yang kedua baru diresmikan Menteri Jonan sebelum lengser itu.

Tentu saja SPBU di Lembata masih sangat kurang. Paling tidak butuh 10 SPBU karena makin banyak sepeda motor yang merambat di jalan raya di Pulau Lembata. Beda dengan tahun 1980an dan 1990-an yang masih sangat sedikit.

Tapi bagaimanapun kehadiran SPBU di Kedang ini patut disyukuri. Siapa tahu jadi tempat wisata baru di Lembata setelah direkomendasikan Ignatius Jonan "sebagai lokasi terindah di dunia".

Bikin Garasi Dulu Baru Beli Mobil

Siapkan garasinya dulu sebelum membeli mobil!

Spanduk-spanduk macam ini mulai muncul di Surabaya sejak 3 tahun terakhir. Orang-orang kampung marah karena gang yang tidak seberapa lebar itu dijadikan tempat parkir mobil pribadi.

Parkirnya sih di depan rumah pemilik mobil itu. Tapi sudah pasti jalan kampung akan menyempit. Makin parah kalau banyak mobil pribadi yang parkir di jalan kampung.

Pagi ini saya lihat ada spanduk serupa di Gununganyar, Surabaya. Rupanya warga marah karena ada pemilik mobil memarkir mobil di depan rumahnya. Jalanan jadi macet. 'Sekarang sudah tidak parkir lagi,' kata seorang warga.

Parkir memang jadi masalah besar di kota besar macam Surabaya. Ketika makin banyak orang yang punya mobil pribadi. Makanya kalau ada acara besar, panitia membahas secara khusus lokasi parkirnya. Dan itu sangat tidak mudah. Butuh lahan yang sangat luas.

Hampir setiap hari ada orang yang ngeroweng di radio dan media sosial gara-gara jalan raya jadi lahan parkir. Khususnya di Raya Darmo yang ada sekolahan Santa Maria dan Polisi Istimewa yang ada Sinlui plus Gereja Katedral. Mobil-mobil antar jemput penuh di pinggir jalan.

Apa solusinya? Belum ketemu.

Tidak mungkin ada lahan seluas lapangan bola untuk tempat parkir di kawasan elite itu. Melarang orang naik mobil ke gereja atau sekolah juga bukan solusi. Trennya justru makin banyak orang Katolik yang memilih ikut misa di Katedral HKY Jalan Polisi Istimewa itu.

'Saya lebih cocok misa di Katedral. Sudah puluhan tahun,' kata Ricky di Sidoarjo. Padahal, jarak rumahnya ke Gereja Katolik di Jalan Monginsidi 13 Sidoarjo tidak sampai dua kilometer.

Rasis pun Ada di Eropa

Sami mawon. Sama saja.

Di Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, yang namanya rasisme itu masih ada. Menganggap orang atau komunitas lain lebih rendah. Disamakan dengan binatang.

Begitulah kesan saya saat membaca judul berita di koran pagi ini: Son Diejek Sipit, Balo dengan Suara Monyet. Son pemain Spurs asal Korsel diejek suporter Everton di Inggris. Balotelli diejek kayak monyet di Verona, Italia.

Dua negara ini, Inggris dan Italia, punya peradaban tinggi. Sopan santun ala priyayi. Punya unggah ungguh bahasa. Tapi di lapangan bola suporter yang British itu mengejek pemain asal Korea. Hanya karena matanya sipit.

Balotelli sudah berkali-kali diejek gara-gara kulitnya yang hitam. Maklum, gennya dari Afrika meskipun warga negara Italia. Sudah puluhan kali Balo membela tim nasional Italia. Bahkan pernah jadi striker andalan negara yang ada negara kecil bernama Vatikan itu.

Tapi... namanya juga rasis, pemain-pemain yang berbeda ras macam Korea atau Afrika dianggap lebih rendah. Disamakan dengan kera. Kadang suporter melempar pisang ke lapangan untuk memberi makan pemain ireng yang dianggap monyet itu.

Bisa jadi rasisme ini punya akar panjang sejak era kolonial dulu. Supremasi orang putih. Orang putih merasa lebih beradab. Lebih segalanya. Orang hitam dijadikan budak belian.

Kalau tidak salah, diskriminasi orang hitam ini pun terjadi di USA. Dan baru dibereskan berkat perjuangan Martin Luther King tahun 1960an. Belum lama. Karena itu, bibit-bibit rasis sejatinya masih ada di benak orang putih di Amerika.

Membaca berita kecil tentang pelecehan Son dan Balo pagi ini membuat saya teringat kasus Papua. Unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua di Pacarkeling, Surabaya, pada 16-17 Agustus 2019 lalu. Ada kata-kata yang menyebut nama-nama binatang, khususnya monyet.

Gara-gara ejekan itu, masyarakat Papua marah. Terjadi gejolak besar-besaran di sana. Sampai sekarang pun belum sepenuhnya reda. Orang Papua yang selama ini diam, pasrah, ngalah memilih bangkit untuk membela kehormatannya sebagai manusia.

Saya jadi ingat wejangan pater-pater lama di Flores tentang lidah. Hati-hati dengan lidahmu. Lidah itu seperti pedang. Bisa membunuh orang lain dan bisa membunuh dirimu sendiri.

Hari ini lidah itu bisa juga jempol atau jari-jarimu. Bisa membuatmu masuk penjara macam musisi kesukaan saya dulu, Ahmad Dhani.

Selasa, 29 Oktober 2019

Bahasa Daerah di NTT Terancam Punah



Oktober bulan bahasa. Sejumlah media meramaikan bulan bahasa dengan liputan menarik tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Akhirnya saya jadi tahu jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 718 biji. Biasanya saya jawab ratusan kalau ditanya turis dari luar negeri. Kira-kira mendekati seribu bahasa daerah. Paling banyak di Papua.

Kalau bahasa daerah terbanyak di Papua memang benar. Badan Bahasa mencatat 428 bahasa daerah di Papua dan Papua Barat. Total 428 bahasa daerah. Artinya, lebih dari 50% bahasa daerah ada di Papua. Disusul Maluku 79 bahasa.

NTT juga menarik. Provinsi asal saya itu punya 72 bahasa. Paling banyak di Kabupaten Alor. Tetangga daerah saya di Lembata yang dibatasi selat kecil. Dulu saya pikir Flores dan Lembata yang paling banyak bahasanya.

Sayang, bahasa-bahasa kecil di tanah air terancam punah. Sebab anak-anak muda tidak lagi menggunakannya. Malu berbicara dalam bahasa ibu karena dianggap orang kampung yang terbelakang.

 "Pakai bahasa Indonesia saja. Jangan pakai bahasa daerah," kata salah satu guru di Larantuka ketika saya menjawab pertanyaan pakai bahasa Lamaholot karena belum fasih berbahasa Indonesia.

Rupanya ajaran guru-guru di NTT untuk memuliakan bahasa Indonesia 30an tahun lalu itu berhasil. Kompas pagi ini membeberkan data yang menarik. Dari 36 murid di SMAN 1 Kupang, hanya 2 orang yang bisa berbahasa daerah. Yang lainnya pakai bahasa Melayu Kupang (komunikasi sehari-hari) dan bahasa Indonesia (formal).

Dua anak yang bisa bahasa daerah itu: Dominikus Atasage Adonara yang bisa bahasa Lamaholot karena orang tuanya asli Adonara. Satunya lagi Febriani yang fasih berbahasa Jawa.

Yang menarik, ayah Febriani orang Rote dan mamanya asal Ambon. Karena lahir dan besar di Surabaya, maka Febriani lancar berbahasa Jawa ngoko Suroboyoan khas anak-anak muda Surabaya.

Liputan Kompas edisi Selasa 29 Oktober 2019 ini makin mengonfirmasi tulisan-tulisan saya sekitar 10 tahun lalu. Saat bertemu orang Lembata atau Flores Timur di Surabaya biasanya saya pancing dengan bahasa Lamaholot. Tapi dijawab pakai bahasa Indonesia. Bahkan seorang nona asal Ile Ape, satu kecamatan dengan saya di Lembata, nerocos pakai Melayu Larantuka (Nagi) saat kami mengikuti pemakaman seorang pater SVD si Kembang Kuning, Surabaya.

"Anak-anak muda di NTT malu berbahasa daerah karena tekanan sosial. Dicap sebagai orang kampung," kata Dr Ali Humaidi, peneliti LIPI.

Saya mungkin termasuk orang NTT yang lolos dari tekanan sosial itu. Alias minderwaarsigheids complex itu.  Sebagai penutur asli Lamaholot Timur, saya ditekan untuk bisa berbahasa Lamaholot Tengah ala Adonara Timur. Kemudian ditekan untuk bisa berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka. Kemudian bahasa Indonesia yang baik dan benar ala buku teks sekolahan.

Kemudian belajar lagi bahasa Jawa. Mulai dari tingkat ngoko, madya hingga krama inggil. Agat bisa nonton wayang kulit atau ketoprak. Kemudian belajar lagi bahasa Madura karena para tetangga di Tegalboto, Jember, tidak fasih berbahasa Indonesia.

Tekanan-tekanan sosial itu ibarat blessing in disguise. Saya bisa menguasai 5 atau 7 bahasa daerah meskipun tidak sefasih penutur asli. 

Tekanan sosial untuk berbahasa Inggris tidak ada. Makanya saya tidak fasih berpikir dan berbicara dalam bahasa Inggris meskipun belajar English secara formal di sekolah selama 8 tahun. Cuma hafal grammar rules dan kisi-kisi ujian. Makanya nilai bahasa Inggris saya sejak SMP selalu sangat tinggi, 90-100. Hehehe...

Anehnya, meskipun saya hidup jauh lebih lama di luar NTT, hampir tidak pernah bicara bahasa Lamaholot, orang-orang kampung (dewasa) selalu menelepon atau bicara dengan saya pakai bahasa Lamaholot. Bukan bahasa Indonesia atau bahasa Nagi.

Bahasa ibu memang luar biasa. Meskipun tidak pernah dipakai bertahun-tahun, ia akan muncul dan hidup kalau diaktivasi. "Ada semacam kode-kode bahasa di kepala kita," kata mendiang Pater Glinka SVD, antropolog Unair, yang menguasai sekitar 10 bahasa.