Jumat, 13 Desember 2019

Musim Hujan Ditunda Januari 2020

Beberapa menit lalu saya lewat di kawasan Juanda. Tak jauh dari BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Badan ini yang tiap hari merilis ramalan cuaca.

Mampir di warkop Pulungan, Sedati, kompleks AL, seperti biasa baca koran. Warkop-warkop di Sidoarjo dan Surabaya memang langganan koran. Sebetulnya bukan abonemen bulanan tapi membeli eceran setiap pagi.

Aha... ada berita dari BMKG di halaman belakang. Intinya, musim hujan di Jawa Timur dan Jawa Tengah ditunda bulan depan. Januari 2020 baru musim hujan.

Meskipun sudah turun hujan beberapa kali, intensitas dan keseringannya belum masuk kriteria musim hujan. Begitu penjelasan Herizal dari BMKG yang jadi narasumber Jawa Pos.

Waduh... musim hujan tertunda lagi. BMKG meleset lagi.

Bulan Oktober lalu, saya masih ingat, BMKG di Juanda, Sidoarjo, menyatakan musim hujan jatuh pada bulan November 2019. Minggu kedua atau ketiga. Beritanya dimuat besar-besar di koran. Lengkap dengan ilustrasi yang bagus.

Tapi, namanya juga ramalan, tidak selalu akurat. Mirip peramal-peramal nomor togel atau porkas yang biasanya mbeleset. BMKG kemudian merevisi prediksi musim hujan.

Apa boleh buat. Alam punya hukum sendiri. Ada saja misterinya meskipun manusia-manusia modern sudah bisa pigi jalan-jalan ke bulan.

Suhu pagi ini panas banget. Mungkin di atas 36. Nggowes sepeda lawas di kawasan tambak jadi gak asyik.

Yang pasti, musim hujan yang tertunda ini jadi berkah bagi para pedagang es tebu, es degan, es jus buah segar, dan sebagainya. Para petani yang mengandalkan air hujan pasti sangat menderita. Bisa paceklik.

1 komentar:

  1. Suhu pagi ini panas banget, 36 C, keluh Kang Flores.
    Suhu pagi ini mulai dingin, -1,6 C, keluh Nak Bali.

    Kemarin pagi, sekitar pukul 10, saya keluar rumah untuk melihat kotak pos. Di halaman depan saya lihat istri-ku sedang sibuk ngeruk salju. Melihat saya hanya pakai klompen, dia lantas berkata: Ayo ganti sepatu, bantuin gua ngeruk salju !
    Saya pura2 tidak dengar, kembali masuk kedalam rumah yang hangat. Edan, salju-nya salju basah, sebab temperatur udara kurang dingin, jadi berat kerukannya, bisa nggeliyeng kepala-gua.
    Dulu tanpa disuruh-pun, saya akan segera ikut mengeruk salju.
    Saya tahu, kaum perempuan memang diciptakan Tuhan lebih ulet daripada kaum laki, sebab itu tugas yang paling berat, melahirkan anak, diserahkan kepada kaum hawa oleh NYA. Orang laki sakit sedikit sudah teriak2 seperti babi disembelih, boro2 disuruh melahirkan.
    Saya sekarang sudah lebih bijaksana, alias kuping bolong, bisa ndableg tidak dengar. Apa yang kau tidak dengar, tak-kan membuat mu tersinggung.
    Ada pepatah cina yang berbunyi: luo ye gui gen ( 落叶归根 ), daun yang runtuh akan kembali ke-akar. Jadi saya sekarang kembali jadi orang Bali. Biarlah orang perempuan yang kerja.

    Masyarakat Bali jaman dulu, sekitar tahun '50-an :
    Jika dinas pekerjaan umum membuat jalan, yang ngangkat dan menata batu-batu semuanya kaum wanita, yang laki hanya jadi mandor dan sopir selender.
    Di-pasar2 semuanya yang berdagang adalah kaum ibu2, sedangkan yang laki2 hanya sibuk membelai dan memijat paha ayam jago aduannya.
    Di sawah tugas laki2 hanya membajak, dia duduk diatas bajak yang ditarik kerbau atau sapi. Selanjutnya yang membungkuk-bungkuk menanam benih padi adalah tugas perempuan. Mengetam dan menumbuk padi, lagi2 tugas wanita. Menjual beras ke pasar juga tugas wanita. Menanak nasi juga tugas wanita.
    Semua laki Bali pandai memasak, mereka belajar di banjar, waktu ngelawar beramai-ramai. Memasak bagi laki Bali adalah Hobby, bukan keharusan se-hari2. Se-hari2 memasak adalah tugas wanita, kita kaum Adam hanya menjadi pengeritik. Masakan laki Bali sebenarnya lebih lezat, sebab semua rempah2 dirajang dengan blakas, bukannya diulek atau di-blender dengan alat listrik sampai hancur lumat, jadi kalau dikunyah masih terasa rasa cekoh (kencur), jahe, sere, dll-nya.
    Ada satu hal yang membuat saya selalu kepikiran, yaitu nasib ibu2 yang hidup di desa Sempidi. Tiap pagi para ibu harus menyunggi periuk2 tanah liat yang berat, dari Sempidi ke peken payuk (pasar periuk) di Denpasar, yang jaraknya lumayan jauh.
    Untuk mengangkat beban berat itu keatas kepala, harus ada yang membantu mengangkatkan, sendirian mana kuat. Berjalanlah para ibu2, dengan gaya agung, gemulai. Kasihan-nya mereka tidak boleh berhenti, harus seirama dengan rombongannya, seperti tentara yang berbaris. Kadang kala saya lihat ada ibu2 yang ngenceh sambil berjalan. Itulah yang membuat saya sangat iba.

    Salut se-besar2-nya kepada kaum ibu di pulau Bali, walaupun kehidupan mereka lebih berat daripada suami-nya, dulu, jarang saya pernah melihat seorang istri berani kurang-ajar terhadap suami-nya. Mereka menerima, semuanya adalah kehendak Dewa Agung.
    Untung tiyang lekat di Bali.

    BalasHapus