Suasana Natal tahun ini sangat berbeda. Saya tidak mudik ke NTT karena kuota cuti sudah habis. Jatahnya sudah saya pakai saat ayahku meninggal dunia pada 22 Juli 2019 lalu.
Gak enak kalau ambil cuti lagi untuk natalan. Dan tidak mungkin dikasih libur minimal 5 hari. Paling cuma 2 hari. Dus, tidak mungkin bisa pulang ke Lembata untuk misa plus perayaan Natal ala orang Lamaholot.
Maka, saya memutuskan ikut tur bersama seluruh karyawan ke Semarang. Studi banding ke Radar Semarang, koran daerah yang paling sukses di Jawa, sekaligus menikmati kota lama yang penuh bangunan kolonial yang cantik.
Sebelum tur, saya dan Novilawati yang ditugaskan untuk melakukan survei ke Semarang untuk tur 25-26 Desember 2019. Makanya aneh kalau saya tidak ikut piknik ke Semarang.
Nah, saat survei ke kota lama Semarang itu, saya juga survei gereja. Ada Gereja Blenduk yang terkenal di kota lama. Tapi gereja itu Protestan. GPIB Immanuel. Aku tidak mungkin misa di situ.
Bergeser ke pojokan, keluar sedikit dari areal wisata kota lama... wow, ada gereja katolik. Gereja Santo Yusuf, Gedangan, Semarang. Gereja Katolik tertua di Pulau Jawa.
Gereja Gedangan ini sangat terkenal karena dulu Monsinyur Soegijapranata melayani di sini. Beliau uskup pribumi pertama yang juga pahlawan nasional. Gereja Gedangan juga jadi lokasi syuting film Soegija.
Saya juga survei ke Katedral Semarang. Lokasinya dekat Lawang Sewu. Sama-sama gereja tua yang bersejarah.
Maka, jauh hari saya sudah rencana misa malam Natal di Gedangan atau Katedral. Mana yang dekat hotel dan jamnya cocok.
Ternyata Gereja St Yusuf Gedangan yang paling dekat. Tidak sampai 7 menit (kalau tidak macet). Misa keduanya pukul 20.30. Di Katedral Semarang pukul 21.00. Maka pilihanku jelas di Gedangan.
Selasa malam, 24 Desember 2019.
Ketika 69 peserta tur Kota Lama Semarang mulai mlaku-mlaku nang kota lama, saya berbelok ke arah Gedangan. Ada tukang ojek yang mendekat.
"Gerejanya dekat. Sampean kasih berapa aja terserah," kata ojek merangkap jukir di kota lama itu.
Satu jam sebelum misa gereja sudah terisi 80%. Saya pun masuk dan dapat tempat duduk agak depan. Lokasi ideal untuk menikmati suasana gereja tua anno 1870 itu. Juga dekat paduan suara yang pakai baju lurik dan blankon khas Jawa.
Arsitektur gereja ini memang indah. Ruangannya membulat dengan lukisan klasik di atasnya. Beda dengan gereja-gereja tua di Surabaya yang cenderung mengotak. Pilar-pilarnya juga besar.
Setelah menunggu hampir satu jam, ekaristi malam Natal pun dimulai. Kor baju lurik diiringi musik campuran keroncong dan klasik ala gereja. Lengkap dengan bas betotnya. Kualitas musik dan kor di sini di atas rata-rata nasional. Baik aransemen, harmoni paduan suara, tempo dsb.
Misa di Semarang ini juga mengingatkan saya pada Madah Bakti. Buku nyanyian liturgi ini sampai sekarang dipakai di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Di Jawa Timur sudah tidak dipakai sejak 1994 (kalau tidak salah) karena diganti Puji Syukur.
Lagu-lagu Madah Bakti memang dirancang sebagai musik inkulturasi nusantara. Karena itu, ensambel keroncong ala Gedangan Semarang ini sangat cocok. Apalagi dirigen dan pemusiknya memang seniman beneran. Bukan umat yang penguasaan musiknya pas-pasan.
Semua lagunya memang dari Madah Bakti. Mulai ordinarium Misa Pustardos yang dari Flores, Alam Raya Karya Bapa, Malam Kudus, Gegap Gempita di Alam...
Saya benar-benar menikmati misa malam Natal meskipun jauh dari keluarga di NTT. Juga tidak kenal romonya. Seorang pastor Yesuit yang homilinya sangat bermutu. Omongan Romo Maryono SJ halus tapi mendalam.
Selepas misa--ini yang beda dengan Surabaya atau Sidoarjo--jemaat tidak langsung pulang. Ada semacam pesta rakyat di halaman gereja dan sekolah. Sudah disiapkan soto, rawon, gudeg dan minuman kopi, teh, es dsb.
Suasananya benar-benar meriah layaknya pesta rakyat. Umat berbaur menikmati nasi soto, rawon, gudeg yang lezat. Di panggung ada pertunjukan musik keroncong dan kesenian anak-anak muda.
Meskipun sudah ganti hari, lewat pukul 00.00, umat Katolik di Semarang tidak buru-buru pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya mereka menghayati kegembiraan gembala-gembala Bethlehem yang menemani Sang Bayi Kudus bersama Yosef dan Maria di kandang sederhana itu.
"Tiap tahun ya acaranya seperti ini. Biar umatnya guyub dan rukun," ujar seorang bapak yang memakai baju lurik.
Malam kian larut berganti pagi. Saya pun makin ngantuk. Jalan kaki lima menit ke pangkalan ojek di kota lama. Lalu menumpang ojek motor ke Pesonna Hotel Semarang. Teman-teman sudah pada ngorok.
Gak enak kalau ambil cuti lagi untuk natalan. Dan tidak mungkin dikasih libur minimal 5 hari. Paling cuma 2 hari. Dus, tidak mungkin bisa pulang ke Lembata untuk misa plus perayaan Natal ala orang Lamaholot.
Maka, saya memutuskan ikut tur bersama seluruh karyawan ke Semarang. Studi banding ke Radar Semarang, koran daerah yang paling sukses di Jawa, sekaligus menikmati kota lama yang penuh bangunan kolonial yang cantik.
Sebelum tur, saya dan Novilawati yang ditugaskan untuk melakukan survei ke Semarang untuk tur 25-26 Desember 2019. Makanya aneh kalau saya tidak ikut piknik ke Semarang.
Nah, saat survei ke kota lama Semarang itu, saya juga survei gereja. Ada Gereja Blenduk yang terkenal di kota lama. Tapi gereja itu Protestan. GPIB Immanuel. Aku tidak mungkin misa di situ.
Bergeser ke pojokan, keluar sedikit dari areal wisata kota lama... wow, ada gereja katolik. Gereja Santo Yusuf, Gedangan, Semarang. Gereja Katolik tertua di Pulau Jawa.
Gereja Gedangan ini sangat terkenal karena dulu Monsinyur Soegijapranata melayani di sini. Beliau uskup pribumi pertama yang juga pahlawan nasional. Gereja Gedangan juga jadi lokasi syuting film Soegija.
Saya juga survei ke Katedral Semarang. Lokasinya dekat Lawang Sewu. Sama-sama gereja tua yang bersejarah.
Maka, jauh hari saya sudah rencana misa malam Natal di Gedangan atau Katedral. Mana yang dekat hotel dan jamnya cocok.
Ternyata Gereja St Yusuf Gedangan yang paling dekat. Tidak sampai 7 menit (kalau tidak macet). Misa keduanya pukul 20.30. Di Katedral Semarang pukul 21.00. Maka pilihanku jelas di Gedangan.
Selasa malam, 24 Desember 2019.
Ketika 69 peserta tur Kota Lama Semarang mulai mlaku-mlaku nang kota lama, saya berbelok ke arah Gedangan. Ada tukang ojek yang mendekat.
"Gerejanya dekat. Sampean kasih berapa aja terserah," kata ojek merangkap jukir di kota lama itu.
Satu jam sebelum misa gereja sudah terisi 80%. Saya pun masuk dan dapat tempat duduk agak depan. Lokasi ideal untuk menikmati suasana gereja tua anno 1870 itu. Juga dekat paduan suara yang pakai baju lurik dan blankon khas Jawa.
Arsitektur gereja ini memang indah. Ruangannya membulat dengan lukisan klasik di atasnya. Beda dengan gereja-gereja tua di Surabaya yang cenderung mengotak. Pilar-pilarnya juga besar.
Setelah menunggu hampir satu jam, ekaristi malam Natal pun dimulai. Kor baju lurik diiringi musik campuran keroncong dan klasik ala gereja. Lengkap dengan bas betotnya. Kualitas musik dan kor di sini di atas rata-rata nasional. Baik aransemen, harmoni paduan suara, tempo dsb.
Misa di Semarang ini juga mengingatkan saya pada Madah Bakti. Buku nyanyian liturgi ini sampai sekarang dipakai di Jawa Tengah dan Jogjakarta. Di Jawa Timur sudah tidak dipakai sejak 1994 (kalau tidak salah) karena diganti Puji Syukur.
Lagu-lagu Madah Bakti memang dirancang sebagai musik inkulturasi nusantara. Karena itu, ensambel keroncong ala Gedangan Semarang ini sangat cocok. Apalagi dirigen dan pemusiknya memang seniman beneran. Bukan umat yang penguasaan musiknya pas-pasan.
Semua lagunya memang dari Madah Bakti. Mulai ordinarium Misa Pustardos yang dari Flores, Alam Raya Karya Bapa, Malam Kudus, Gegap Gempita di Alam...
Saya benar-benar menikmati misa malam Natal meskipun jauh dari keluarga di NTT. Juga tidak kenal romonya. Seorang pastor Yesuit yang homilinya sangat bermutu. Omongan Romo Maryono SJ halus tapi mendalam.
Selepas misa--ini yang beda dengan Surabaya atau Sidoarjo--jemaat tidak langsung pulang. Ada semacam pesta rakyat di halaman gereja dan sekolah. Sudah disiapkan soto, rawon, gudeg dan minuman kopi, teh, es dsb.
Suasananya benar-benar meriah layaknya pesta rakyat. Umat berbaur menikmati nasi soto, rawon, gudeg yang lezat. Di panggung ada pertunjukan musik keroncong dan kesenian anak-anak muda.
Meskipun sudah ganti hari, lewat pukul 00.00, umat Katolik di Semarang tidak buru-buru pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya mereka menghayati kegembiraan gembala-gembala Bethlehem yang menemani Sang Bayi Kudus bersama Yosef dan Maria di kandang sederhana itu.
"Tiap tahun ya acaranya seperti ini. Biar umatnya guyub dan rukun," ujar seorang bapak yang memakai baju lurik.
Malam kian larut berganti pagi. Saya pun makin ngantuk. Jalan kaki lima menit ke pangkalan ojek di kota lama. Lalu menumpang ojek motor ke Pesonna Hotel Semarang. Teman-teman sudah pada ngorok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar