Kamis, 12 Desember 2019

NTT Mestinya Nomor 1 Paling Toleran

Dulu saya sering menulis tentang toleransi dan kerja sama antarumat Katolik dan Islam di Flores Timur dan Lembata. Atau Flores dan NTT umumnya. Luar biasa! Orang Jawa atau Jakarta atau Sumatera pasti geleng-geleng kepala.

Kok bisa seerat itu?

Tidak pernah ada masalah atau benturan antara orang Katolik dan Islam di Lembata dan Flores Timur (Flotim). Di kampung halaman saya ini sekadar toleransi atau membiarkan atau menghormati (pasif) tidak cukup. Di sana masyarakat hidup guyub rukun tanpa melihat latar belakang agamamu.

Oh ya, daerah saya itu cuma ada 2 agama: Katolik dan Islam. Agama asli yang tidak punya nama (biasa saya sebut Lera Wulan) sudah tak punya penganut karena anak-anak dan cucu mereka masuk Katolik atau Islam. Ada satu dua yang konversi ke Protestan atau Pentakosta setelah menikah di luar NTT.

Tentu saja cerita saya tentang kerukunan hidup beragama di NTT sangat subjektif. Hanya berdasar pengalaman masih kecil saya di Lembata dan masa remaja saya di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur. Bukan hasil kajian ilmiah yang objektif.

Nah, akhirnya pagi ini Kementerian Agama RI merilis data tentang indeks kerukunan agama di 34 provinsi di Indonesia. Datanya sangat objektif dan terukur. Bukan cuma klaim subjektif seperti yang saya lakukan dulu di blog yang sudah almarhum itu.

Tapi saya tetap kaget karena Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya peringkat 2. Mestinya nomor 1 menurut saya. Peringkat 1 Papua Barat dengan nilai 82,1. NTT peringkat kedua dengan nilai 81,2.

Berikut data dari Kemenag, Desember 2018 :

1. Papua Barat 82,1
2. NTT 81,2
3. Bali 80,1
4. Sulawesi Utara 79,9
5. Maluku 79,9
6. Papua 79,0
7. Kalimantan Utara 78,0

17. Jawa Timur 73,7


27. DKI Jakarta 71,3
28. Jambi 70,7
29. NTB  70,4
30. Riau  69,3
31. Banten  68,9
32. Jawa Barat 68,5
33. Sumatera Barat 64,4
34. Aceh 60,2

Syukurlah... apa yang saya klaimkan selama 10 tahun terakhir beroleh konfirmasi langsung dari Kemenag RI. Bisa jadi ada sedikit masalah di NTT bagian selatan (Kupang dan sekitarnya) sehingga skor yang diperoleh NTT kalah oleh Papua Barat.

Seandainya sampel yang diambil hanya dari NTT Utara alias Flores, Lembata, Solor, Adonara, dan Alor, saya yakin NTT bisa dapat skor di atas 90.

Begitu banyak contoh kerja sama dan gotong royong antara umat Katolik dan Islam dalam berbagai hal. Masjid di Desa Napasabok Mawa misalnya dibangun ramai-ramai seluruh masyarakat desa. Baik yang Katolik maupun Islam. Penggagas pembangunan masjid justru Bapa Carolus Nimanuho, kepala desa saat itu.

Saya dan kawan-kawan yang masih SD pun ikut mengambil material batu dan pasir untuk pembangunan Masjid Nurul Jannah itu. Saat jadi tuan rumah Idul Fitri, semua warga pun ikut sibuk. Mempersiapkan pesta, sembelih kambing, untuk menjamu umat Islam satu kecamatan.

Di Lembata ada kebiasaan Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Paskah digilir antardesa. Semua warga, tak peduli agamanya, dengan gembira menerima umat Islam yang berlebaran. Besok siang makan enak bersama setelah umat Islam salat Id di lapangan desa.

Begitu pula perayaan Natal sebentar lagi. Saat ini skalanya tidak lagi satu kecamatan tapi sepertiga kecamatan. Umat Katolik dari 7 desa merayakan ekaristi atau misa kudus di salah satu gereja stasi (desa). Giliran setiap tahun.

Stasi atau desa yang jadi tuan rumah tentu saja "berkewajiban" untuk menjamu tamu-tamu dari 6 desa itu. Tentu saja perlu sembelih babi, kambing, kadang sapi untuk makan bersama. Jadi, Natal tidak melulu urusan liturgi atau ekaristi seperti di Jawa.

Nah, umat muslim di desa yang ketiban sampur jadi tuan rumah natalan ya ikut sibuk. Bahkan saya lihat mereka paling sibuk karena tidak ikut misa, bukan? Sibuk masak, menyiapkan tenda, meja kursi.. untuk tamu-tamu dari desa tetangga.

Selepas misa Natal pagi (bukan Malam Natal) langsung bersalaman di tenda yang sudah disediakan tuan rumah. Ngobrol, cerita ringan... dan makan besar alias pesta ala rakyat desa. Tidak ada heboh Santa Claus atau Sinterklaas di desa-desa di NTT.

Ini cuma contoh kecil betapa toleransi antarumat sudah menyatu dalam napas dan darah manusia-manusia sederhana di Bumi Lamaholot, Keuskupan Larantuka. Orang Lamaholot tidak perlu penataran P4 atau Pendidikan Moral Pancasila untuk melaksanakan toleransi antarumat beragama.

Makanya, orang Lamaholot yang merantau di Jawa atau Sumatera atau Kalimantan sering heran ada unjuk rasa menuntut gereja ditutup. Heran mendengar gereja disegel. Kaget melihat berita di TV acara sembahyang rosario di rumah warga dibubarkan dsb dsb.

Kembali ke data Kemenag RI. Saya perhatikan ternyata provinsi-provinsi yang tingkat toleransinya sangat tinggi berada di kawasan timur dan tengah. Papua Barat, NTT, Bali, Sulawesi Utara, Maluku, Papua.

Dan... kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim. Ini cuma sekadar pembacaan data statistik kemenag.

Sebaliknya, Aceh yang sudah lama memberlakukan hukum syariat berada di nomor 34 alias juru kunci. DKI Jakarta yang orangnya pintar-pintar, modern, kosmopolitan, paling maju, paling wah... paling segalanya justru berada di nomor 27.

Saya masih optimistis NTT bakal jadi nomor 1 untuk urusan toleransi beragama kalau sampel yang diambil lebih banyak lagi.

16 komentar:

  1. Bung Hurek sudah tahu Masalahnya. Sudah tahu Penyebabnya.
    Mungkin sudah tahu pula Solusinya. Tetapi tidak mampu, tidak berdaya Menyelesaikan Masalah.
    Itulah Kita, selalu tidak berani Bertindak, tidak ada Ketegasan.
    Semuanya atas izin Allah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haiya... kita orang kan cuma kaum minoritas dan bukan penguasa. Kita orang cuma ngudarasa jarene wong jowo tentang situasi ipoleksosbud hankamnas jarene rezim orba aja.

      Hapus
  2. Membaca tulisan diatas, saya jadi ingat ketika saya sekolah di St. Louis waktu ada ulangan Aldjabar atau Goniometri.
    Yang saya tulis hanya :
    Pertanyaan :.........
    Diketahui :.........
    Buktikan :..........
    Bukti : kertas kosong
    Setelah seminggu hasil ulangan : NOL BESAR

    BalasHapus
  3. ".. kebetulan kok semua provinsi itu mayoritas penduduknya nonmuslim"

    Yo jelas toh. Krn mayoritas nonmuslim di propinsi itu sebenarnya minoritas di negeri Endonesya. Kalau mayoritas yang minoritas itu berani macam2, mayoritas luar propinsi akan berbondong-bondong dari Pulau Jawa dengan sponsor dari sononya. Sampai TNI pun tak berdaya mengatasi, seperti yang terjadi di Ambon, di Poso. Maka itu mayoritas propinsi yang minoritas di negeri itu harus tahu diri, ramah tamah terhadap minoritas di propinsi yang mayoritas di negeri.

    Lama kelamaan yang mayoritas di negeri pun akan menjadi mayoritas di propinsi. Seperti di Tiongkok. Orang Han merajalela di Kunming, di Yunnan, di Tibet, di Uyghur. Krn Orang Han itu seperti Wong Jawane NKRI, transmigrasi ke mana2 dan didukung penuh oleh pemerintah. NKRI bahkan lebih hati2. Kalau pendatang dari kena pushback dari penduduk asli seperti Madura di Kalimantan atau barusan Jawa di Papua, mereka gak berani keras terhadap orang lokal. Takut perang saudara.

    Penyelesaiannya ialah, NKRI ini seharusnya dipecah menjadi negara sendiri2 seperti sebelum Belanda menaklukkan, KALAU kaum radikal semakin merajalela. Gak ada gunanya Flores, Papua, Minahasa, Maluku Selatan, Bali, Kalimantan Timur, bertahan sebagai bagian dari NKRI. Jadikan saja negara2 persemakmuran Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena biasa jadi mayoritas di daerah asalnya, para perantau asal NTT Papua Maluku dsb biasanya tidak punya rasa sungkan atau minder hidup di tengah masyarakat Jawa atau Sumatera atau Sabah dan Serawak di Malaysia. Kebiasaan di kampung kayak jagongan, gitaran, ngombe2, nyanyi2 di pinggir jalan masih sering terbawa.

      Dua minggu lalu polisi menangkap beberapa pemuda asal Flores di Surabaya gara-gara ngombe bir di pinggir jalan sambil main gitar hehehe.

      Ngono yo ngono yen ojo ngono!

      Hapus
  4. Ada betulnya memang jadi federasi. Sangat banyak pakar, pengamat dan pater2 bilang begitu. Salah satunya pater mangun dari jogja itu. Romo mangun bahkan bikin buku tentang konsep negara serikat.

    Tapi.. jangan lupa, Indonesia sangat trauma dengan RIS. Eksperimen negara federasi ala hollands dianggap gagal dan memecah belah bangsa indonesia. Maka federasi atau serikat atau konfederasi jadi momok di indonesia.

    Bahaya kalau ngomong federasi. Pasti kalah kalau jadi politisi atau ikut pilkada atau pilpres.

    Aceh dengan otonomi luas dan hukum syariat sejak awal saya anggap semacam eksperimen federasi atau konfederasi. Apakah percobaan itu berhasil? Saya belum baca hasil evaluasinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya menganjurkan lebih dari federasi. Saya menganjurkan NKRI itu dipecah menjadi negara2 persemakmuran eks NKRI. Hehehehe. Anjuran yang tidak mungkin terjadi, krn alasa yang anda sebutkan itu. NKRI harga mati, suatu pernyataan yang absurd. Ga ada di dunia ini yang harga mati. Seperti Amerika yang dipertahankan mati2an sejak perang saudara, padahal politiknya sangat berlainan antara negara2 bagian di West Coast and East Coast, dgn negara2 bagian di Selatan. Wis wayahe dipecah. Bongkar, katanya Iwan Fals.

      Hapus
  5. Sebelum ada Indonesia, wilayah Nusantara itu sudah ada buanyaak negara2 atau kerajaan kecil. Belanda berjasa menyatukan negara2 kecil itu dalam sebuah negara besar bernama Hindia Belanda. Eks wilayah Hindia Belanda itu yg jadi wilayah Indonesia merdeka.

    Belanda juga efektif menghilangkan kerajaan2 kecil itu dengan politiknya yg canggih. Beda dengan Inggris di Malaysia. Sembilan kerajaannya tetap eksis dan efektif. Makanya Malaysia tetap negara federasi sejak penjajahan sampai sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lambertus, yang menghilangkan kerajaan2 kecil itu bukan Belanda, tetapi NKRI. Setelah menaklukkan mereka, Belanda tidak menghilangkan, tetapi menjadi gembong (Bhs Inggris: patron) di belakang mereka. Berbagai keraton itu masih berkuasa. Rajanya masih bertahta. Hanya, mereka harus mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda yang disalurkan lewat residen2 pribumi yang dibantui oleh staf ahli bangsa Belanda.

      Keraton2 itu kemudian hilang kekuasaannya karena pecah perang revolusi kemerdekaan. Keraton2 yang biasa mendapatkan uang sokongan dari Belanda jadi kikuk untuk mengambil sikap membela NKRI dalam perang kemerdekaan. Ketika NKRI menang dan menjadi negara yang berdaulat, habislah kekuasaan keraton2 itu, kecuali yang eksplisit membantu NKRI, seperti Keraton Yogyakarta.

      Yang terjadi di Malaysia sangat berbeda. Di sana, terjadi pemindahaan kekuasaan secara damai, dari rejim Kerajaan Inggris ke rejim Federasi Malaya yang terdiri dari berbagai kesultanan dan negara bagian. Tidak ada perang revolusi. Kesultanan2 Malaysia tidak perlu mengambil sisi sana atau sini. Mereka tetap diakui kekuasaannya dan mendapatkan tunjangan dari pajak dan pendapatan negara.

      Hapus
    2. Dui dui.. di Malaysia ada 9 kesultanan yg otonom dan efektif sejak British (istilahnya TKI asal Flores). Ditambah 2 negara bagian di Kalimantan:Sabah dan Serawak.

      Tatanan British ini berlaku sampai sekarang. British sudah tahu kalau suatu saat Malaysia akan merdeka. British juga sudah punya proyeksi jauh ke depan hubungannya dengan negara2 bekas jajahannya.

      Meneer en mevrouw Hollands tidak punya skenario itu. Mungkin Hollands merasa akan menjajah Indonesia selamanya. Exit plan gak ada.

      Makanya belanda2 sangat dibenci sama orang Indonesia. Tiap hari ada ludruk yg menceritakan kekejaman meneer meneer itu.

      Maka setelah merdeka, Indonesia tidak punya sistem politik dan tata negara yg bagus. Sampai sekarang masih trial and error.

      Hapus
    3. Ini yg terjadi di Sumatra:
      https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Sosial_Sumatra_Timur

      Hapus
  6. Hai tukang khotbah, bukan ayat-ayat kitab yang ingin aku dengar dari mulut-mu, melainkan kelakuan-baik mu yang ingin aku jadikan teladan.
    Quid verba audiam, cum facta videam ?

    BalasHapus
  7. Om Lambertus,

    Bukan sebuah kebetulan, provinsi-provinsi yang berada di urutan paling bawah adalah provinsi yang Islam-nya sangat kuat, dan kebanyakan suku yang ada di provinsi-provinsi ini, Islam sudah sangat melekat dengan adat, sehingga anggota suku tersebut harus beragama Islam dan keluar dari Islam sama dengan keluar dari adat.

    Ini sama dengan apa yang terjadi di Arab Saudi dan Maladewa, di mana warga negara harus beragama Islam. Kalau bukan Muslim maka tidak akan diterima jadi warga negara.

    Dengan demikian, di provinsi-provinsi ini, ada garis batas yang tegas antara agama "penduduk asli" dan "pendatang". Kalau ada non-Muslim yang tinggal di situ umumnya pendatang.

    Yes, mereka mungkin bisa hidup berdampingan, tapi tidak bisa membaur sepenuhnya. Masih ada garis pemisah yang tegas di antara keduanya. Tidak seperti harmoni yang selalu dibanggakan oleh Om Lambertus tentang apa yang terjadi di Flores dan Lembata. Wajar, karena baik Muslim dan Katolik di kampung anda sama-sama penduduk asli.

    Sekarang saya tinggal di Jawa Barat, tepatnya di wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Amat jarang penduduk asli yang non-Muslim di sini. Kecuali yang paling notable mungkin Kampung Sawah, Bekasi, yang penduduknya ada yang Muslim, Katolik dan Protestan.

    Geser ke timur, di Kabupaten Kuningan, ada kantong-kantong etnis Sunda yang non-Muslim, terutama di Cigugur yang terkenal dengan Gua Maria Cisantana, perayaan Seren Taun, dan juga keberadaan Agama Djawa Sunda, agama sinkretisme yang berasal dari kearifan lokal Sunda.

    Di luar itu, penduduk asli Jawa Barat hampir seluruhnya beragama Islam. Itulah makanya gereja-gereja di wilayah ini baik Katolik atau Protestan masih sulit melakukan kegiatan pastoral untuk menjangkau penduduk asli.

    Saya juga pernah tinggal di Sumatera Selatan. Kondisinya juga hampir sama, penduduk asli 99% beragama Islam. Sedikiiiittt sekali penduduk lokal beragama Katolik atau Protestan. Yang terkenal adalah umat Katolik penduduk asli di Tanjung Sakti, Lahat, di sinilah gereja Katolik pertama kali berdiri di Sumatera Selatan.

    Komentar saya ini hanya menunjukkan fenomena dari perspektif saya saja. Karena mungkin salah satu kriteria yang menjadi penilaian toleran atau tidaknya wilayah yang kita bahas di sini adalah seberapa kuatnya interaksi antar warga yang berbeda agama. Jangan heran jika Papua, NTT, Bali, Sulawesi Utara dll mendapat nilai tinggi, karena di daerah-daerah ini, warga aslinya punya agama yang beragam. Termasuk di kampung halaman saya, ada yang Protestan, Katolik, Muslim, Parmalim dan sebagainya. Provinsi kampung halaman saya (Sumatera Utara) wajar nilainya gak tinggi-tinggi amat karena di beberapa wilayah suku Melayu (Pesisir Timur) kasus yang seperti saya sebutkan di Jawa Barat itu juga terjadi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul bung Nababan.. orang Lamaholot yg katolik dan islam sangat rukun dan melebur asal mulanya karena sama2 penduduk asli. Selain itu, filsafat dan adat Lamaholot memang menganggap semua manusia itu sama di hadapan Lera Wulan Tanah Ekan apa pun agama dan kepercayaanmu.

      Orang Katolik dan Islam sama2 rajin beribadah tapi tidak fanatik. Dan boleh dikata tidak ada orang Islam yang pindah ke agama Katolik dan sebaliknya. Pengecualiannya seperti yg saya bahas di blog lama adalah "kecelakaan" perkawinan. Maka sesuai adat Lamaholot, wanita yg ikut suami. Itu pun sangat jarang.

      Selain sama2 penduduk asli Lamaholot, para pendatang yg beragama non Katolik pun bebas beribadah kapan saja di rumah dsb. Tapi sempat ada masalah ketika ada aliran sejenis haleluya yg dianggap kerjanya cuma menjelek-jelekan katolik sempat membuat orang kampung marah. Aliran itu dibawa orang luar yg kawin sama orang Lamaholot.

      Hapus
  8. Sulit mencari biografi penyanyi lawas dangdut, Latif M. Lagunya yg terkenal berjudul "Kasih Sekejap". Populer tahun 1977 an. Dia sekarang dimana? Hidup, sakit atau sudah meninggal dunia? Ada tahu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita orang tidak tahu tentang riwayatnya Latif M dengen Kasih Sekejap. Kita tanya Mbah Google juga tak ada jawaban. Itu lagu Kasih Sekejap sangat enak dan terkenal di mana2.

      Hapus