Usianya 83 tahun. Namun, Gregorius Soeharsojo Goenito masih akrab dengan kanvas, cat, kertas, dan tinta. Bahkan, belakangan ini pria yang akrab disapa Greg atau Harsojo itu juga rajin menulis puisi dan cerita tentang pengalaman hidupnya di Pulau Buru, Maluku, dan mengikuti diskusi politik di radio dan televisi.
Ketika ditemui di rumahnya, kawasan Trosobo, Taman, Sidoarjo, Pak Greg itu sedang sibuk membongkar dokumentasi sketsa-sketsa lamanya yang disimpan di beberapa map. Ada pula foto-foto berusia puluhan tahun yang sudah tidak jelas lagi gambarnya.
Namun, pria kelahiran Madiun, 10 Februari 1936, ini masih ingat nama-nama kawan seperjuangannya di Pulau Buru, Maluku. Pulau tempat pembuangan sekitar 10 ribu sampai 12 ribu tahanan politik aliran kiri yang dianggap pendukung Bung Karno dan Nasakom.
"Sebagian besar sudah tidak ada lagi di dunia ini. Makanya, saya sangat bersyukur kepada Gusti Allah yang masih memberikan kesempatan kepada saya untuk menikmati hidup. Ini merupakan berkah yang luar biasa," kata Greg.
Berikut petikan percakapan LAMBERTUS HUREK dengan Soeharsojo Goenito di rumahnya di Desa Beringinbendo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Apa kegiatan Anda sekarang?
Sama seperti dulu. Membuat sketsa, melukis, bikin puisi, ya, kumpul dengan teman-teman. Sekarang saya hampir selalu di rumah karena tenaga saya sudah sangat kurang, namanya juga tiyang sepuh. Tapi saya merasa masih punya banyak energi untuk melanjutkan perjuangan ini.
Perjuangan apa?
Yah, macam-macamlah, perjuangan di bidang kesenian karena saya kan seniman. Saya ingin agar di era reformasi ini bangsa kita bisa belajar dari sejarah. Jangan sampai kita terjatuh dalam lubang yang sama. Sebagai orang yang sudah tua, saya sedih karena korupsi kok kayaknya makin menjadi-jadi di tanah air kita. Itu kan bertentangan dengan tujuan reformasi.
Para mahasiswa dulu pada tahun 1998 berunjuk rasa di mana-mana untuk menjatuhkan rezim Orde Baru karena dianggap KKN, korupsi, kolusi, nepotisme. Lha, kok sekarang KKN itu malah makin banyak. Ini artinya kita tidak belajar dari sejarah. Kesannya seperti meniru KKN yang dilakukan oleh Orde Baru.
Sekarang kan sudah banyak koruptor yang ditangkap KPK?
Tapi koruptornya malah tidak takut sama KPK. Setiap hari kita melihat televisi, membaca koran, kasus korupsi terjadi di mana-mana. Dan itu sangat memprihatinkan.
Anda belum lama ini menerbitkan buku memoar berisi sketsa-sketsa di Pulau Buru. Prosesnya bagaimana?
Saya menyiapkan bahan-bahan dan menyusun naskah selama lima tahun lebih. Revisi berkali-kali agar informasinya lebih menarik dan akurat. Soalnya, buku itu kalau sudah dicetak sulit direvisi.
Ide buku itu dari mana?
Justru dari orang Amerika Serikat, Dr Janet Steele, profesor dari George Washington University. Suatu ketika Bu Janet mengunjungi saya di rumah ini. Dia terkejut ketika koleksi sketsa saya tentang Pulau Buru begitu banyak, hanya menumpuk di map. Prof Janet Steele mendorong saya untuk segera membukukan sketsa-sketsa itu agar bisa dinikmati oleh orang banyak.
Kemudian ide dari Janet Steele ini juga direspons positif oleh teman-teman di Jogjakarta. Nah, sejak itulah saya mulai serius untuk menyusun sebuah buku kenangan dari Pulau Buru. Buku itu saya kasih judul Tiada Jalan Bertabur Bunga.
Buku itu isinya semacam kumpulan skesta Anda semasa berada di Pulau Buru?
Yah, semacam itulah. Sketsa-sketsa itu saya beri catatan dan keterangan singkat. Sehingga pembaca bisa mengetahui latar belakang dan konteks sebuah peristiwa atau objek yang saya bikin di sketsa tersebut.
Dan, jangan lupa, sketsa-sketsa itu asli dibuat di Pulau Buru, bukan baru dibuat setelah kami dipulangkan ke Jawa. Jadi, ini semacam catatan sejarah dalam bentuk gambar, bukan sekadar naskah atau tulisan. Kalau almarhum Pramoedya Ananta Tour membuat catatan pengalaman di Pulau Buru dalam bentuk novel dan esai, saya bikin dalam bentuk sketsa.
Biasanya sebagian besar orang sengaja melupakan pengalaman yang buruk. Mengapa Anda kok malah membeberkan pengalaman selama dibuang di Pulau Buru?
Ini persoalan sejarah bangsa kita Bung! Bung Karno mengatakan Jas Merah: jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Apa yang sudah terjadi pada masa lalu, seperti saya dan teman-teman alami di Pulau Buru, hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda, anak cucu kita. Supaya mereka tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh generasi terdahulu.
Apakah Anda punya dendam sejarah karena berada di pihak korban?
Sama sekali tidak ada dendam. Buat apa? Saya dari dulu sangat rileks, biasa-biasa saja. Kalau dendam, sakit hati, saya bisa stres berat. Dan, mungkin saya sudah lama tidak ada di dunia ini. Saya justru bersyukur kepada Tuhan karena diberi usia yang panjang, sementara sebagian besar teman saya sudah tidak ada lagi.
Saya bersyukur diberi kesempatan untuk hidup di era reformasi, sementara banyak teman saya yang sudah meninggal dunia pada tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka tidak sempat menikmati udara reformasi. Mereka tidak bisa menyaksikan rezim Orde Baru yang dulu sangat berkuasa dan ditakuti itu ternyata bisa ambruk juga. Makanya, sebagai orang tua yang pernah menjadi korban Orde Baru, saya hanya bisa mengingatkan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan di masa lalu.
Ngomong-ngomong, apakah Anda masih punya keinginan untuk pameran?
Jelas dong. Saya malah ingin mengadakan pameran tunggal. Sebab, banyak sekali karya saya tentang Pulau Buru yang belum diketahui masyarakat.
Oh ya, apa resep umur panjang dan tetap sehat di usia senja?
Selalu optimis, berpikir positif. Kalau punya masalah, silakan berkarya, melukis, membuat puisi, bernyanyi, olahraga. Jangan suka memanjakan tubuh. Sebaiknya kita lebih sering jalan kaki atau naik sepeda pancal daripada naik motor atau mobil. Olahraga juga bisa dilakukan dengan menyapu halaman, berkebun, atau menyiram bunga. Makanya, saya ini kelihatan seperti lebih muda 20 tahun. Hehehehe..... (*)
Satu Barak dengan Pramoedya
Selama sepuluh tahun (1969-1979) Soeharsojo Goenito menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. Meski 'hanya' satu dasawarsa di sana, kenangannya akan Buru tak pernah hilang dari ingatannya. Dia masih ingat nama-nama rekannya yang tinggal di barak berukuran 10 x 25 meter.
"Satu barak berisi 14 tahanan. Salah satu teman saya satu barak adalah Pramoedya Ananta Tour," tutur Gregorius Suharsojo.
Pramoedya, novelis besar yang menulis tertralogi Pulau Buru itu, digambarkan Greg sebagai seniman yang sangat tegas pada pendirian dan punya disiplin tinggi. Dia menjadi inspirasi bagi seniman lain agar terus berkarya meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas. Itu pula yang mendorong Greg rajin membuat sketsa selama berada di pulau pembuangan itu.
Nah, goresan sketsa-sketsa yang dibuat di Pulau Buru itu kemudian dilukis ulang ketika ayah empat anak ini sudah kembali ke Jawa. Lukisan-lukisan Greg didominasi warna biru laut dan hijau.
"Itu warna alam di sana yang masih saya ingat sampai sekarang," katanya.
Bukan hanya penulis, penyair, atau pelukis, sejumlah seniman musik dan teater pun rajin berkarya selama berada di Pulau Buru. Mereka mengajak teman-temannya bernyanyi bersama atau berlatih sandiwara untuk dipentaskan di sebuah aula yang cukup bagus.
"Waktu itu kesenian memang cukup hidup di sana. Berkesenian itu membuat kami bisa mengisi hari-hari kami dengan gembira dan optimis," katanya.
Gencarnya tekanan dari dunia internasional dan aktivis hak asasi manusia, proyek Instalasi Rehabilitasi alias Inrehab di Pulau Buru ini pun akhirnya ditutup. Dan, pada 12 November 1979 rombongan terakhir tapol meninggalkan Pulau Buru, termasuk di dalamnya Pramoedya Ananta Tour.
"Sayang, Pram sudah lebih dulu meninggalkan kita sebelum mendapat Hadiah Nobel kesusastraan. Pram itu sastrawan terbesar kita yang diakui dunia, tapi dibuang ke Buru," kata Greg. (rek)
CV SINGKAT
Nama : Gregorius Soeharsojo Goenito
Lahir : Madiun, 10 Februari 1936
Alamat : Trosobo, Taman Sidoarjo
Pendidikan :
- Sekolah Rakyat Taman Siswa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Dewasa, Madiun
- Sekolah Rakyat Taman Madya, Madiun
- Akademi Administrasi Perusahaan Veteran, Surabaya
Perjalanan Karier :
- Bergabung di Sanggar Tunas Muda, Madiun, dibawah bimbingan pelukis Sediyono, Soenindya dan Kartono, 1952.
- Bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 1963-1965.
- Diasingkan bersama para seniman Lekra lainnya ke Pulau Buru, Maluku, 1969.
- Kembali ke Jawa, menetap di Surabaya, 1978.
- Pameran Bersama Bunga Rampai Pelukis Lekra di Galeri Surabaya, 2005.
- Pameran Tunggal Memoar Pulau Buru di Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.
- Menyusun buku Tiada Jalan Bertabur Bunga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar