Senin, 09 Desember 2019

Koran Quoji Ribao dan Qiandao Ribao Masih Diminati

Senin pagi 9 Desember 2019.

Saya masih melihat 2 koran berbahasa Tionghoa (Mandarin) di kawasan Pondok Candra, Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru, Sidoarjo. Masing-masing 4 eksemplar.

"Koran Mandarin itu untuk langganan. Mereka dari dulu setia baca koran Tionghoa," kata ibu pemilik kios koran.

Wanita itu keturunan Tionghoa tapi tidak bisa berbahasa Tionghoa. Apalagi membaca aksara Tionghoa yang antik itu. Sejak terbit pada awal 2000an, saat Gus Dur jadi Presiden RI, pelanggan dua koran Tionghoa tersebut stabil.

Beda dengan koran-koran cetak berbahasa Indonesia yang peminatnya turun tajam. Ibu itu mengaku tidak bisa mengambil banyak surat kabar pagi. Takut tidak laku. "Di belakang masih numpuk koran-koran lama," katanya.

Di Surabaya ada 2 koran harian berbahasa Tionghoa. Guoji Ribao yang tebal banget milik Dato Taher Mayapada dan Qiandao Ribao milik beberapa pengusaha Tionghoa Surabaya.

Porsi berita murni di 2 koran Tionghoa itu tidak banyak. Paling banyak berita-berita pesanan dari komunitas Tionghoa. Mirip album foto-foto perayaan ulang tahun, reuni, peluncuran produk dsb.

"Komunitas-komunitas Tionghoa itulah yang menghidupi koran. Sebab koran Tionghoa tidak bisa dijual kayak koran-koran biasa. Pasarnya kan sangat sempit," kata Sun, teman lama mantan wartawan media Tionghoa.

Sun juga bilang pembaca setia koran Tionghoa adalah para lao ren alias tiyang sepuh alias orang tua. Mereka memang butuh bacaan dengan aksara Tionghoa agar tidak lupa bahasa Tionghoa tulisan.

"Anak-anak muda jarang yang baca koran Tionghoa. Jangankan koran Tionghoa, koran-koran berbahasa Indonesia pun mereka jarang baca. Generasi milenial itu membaca media sosial dan HP," kata Sun yang tidak fasih bahasa Tionghoa.

"Bahasa Tionghoa itu kan baru diizinkan sejak Gus Dur jadi presiden. Otomatis generasi Tionghoa kelahiran masa Orde Baru tidak bisa bahasa Tionghoa. Mungkin ada beberapa yang bisa tapi tidak banyak," katanya.

Yan Shi, guru senior bahasa Tionghoa, jadi pengisi rubrik sastra di koran Qindao Ribao alias Harian Nusantara. Dia bilang kehadiran koran macam Qindao dan Guoji sangat penting untuk mengangkat kembali sastra Tionghoa yang sempat mati suri selama tiga dasawarsa.

Gara-gara ada koran Tionghoa, gairah Yan Shi menulis puisi, syair, dan cerita pakai bahasa Tionghoa melonjak tinggi. Nenek 80an tahun ini setiap hari menulis sastra Tionghoa untuk koran dan bikin buku.

Sudah ada 5 atau 7 buku yang diterbitkan Ibu Yan Shi. Tulisan itu awet, katanya. Beda dengan omongan yang cepat hilang terbawa angin. Dan cepat dilupakan orang.

Membaca dan menulis aksara Tionghoa juga membuat para lao ren tidak cepat pikun.

3 komentar:

  1. Bahasa Cina punya ciri2 penting yg berbeda yg menguntungkan utk latihan otak. Yg pertama, bahasa Cina itu simbolik. Jadi otak dilatih lebih untuk mengenali beratus dan bahkan beribu simbol yg diasosiasikan dengan artinya. Kemudian ada ribuan kata majemuk, seperti peng-you (teman), dian-nao (komputer) yang mengandung arti baru dibandingkan kata2 akarnya. Ke-2, Bahasa Cina itu bernada atau tonal. Sehingga otak dilatih untuk mengenali tiap bunyi dan nadanya untuk bisa mengartikan dengan benar. Krn itu kita harus respek thd penutur bahasa bernada yang syulit itu.

    BalasHapus
  2. Haiya.. betul betul.
    Bahasa Tionghoa memang paling unik dan sulit dengan fonologi yg kompleks. Makanya saya pernah menulis dulu bahwa orang Tionghoa sejak bayi terbiasa menggunakan kapasitas otak lebih banyak untuk menyimpan kode2 bahasa mereka. Mereka juga jadi sangat peka nada karena beda sedikit aja sudah berbeda maknanya.

    Saya justru sangat respek sama bahasa dan tradisi Tionghoa. Makanya saya bikin catatan ringan tentang 2 koran berbahasa Tionghoa yg ciamik itu.

    Saya sangat tertarik melihat koran Tionghoa ikut berjejer di lapak koran di Surabaya atau Jakarta.

    Koran harian bahasa Jawa malah tidak ada. Cuma aja majalah mingguan bahasa Jawa Panjebar Sangat dan Jaya Baya. Itu pun masih banyak orang Jawa yg tidak tahu. Opo maneh tuku lan moco.

    Media cetak berbahasa Jawa malah adanya di Suraname.

    BalasHapus
  3. Jadi Guoji Ribao itu miliknya Tahir tah ! Mangkanya sering sekali fotonya Tahir terpampang dikoran tersebut.
    Engkoh-ku di Jakarta berlangganan koran tersebut. Tiap pagi habis sarapan, dia selalu membaca koran itu. Kalau ada fotonya Tahir, maka dia selalu meng-nggopi istri-nya (istilah engkoh2 suroboyo yang artinya menggoda, setengah mengolok, setengah menyindir ).
    Lihatlah saudara sepupu lu ( biao-di ) nampang lagi ! Memang enso-ku itu masih bau famili dengan Tahir.
    Jawab istrinya selalu telak: Lu iri ya ! Mulailah kedua manusia tua2 itu saling ngeledeg. Memang engkoh-ku yang suka cari gara2. Kalau bosan lihat tampangnya Tahir, ya jangan langganan Guoji Ribao, kan beres, gitu aja kok repot.
    Engkoh-ku itu yang sudah umur 80 tahun, dulu sering memberi nasehat kepada aku dan istri-ku, kalau kami berdua sedang cekcok. Sudah lah jangan tukaran, wis tuwek kok isik demen tukaran ! Padahal dia sendiri, kalau habis baca Guoji Ribao juga saling ledek-ledek-an dengan istri-nya.
    Sejak usia saya melewati 70 tahun, saya tidak pernah lagi bertengkar dengan istri saya. Saya jadi bijaksana, alias kuping tembus, omelan bojo masuk kuping kiri langsung keluar kuping kanan. Dulu lain halnya, begitu bibir istri-ku mulai bergerak, belum ada suara, aku sudah tahu lebih dulu, omelan apa yang bakal keluar dari mulutnya. Lha wong aku kenal bojo-ku sejak tahun 1963, ketika dia masih duduk di bangku sekolah rakyat St. Theresia dan aku sekolah di St. Louis Surabaya bersama-sama dengan abang-nya dia, zaman kepala sekolah-nya Bruder Aquino.
    Waktu masih Zaman Suharto, kalau pulang ke Surabaya, kami selalu membawakan koran dan majalah tulisan China untuk Mama.
    Kadang kala, kalau diperiksa oleh Douane di bandara, ketahuan membawa koran tulisan China, maka disita.
    Dirumah Mama, bertumpuk koran2 China yang sudah tua2. Kalau saya bilang; Ma koran-lu yang tua2 dibuang saja ! Jangan katanya, gua belum baca semua. Saking langka-nya koran China kala itu, sampai semua iklan dan advertensi pun dibaca oleh ibu-ku.



    BalasHapus