Minggu, 01 Desember 2019

Kolekte vs Nyawer Artis



Misa di Gereja Salib Suci, Waru, Sidoarjo, baru saja usai. Minggu Pertama Adven. Persiapan jelang Natal. Paternya asal Flores, sudah pasti SVD, tak tahu namanya. Mungkin romo tamu.

Saya tidak fokus ke homili tentang Nuh dan sebagainya. Entah mengapa, kali ini saya tertarik ke kolekte. Sumbangan sukarela ke kotak atau kantong kain. Nilainya terserah. Ada yang masukkan 100, 50, 20, 10, bahkan 2000an.

Tidak apa-apa menyumbang sedikit. Lama-lama jadi bukit, bukan? Kolekte ini berbeda dengan persembahan 10% alias perpuluhan di gereja-gereja yang bukan katolik.

Giliran kantong warna ungu itu sampai ke tangan saya. Kudu nyumbang. Berapa pun nilainya? bisik hati kecilku. Uang merah atau biru atau 20?

Akhirnya saya masukkan susu tante alias sumbangan sukarela tanpa tekanan ke kantong kolekte. Suara hati berbisik lagi, kok lebih sedikit ketimbang nyawer penyanyi dangdut koplo? Kok berat banget nyawer gereja?

Gereja kan sudah banyak yang nyumbang? Artis koplo dan pemain keyboard itu kan jarang dapat job akhir-akhir ini. Begitu suara hati berbisik lagi.

Jadi malu memang kalau membandingkan nyawer artis dan nyawer gereja alias kolekte. Mestinya sumbangan untuk gereja lebih besar daripada kasih saweran ke penyanyi. Gak nyawer pun gak apa-apa. Gak kolekte pun gak papa.

Minggu lalu ada bacaan tentang persembahan seorang janda miskin di tempat ibadah. Duit yang dimasukkan ke dalam kotak amal hanya beberapa sen. Tapi Yesus bilang saweran, eh.. sumbangan janda miskin itu jauh lebih besar ketimbangan persembahan orang kaya.

Markus 12 : 43-44

Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka:

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan.

Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."

10 komentar:

  1. Apakah benar, ketika Lambertus nyawer artis, yg dipikirkan ialah “kan sang artis sedang sepi tanggapan”, bukannya hil2 lain yg mustahal? Hehehehe

    BalasHapus
  2. Nyawer itu prinsipnya sama dengan tradisi tionghoa kasih angpao untuk barongsai dan liang liong. Sama-sama untuk apresiasi para seniman yg sudah menghibur kita.

    Orang tionghoa lebih elegan karena duitnya dimasukkan amplop merah. Kalau nyawer duitnya telanjang. Bahkan banyak penyawer yg terlalu demonstratif sehingga terkesan norak.

    Sistem angpao ala tionghoa lebih elegan dan berbudaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maafkan godaan saya yang berlebihan dan berkonotasi negatif. Jika ada pengamen yang enak, saya berusaha merogoh kantong dan memberi untuk apresiasi. Begini2 saya pernah ngamen di bar, Lambertus, walaupun bayarannya hanya bir dan tequila.

      Hapus
    2. hehehe gapapa. memang sekarang ini saweran di jawa sudah bergeser ke sana. ada unsur menyenangkan si penyanyi yg cakep dan muda dan seksi. makanya penyanyi2 yg stw alias di atas 30 tahun biasanya jarang dapat saweran.

      tapi sebetulnya uang saweran itu tidak masuk ke kantongnya si artis. biasanya dibagi rata untuk semua pemain musik sampai tukang sound system dan tukang angkat2 barang.

      cuman itu tadi... cara nyawer artis sekarang ini sangat norak. zaman dulu katanya duit dimasukkan ke dalam kutangnya mbak2 penari ronggeng. seruuuu

      Hapus
  3. Seorang teman saya pernah bilang : Kok bisa ada, seorang Pastor yang mencaci-maki dengan kata-kata kotor dan mau mementung orang.
    Dia pernah melihat Pastor van Mensvoort dari Gereja Kristus Raja, mengejar seorang pemuda, sambil berteriak marah2, mencaci maki dengan kata2 kotor dan membawa sapu.
    Sebabnya, Pastor Mensvoort memergoki si-anak muda sedang berusaha mencuri uang kolekte dari kotak amal yang ada di dalam gereja.
    Sayang-nya teman-ku itu yang rumah-nya di jalan Tambaksari sudah lama meninggal Dunia. Seandainya dia masih hidup, maka dia bisa menyaksikan, jaman sekarang, pemuka-pemuka agama bukan hanya mencaci-maki dalam berkhotbah, bahkan menganjurkan jemaah-nya membunuh orang dengan kata-kiasan : Halal Darah-nya !
    Kita generasi kolonial memang masih menganggap seorang Pastor, sebagai wakil Christus di Dunia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih ada orang yang ingat Pastur Meensvoort. Menjelang remaja, selama 8 tahun saya pergi ke paroki Kristus Raja. 10 menit naik becak. Pastornya kalau tidak Meensvoort ya Tondowidjojo. Kalau Meensvoort, pas Gregorian suaranya ga enak, krn intonasi bahasa Indonesianya masih keLondoa2n. Kalau Rm Tondo, suaranya bagus krn memang dia mempelajari musik. Tetapi ironisnya beliau suka men-skip lagu2 sehingga misa menjadi hanya 45 menit, apalagi kalau Minggu sore. Mungkin beliau selalu ada janjian dengan umat untuk makan malam bersama. Sekarang ke-duanya sudah almarhum.

      Hapus
    2. Menarik.. ada pencurian kotak amal atau kolekte di gereja. Pater Meensvoort sampai ngamuk begitu.

      Sudah lama kolekte itu langsung dihitung dan ditangani petugas liturgi. Langsung masuk kas. Jadi, tidak akan ada uang yg keleleran di gereja2 di Indonesia.

      Yang hitung kolekte juga banyak orang. Saling kontrol. Sehingga peluang untuk nempil atau korupsi sangat kecil.

      Hapus
  4. Pater Meensvoort ini rupanya sangat terkenal di Surabaya. Saya gak pernah ketemu tapi banyak sekali umat katolik di Surabaya yg cerita tentang beliau.

    Kalau Romo Tondo saya kenal baik. Memang dia sempat sekolah musik di Italia dan terbitkan buku tentang olah vokal. Dulu pernah saya tulis di blog lawas.

    Kebiasaan skip nyanyian juga dilakukan banyak pastor. Dulu di Malang dan Jember ada pater karmelit yg suka skip lagu2 kor kalau lagi tidak suka. Misanya jadi cepat tapi petugas kor jadi kecewa karena latihan yg lama itu dianggap sia-sia.

    Di Larantuka juga ada pater asal Ceko yg hobinya skip lagu. Sepertinya dia tidak suka nyanyian. Makanya misa sama dia sangat cepat. Banyak orang yg senang tapi tidak sedikit yg jengkel.

    Pater Krisik (ejaan aslinya sangat ruwet) juga suka skip khotbah. Kalaupun homili biasanya paling lama 5 menit. Kontras dengan Pater Due orang Flores Barat yg khotbahnya panjang lebar gak karuan. Sampai umat deg-degan kalau tahu Pater Due yg pimpin misa. Zaman dulu memang belum ada pembatasan durasi homili. Imam2 bebas ngomong sesuai seleranya.

    BalasHapus
  5. Di awal tahun '60-an, di Paroki Kristus Radja ada dua Pastor Londo, yaitu Mensvoort dan Sluter. Kita anak2 muda lebih suka kepada Pastor Sluter, sebab orang nya baik, ramah dan suka bergurau dengan anak2 muda. Pastor Sluter, orangnya tinggi jangkung, suka merokok, rokok yang dilinting sendiri dengan tembakau Van Nelle, sampai jari2-nya berwarna kuning.
    Dia jarang sekali memakai jubah, kecuali kalau memimpin Misa.
    Dia lah guru katekismus ku pertama. Seingat ku, tidak pernah Pastor Sluter men-jelek2-kan bangsa Yahudi.
    Guru katekismus ku yang kedua, adalah seorang Bruder keturunan tionghoa, orang Singosari. Orang itu kalau mengajar agama, selalu men-jelek2-kan, mencaci bangsa Yahudi. Walaupun seumur hidupnya, dia belum pernah bertemu atau kenal dengan seorang Yahudi. Ketika itu naik pesawat terbang pun dia belum pernah.
    Mengapa pelajaran agama di Indonesia, bukannya mengajarkan kasih-sayang sesama manusia, sebaliknya, bahkan orang yang tak dikenal pun, harus dibenci.
    Banyak orang Indonesia yang menyamakan Pak Jokowi dengan firaun, tahukah mereka, bahwa firaun terachir sudah tidak ada, 500 tahun sebelum Nabi lahir.

    BalasHapus
  6. Pater2 Londo memang sangat menarik dan berkesan. Cerita tentang pater2 misionaris pada era 60an sampai 90an tidak habis2nya dituturkan masyarakat di wilayah NTT khususnya Flores dan sekitarnya.

    Saya termasuk generasi terakhir yg menikmati pelayanan pastoral pater2 londo. Setelah itu terjadi arus balik di gereja universal. Pater2 londo makin menua dan pigi ke Tuhan Allah punya rumah di surga. Gantian pater2 dari Flores yang pigi kerja di kebun anggur di seluruh dunia. Termasuk di negara2 asal pater2 londo yang dulu seranikan orang2 Lamaholot itu.

    BalasHapus