 |
| Romo Benny Susetyo memberikan kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. |
Sudah lama saya tidak bertemu Romo Antonius Benny Susetyo. Pater asli Malang ini memang sudah lama bertugas di Jakarta. Ia lebih banyak "bermain" di luar lingkungan gereja. Romo Benny justru lebih mudah dijumpai di televisi-televisi nasional.
Saat ini Romo Benny Susetyo jadi anggota BPIP. Badan Pengembangan Ideologi Pancasila. Karena itu, ia selalu bicara tentang Pancasila Pancasila Pancasila.
Saya tidak pernah dengar Romo Benny bicara tentang liturgi, ekaristi, aksi puasa dan sejenisnya. "Kamu aja yang jadi pemazmur. Suaramu kan bagus," kata Romo Benny saat menugaskan saya jadi pemazmur di Gereja Paroki Situbondo beberapa tahun lalu.
Banyak kenangan menarik dengan romo kelahiran 1968 di Malang itu. Antara lain saya sering mengedit tulisan-tulisannya. Kalimat-kalimat panjang khas klerus saya sunat habis.
"Pakai kalimat-kalimat pendek saja Romo! Hindari kalimat majemuk," pesan saya menirukan ajaran Mr Yu Shigan di Jawa Pos.
Pater Benny ternyata manut. Maka ia pun jadi salah satu kolumnis penting di Indonesia saat ini. Juga pembicara yang sering tampil di televisi. Sebab tugas-tugas pastoralnya di gereja tidak banyak. "Saya itu pastor kategorial," katanya.
Semalam Romo Benny Susetyo mengirim pesan WA tentang sekolah yang ambruk di Pasuruan. Dua orang tewas. Belasan murid terluka. Sebagai orang BPIP, Romo Benny mengaitkan insiden itu dengan penghayatan nilai-nilai Pancasila.
"Robohnya sekolah di Pasuruan itu sebagai simbol bahwa dunia pendidikan perlu ditata kembali agar pendidikan memiliki keadaban," kata Benny.
"Pendidikan kehilangan keadaban dan cenderung menghasilkan manusia yang tidak memiliki karakter kejujuran dan keutaman publik.
Penting menata kembali nilai keutaman dalam pendidikan untuk mengarusutamakan habitusasi Pancasila dalam tata kelola sekolah," tulis sang romo.
"Kita berharap menteri pendidikan memfokuskan pendidikan karakter guru yang bisa jadi role model bagi siswa. Siswa SD harus dibekali nilai-nilai karakter yang mengutamakan nilai displin, kejujuran, sportif, dan penghargaan kemajemukan," katanya.
Begitulah kalau Romo Benny sedang gundah gulana. Kata-kata mengucur deras kayak aliran Sungai Brantas di musim hujan. Saat ini sungai itu nyaris kering karena minim pasokan air dari langit.
Lalu saya tanggapi sedikit omongan RD Benny. Sebetulnya kasus robohnya sekolah di Pasuruan itu juga terjadi di daerah lain. Tapi tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Pasuruan jadi ramai karena ada 2 orang yang mati.
Proyek asal-asalan sebetulnya sudah jadi budaya di Indonesia. Habitus buruk, istilahnya romo. Campuran pasir dan semen yang mestinya 4:1 dibuat 6:1 bahkan 8:1. Biar hemat semen. Tentu saja bangunan sekolah-sekolah itu tidak akan kuat.
"Itu ada kaitannya dengan manusia yang tidak jujur dan tidak bertangung jawab. Tata kelola sekolah yang buruk. Mental mencuri. Makanya, perlu pendidikan karakter," kata sang Reverendus Dominus (RD) alias romo diosesan yang selalu kritis sejak jadi mahasiswa STFT Widya Sasana Malang itu.
Obrolan selesai. Saya pun kembali menikmati pertunjukan musik campursari di panggung Mami Kola (Malam Minggu Kota Lama) di Jalan Kembang Jepun 167 Surabaya. Penyanyi cantik membawakan lagu Pamer Bojo, Banyu Langit, Bojo Galak, dst.
Beberapa om-om naik ke atas panggung untuk joget bareng sang biduanita Indah dari Tanah Merah, Surabaya. Ada juga kakek 92 tahun yang masih tahes (sehat) dan ikut nyanyi. Musik campursari memang bikin orang lupa utang, lupa bojo yang galak, dan segala keruwetan hidup.
Saya pun merenung sejenak. Gedung tua di dekat gapura Kya Kya Kembang Jepun itu dibangun tahun 1880. Usianya 139 tahun. Jauh lebih tua daripada sekolah yang ambruk di Pasuruan itu. Jauh lebih tua ketimbang semua bangunan sekolah di Nusantara.
Tapi kok bisa kuat kokoh sampai hari ini? Sepertinya penjajah Belanda dulu punya karakter yang bagus dan mengamalkan Pancasila. Ratusan bangunan lawas di kota lama pun masih kokoh.
Selamat Hari Pahlawan!
Rawe-rawe rantas!
Malang-malang putung!
Merdeka!
Benarlah, sekolahan yang ambruk bukan hanya terjadi di Pasuruan, tetapi akan beruntun terjadi diseluruh Nusantara, dalam waktu yang akan datang. Sebab musabab-nya semua orang sudah tahu lah, bukan rahasia lagi.
BalasHapusBegitulah akibatnya Moral dan Ethika bangsa yang ambruk. Menteri PDK yang baru akan keliling Indonesia menilik dan mengucapkan belasungkawa di-tempat2 yang sekolahnya ambruk. Itulah pekerjaan-nya selama 5 tahun yang akan datang.
Anak2 Sekolah Rakyat jaman Ali Sastroamidjojo selalu ingat ajaran 4-Sehat, 5-Sempurna. Kita anak2 ingusan sudah hafal tentang nama2 penyakit : Beri-beri, Skorbut, Rabun-ayam, Rachitis, Kwashiorkor, dan penyebabnya.
Bagi saya pribadi, Religion sama penting-nya seperti Vitamin bagi manusia. Vitamin dibutuhkan hanya dalam kadar yang sedikit bagi manusia, kebanyakan Vitamin justru membuat manusia menjadi sakit, Hypervitaminose.
Siapakah yang wajib membina karakter, Moral dan ethika para murid, generasi muda, seorang Guru ataukah orang-tua masing2 ?
Seorang Konglomerat Top Indonesia, teman akrab, pernah bercerita tentang hal kesuksesan-nya : Jangan bekerja sama dengan instansi pemerintah ! Semua orang jujur mengerti makna kalimat itu.
Bung Hurek, coba Anda bicara dengan Romo Benny, suruh dia membisiki Bapak Jokowi. Kalau mau tahu tentang ilmu pendidikan, sebaiknya Bapak Presiden minta saran2 dari seorang Indonesia, yang sudah terbukti sangat pandai dan berpengalaman sebagai pendidik selama 40 tahun, yaitu Bapak Professor Dr.Techn.Dipl.Ing. Tjoa A-Min Dr.HC.Mult., guru besar universitas technik Vienna.
BalasHapusBapak Habibie genius di bidang technik, sayangnya beliau kurang paham ilmu ekonomi dan management, semuanya mau ditangani sendiri, akibatnya proyek beliau mangkrak.
Nadiem pandai mengelola Ojek, tetapi tidak berpengalaman di bidang Pedagogi, pendidikan.
Kementerian P&K yang menelan dana 500 Triliun, dan menyangkut masa-depan bangsa, tidak boleh dipakai untuk ajang experimentil, alias coba-coba.
Saran dan pendapat Prof. Tjoa, pasti gratis ! Mau dituruti monggo, ditolak ya tidak ada yang rugi. Fragen kostet nichts ! (Bertanya tidak dipungut biaya ! ) Orang muda cenderung berfantasi terlalu muluk.
Haiya.. Pater Benny ini memang sering audiensi sama Bapak Presiden bersama Pak Mahfud MD dan Bu Megawati dan beberapa tokoh nasional. Tapi kayaknya beliau kurang suka jadi tukang bisik. Hehehe...
BalasHapusHaiya.. orang Indonesia yg di luar negeri memang banyak yg hebat2. Fenomena brain drain sudah lama terjadi. Biasanya mereka malas pulang karena tidak cocok dengan suasana kerja... dan bayarannya. Di luar negeri dibayar dolar atau euro, di Indonesia cuma pakai rupiah. Jauuuh lah.
Naah, sayang Anda tidak kenal sama Prof. Tjoa. Dia itu orang yang sangat baik, tidak doyan duit ! Ya, tidak usah bisik2, bicara normal atau berteriaklah, demi bangsa dan negara.
HapusJika politisi dan pejabat berceloteh menggunakan kalimat: Demi bangsa dan negara, justru perut-ku jadi mual, ingin muntah.
Belasan guru besar, doktor2 Indonesia, yang telah dibimbing dan ditolong oleh si Tjoa. Untungnya di dunia masih ada manusia yang idealist yang tidak mendewakan uang. Kalau saya bilang gratis, ya gratislah. Si Tjoa kan cuma memberi masukan dan saran2, mana mungkin dia mau menetap di Indonesia. Gaji-nya yang berupa Euro tidak habis dimakan.
Siapakah Dr. Tjoa A-Min ? Dia adalah putra dari Dr. Tjoa Siek Ien.
HapusSiapakah Dr. Tjoa Siek Ien, Beliau adalah Pejuang Kemerdekaan Indonesia yang menentang pemerintah Belanda.
Teman2 seperjuangan Dr. Tjoa Siek Ien adalah :
Moh. Hatta, Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamidjojo, Soetan Sjahrir, Haji Agus Salim, Mr. Nasrun, Ir. Djuanda, Setiadji.
Sayang anak seorang pejuang, yang sangat pandai, tersiakan.
Bagaikan menyusui beruk di hutan.
Sekolah Roboh, emangnye gue pikirin, yang penting rakyat bergembira berselfie-ria. Dana renovasi gedung2 sekolahan lebih baik digunakan untuk ajang balapan mobil Formula-E.
BalasHapusJika anak-anak sekolah mati tertimpa balok-atap dan genteng, itu adalah musibah, yang beriman toh bakalan masuk Surga, yang kafir masuk neraka.
Aniesus Baswedanus Imperator maximus DKI-Jakarte: Panem et Circenses.