Selasa, 19 November 2019

Bahasa Indonesia vs Bahasa Inggris

Orang Indonesia selayaknya bangga dengan bahasa Indonesia. Sayang, masih banyak ditemukan tulisan-tulisan berbahasa asing di ruang publik. Nama-nama kegiatan pun banyak yang menggunakan bahasa Inggris.

"Identitas keindonesian kita, ya, salah satunya dilihat dari penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik," kata Kepala Balai Bahasa Mustakim di depan 30-an redaktur media cetak dan elektronik di Surabaya belum lama ini.

Dia kemudian mencontohkan penggunaan bahasa Inggris yang makin lama makin masif. Mulai dari nama-nama acara atau kegiatan, nama perumahan, hingga tulisan di pintu atau keset.

"Boleh pakai kata bahasa Inggris, tapi harus ada bahasa Indonesianya. Dan, kata bahasa Indonesianya harus lebih besar. Kata dorong ditulis di atas dengan ukuran lebih besar daripada push," katanya.

Selain masyarakat biasa, menurut Mustakim, masih ada instansi pemerintah yang menamakannya kegiatannya dalam bahasa Inggris. Padahal, sudah ada undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia.

Menurut Mustakim, saat ini ada sekitar 45 negara yang mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah menengah dan perguruan tinggi. Paling banyak di Australia dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia punya potensi menjadi bahasa internasional.

"Kalau orang asing saja mau mempelajari bahasa Indonesia, mengapa kita tidak memartabatkan bahasa Indonesia di dalam negeri," kata pria yang berkantor di Desa Siwalanpanji, Buduran, Sidoarjo, itu.

Senada dengan Mustakim, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Prof Dr Suyatno juga prihatin dengan maraknya penggunaan bahasa asing dan bahasa gado-gado Indonesia dan Inggris di ruang publik. Hal itu sudah berlangsung lama sehingga dianggap biasa saja. "Masyarakat sepertinya sudah imun," katanya.

Tak lupa Suyanto memperlihatkan beberapa foto tentang penggunaan bahasa yang amburadul untuk iklan hingga ucapan selamat datang. Belum lagi tulisan alay yang sulit dibaca karena menggabungkan huruf dan angka.

Prof Suyanto optimistis suatu saat bahasa Indonesia jadi bahasa internasional keenam. Sebab bahasa Indonesia memenuhi hampir semua syarat sebagai bahasa antarbangsa. Mulai dari penuturnya yang ratusan juta hingga tata bahasa dan sistem fonetiknya yang ilmiah.

Bahasa Indonesia juga menggunakan aksara Latin sehingga sangat mudah dipelajari orang asing. Beda dengan bahasa Mandarin atau Thailand atau Vietnam atau Arab atau India yang aksaranya sangat rumit.

14 komentar:

  1. Bahasa Indonesia sekarang diremehkan oleh bangsa-nya sendiri, padahal Bahasa Indonesia adalah salah satu Soko Guru Bangsa Indonesia yang terpenting.
    Piye, piye piye Mas, mboh ku ora ngerti, Apa Sebabnya kok jadi begini.
    Saya hampir tidak pernah lagi mendengar orang Indonesia bersalaman, dengan kata; Selamat Pagi, Siang, Sore atau Malam. Kebanyakan mereka mengucapkan kata2 arab diembeli namo budaya.

    Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, lambat-laun hilang kesaktiannya.
    Bahasa mulai dicampur-aduk menjadi tidak karuan.

    Kebangsaan mulai diutak-atik. Mereka mulai mempertanyakan, kamu orang apa, darimana, coba tes DNA mu. Ada yang bersikukuh bilang, kita dari Yunnan. Ada yang mendebat, kita semua dari hadramaut. Karep mu kono !
    Pokoke yang paling asli adalah Wong Flores yang sudah menetap di Indonesia sejak 18000 tahun silam, lama sebelum ada Adam & Eva.

    Mengapa pemerintah Tiongkok yang komunis, atheis,(.... silahkan ditambah cacian-nya) justru lebih bisa menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. KTP-Tiongkok dicantumkan, Nama, Jenis Kelamin, Suku (Minzu), Tanggal dan Tempat lahir. 56 Suku dilebur menjadi satu, Zhonghua Minzu.
    Tidak ada orang Tiongkok yang malu atau merasa rendah diri, menyebutkan sukunya. Saya suku Man, Miao, Li, Yi, Hui, dll.
    Justru sebaliknya, suku mayoritas Han merasa iri kepada suku minoritas, sebab suku minoritas mendapat hak2 lebih istimewa daripada suku Han. Daerah yang berpenduduk banyak suku minoritas, diberi hak otonomi khusus. Jika murid2 suku Han harus bersaing keras untuk mendapatkan tempat kuliah atau sekolah menengah yang bagus, murid2 minoritas justru mendapatkan jatah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka juga punya sekolah spesial suku minoritas.

    PRT-saya di Tiongkok, Xiao-mei, sebenarnya adalah suku Hakka (Han), tetapi di KTP-nya tercantum suku (minzu): Li.
    Alasannya sbb,: Ketika di Tiongkok ada peraturan tiap suami-istri hanya boleh punya anak satu, nah orangtua-nya Xiao-mei punya anak lima. Jadi Xiao-mei selalu bilang ke saya, bahwa dia 超生(chaosheng), alias anak kebablasan. Jadi di KTP lebih baik ngaku minoritas, jadi tidak repot, tidak usah harus cari alasan yang tak masuk akal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dua bulan ini saya sering diundang Balai Bahasa untuk seminar atau lokakarya bahasa Indonesia di ruang publik. Tema utamanya memang itu. Ada penyakit xenofilia atau xenomania. Menganggap semua yg asing itu lebih bagus ketimbang produk lokal. Termasuk bahasa.

      Orang2 kampung di pelosok juga kena virus xenomania. Bukan gandrung english tapi bahasa melayu indonesia. Berbahasa daerah Lamaholot dianggap orang kampung yg udik dan terbelakang... dan bodoh.

      Makanya setiap kali saya nulis komentar pakai bahasa Lamaholot biasanya dijawab pakai bahasa Indonesia yg tidak baik dan kurang benar hehehe.

      Hapus
    2. Penyakit xenofilia atau xenomania atau kolonial mentalitas.
      Setiap kali saya berkunjung kerumah abang di Jerman yang letaknya dekat perbatasan Belanda, selalu abang mengajak saya dan istri-saya jalan2 ke Belanda, untuk berbelanja makanan indonesia, pepesan ikan tengiri, bumbu2 masakan, sambal dll. Istri-abang (enso), orang Jerman, selalu ngomel, sebab dia lebih senang jalan2 lihat pemandangan daripada berbelanja ke toko indonesia di Holland.
      Tetapi dia terpaksa ikut kami, atau nongkrong sendirian di rumah.
      Kata2 yang keluar dari mulutnya, ditujukan kepada suaminya; masya Allah, lu ini sudah menetap di Jerman selama 60 tahun, kok tidak bisa lupa kepada mantan tuan-mu, selalu kangen sama orang belanda. Dasar Kolonial Mentalitas nya tidak bisa hilang !
      Kata kolonial mentalitas, itu pertama kali saya dengan dari mulut ipar-ku si-Jerman.
      Mentalitas tersebut bisa dilihat di Hong Kong sekarang ini.
      Saya tergolong angkatan mahasiswa Generasi-68, generasi tukang demo. Anti Perang Vietnam, Menghujat generasi orang-tua kita yang menyokong atau membiarkan Nazi-Hitler berkembang, Berteriak, Ho Ho Ho Chi Minh, Che Che Guevara, Yankee Go Home ! Kalau sudah serak, mulai menyanyi dengan suara sendu We Shall Overcome.
      Saya melihat dokumentasi di Youtube, bagaimana tampang dan penampilan kita waktu itu. Ternyata tidak ada satu pun dari kita yang bertopeng, menutupi wajah kita. Rambut memang gondrong, tetapi demo pakai baju Jas atau pulover. Demo ya demo, tapi jangan ngerusak, menyakiti orang lain. Tak lama lagi, tanggal 2 Desember, bakal ada demo orang2 yang frustrasi di Monas, entah apa mau-nya.

      Hapus
  2. Bahasa Indonesia sekarang diremehkan oleh bangsa-nya sendiri, padahal Bahasa Indonesia adalah salah satu Soko Guru Bangsa Indonesia yang terpenting.
    Piye, piye piye Mas, mboh ku ora ngerti, Apa Sebabnya kok jadi begini.
    Saya hampir tidak pernah lagi mendengar orang Indonesia bersalaman, dengan kata; Selamat Pagi, Siang, Sore atau Malam. Kebanyakan mereka mengucapkan kata2 arab diembeli namo budaya.

    Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, lambat-laun hilang kesaktiannya.
    Bahasa mulai dicampur-aduk menjadi tidak karuan.

    Kebangsaan mulai diutak-atik. Mereka mulai mempertanyakan, kamu orang apa, darimana, coba tes DNA mu. Ada yang bersikukuh bilang, kita dari Yunnan. Ada yang mendebat, kita semua dari hadramaut. Karep mu kono !
    Pokoke yang paling asli adalah Wong Flores yang sudah menetap di Indonesia sejak 18000 tahun silam, lama sebelum ada Adam & Eva.

    Mengapa pemerintah Tiongkok yang komunis, atheis,(.... silahkan ditambah cacian-nya) justru lebih bisa menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. KTP-Tiongkok dicantumkan, Nama, Jenis Kelamin, Suku (Minzu), Tanggal dan Tempat lahir. 56 Suku dilebur menjadi satu, Zhonghua Minzu.
    Tidak ada orang Tiongkok yang malu atau merasa rendah diri, menyebutkan sukunya. Saya suku Man, Miao, Li, Yi, Hui, dll.
    Justru sebaliknya, suku mayoritas Han merasa iri kepada suku minoritas, sebab suku minoritas mendapat hak2 lebih istimewa daripada suku Han. Daerah yang berpenduduk banyak suku minoritas, diberi hak otonomi khusus. Jika murid2 suku Han harus bersaing keras untuk mendapatkan tempat kuliah atau sekolah menengah yang bagus, murid2 minoritas justru mendapatkan jatah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka juga punya sekolah spesial suku minoritas.

    PRT-saya di Tiongkok, Xiao-mei, sebenarnya adalah suku Hakka (Han), tetapi di KTP-nya tercantum suku (minzu): Li.
    Alasannya sbb,: Ketika di Tiongkok ada peraturan tiap suami-istri hanya boleh punya anak satu, nah orangtua-nya Xiao-mei punya anak lima. Jadi Xiao-mei selalu bilang ke saya, bahwa dia 超生(chaosheng), alias anak kebablasan. Jadi di KTP lebih baik ngaku minoritas, jadi tidak repot, tidak usah harus cari alasan yang tak masuk akal.

    BalasHapus
  3. Lupakanlah impian menjadikan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Bahasa internasional hanya bisa terwujudkan jika negara penutur bahasa tersebut mempunyai pengaruh hegemoni, apakah itu secara teritorial, secara ekonomi secara teknologi, atau secara budaya. United Kingdom misalnya adalah penjajah nomer satu (teritorial) maka bahasa mereka digunakan di Malaysia, SIngapura, Hongkong, India. Amerika juga hegemon secara ekonomi dan teknologi, maka ia memperluas pengaruh yang dimulai United Kingdom sehingga Bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pemersatu di Internet dan dalam jurnal2 ilmiah. Sedangkan di bidang budaya, kita lihat K-Pop culture merambah dunia hiburan global, sehingga para anggota Gen-Z pada belajar Bahasa Korea. Cukuplah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pemersatu, tidak perlu muluk2 menjadi bahasa internasional. Terlalu melip.

    BalasHapus
  4. Haiya... dui dui.. itu juga yg saya sampaikan di seminar2 bahasa. Sejak dulu saya ragu bahasa Indonesia jadi bahasa internasional karena bahasa Indonesia itu ya aslinya bahasa Melayu. Namanya aja bahasa Indonesia sejak kongres pemuda 1928.

    Orang2 di kampung saya masih menyebut bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu. Mo ake koda mang Melayu! Artinya jangan bicara pakai bahasa Indonesia... tapi bahasa daerah saja.

    English memang makin mantap jadi bahasa planet bumi karena sejarahnya yg panjang. Ditambah kedigdayaan USA. Sehebat-hebatnya Tiongkok, bahasa Mandarin mustahil bisa tersebar luas karena tingkat kesulitannya terlalu tinggi.

    BalasHapus
  5. Tapi bahasa Indonesia punya kelebihan yg sulit ditandingi bahasa2 lain. Sebab bahasa Indonesia itu bahasa fonetik. Apa yang diucapkan itulah yg ditulis. Beda jauh sama bahasa Inggris yang memang non phonetic language.

    Makanya orang Indonesia sangat sulit mengucapkan kata2 English persis Mr Trump atau Mr Obama atau Mama Clinton. Oh ya... saya pengagum berat Mama Clinton. Mama itu asli amerika, calon presiden, tapi ngomongnya sangat clear and clean and understandable. Beda dengan amrik2 di Hollywood movies yg omongannya sangat tidak jelas dan tidak bisa dimengerti orang Indonesia hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang berbeda . Seorang politisi di Amerika harus berpidato dgn vocabulary selevel 5SD, agar dapat dimengerti oleh semua pemilih. Dan dgn intonasi yg lebih jelas dan ritme yg lebih pelan.

      Sedangkan filem menggambarkan situasi di mana orang2 menggunakan bahasa sehari2 dan bahasa gaul; selain itu juga ada konteks budaya yg tidak langsung bisa diterjemahkan.

      Maka itu di filem lebih sulit dimengerti. Lihat saja terus lama2 akan mengerti.

      Hapus
    2. Saya sendiri memilih Clinton di tahun 2016, tetapi apa boleh buat dia menang suara terbanyak ttp dalam sistem Amerika dia kalah menurut electoral College.

      Dalam berpidato, Barrack Obama yg pernah sekolah SD di Indonesia jauh lebih bagus.

      Hapus
  6. Pidatonya Obama memang bagus tapi suaranya lebar khas amerika hitam kayak penyanyi2 blues, soul, jazz yg cenderung melemah dan tidak jelas di akhir kalimat. Beda dengan Hillary Clinton. Suaranya mama ini sangat jelas, nyaring, dan stabil dari awal sampai akhir. Bagi kita orang yang tidak biasa bergaul dengan native speakers, bahasa Inggris versi Hillary ini yg paling mudah ditangkap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Obama itu sebenarnya bukan dari kultur African American, krn dia dibesarkan oleh ibu dan kakek-neneknya yang orang kulit putih. TIdak seperti orang African American pada umumnya, dia bukan keturunan budak yang diimpor secara paksa dari Afrika Barat di jaman budak belian, tetapi keturunan raja / kepala suku dari Kenya.

      Tetapi, setelah masuk college, dia merengkuh rapat2 budaya African American, termasuk colloquialism (cara bicara sehari2) yang biasa digunakan kalangan ini. Gaya bicaranya (speaking black) itu hanya keluar apabila dia berpidato kepada kalangan African American saja. Tetapi pada saat berpidato kepada rakyat keseluruhan, dia menggunakan logat standar. Obama itu dibesarkan di Hawaii oleh kakek-nenek yang berasal dari Kansas. Jadi logat Obama itu tidak asli African American.

      Kalau ingin melihat pidato Obama pertama yang membuat dia terkenal secara nasional, google "obama speech democratic national convention 2004"

      Hapus
    2. Menurut engkoh-ku kelima, yang puluhan tahun pernah hidup di Amerika, banyak perusahaan besar dan direktor di Amerika yang mempekerjakan sekretaris wanita, orang England, yang fasih berbahasa Cambridge English. Menurut engkoh bahasa inggris asli dari cambridge lebih enak didengar di telefon. Entah benar atau tidak, bagi-ku sami mawon, kuping-ku terbiasa dengan english suroboyo.
      Saya setuju dengan Bung Hurek, lebih banyak bahasa yang dikuasai oleh seseorang, lebih baik, polyglott. Tetapi kuasailah bahasa dengan baik, jangan dicampur-aduk. Bukannya kelihatan tambah pintar, malahan bikin malu, kampungan.
      Saya tidak pernah belajar bahasa hokkien. Sejak saya bayi, sampai mama meninggal, dia selalu berbahasa hokkien dengan semua anak2-nya. Saudara2 yang tua masih menjawab dengan bahasa hokkien, tetapi saya selalu menjawabnya dengan bahasa bali atau melayu. Kalau saya pulang kampung di Quanzhou, diajak ngobrol berbahasa minnan oleh para famili, mereka tidak ngerti, apa yang saya katakan. Maksud hati mau jadi pribumi, malah jadi malu. Untung masih ada Putonghua.

      Saya sangat setuju dengan imbauan MUI Jawa Timur, yang melarang orang2 bersalaman dengan bahasa gado-gado. Sejak dulu kuping-ku jadi sakit, bila mendengar cara orang zaman-now bersalaman atau menyalami.
      Kesimpulannya : Assalamu alaikum wa rahmatulallhi wa barakatuh, cocoknya diucapkan di Masjid.
      Dominus vobiscum, Dominus tecum, Pax domini sit semper tecum, cocoknya hanya diucapkan di gereja katolik.
      Untuk warga Tionghoa kan masih ingat cara salaman-nya engkong2 kalian tempo dulu : kowe wis mangan tah ?

      Salaman juga ada tingkatannya, hirarki. Teman akrab, Normal atau orang yang dituakan.
      Misalnya salaman orang di Austria:
      Teman akrab, kita bilang, Servus ( Aku budak mu ).
      Normal, kita bilang, Guten Tag ( Selamat siang ).
      Hormat, kita bilang Grüss Gott ( Salam Tuhan bersama mu )

      Salaman corone wong suroboyo :
      Eeh jiancuk opo kabare.
      Asu suwi ora ketemu.

      Hapus
    3. Aha.. orang Lembata termasuk yg "dipaksa" situasi untuk belajar bahasa lain yg lebih dominan atau tinggi tingkatannya. Biar bisa komunikasi dengan orang2 dari pulau lain meskipun masih dekat2 juga.

      Sebaliknya orang2 yg sejak lahir berbahasa melayu (kayak Larantuka atau Kupang) tidak perlu belajar bahasa Ile Ape atau Lamaholot atau Kedang.

      Orang NTT yg ditakdirkan jadi poliglot van kampung itu tidak pernah campur gado2 bahasa kedua dan ketiga dengan bahasa daerahnya sendiri.

      Kasus bahasa Indonesia yg dicampur english itu memang sangat aneh tapi nyata dan dianggap prestisius.

      Hapus
  7. Soal salam itu saya sudah bahas panjang lebar di blog lama. Saat SBY presiden.
    Dominus vobis cum....itu salam liturgi. Dan hanya boleh diucapkan oleh pater atau romo. Orang awam tidak boleh. Suster atau frater aja tidak.

    Makanya salam khas katolik di depan publik di luar gereja tidak ada. Cukup selamat pagi, selamat siang, selamat malam.

    Teman2 protestan khususnya karismatik yg senang pakai salam Shalooooommmmm!!!!

    BalasHapus