Bulan bahasa baru lewat. Presiden Jokowi bikin kepres agar semua instansi pemerintah, swasta, rakyat biasa mengutamakan bahasa Indonesia. Bahasa asing macam Inggris atau Mandarin atau Arab perlu dikuasai. Bahasa daerah perlu dilestarikan. Bahasa Indonesia wajib dijunjung tinggi.
Itu pesan Sumpah Pemuda yang sering dilupakan. Nama-nama hotel, perumahan, kegiatan di Surabaya belakangan lebih banyak yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan acara jalan sehat Polri pun pakai English. Padahal polisi adalah penegak hukum.
Pejabat-pejabat pun banyak yang nginggris. Suka bicara gado-gado Indonesia, Inggris, Jawa dsb. Contohnya: Menkumham Yasonna saat bicara di televisi. Gubernur Khofifah juga senang memasukkan frase atau kalimat English dalam pidato atau pernyataannya.
"Strong partnership antara Pemprov Jatim dan Lantamal ini akan menjadi role model blablabla...," kata Gubernur Khofifah di Pulau Sapudi, Sumenep, Madura, saat menyerahkan bantuan air bersih kepada warga yang krisis air.
Kemarin ada pertemuan 154 guru besar di Surabaya. Mereka berasal dari 31 perguruan tinggi di sejumlah negara di Asia. Para profesor ini bikin deklarasi. Minta agar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dijadikan bahasa ilmiah internasional.
Para guru besar ini komplain karena keahlian mereka tidak diakui gara-gara kendala bahasa Inggris. Maklum, banyak profesor tidak fasih berbicara, mengajar, dan menulis dalam bahasa Inggris. "Mengapa bahasa membatasi seseorang untuk menjadi profesor?" kata Prof Koentjoro dari UGM.
Prof Kamaruddin dari Malaysia dan Prof Endina dari Singapura berpendapat sama. Mereka menyebut saat ini bahasa Melayu dan Indonesia sudah diajarkan di 45 negara. Punya lebih dari 100 ribu kata. Dus, sudah memenuhi syarat sebagai bahasa ilmiah.
Akankah deklarasi para guru besar ini diterima gubes-gubes Barat? Kita tunggu saja.
Yang jelas, guru-guru besar, insinyur, pakar-pakar atau suhu-suhu di Tiongkok tidak bisa berbahasa Inggris. Sebagian besar juga tidak bisa membaca aksara Latin. Tapi siapa yang menafikan kehebatan Tiongkok di bidang ilmu dan teknologi. Buta bahasa Inggris bukan alasan untuk maju.
Nenek moyang kita dulu juga tidak bisa berbahasa Inggris. Juga tidak bisa berbahasa Indonesia atau Melayu. Toh, mereka bisa membangun candi-candi yang spektakuler macam Candi Borobudur.
Mangkanya... ojo kemelondo, ojo keminggris!
Bung Karno: "Inggris kita linggis... Amerika kita setrika!"
Iya ya, orang Tiongkok dan orang Russia tidak bisa membaca tulisan Latin, tidak becus nginggris, tetapi mereka bisa maju di bidang ilmiah dan teknologi. Bahkan 1500 tahun silam, Tiongkok adalah negara termaju dan terkaya diatas bumi.
BalasHapusBung Hurek, kita berdua, janganlah ber-angan2, bermimpi, berharap negara kita bisa maju, sebab keinginan-kita berdua melawan arus, melawan kodrat. Lah wong orang2 Indonesia ingin nya, cepat-cepat mati, supaya bisa cepat masuk Surga. Buat apa mereka belajar ilmu eksakta, fisika, kimia, dll., buang2 waktu.
Waktu yang singkat, lebih berguna untuk beribadah.
Untuk apa kita kesusu, alon-alon asal kelakon.
Makan harus pelan-pelan, dinikmati, sebab itu harus pakai burka, nikab, dan zadar. Makan pelan2, supaya jenggot tidak berpletotan kuah gulai. Di negara demokrasi seperti Indonesia, kaum minoritas harus tunduk kepada mayoritas. Lebih bijaksana ikut cara2 mayoritas, jika ingin selamat dan panjang umur. Amien.
Saya setuju dengan komentar ini. Rakyat Indonesia tidak bisa dipaksa, dipacu untuk maju sepesat negara2 sekuler di Eropa Barat, Australia, Amerika, atau Asia Timur. Rakyat Indonesia masih bersendi adat dan agama, dan itu bukan sesuatu yang 100% buruk sebenarnya. Kemajuan yang terlalu pesat karena sistem yang terlalu kapitalistik, tanpa dipasangkan jejaring pengamanan sosial yang memadai akan menimbulkan kesenjangan yang terlalu tajam. Selain itu, ada dampak kerusakan lingkungan, punahnya adat istiadat, dll. Alon alon asal kelakon. Yang penting rakyat bisa makan, bisa ke dokter, itu lebih penting daripada menjadi pemimpin di bidang eksakta atau ilmu pengetahuan, dll. Untuk menjadi pemimpin di bidang itu, harus berani memisahkan agama dari pemerintahan dan pendidikan. Tetapi itu tidak mungkin terjadi di Indonesia.
BalasHapusBahasa Indonesia mau dijadikan bahasa ilmiah internasional? Hahahaha. Wong Bahasa Jepang saja sekarang tidak menjadi bahasa ilmiah internasional, tetapi mengapa penelitian2 dari Jepang bisa diterima oleh para ilmuwan? Karena kualitas penelitiannya, bukan karena bahasanya. Dgn kualitas penelitian yang mumpuni, tinggal diterjermahkan saja naskah2 ilmiah tersebut, dan voila, negara anda akan menjadi sumber pengetahuan ilmiah. Ibu mertua saya itu bekas dosen di Airlangga. Di universitas yang katanya nomer 1 di Jawa Timur (provisinsi terkaya di Indonesia) itu, tingkah penelitiannya secara umum sangatlah lebih rendah jika dibandingkan universitas riset yang rankingnya paling bawah di negara bagian termiskin di Amerika. Jadi, yang paling penting ialah meneliti dan menulis, seperti alm. Professor Glinka yang sering anda tulis itu, di bidang2 yang tepat guna dan cocok untuk kondisi Indonesia. Misalnya, tentang penyakit menular, pembangkit listrik yang ramah lingkungan, jaringan telekomunikasi, dll. Riset yang tidak membutuhkan biaya infrastruktur yang tinggi seperti industri pesawat terbang (maaf, Pak Habibie), tetapi hanya mengandalkan raw brainpower.
BalasHapus