Sami mawon. Sama saja.
Di Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, yang namanya rasisme itu masih ada. Menganggap orang atau komunitas lain lebih rendah. Disamakan dengan binatang.
Begitulah kesan saya saat membaca judul berita di koran pagi ini: Son Diejek Sipit, Balo dengan Suara Monyet. Son pemain Spurs asal Korsel diejek suporter Everton di Inggris. Balotelli diejek kayak monyet di Verona, Italia.
Dua negara ini, Inggris dan Italia, punya peradaban tinggi. Sopan santun ala priyayi. Punya unggah ungguh bahasa. Tapi di lapangan bola suporter yang British itu mengejek pemain asal Korea. Hanya karena matanya sipit.
Balotelli sudah berkali-kali diejek gara-gara kulitnya yang hitam. Maklum, gennya dari Afrika meskipun warga negara Italia. Sudah puluhan kali Balo membela tim nasional Italia. Bahkan pernah jadi striker andalan negara yang ada negara kecil bernama Vatikan itu.
Tapi... namanya juga rasis, pemain-pemain yang berbeda ras macam Korea atau Afrika dianggap lebih rendah. Disamakan dengan kera. Kadang suporter melempar pisang ke lapangan untuk memberi makan pemain ireng yang dianggap monyet itu.
Bisa jadi rasisme ini punya akar panjang sejak era kolonial dulu. Supremasi orang putih. Orang putih merasa lebih beradab. Lebih segalanya. Orang hitam dijadikan budak belian.
Kalau tidak salah, diskriminasi orang hitam ini pun terjadi di USA. Dan baru dibereskan berkat perjuangan Martin Luther King tahun 1960an. Belum lama. Karena itu, bibit-bibit rasis sejatinya masih ada di benak orang putih di Amerika.
Membaca berita kecil tentang pelecehan Son dan Balo pagi ini membuat saya teringat kasus Papua. Unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua di Pacarkeling, Surabaya, pada 16-17 Agustus 2019 lalu. Ada kata-kata yang menyebut nama-nama binatang, khususnya monyet.
Gara-gara ejekan itu, masyarakat Papua marah. Terjadi gejolak besar-besaran di sana. Sampai sekarang pun belum sepenuhnya reda. Orang Papua yang selama ini diam, pasrah, ngalah memilih bangkit untuk membela kehormatannya sebagai manusia.
Saya jadi ingat wejangan pater-pater lama di Flores tentang lidah. Hati-hati dengan lidahmu. Lidah itu seperti pedang. Bisa membunuh orang lain dan bisa membunuh dirimu sendiri.
Hari ini lidah itu bisa juga jempol atau jari-jarimu. Bisa membuatmu masuk penjara macam musisi kesukaan saya dulu, Ahmad Dhani.
Di Eropa dan Asia, khususnya Indonesia, yang namanya rasisme itu masih ada. Menganggap orang atau komunitas lain lebih rendah. Disamakan dengan binatang.
Begitulah kesan saya saat membaca judul berita di koran pagi ini: Son Diejek Sipit, Balo dengan Suara Monyet. Son pemain Spurs asal Korsel diejek suporter Everton di Inggris. Balotelli diejek kayak monyet di Verona, Italia.
Dua negara ini, Inggris dan Italia, punya peradaban tinggi. Sopan santun ala priyayi. Punya unggah ungguh bahasa. Tapi di lapangan bola suporter yang British itu mengejek pemain asal Korea. Hanya karena matanya sipit.
Balotelli sudah berkali-kali diejek gara-gara kulitnya yang hitam. Maklum, gennya dari Afrika meskipun warga negara Italia. Sudah puluhan kali Balo membela tim nasional Italia. Bahkan pernah jadi striker andalan negara yang ada negara kecil bernama Vatikan itu.
Tapi... namanya juga rasis, pemain-pemain yang berbeda ras macam Korea atau Afrika dianggap lebih rendah. Disamakan dengan kera. Kadang suporter melempar pisang ke lapangan untuk memberi makan pemain ireng yang dianggap monyet itu.
Bisa jadi rasisme ini punya akar panjang sejak era kolonial dulu. Supremasi orang putih. Orang putih merasa lebih beradab. Lebih segalanya. Orang hitam dijadikan budak belian.
Kalau tidak salah, diskriminasi orang hitam ini pun terjadi di USA. Dan baru dibereskan berkat perjuangan Martin Luther King tahun 1960an. Belum lama. Karena itu, bibit-bibit rasis sejatinya masih ada di benak orang putih di Amerika.
Membaca berita kecil tentang pelecehan Son dan Balo pagi ini membuat saya teringat kasus Papua. Unjuk rasa di asrama mahasiswa Papua di Pacarkeling, Surabaya, pada 16-17 Agustus 2019 lalu. Ada kata-kata yang menyebut nama-nama binatang, khususnya monyet.
Gara-gara ejekan itu, masyarakat Papua marah. Terjadi gejolak besar-besaran di sana. Sampai sekarang pun belum sepenuhnya reda. Orang Papua yang selama ini diam, pasrah, ngalah memilih bangkit untuk membela kehormatannya sebagai manusia.
Saya jadi ingat wejangan pater-pater lama di Flores tentang lidah. Hati-hati dengan lidahmu. Lidah itu seperti pedang. Bisa membunuh orang lain dan bisa membunuh dirimu sendiri.
Hari ini lidah itu bisa juga jempol atau jari-jarimu. Bisa membuatmu masuk penjara macam musisi kesukaan saya dulu, Ahmad Dhani.
Sialan, Gambar-Phantom si tersangka penyiram air-keras kepada Novel Baswedan, kok tampang-nya seperti orang NTT.
BalasHapusJadi Bung Hurek benar, pokoknya pelaku kriminal bayaran, selalu diproyeksikan kepada orang NTT. Di Gambar-Phantom itu cuma kurang kalung Rosario nya. Padahal peristiwa tersebut, belum tentu sungguh terjadi, alias Hoax. Jaman sekarang tidak ada sesuatu yang mustahil.
Selain itu memang banyak orang kita yg kerjanya jadi preman bayaran, debt collector dan sejenisnya. Teman saya mantan juara tinju asia pasifik asli flores tengah bolak-balik ditangkap polisi gara2 ngerjain pengusaha yg ngemplang sekian miliar. Biasanya dihukum ringan karena memang tugasnya begitu toh. Siapa suruh ngemplang? Kalau mau aman ya bayar dulu utangmu, kata konco lawas bekas petinju itu.
BalasHapusDi jakarta juga ada bosnya kelompok preman asal timor leste. Dia punya tampang dan warna kulit sama dengan orang2 NTT juga lah. Orang sakti kayaknya.
Orang putih dan orang kuning dan orang merah juga punya penyakit masing2 lah. Cuman cara mainnya orang2 gelap ini kurang halus dan canggih. Beda dengan meneer en mevrouw londo lah.
Rasisme dapat dikikis oleh Toleransi.
BalasHapusTiga saudara kandung saya bermukim di Jakarta. Mereka itu setahun, 365 hari, tidak pernah makan daging babi, sebab para PRT mereka adalah kaum muslimah. Mereka selalu berkata kepada saya, bahwa tidak pernah terpikirkan dalam benak mereka, ingin atau ngidam makan masakan daging babi yang haram tersebut.
Hanya ada pengecualian, yaitu kalau saya pulang ke Indonesia dan diajak mereka berziarah ke pulau Bali. Dari Bandara Udara Denpasar naik taxi, kami langsung menuju ke Rumah Makan Pak Malen atau RM Bu Chandra, untuk makan nasi Be Guling. Begitu lahap-nya kami makan babi-guling, sampai2 bumbu yang melekat di jari2, kami jilat2 dan emut2.
Sekarang RI punya menteri dan wakil-menteri pariwisata yang over-smart, keduanya lulusan luar negeri, mengetahui tujuan orang berlibur ke negara lain, yaitu ingin mengalami suasana kehidupan yang berdeda dengan di negeri mereka sendiri.
Itu pengamatan yang sangat benar, it is correct !
Menurut mereka berdua, Wisman tidak butuh infra struktur yang canggih atau Hotel mewah berbintang 5. Hal itu hanya benar sebagian, sebab tidak semua Wisman adalah orang2 kaya-raya di negeri mereka. Yang kaya ingin mencoba hidup seperti orang miskin, Zero CO2, BAB di hutan atau semak2, mandi di kali, makan nasi tiwul, tanpa listrik, tanpa HP, tidur dan bangun waktunya ditentukan oleh ayam-jago.
Wisman yang miskin ingin nya merakan Luxus, dilayani seperti Raja, selama seminggu. Semua pelancong asal Surabaya atau Jakarta maunya, ya seperti wisman miskin itu. Untuk apa mereka melancong jauh2, kalau harus tidur di gubuk. Mendingan numpang mondok di pinggir Kali Jagir atau Rawa Buaya Cengkareng.
Idee cemerlang Pak dan Ibu Menteri Pariwisata ( keduanya orang kaya ) : Agar supaya Devisa dari Turisme bisa juga dirasakan oleh masyarakat kecil, maka sebaiknya rumah2 penduduk disulap menjadi Losmen atau Bed and Breakfast. Danau Toba, Bali dan Flores harus berubah wajah menjadi Pariwisata Halal, Destinasi Ramah Warga Muslim. ( What is that ? )
Bisakah orang Batak, Bali dan Flores tidak makan daging babi selama 365 hari dalam setahun ? Bersediakah mereka menjual semua ternak babi mereka ? Dan.......dan... dst ?
Seberapa besarkah Rasa Toleransi mereka ? Bisakah Budaya dibeli dengan uang ?
Toleransi hanyalah permulaan, awal dari persaudaraan antar manusia. Toleransi artinya membiarkan walaupun tidak setuju atau berbeda prinsip, karena sesuatu itu hak asasi manusia. Sesuatu itu bisa agama, ras, suku bangsa, orientasi jender, orientasi seksual. Di Indonesia, toleransi tidak termasuk orientasi seksual (menjadi gay atau lesbian secara terang2an masih dicaci maki) atau orientasi jender (menjadi banci masih diolok2; menjadi perempuan yang profesional masih sulit, sering dilecehkan tanpa perlindungan).
BalasHapusBisa saja seseorang berperilaku penuh toleransi, walaupun di dalam hatinya penuh kebencian, karena jika tidak ada konsekuensinya, misalnya dipecat atau didenda atau dihukum penjara. Atau diasingkan secara sosial.
Begitulah yang terjadi di Amerika. Setelah kemenangan pergerakan hak2 asasi (civil rights movement) di tahun 1960an yang dipimpin Dr. MLK Jr., diskriminasi atas dasar warna kulit, jender, asal usul negara, menjadi illegal dan juga menjadi tabu. Sehingga mau tidak mau si kulit putih harus bermuka toleransi, tidak berani bilang "n---er" atau "chink" lagi, walaupun hatinya masih penuh prejudis. Waktu saya berkunjung ke Atlanta, kenalan orang kulit putih masih bisik2 oh itu sekolah penuh orang hitam. Di North Carolina, kenalan lain yang orang putih pun bisik2, oh ini daerah ghetto yang dihuni orang hitam. Di medsos, mereka menyebarkan cerita2 bohong bahwa orang hitam menyalahgunakan bantuan sosial. Padahal bos2 orang putih macam Trump menyelewengkan pajak mereka dengan se-mena2. Di luar toleransi, tetapi di bilik pemilihan suara mereka memilih Trump, yang pidato2nya penuh dengan kebencian dan prejudis terhadap orang berwarna kulit yang lain.
Di SD, SMP, jaman orde baru, dalam pelajaran PMP, PSPB, kita diajarkan harus toleransi. Setelah dewasa, dan sekian lama tinggal di negara lain yang penuh kemajemukan, saya rasakan toleransi saja itu tidak cukup. Toleransi itu hanya baik untuk memelihara suasana yang damai. Lebih jauh lagi, untuk menghilangkan rasa benci di hati kita, kita harus merasakan "berjalan di sepatu orang lain". Saya pernah menginap beberapa hari di desa di Nganjuk ikut pacar KKN, tinggal di rumah penduduk yang sederhana. Tinggal bersama di kos dengan Ahmad, teman sekerja yang muslim. Di Amerika saya bergaul dengan orang dari segala tingkat masyarakat. Teman saya ada yang banci sampai operasi, ada yang gay dan lesbian; agama selain yang biasa seperti Hindu, Muslim, Kristen berbagai macam denominasi, pun ada yang jarang2 seperti Zoroaster, Zain, Katolik Ritus Timur dari Assyria dan Kerala/India, dan tidak lupa atheis; tingkat sosial ada yang kaya termasuk top 1% di Amerika, ada juga yang tukang bersih rumah. Hanya dengan mengerti cara mereka berpikir, perasaan ingin membeda2kan bisa dihilangkan.
Selain itu, dengan mengerti sains. Jika kita mengerti struktur dan ekspresi DNA, kita tahu, yang membedakan Ahok si Tionghoa dengan Antonius dari Papua dan Ahmad dari Garut itu hanyalah segelintir gen dari 25000 gen yang membentuk kita sebagai manusia. Manusia itu 99.9999% sama, walaupun warna kulit berbeda. Orang Papua adalah saudara Orang Jawa. Orang NTT adalah saudara Orang Cina. Yang membuat perbedaan adalah cara berpikir manusia sendiri, yang sering mengagung2kan identitas dirinya, baik itu sukubangsa, agama, dll.