Selasa, 05 November 2019

Mas Nadiem Menteri Out of The Box


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ini sangat unik dan menarik. Bukan hanya karena masih sangat muda, tapi latar belakangnya yang bukan orang pendidikan, perguruan tinggi, ormas, atau politisi.

Nadiem swasta murni. Bos Gojek yang fenomenal itu. Siapa sangka dia bukan saja jadi super kaya dalam waktu singkat, tapi juga inspirasi bagi generasi milenial. Bahwa orang perlu kerja cerdas, memanfaatkan IT, di era ekonomi digital ini.

Sebagai orang lawas, yang rada konservatif, dari dulu saya berpendapat bahwa Gojek motor itu melanggar hukum. Melawan ketentuan undang-undang lalu lintas. Bahwa sepeda motor tidak dibenarkan menjadi kendaraan umum. Negara-negara lain pun saya yakin tidak memperbolehkan sepeda motor mengangkut penumpang.

Tapi ini era disrupsi, Bung! Undang-undang atau hukum ikut terkena longsor alias disrupsi. Nadiem mampu berpikir di luar kotak. Out of the box. Bukan cuma berpikir, Nadiem berhasil membangunan Kerajaan Gojek dengan aplikasinya yang hebat itu.

Dalam waktu singkat ribuan orang jadi tukang ojek online. Kostum hijau makin hari makin dominan di jalan raya. Awalnya polisi lalu lintas menilang ojol-ojol ini. Tapi lama-lama kompromi. Gojek jalan terus.

Bagaimana dengan undang-undang lalu lintas?

Masih ada. Masih melarang roda dua jadi kendaraan umum. Tapi cuma macan kertas. Pasal-pasalnya tetap tapi tidak bisa dieksekusi.

Mas Nadim, bos Gojek, malah diangkat Presiden Jokowi jadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Menteri yang beban anggaran dan tugasnya paling banyak. Boleh dikata Mas Nadiem ini super minister.

Disrupsi digital ini seperti wolak walike zaman. Apa yang kita anggap benar, bahkan undang-undang, di masa lalu tiba-tiba kehilangan relevansinya di era digital. Orang yang dulu kita nilai melanggar hukum karena memasalkan ribuan atau jutaan motor sebagai kendaraan umum justru diangkat jadi menteri di Indonesia.

Ini juga menunjukkan bahwa Jokowi presiden yang benar-benar thinking out of the box. Sampai sekarang saya masih sulit mengikuti jalan pikiran Jokowi yang memilih orang-orang yang "gak lumrah" menjadi anggota kabinetnya. Yang paling gak lumrah ya Mas Nadiem ini.

Zaman memang sudah berubah begitu cepat. Ebiet G. Ade bilang, "Roda zaman menggilas kita terseret tertatih-tatih."

12 komentar:

  1. Gojek hanya memassalkan, memviralkan apa yang sudah ada. Ojek sudah ada sejak jaman dulu, walaupun melawan undang undang. Nadiem dan cofoundersnya peka mencontoh business modelnya Uber dan Lyft di Amerika (untuk mobil) dan mengadaptasi strategi tersebut untuk situasi Indonesia: yang mengandalkan sepeda motor, yang peka harga, dan mempunyai banyak manusia yang membutuhkan penghasilan tambahan menjadi tukang antar manusia dan barang.

    Nadiem itu dari sononya bukan orang sembarangan. Ayahnya pengacara terkenal, Nono Anwar Makarim, yang juga lulusan Harvard Law School.

    Tim cofoundersnya Gojek itu ada turunan Arab, turunan Cina, dan ada Jawanya. Memang hebat. Tjiamik pol.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ojek pangkalan yg lawas itu sebetulnya sudah mau mati dan gak banyak. Gojek muncul tiba2 dengan sangat TSM: terstruktur sistematis masif. Image ojek pun berubah total. Orang bawah sampai gedongan tidak risih naik ojek online karena cukup pesan di aplikasi dan bisa diantar ke mana saja.

      UU Lalu Lintas juga dilibas habis. Benar2 jeli dan cerdas mas menteri ini.

      Hapus
  2. Dui dui.. bapaknya nadiem itu salah satu gurunya Mr Yu Shigan dan para bos media di masa lalu. Pak Nono eksponen 66 yg sangat brilian.

    BalasHapus
  3. Yang juga sangat menarik - dan diviralkan setelah nadiem jadi menteri - ternyata bapak mendikbud ini disparitas cultus. Pater yg kasih berkat matrimonium di paroki. Orang2 geger di jagat maya dikira nadiem konversi.

    Lalu saya jelaskan bahwa disparitas cultus itu blablabla... Memang menarik orang ini.

    BalasHapus
  4. Sebenarnya sistem sekolahan Indonesia tidaklah jelek amat. Buktinya para mahasiswa Indonesia yang dikirim oleh Soekarno ke Moskau, Peking, Praha, Sofia, Bukarest, Budapest, untuk kuliah disana, mampu menyelesaikan sekolah mereka.
    Engkoh2-saya, generasi Habibie, dan para mahasiswa-indonesia generasi saya, yang belajar di Eropa Barat pada era 50' dan 60', tidak ada yang kesulitan mengikuti mata-kuliah disana. Bahkan para Professor Eropa sangat sayang kepada kita, anak2 Indonesia, sebab kita kebanyakan rajin dan tidak bertingkah.
    Keponakan2-saya yang lulusan SMA Indonesia tahun 90'-an, juga berhasil menyelesaikan kuliah mereka di Harvard, Yale dan UCLA, dalam waktu yang sesingkatnya dengan nilai yang tinggi.
    Dimana sekarang letak kesalahan sistem sekolahan Indonesia ?
    Apakah Bapak Jokowi tidak Kapok memilih menteri pendidikan yang pandai menata kata-kata inggris. Jika hanya gara2 menteri-nya kaya-raya, kok tidak memilih si Raja Sabun Indonesia, Wings, menjadi menteri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pahamnya Jokowi itu sama dengan Mr Yu: kerja kerja kerja... hasil hasil hasil. Gak suka pakar2 yg banyak ngomong teori ndakik2 tapi hasilnya gak jelas. Makanya yg diangkat jadi menteri mas Nadiem yg berpikirnya di luar kotak tapi cocok dengan era digital.

      Istilah lawasnya, anak2 pigi sekolah untuk ciptakan lapangan kerja kayak orang2 keturunan Han dan bukan bawa map ke mana2 untuk melamar kerja.

      Aha.. raja sabun, raja kopi, raja gula, raja rokok dan raja2 lain itu yg kudu dicontoh. Gak iso english, gak sekolah tinggi tapi pabriknya ada di mana2.

      Laopan Ciputra bikin universitas untuk cetak mahasiswa jadi entrepreneur. Biar bisa kasih makmur kita punya negara.

      Hapus
    2. Jika ada orang2 Indonesia yg berhasil menyelesaikan sekolah di luar negeri di sekolah bagus di negara2 maju, itu bukan tanda keberhasilan penddikan di Indonesia. Orang2 seperti itu adalah perkecualian. Teman2 baik saya ada yang dokter2 gigi lulusan UCSF dan Harvard, PhD Bioinformatika dari MIT, PhD Elektromekanika dari Berkeley, PhD Teknik Kimia dari MIT, PhD Teknik Elektro dari Berkeley. Semuanya lulusan dari SMA swasta (Sinluis, Petra, Hwa In Malang). Itu bukan tanda pendidikan di Indonesia bagus. Itu tandanya sistem pendidikan di Indonesia sangat tidak merata, karena untuk setiap Nadiem Makarim, ada 100 ribu orang Indonesia yang tidak bisa menghitung uang kembalian tanpa bantuan kalkulator.

      Hapus
  5. Hitung uang kembalian pakai kalkulator ini yg menarik hehehe. Sudah lama orang kita tidak terbiasa menghitung sederhana pakai otak karena sangat tergantung pada kalkulator atau aplikasi di HP. Beli barang Rp 15 ribu duitnya Rp 100 ribu, kembaliannya berapa? Dia hitung pakai kalkulator dulu. Padahal yg begini ini pelajaran berhitung anak SR atau SD.

    Orang modern jarang pakai otak karena terbiasa pakai kecerdasan buatan alias AI. Beda dengan orang2 lama macam Tan Malaka yang menulis buku macam Madilog dengan puluhan buku referensi yg diingat di luar kepala. Gara-gara dia sedang dalam pelarian sehingga tidak bisa membawa buku ke mana2.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam ilmu informatika (computer science), sebenarnya operasi kalkulator itu belum termasuk AI, hanya operasi berhitung dasar. Jadi tidak termasuk kecerdasan buatan.

      AI itu merujuk kepada algoritma yang berdasarkan data besar (big data) dengan menggunakan hitungan statistika. Misalnya hasil mesin pencari, itu berdasarkan AI; rekomendasi filem di Netflix, rekomendasi barang di Amazon.com; prediksi kerusakan mesin manufaktur berdasarkan deteksi anomali; banyak sekali aplikasi AI.

      Lha kalau hitungan dasar saja tidak menguasai, bagaimana bisa mengerti statistika? Untuk menjadi manusia yang tidak mudah diperalat oleh elit yang jahat di jaman modern ini, kita harus mengerti statistik. Lebih penting daripada kalkulus. Kalkulus itu berguna untuk scientist (ilmuwan eksakta). Tapi sebagai warga negara, lebih penting mengerti tentang kurva lonceng, deviasi standar, mean, median, confidence interval, sampling dll. Dari situ baru bisa mengerti dasar bekerjanya machine learning.

      Orang jaman dulu memang menguasai 100 buku yang dia hafal, karena informasi sangat terbatas. 100 buku klasik, cukup untuk menjadi orang terpelajar. Jaman sekarang untuk menjadi seorang intelektual, bukan buku yang penting, tetapi konsep2 dunia modern, yang bisa dibaca dengan gratis di Wikipedia.

      Hapus
    2. Aha.. kamsia.
      Inilah contoh penjelasan yg sangat ilmiah berdasarkan iptek (istilahnya pak habibie). Kalau banyak orang indonesia terbiasa berpikir ilmiah maka negara cepat maju.

      Cuma kadang2 saya heran sama banyak generasi muda yg tidak bisa jawab 18x7 atau 100-27 tanpa bantuan kalkulator. Jadi ingat Gus Dur yg hafal 200an nomor telepon relasi dan keluarganya.

      Kebetulan saya ini muridnya Mr Yu yg salah satu ajarannya adalah memanfaatkan memori otak semaksimal mungkin. Mr Yu tidak pernah mencatat dan merekam omongan orang pakai alat apa pun. Dia rekam pakai otaknya. Tapi sampai sekarang kemampuan xinwen jizhe beliau belum ada yg menandingi.

      Saya setuju konsep AI itu. Kalkulator lombok cuma alat bantu hitung yg sederhana.

      Oh...jadi ingat Pak Liem Ouyen di Kembang Jepun yg tiap hari menghitung pakai sempoa. Sempoa itu mungkin AI ala Tiongkok kuno hehehe.

      Hapus
  6. Menteri Nadiem ini khas otak teknologi ala otak Habibie. Iptek langsung diaplikasan di gojek.
    Mr Yu: Tiongkok sangat cepat maju karena diurus oleh otak2 teknolog, bukan politikus. Semakin banyak politisi, semakin gak maju negara itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Background mereka sangat berbeda, sebenarnya. Habibie merupakan seorang jenius teknik. Dia punya doktor dalam bidang teknologi penerbangan dan berhasil menemukan teori yang banyak dikutip generasi berikutnya. Sedangkan Nadiem tidak sejenius Habibie di ranah teknik, tetapi sangat inovatif dalam komersialisasi.

      RRT itu diurus oleh teknokrat, birokrat yang berpendidikan teknologi, seperti RI di jaman Orba dahulu. Apakah Lambertus ingin kembali ke jaman Harto? Tentunya tidak. Biarlah RRT maju dengan segala borok2 yang datang dengan pemerintahan otoriter. Dan biarlah RI maju degan lebih lambat, tetapi saya yakin di jangka panjang akan lebih sustainable.

      Hapus