Oktober bulan bahasa. Sejumlah media meramaikan bulan bahasa dengan liputan menarik tentang bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Akhirnya saya jadi tahu jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 718 biji. Biasanya saya jawab ratusan kalau ditanya turis dari luar negeri. Kira-kira mendekati seribu bahasa daerah. Paling banyak di Papua.
Kalau bahasa daerah terbanyak di Papua memang benar. Badan Bahasa mencatat 428 bahasa daerah di Papua dan Papua Barat. Total 428 bahasa daerah. Artinya, lebih dari 50% bahasa daerah ada di Papua. Disusul Maluku 79 bahasa.
NTT juga menarik. Provinsi asal saya itu punya 72 bahasa. Paling banyak di Kabupaten Alor. Tetangga daerah saya di Lembata yang dibatasi selat kecil. Dulu saya pikir Flores dan Lembata yang paling banyak bahasanya.
Sayang, bahasa-bahasa kecil di tanah air terancam punah. Sebab anak-anak muda tidak lagi menggunakannya. Malu berbicara dalam bahasa ibu karena dianggap orang kampung yang terbelakang.
"Pakai bahasa Indonesia saja. Jangan pakai bahasa daerah," kata salah satu guru di Larantuka ketika saya menjawab pertanyaan pakai bahasa Lamaholot karena belum fasih berbahasa Indonesia.
Rupanya ajaran guru-guru di NTT untuk memuliakan bahasa Indonesia 30an tahun lalu itu berhasil. Kompas pagi ini membeberkan data yang menarik. Dari 36 murid di SMAN 1 Kupang, hanya 2 orang yang bisa berbahasa daerah. Yang lainnya pakai bahasa Melayu Kupang (komunikasi sehari-hari) dan bahasa Indonesia (formal).
Dua anak yang bisa bahasa daerah itu: Dominikus Atasage Adonara yang bisa bahasa Lamaholot karena orang tuanya asli Adonara. Satunya lagi Febriani yang fasih berbahasa Jawa.
Yang menarik, ayah Febriani orang Rote dan mamanya asal Ambon. Karena lahir dan besar di Surabaya, maka Febriani lancar berbahasa Jawa ngoko Suroboyoan khas anak-anak muda Surabaya.
Liputan Kompas edisi Selasa 29 Oktober 2019 ini makin mengonfirmasi tulisan-tulisan saya sekitar 10 tahun lalu. Saat bertemu orang Lembata atau Flores Timur di Surabaya biasanya saya pancing dengan bahasa Lamaholot. Tapi dijawab pakai bahasa Indonesia. Bahkan seorang nona asal Ile Ape, satu kecamatan dengan saya di Lembata, nerocos pakai Melayu Larantuka (Nagi) saat kami mengikuti pemakaman seorang pater SVD si Kembang Kuning, Surabaya.
"Anak-anak muda di NTT malu berbahasa daerah karena tekanan sosial. Dicap sebagai orang kampung," kata Dr Ali Humaidi, peneliti LIPI.
Saya mungkin termasuk orang NTT yang lolos dari tekanan sosial itu. Alias minderwaarsigheids complex itu. Sebagai penutur asli Lamaholot Timur, saya ditekan untuk bisa berbahasa Lamaholot Tengah ala Adonara Timur. Kemudian ditekan untuk bisa berbahasa Nagi alias Melayu Larantuka. Kemudian bahasa Indonesia yang baik dan benar ala buku teks sekolahan.
Kemudian belajar lagi bahasa Jawa. Mulai dari tingkat ngoko, madya hingga krama inggil. Agat bisa nonton wayang kulit atau ketoprak. Kemudian belajar lagi bahasa Madura karena para tetangga di Tegalboto, Jember, tidak fasih berbahasa Indonesia.
Tekanan-tekanan sosial itu ibarat blessing in disguise. Saya bisa menguasai 5 atau 7 bahasa daerah meskipun tidak sefasih penutur asli.
Tekanan sosial untuk berbahasa Inggris tidak ada. Makanya saya tidak fasih berpikir dan berbicara dalam bahasa Inggris meskipun belajar English secara formal di sekolah selama 8 tahun. Cuma hafal grammar rules dan kisi-kisi ujian. Makanya nilai bahasa Inggris saya sejak SMP selalu sangat tinggi, 90-100. Hehehe...
Anehnya, meskipun saya hidup jauh lebih lama di luar NTT, hampir tidak pernah bicara bahasa Lamaholot, orang-orang kampung (dewasa) selalu menelepon atau bicara dengan saya pakai bahasa Lamaholot. Bukan bahasa Indonesia atau bahasa Nagi.
Bahasa ibu memang luar biasa. Meskipun tidak pernah dipakai bertahun-tahun, ia akan muncul dan hidup kalau diaktivasi. "Ada semacam kode-kode bahasa di kepala kita," kata mendiang Pater Glinka SVD, antropolog Unair, yang menguasai sekitar 10 bahasa.
Bahasa daerah sangat penting dalam bermasyarakat. Hal itu sangat saya rasakan, jika saya datang ke pulau Bali. Jika saya berbahasa Indonesia dengan orang2 Bali, mereka selalu bersikap sopan, basa-basi lah terhadap turis. Tetapi jika saya berbahasa Bali dengan mereka, sikapnya berubah seperti teman.
BalasHapusWaktu saya pindah dari Bali ke Surabaya, saya pernah merasakan Minderwertigkeitskomplex di SMP, sebab banyak teman2 sinyo dan nonik yang bicara pakai bahasa belanda. Dulu malu tidak bisa coro londo di Indonesia, sekarang isin tidak bisa coro inggris di Indonesia. Pakai bahasa Indonesia dianggap orang tidak sekolahan, atau kampungan, belum pernah lihat Singapur. Boro-boro mau ngomong pakai coro jowo atau Dialekt NTT.
Dui dui... bahasa memang ada tingkatannya kayak kasta. Dan itu sangat terasa di kawasan timur khususnya NTT. Orang2 kampung yg tidak kuat mental bisa gila.
BalasHapusSebaliknya, orang2 kampung yg tahan banting biasanya jadi pembelajar bahasa yg alamiah. Makanya jangan heran kalau pater2 asli Lamaholot bisa dengan mudah menguasai 5 sampai 8 bahasa di eropa macam pater markus solo yg jadi staf Paus di vatikan. Atau pater leo kleden svd yg sekarang jadi superior general SVD sedunia.
Dui dui.., orang2 kampung yang tidak kuat mental bisa gila. Mudah2-an orang2 kampung dari Sabang sampai Merauke bisa gila semua-nya. Sebab; Hanya orang2 gila yang berkata sebenar-nya.
BalasHapusNur Verrückte sagen die Wahrheit ! ( Kata mutiara bangsa Jerman ).
Teman-ku si Joseph, orang kampung dari Flores, menjadi gila, karena mentalnya lemah, dia tidak tahan melihat negara- dan bangsa-nya dikuasai oleh para kleptokrat dan orang2 munafik.
Kita orang2 munafik yang merasa normal, selalu menggilakan orang yang jujur, agar supaya rakyat yang lugu tidak percaya, kata2 yang keluar dari mulut si-gila.
Jesus pun digilakan oleh Establishment Yahudi, karena Dia berani mengucapkan kebenaran.
Di Indonesia sekarang ini ada seorang yang sungguh2 gila, yaitu si wanita yang menamakan dirinya Nyai Dewi Tanjung. Dia selalu nyerocos di Youtube, entah apakah celoteh-nya itu benar atau tidak. Jika benar, maka dia adalah satu-satunya JANTAN di negeri Indonesia. Hanya Nyai Dewi Tanjung, si gila itu, yang berani menunjuk hidung2 para munafikun radikal secara terang2-an. Sedangkan para Menteri dan Cendekiawan hanya berdebat Filologia, mendefinisikan arti kata radikal.
Salam sejahtera om Lambertus Hurek...
BalasHapus1)
saya baru2 ini pengen mampir ke blog anda yang lama dan gak tau kalo ternyata blognya sudah hilang, saya pikir anda sudah berhenti menulis, ternyata hobi menulis anda tetap tidak bisa diredam dan akhirnya saya menemukan blog ini
2)
saya juga baru baca post tentang kepergian ayah dari om Lambertus, semoga arwah beliau hidup kekal bersama Bapa di surga dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan oleh-Nya
3)
kalau tidak salah di blog yang lama anda pernah bercerita tentang Romo Kris Kia Anen, SVD
baru2 ini saya melihat nama beliau di website Keuskupan Agung Medan tertulis sebagai pastor paroki Siborongborong
sampai sekarang paroki Siborongborong, Lintong Nihuta, Dolok Sanggul dan Martubung Medan masih digembalakan oleh pastor-pastor SVD khususnya dari Flores, sebelumnya juga ada Paroki Lawe Desky di Aceh Tenggara tapi baru2 ini sudah diserahkan ke ordo SS.CC
jika di kampung anda selalu diceritakan bahwa imam2 ordo sudah mulai berkurang digantikan oleh imam2 diosesan, tidak di kampung kami, imam2 ordo masih sangat banyak, khususnya Kapusin, mungkin karena kami umat Katolik masih minoritas sehingga Gereja masih menganggap daerah kami sebagai daerah misi
4)
tentang bahasa, munculnya beragam bahasa di masa lampau adalah salah satu imbas dari keterisolasian masyarakat yang minimnya kontak membuat mereka hanya berkomunikasi dengan warga sekitar saja
bukti nyata adalah daerah2 yang kontur wilayahnya datar umumnya hanya punya sedikit bahasa daerah, contohnya Jawa, hanya punya bahasa Sunda, Jawa dan Betawi, paling2 hanya perbedaan dialek
sementara kontur wilayah yang bergunung2 dan berpulau2 bisa menghasilkan banyak bahasa, contohnya kampung halaman anda di pulau Lembata, juga di pulau Alor, begitu juga Pulau Sumatera keragaman bahasanya lebih heterogen daripada Jawa, selain wilayahnya memang lebih luas juga karena keberadaan Bukit Barisan serta banyak pulau yang melingkupinya
keragaman ini kemudian dikikis di era modern oleh kemajuan infrastruktur, keterisolasian dibuka dengan jalan dan alat transportasi, komunikasi jarak jauh bisa dilangsungkan dengan surat, telepon, SMS, hingga video call
begitu juga dengan kebijakan politis seperti keberadaan bahasa nasional dan bahasa pemersatu seperti di Indonesia
berkurangnya penggunaan bahasa lokal bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara2 lain seperti China, Korea, Jepang, Jerman dan lainnya karena faktor-faktor yang telah saya sebutkan di atas
Terima kasih Bung Nababan atas simpati dan komentar yg bagus. Kita jadi tambah pengetahuan.
BalasHapusPater2 SVD memang hampir tidak ada lagi di Lembata dan Flores Timur alias Keuskupan Larantuka. Di Lembata tinggal 1 paroki alias kurang dari 5%. Pater2 dari flores atau NTT justru lebih banyak kerja di kebun anggur di luar Indonesia. Bahkan ada yg ngantor di Vatikan bersama Paus Fransiskus.
Pater Kris Kia Anen SVD memang sudah lama pindah ke Sumatera Utara setelah bertugas lama di Paroki Wonokromo Surabaya.
Pater Kris pindah tapi kami di Surabaya kedatangan Pater Dominikus Udjan SVD yang ayahnya teman akrab almarhum bapak saya di kampung di pelosok Lembata. Jadi, jaringan rohaniwan etnis Lamaholot malah bertambah kental.