Setiap kali melintas ke arah Kenjeran, baik Suramadu, Pantai Kenjeran, atau taman baru di Bulak, saya selalu ingat Soe Tjen Marching PhD. Arek Tionghoa Surabaya yang tinggal di London, Inggris. Saya sering blusukan masuk ke Taman Putroagung yang ada lapangan bola kaki, kemudian lewat di depan Sekolah Mandala.
Soe Tjen memang punya sekolah tiga bahasa di Putroagung (Indonesia, Inggris, Mandarin). Bu Juliana Soesilo, mamanya Soe Tjen, yang bertanggung jawab sehari-hari. Mbak Soe Tjen memantau dari Inggris sana.
Saya pun beberapa kali diskusi dengan Yan Shi, nama pena Bu Juliana, pengurus sastra Tionghoa dan penyair produktif itu. Yan Shi mengisi rubrik sastra Tiomghoa (pakai aksara hanzhi) di koran berbahasa Mandarin terbitan Surabaya, Qiandao Ribao.
"Menulis terus biar gak cepat pikun," kata ibu yang ramah ini. Tahun lalu Yan Shi menerbitkan novelnya yang kesekian. Sempat dibahas di Jawa Pos.
Tiba di Jembatan Suramadu, seperti biasa, pesan kopi hitam rada pahit. Lalu saya cari kabar Soe Tjen Marching pakai telepon seluler. Ouw... rupanya Soe Tjen punya agenda penting di Frankfurt, Jerman. Bedah buku tulisannya yang berjudul
"The End of Silence". Buku yang menceritakan tentang Keluarga Korban Genosida 1965.
EINLADUNG ZUR BUCHBESPRECHUNG
„The End of Silence" von Dr. Soe Tjen Marching - Dozent der SOAS Universität London – über die Familien der Völkermordopfer 65 in Indonesien, am Freitag, den 18. Oktober 2019, von 18:00 bis zum 21:00 Uhr im Seminarhaus Raum SH O 106 Campus Westend der Goethe-Universität, Max-Horkheimer-Straße 4, 60323 Frankfurt am Main.
Luar biasa Soe Tjen ini. Gigih, ulet, ngeyel, wani. Meskipun isu tentang tragedi 1965 sangat sensitif, lulusan SMA Sinlui dan UK Petra itu tidak pernah gentar. Soe Tjen bahkan terang-terangan menghadapi anggota FPI yang hendak membubarkan sebuah seminar di Jalan Diponegoro, Surabaya, beberapa tahun lalu.
"Mereka itu kelihatannya sangar, tapi kalau dihadapi ya biasa aja," kata Soe Tjen lantas tertawa khas.
Soe Tjen Marching memang konsisten mengangkat isu-isu sensitif. Dia pimpinan majalah Bhinneka yang sejak awal menulis panjang lebar topik LGBT, tragedi 65, dan isu-isu sensitif yang dihindari media massa arus utama. Majalahnya pun dibagikan gratis.
Soe Tjen baru saja menyelesaikan naskah novel terbarunya. Ada isu tentang gerakan perempuan aliran kiri yang disebut Gerwani. Tema ini sangat sensitif setiap bulan September di Indonesia. Dia kemudian kerja sama dengan sebuah penerbit besar di Jakarta. "Karena distribusinya bagus," katanya.
Negosiasi untuk penerbitan buku itu pun berlangsung alot. Beda dengan novel Soe Tjen sebelumnya yang berlatar pasien kanker atau kematian. Akhirnya, seperti diduga, penerbit besar itu tidak jadi menerbitkan novel Soe Tjen itu. Apalagi selama ini toko buku milik penerbit itu kerap dirazia aparat dan ormas.
"Akhirnya, naskah saya akan diterbitkan Marjin Kiri," kata Soe Tjen sedikit lega tapi kecewa. Sebab, setelah 21 reformasi Indonesia belum bisa bebas dari trauma 65 dan segala sesuatu yang berbau kiri. "Bagaimana kita bisa meluruskan sejarah?" katanya.
Nah, dalam rangka meluruskan sejarah itulah, Soe Tjen Marching membedah buku The End of Silence di Jerman. Pasti lebih aman karena tidak akan ada ormas yang membubarkan diskusi itu. Pemerintah dan masyarakat Jerman juga tidak punya urusan dengan tragedi 65, Gerwani, Lekra, Manipol Usdek, Nasakom dsb.
" The End of Silence " membuat hatiku tergetar, teringat wajah tacik-ku yang telah tiada !
BalasHapusTeringat pula kata2 mutiara dari Cendana : Piye Le Kabare ? Iseh penak Jamanku to !
Teringat pula peribahasa Jerman ; Gegen Dummheit ist kein Kraut gewachsen. ( Pekok ora ono Jamune ).
Wong pekok, Jakarta, bikin satu WC seharga 5 milliard rupiah, sedangkan harga sebuah rumah baru, terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur dan komplit dengan WC Toto, cuma seharga 600 juta sampai 1,4 M, tergantung jumlah WC, mulai satu sampai tiga kakus. ( Iklan harga rumah di Serpong Lagoon, BSD ).
Wong pekok menusuk menteri, supaya bisa masuk surga, yang belum jelas eksintensi-nya.
" The End of Silence " membuat hatiku tergetar, teringat wajah tacik-ku yang telah tiada !
BalasHapusTeringat pula kata2 mutiara dari Cendana : Piye Le Kabare ? Iseh penak Jamanku to !
Teringat pula peribahasa Jerman ; Gegen Dummheit ist kein Kraut gewachsen. ( Pekok ora ono Jamune ).
Wong pekok, Jakarta, bikin satu WC seharga 5 milliard rupiah, sedangkan harga sebuah rumah baru, terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur dan komplit dengan WC Toto, cuma seharga 600 juta sampai 1,4 M, tergantung jumlah WC, mulai satu sampai tiga kakus. ( Iklan harga rumah di Serpong Lagoon, BSD ).
Wong pekok menusuk menteri, supaya bisa masuk surga, yang belum jelas eksistensi-nya.
Jerman ini sangat menarik. Dulu ada Jerman Barat yg bola kakinya paling hebat dan menangan. Ada de kaiser dst. Tapi ada juga Jerman Timur yg komunis.
BalasHapusTembok Berlin kemudian dirobohkan. Barat dan Timur jadi satu. Ideologi komunis yg dulu sangat ditakuti runtuh. Bola kakinya juga masih kuat meskipun tidak sehebat zamannya Brehme atau Kaisar Franz Beckenbauer yg jenius itu.
Semoga Soe Tjen bisa memetik inspirasi dari Jerman. Biar trauma masa lalu bisa hilang dari Indonesia Raya.
Lambertus awakmu umur piro kok meng-quote Franz Beckenbauer dan Andres Brehme. Jaman mereka main, awakmu durung lahir.
HapusJerman juga mengalami trauma dari pendudukan komunis cak. Lebih dari satu generasi setelah reunifikasi, Jerman Timur masih tetap lebih miskin daripada Jerman Barat, dan masih tergantung subsidi. Malah kulturnya yang tertutup krn pendudukan komunis membuatnya menjadi tidak liberal sama sekali, yang berarti tidak welcome terhadap orang asing, LGBT, dll. dan membuat NeoNazi lebih subur tumbuh di situ.
HapusSaiki jaman youtube. Rekaman2 bola kaki jaman dulu ada semua. Tinggal klik dan nonton. Gak kayak jaman dulu orang2 kita nonton bola di radio.
BalasHapus