Jumat, 11 Oktober 2019

Timnas Indonesia Berantakan



Salah saya sendiri. Kok mau melekan nonton timnas Indonesia vs UEA? Sudah pasti kalah. Skornya pasti besar. Pasti lebih dari tiga gol.

Tapi begitulah... Saya nonton siaran langsung di TVRI yang makin fenomenal untuk urusan bola itu. Buat hiburan. Kompensasi setelah sehari penuh dibombardir berita penusukan Menko Polkam Wiranto.

Saya pikir timnas asuhan Pelatih Simon bermain lebih taktis dan cerdik. Awalnya lumayan. Ada peluang emas untuk cetak gol lewat serangan balik. Tapi Beto yang lansia (standar atlet bola) tidak bisa duel dengan dua bek UEA. 

Peluang sirna. Beto malah bergerak melebar ke kanan. Bagaimana bisa cetak gol? Beto tidak mau ambil risiko ditekel agar Indonesia dapat hadiah penalti. Penyerang yang berani duel cuma Tedd Rivaldo dari Persipura di U-23. Simon lebih suka pemain-pemain tua macam Beto.

Akhirnya, Indonesia kalah telak. Lima gol tanpa balas. "UEA lebih siap segalanya," kata Simon.

Sangat wajar Indonesia kalah oleh UEA. Lawan Malaysia pun kita dipermalukan di kandang sendiri. Lawan Thailand juga hancur. Kalah tiga kali, poin nol.

Indonesia sudah finis di kualifikasi Piala Dunia 2020. Sudahi saja mimpi menembus turnamen sepak bola terbesar sedunia itu.

Target yang paling realistis adalah juara di Asia Tenggara. Medali emas SEA Games. Apakah mungkin? Kalau timnas bermain seperti Beto dkk dalam tiga laga terakhir ya hil yang mustahal, kata almarhum Asmuni, pelawak Srimulat.

Indonesia bakal juara SEA Games kalau Malaysia, Thailand, dan Vietnam memasang anak-anak U-19 atau U-21. Kalau mainnya masih kayak gini, lama-lama timnas senior (man footbal) ditekuk tim sepak bola wanita.

10 komentar:

  1. Orang Indonesia mencela mempermalu Timnas Indonesia karena kalah melulu, tidak becus, adalah tanda-nya Tjinta. Kecewa, pegel, kok penampilan Tim-nya tidak sesuai dengan harapan-nya. Kalau tak cinta, ya tak marah.
    Saya waktu SMP pernah ditampar oleh pak guru ilmu alam. Karena merasa tak bersalah, saya mendelik kepada beliau. Kata beliau; kamu tak usah mendelik, engkau aku tampar kerena aku sayang pada mu !
    Bapak guru itu adalah mantan pejuang kemerdekaan, orang yang sangat nasionalis. Konon Beliau waktu peristiwa G-30-S, hilang, diamankan oleh kaki-tangan Suharto.
    Cerita-nya begini : Di rumah saya, setiap bulan selalu ada majalah Life dari Amerika. Didalam majalah ada gambar, foto, Gina Lollobrigida, yaitu dari adegan Film, Salomon and Sheba, berpasangan dengan Yul Brynner.
    Kerena saya terpukau oleh mata-nya Gina Lollo yang sedemikian jeli, maka gambar itu saya gunting, dan saya tempelkan di buku agenda saya.
    Suatu hari, pak guru ilmu alam berkata kepada kami, anak2 kalian keluar kelas semua-nya, tas sekolah harus kalian tinggalkan di bangku. Ada Razia, apakah kita anak2 sekolah membawa barang terlarang. Semua tas sekolah kami digeledah.
    Ketika pak guru melihat gambar si Lollo di buku agenda-saya, maka saya ditempeleng. Aku berpikir, Jancuk, apa salah ku ?
    Padahal hanya gambar biasa, bukan gambar telanjang, mungkin bajunya pakai dekollete agak turun kebawah. Belahan susunya pun tak ada. Memang buah dada si Lollo tidak besar, biasa saja, kalah sama punya-nya Bek-Mi penjual rujak, atau Sophia Loren, Anita Ekberg, Mamie van Doren, dll.

    Orang Lembata boleh marah kepada Timnas Indonesia, tetapi jangan ada orang asing yang berani mencela Indonesia, pasti dia akan merasa tidak senang hati, sebab setiap orang punya Kumbhakarna-Syndrom, Right or wrong my country.
    Ada kata mutiara dari Donald Trump : If you are not happy here, you can leave. Seharusnya Pak Joko Widodo juga harus memakai kata-mutiara tersebut, kepada WNI yang selalu nyinyir, selalu unhappy di Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haiya.. itu cerita bagus. Bapa Ibu Guru tempeleng murid memang biasa di masa lalu. Malah bapa ibu guru disuruh sama orang tua murid untuk tempeleng atau pukul anaknya kalau nakal dsb. Tujuannya bagus untuk pendidikan.

      Kalau sekarang guru tempeleng murid ya dilapor ke polisi. Bapa guru bisa masuk penjara. Makanya guru2 sekarang cenderung membiarkan anak2 nakal. Ben mokong, anake wong ae kok lapo diajar. Sing penting aku tetep gajian.

      Hapus
    2. Ben mokong rapopo, sing penting aku tetep gajian. Pekok, pekok !
      Doeloe kalau kita, manusia Indonesia, ditempeleng bapak, kita tidak minta Maaf, tetapi bersujud Minta Ampun !
      Wong pekok jaman sekarang, menghina milliard-an umat nasrani, dianjurkan untuk meminta Maaf, tetapi menolak dengan kecongkakan, apalagi kalau disuruh minta Ampun.
      Doeloe TNI cinta sama GAZ-69, bikinan UAS.
      UAS adalah Uljanowski Awtomobilny Sawod.

      Hapus
    3. Si Pekok sesumbar, Jangan membuat aku marah, jika aku sampai marah, maka rakyat akan ikut marah, Ibu Pertiwi akan tergetar !
      Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa. Miserere mei, Deus.
      Tong kosong nyaring bunyi-nya.
      Kalau rakyat sampai marah, sesungguhnya yang gemeteran itu siapakah ?

      Hapus
    4. Saya sangat prihatin dengan percakapan macho seperti di atas.

      Menempeleng anak itu hanya memuaskan nafsu amarah orangtua atau guru saja, tetapi sebenarnya tidak mendidik anak. Yang terjadi ialah anak hanya menurut karena takut ditempeleng, bukan karena kesadarannya sendiri.

      Generasi saya / Lambertus masih mengalami ditempeleng, diseblak dengan rotan, disuruh jengkeng di ubin, ditutuk kaleng kapur hingga kepala benjol, dijambak rambut, dll. Apa yang terjadi ialah kekerasan antar generasi itu kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya.

      Untunglah generasi saya banyak yang sadar, dan tidak meneruskan kekerasan kepada anak2 yang tidak mampu melawan ke generasi berikutnya. Meneruskan pola pikir yang berlandaskan kekerasan dan patriarkal itu tandanya orang pekok (menggunakan bahasa yang sama) yang tidak mau belajar dari kesalahan generasi sebelumnya.

      Saya juga orang tua dari 2 anak: yang satu menginjak remaja, dan yang lain remaja menginjak dewasa. Pengalaman empiris dari saya dan teman2 saya yang segenerasi, anak2 jika tidak dipukul justru lebih bisa lebih pagi menjadi independen dan membangun sendiri kesadaran atas tingkah lakunya. Karena mereka melakukan hal yang baik bukan dari ketakutan akan dibentak2 atau dipukuli.

      Anak2 yang salah tetapi tidak dipukuli itu bukan dibiarkan menjadi kurang ajar. Tetapi setiap tindakan itu ada konsekuensi alamiah, biarkan dia melakoni sendiri. Selain itu, anak nakal itu mencari perhatian. Jika perhatian positif tidak dia dapatkan, perhatian negatif (dipukul, dibentak) pun sengaja dia sambut. Strategi mengacuhkan perilaku nakal itu benar. Dan diimbangi dengan waktu 1-1 kalau anak sudah kalem. Dan dipuji jika anak berbuat baik.

      Artikel ini bagus: https://id.theasianparent.com/bahaya-memukul-anak

      Dan kalau mau mendisiplinkan yang benar: https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/disciplining-children

      Cara mendisiplinkan anak yang benar ialah dengan memberi contoh. Kalau orangtuanya korupsi, bagaimana anak tidak akan maling? Kalau orangtua merokok, bagaimana anak tidak akan coba2 ngisep juga? Kalau orangtua memukul anaknya, bagaimana anak tidak akan memukul temannya?

      Marilah kita semua berhenti menjadi orang pekok. Mulai dengan melatiih kesabaran diri sendiri. Ingatlah bahwa amarah itu salah satu dari 7 Dosa Maut (Deadly Sins).

      Hapus
  2. Akhirnya saya makin sadar kalau mutu bola kaki kita itu masih level SD atau SMP. Sementara lawan2 kita di Asean sudah level SMA. Negara2 arab, korea, jepang tiongkok sudah sedikit di atas SMA. Negara2 eropa dan amerika selatan sudah tingkat universitas. Bahkan bukan cuma S1 tapi S2 dan S3.

    Salahnya kita orang sendiri. Kemampuan kita masih level SD tapi kita paksa Garuda menang lawan negara2 yang levelnya SMA.

    Jadi, pemain2 timnas memang tidak salah. Kemampuannya ya cuma segitu.

    BalasHapus
  3. Ideal banget kalau guru2 modern mampu menghadapi anak2 yg super aktif dan nakal itu. Pasti ada sebab akibatnya si anak jadi nakal, kasar, ndableg.

    Di Surabaya lagi ramai anak2 nakal usia smp yg tiap malam minggu tawuran di Surabaya Utara. Sering diobrak polisi tapi kambuh terus. Sering diceramahi bu wali kota tapi kayaknya gak ada efeknya.

    Apakah dibiarkan saja mereka tawuran sampai ada yg mati? Banyak warga yg bilang begitu. Anak2 nakal itu kalau sudah ketemu batunya baru sadar. Kayak seleksi alam itulah.

    Tapi memang perlu ada cara2 yg lebih canggih dan halus untuk mendidik anak2 zaman sekarang. Apalagi para orang tua juga tidak punya waktu lagi di rumah. Anak2 diurus pembantu.

    Di sekolah guru2 juga tidak punya metode untuk mendidik anak. Metode tempeleng bisa masuk penjara atau pengadilan kayak di Balongbendo Sidoarjo itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ideal banget, guru2 di Eropa mendidik para murid dengan Metode pedagogi ala Johann Pestalozzi dan Maria Montessori, al hasil, tidak ada satu pun guru yang mampu bertahan bekerja sampai usia pension, 65 tahun. Mereka umur 50-55 tahun sudah mengajukan pension dini, karena Burnout-Syndrom, Depressi, alias sinting. Tidak tahan menghadapi murid2 yang makin lama makin mokong.
      Ideal banget ajaran Christus, jika ditempeleng pipi kanan, serahkan pipi kiri untuk ditempeleng sekalian, dan berdoalah, ya Bapak, ampunilah dia, karena dia tidak tahu, apa yang dia perbuat.
      Ideal banget paham komunis, janganlah engkau tamak dan serakah, berbagilah sama rata sama rasa.
      Tidak ada yang salah ajaran Christus, Pestalozzi, Montessori atau Marx, yang salah adalah kodrat manusia yang tamak dan mokong.
      Di negara manakah penduduk-nya, per 100 000 warga, yang paling banyak masuk bui ? USA !

      Hapus
    2. Kalimat yang sering diucapkan para orang-tua di Eropa, yang galau dan jengkel menghadapi anak2-nya yang mokong :
      Tunggulah sampai usia-mu 18 tahun, di ketika kamu harus masuk wajib militer. Cobalah kamu mokong di kemiliteran !
      Ketika saya menerima sepucuk surat resmi tercatat dari kementerian pertahanan, surat perintah menghadap komando militer, untuk menunaikan wajib militer, maka saya pergi ke bapak wali kota, meminta ijin cuti, karena harus jadi tentara.
      Pak wali kota berkata kepada saya; Apakah engkau perlu aku bantu, agar supaya engkau dibebaskan dari kewajiban tersebut ?
      Saya menjawab sambil tertawa: Banyak terima kasih Sepp ( Josef ), atas kebaikan hati mu. Biarkanlah saya masuk jadi tentara, gleiche rechte gleiche pflichten.
      Mendengar jawaban saya, si Sepp tersenyum senang.
      Gleiche Rechte gleiche Pflichten ( Menuntut Hak harus diimbangi menunaikan Kewajiban ).

      Hapus
    3. Lambertus, anak SMP / SMA tawuran itu sudah dari dulu. Jaman saya pun ada teman yang doyannya tawuran, masuk geng, bawa piso belati ke sekolah. Si HT yang CEO perusahaan media itu pun dulu kepala tawuran di SMAku. Dari jaman ke jaman selalu ada anak yang kurang perhatian dan cari perhatian karena di kelas dan sekolah tidak berprestasi di bidang apa pun.

      Anak nakal suka tawuran itu karena kurang kerjaan. Diomelin ibu walikota pun ga ada gunanya. Diobrak polisi berkali-kali pun akan balik lagi. Karena mereka tidak punya saluran yang positif untuk energi remaja mereka yang berlebih. Memang, kalau anak2 muda mengganggu lalu lintas atau kenyamanan, ya harus ditangkapi. Tetapi pembinaan selanjutnya bagaimana? Penjara penuh, ga mungkin juga kan terus2an siklus begitu?

      Amerika memang negara nomer satu yang memenjarakan warganya. Itu karena sistem yang patriarkal dan kapitalistis yang didukung oleh negara2 bagian di Selatan. Negara2 bagian berpikiran pekok, yang memilih presiden pekok yg sekarang menduduki Gedung Putih yang pekok. Ini dilatarbelakangi filosofi pekok yang sama dengan yang membuat orangtua dan para guru menempeleng anak; yang membuat Jokowi menghukum mati; Duterte atau Suharto membuat pasukan maut di luar hukum untuk membunuh para gali bertattoo . Kesalahan harus dihukum. Efek jera. Yg kuasa yang benar. Dll alasan. Ini cara berpikir pekok.

      Usia 18 lepas dari rumah, mungkin wajib militer, atau orangtua angkat tangan, itu pun suatu konsekuensi alami. Maaf nak, aku tak mampu lagi menyokong kamu, mencucikan bajumu, membuat makan. Sekarang waktunya kamu mandiri. Jika orangtua mendidik seperti itu dari usia lebih dini, mungkin anak tidak akan biayakan seperti yang diceritakan Lambertus.

      Tidak ada bukti sepicispun bahwa menggunakan metode pendidikan yang tanpa kekerasan itu membuat anak2 makin bandel dan guru2 makin pensiun dini. Yang saya lihat di sekolah2 negeri yang disatroni oleh anak2 saya ialah guru2 yang kompeten, yang tidak pernah memukul atau mengancam anak2 seperti yang saya alami waktu kecil. Dan kelas2 berjalan dengan lancar.

      Sebagai orang berpendidikan kita bertanggung jawab untuk menyebarkan metode2 yang lebih baik, bukannya metode2 kekerasan a la filem koboi.

      Ini rekomendasi dari American Academy of Pediatrics:
      https://pediatrics.aappublications.org/content/early/2018/11/01/peds.2018-3112

      Hapus