Tokoh Muslim Tionghoa Sidoarjo HM Handoko, 65, meninggal dunia di Roomsch Katholieke Ziekenhuis (RKZ) Surabaya, Senin (14/10/2019) petang. Pria yang juga pemilik Al Handoko Motor di kawasan Sedati, dekat Bandara Juanda, itu sebelumnya menjalani perawatan intensif akibat gangguan ginjal.
"Papa selama ini juga harus cuci darah secara teratur. Kondisi Papa terakhir memang drop dan akhirnya berpulang," kata Albert Handoko, putra almarhum HM Handoko.
Jenazah tokoh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kabupaten Sidoarjo itu disemayamkan di Adi Jasa, Jalan Demak Surabaya. Pihak keluarga masih menunggu kedatangan Valencia dan William, cucu almarhum Handoko, yang berdomisili di Kanada.
Sedangkan Yuliana Handoko, anak pertama Handoko yang tinggal di Kanada, sudah berada di samping ayahandanya di RKZ sejak pekan lalu. "Papa meninggal dengan tenang. Sepertinya Papa sudah tahu kalau waktunya sudah tiba," kata Yuliana Handoko.
"Pemakaman akan dilakukan di Gunung Gangsir," kata Albert yang kini meneruskan bisnis ayahnya.
Selain dikenal sebagai pengusaha yang gigih, pria bernama lahir Poo Tji Swie identik dengan PITI. Maklum, dialah babat alas organisasi para mualaf keturunan Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo. Handoko kemudian dilantik sebagai ketua PITI Sidoarjo oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.
Selama tiga periode atau 15 tahun lebih, Handoko menjadi orang nomor satu di PITI Sidoarjo.
"Saya sih maunya cukup satu periode, gantian orang lain. Tapi ternyata mencari orang yang bersedia meluangkan waktu untuk mengurus PITI tidak gampang," kata ayah dua anak itu dalam beberapa kesempatan.
Setelah ada pimpinan yang baru, Handoko pun tetap jadi penasihat dan sesepuh PITI Sidoarjo. Berbagai kegiatan sosial terus ditunaikan pengusaha yang dikenal punya jaringan luas di kalangan pejabat dan politisi itu.
Salah satu keinginan Handoko yang belum terwujud adalah membangun Masjid Cheng Hoo di Sidoarjo. Rencana itu pernah dipresentasikan di depan Bupati Win Hendrarso. Namun, pihak PITI menemui berbagai kendala di lapangan. "Khususnya pengadaan tanah," katanya.
Meski begitu, Handoko optimistis masjid berarsitektur Tionghoa itu suatu saat bisa terwujud di Sidoarjo meskipun dirinya tidak ada lagi di dunia. Selain sebagai tempat ibadah dan syiar Islam, Handoko ingin menunjukkan eksistensi muslim Tionghoa di Kabupaten Sidoarjo.
"Orang Tionghoa itu sejak dulu sangat terbuka, toleran, dan guyub. Ada yang Buddha, Khonghucu, Taoisme, Nasrani, Islam, Kejawen, dan sebagainya. Bahkan, dalam satu keluarga agamanya bisa macam-macam. Bhinneka Tunggal Ika," katanya. (rek)
Orang Tionghoa itu sejak dulu sangat terbuka, toleran dan guyub ! Benarkah masih sedemikian jaman sekarang ?
BalasHapusKetika seorang famili saya meninggal di Banyuwangi, kok situasi malah jadi runyam. Kasihan si almarhum, hidup susah, mati pun jadi berabe. Dia sendiri penganut agama Tridharma atau Samkauw, yaitu campuran Buddha, Konghucu, dan Taoisme.
Anak2-nya ada yang memeluk agama Katolik, ada yang Islam, ada yang Kristen Karismatik, ada yang Samkauw, ada yang Kejawen dan ada pula yang percaya Suhu nujum.
Anak2 itu, termasuk sepupu keponakan2 saya, sebab mereka selalu memanggil saya dengan sebutan Encek.
Bukannya mereka bersatu padu, bermusyawarah mengurus pemakaman bapak nya, tetapi berdebat keras tentang upacara pemakaman.
Yang satu minta cara Islam, yang lain minta cara Katolik, dan seterusnya. Sampai liang lahat harus menghadap kemana pun harus diperdebatkan ! Fanatisme beragama sangat mengerikan. Tetapi apa mau dikata, Tren Agama di Indonesia harus murni, tidak boleh gado-gado, tidak boleh musyrik dan bid'ah.
Keluarga cekcok gara2 Agama. Ampun !
Kalau keluarga besar mendiang pak handoko poo tjie swie ini sangat terbuka dan beragam. Mei guan xi!
HapusSembahyangnya tentu dari orang2 piti muslim tionghoa itu. Suster2 SSpS dari RKZ juga datang sembahyang arwah pakai cara katolik. Ada juga keluarganya pak handoko yg orang kelenteng.
Ada juga yg jemaat gereja haleluya mendoakan agar beliau rest in peace.
Menarik melihat suasana perkabungan keluarga Tionghoa di Adi Jasa yg warna-warni. Bhinneka Tungga Ika.
Yang pasti, semuanya punya fanatisme di bidang kuliner alias MEOK: makan enak omong kosong.
Deo gratias, Namo Amituofo, Syukur Alhamdulillah ! Memang demikianlah seharusnya bermasyarakat, Berbhinneka Tunggal Ika.
HapusKerukunan beragama memang sudah tertanam dalam jiwa orang Cina di Fujian-Quanzhou, sejak lebih dari seribu tahun silam.
Jika kita berkunjung ke Kabupaten Quanzhou, di Kecamatan Licheng, semua tempat ibadah berbagai agama letaknya berdampingan didalam area lingkaran 300 meter. Tidak pernah ada pertengkaran soal agama disana.
Keluarga Poo Tjie Swie juga berasal dari Quanzhou, sebab itu, mereka sangat toleran.
Toleransi beragama semakin pudar, disebabkan oleh virus gurun dan virus youtube.
Banyak tokoh marga Poo yg hebat baik skala nasional maupun provinsi dan kabupaten. Pak Handoko Poo sangat terkenal di Sidoarjo sebagai salah satu juragan tambak di Sedati dekat Bandara Juanda.
HapusBingky Irawan alias Poo Sun Bing dikenal sebagai pimpinan Boen Bio Kapasan dan tokoh Tionghoa Sidoarjo. Pak Bingky Poo ini yg memperjuangkan agama Khonghucu diakui negara. Dan sukses saat Gus Dur jadi presiden.
Jangan lupa ada Murdaya Poo yg kondang di kancah bisnis nasional. Mereka ini sangat heterogen, tapi selalu rukun.
Poo yang paling terkenal yalah Toko Tahu Kediri Poo.
HapusPoo Sun Bing : Poo (傅) Sun (孙). Sun yang nama tengah adalah menunjukkan tingkatan generasi.
Jadi kakek-nya Sun Bing adalah tingkatan Ruo (若), ayahnya Wei (维), Sun (孙), Zi (子), Yang (仰), dan seterusnya.
Menurut adat kekerabatan, maka Sun Bing adalah satu generasi dengan saya, jadi dia harus memanggil saya, Engkoh. Sebab saudara2 sepupu saya di Quanzhou adalah generasi Sun.
Sesuai tingkatan generasi, maka saya adalah generasi ke-19 di desa leluhur saya Quanzhou. Jadi sejak jaman Gajah Mada, kami memiliki kampung sendiri, yang seluruh penduduknya se-Marga dengan kami.
Orang Cina yang tahu adat sangat memperhatikan tingkatan generasi, supaya kita tidak menjambal orang yang tingkatannya lebih tinggi. Bahkan ada kalanya seorang bayi menduduki tingkatan, dua tingkat diatas kita. Haruslah memanggil si jabang-bayi dengan sebutan Cekkong.
Bagi orang barat pastilah adat semacam itu dianggap absurd, tetapi kami adalah orang cina, bukan bule.
Saya sudah salah menafsirkan, Poo Tjie Goan dan Poo Tjie Swie mungkin leluhurnya dari Fuzhou, jadi mereka Hokcia-lang. Kalau Poo Sun Bing pastilah Hokkien-lang.
HapusBung hurek,coba sekali2 ulas tentang perkembangan barongsai khususnya di Surabaya. Narsumnya bisa pak Tjandra Wurianto,pak Hwa ying atau yang lain. Karena kok sepertinya kesenian ini sudah mulai ditinggalkan oleh generasi muda tionghoa. Yang saya amati,mayoritas pemainnya sekarang adalah pribumi (etnis jawa/madura). Hal ini bagus karena bisa jadi tanda bahwa barongsai mulai jadi kesenian yang bisa dimainkan dan dinikmati semua lapisan masyarakat,yang jadi masalah ya tadi... kemana generasi muda tionghoa yang harusnya merawat&menjaga tradisi leluhurnya. Paling ada cuma satu atau dua orang,itupun pengurus/pelatihnya.sepertinya ini akan jadi konten yang menarik,apalagi jika anda yang menulis! Terima kasih,sukses selalu.
BalasHapusPak Chandra pimpinan persobarin saya kenal baik. Dulu beliau sering ajak makan2 di itc kalau ada kejuaraan barongsai nasional. Biasanya 2 kali setahun.
BalasHapusPak Chandra dengan yayasan senopati-nya dari dulu paling konsisten membina barongsai dan liong meskipun dilarang orde baru. Sampai sekarang masih jalan.
Di blog lama saya sudah sering menulis tentang barongsai di surabaya dan sidoarjo. Lebih dari 93 persen pemainnya memang bukan tionghoa. Tapi juragan dan yayasan atau klubnya selalu terkait dengan kelenteng atau yayasan tionghoa.
Itu bagus karena barongsai sudah lama diterima KONI dan FORMI sebagai anggota resmi. Artinya olahraga dan seni ala tiongkok ini sudah diterima secara luas di masyarakat. Anak2 tionghoa kan super sibuk sekolah dan dagang. Ndak ada waktu untuk main barongsai.
Mirip karate yg bisa dimainkan siapa saja. Bukan hanya orang jepang. Taekwondo juga bukan lagi monopoli orang Korea.
Yang main wayang potehi saben hari di kelenteng dukuh juga mas sukar mujiono dkk yang asli jawadwipa. Mei guan xi lah!
Pertama kali Moral bangsa Jepang ambruk, waktu kalah perang, karena dibom atom.
BalasHapusKedua kali-nya bangsa Jepang dipermalu oleh seorang Belanda, Anton Geesink, yang juara dunia dan peraih medali emas di olympiade dalam bidang olahraga Judo. Semua Judoka di dunia, pastilah kenal nama si Anton Geesink, londo ini adalah Judoka yang tak terkalahkan.
Pada masa yang sama judoka Indonesia yang terkenal adalah Pantauw dan Pantjoro.
Di Surabaya juga ada atlet2 marga Pantauw yg sangat hebat di judo. Salah satunya Ferry Pantauw, mantan raja judo Asia Tenggara dan hebat pula di Asia. Bung Ferry meninggalkan dunia 2 tahun lalu karena sakit gula.
HapusDulu zaman TVRI masih satu2nya televisi di Indonesia, pejudo Ferry Pantauw ini sangat sering muncul di acara Dari Gelanggang ke Gelanggang.
Menarik... tulisan obituari mengenang alm Handoko Poo bisa mengalir sampai jauh ke tahu poo di Kediri, judoka hebat, hingga ketangguhan mental bangsa Jepang setelah dibom tahun 45. Kamsia banyak atas komentar2 Xian Sheng dari Negara Tengah.