Surabaya masih panas sore ini. Apalagi posisi matahari persis di atas Surabaya pada 12 Oktober 2019. Sang Surya memang sedang dalam perjalanan ke selatan untuk menyambut musim hujan pada pertengahan November nanti. Tapi kata BMKG Juanda musim hujan tahun ini terlambat datang di Jawa Timur.
Sambil menikmati hawa terik, saya perhatikan Kali Mas. Airnya makin habis. Tinggal sedikit di bagian dasar yang penuh endapan. Baunya tentu saja tidak enak.
Banyak sampah yang nyangkut di Jembatan Merah. Sebab selama ini memang jarang dibersihkan. "Nanti akan kami benahi agar ada rute baru wisata air hingga ke kota lama di Jembatan Merah," kata pejabat pemkot beberapa waktu lalu.
Air Sungai Kalimas memang biasa berkurang saat musim hujan. Tapi rasanya tidak separah tahun ini. Kalau musim hujan masih lama, ya bisa kering parah sungai yang bermuara di dekat Pelabuhan Tanjung Perak itu.
Saya jadi ingat foto-foto tempo doeloe di kawasan Kalimas. Sungai itu ramai banget. Banyak perahunya. Suasananya mirip laut atau danau yang berlimpah air. Tak ada keringnya.
Bangunan-bangunan di samping Kalimas Timur dan Kalimas Barat pun bagus-bagus. Tidak kalah dengan di Belanda, kata orang. Sebab permukiman orang Belanda di Surabaya pada masa penjajahan berada di Kalimas bagian barat. Di sebelah timur Kalimas permukiman Tionghoa, Arab, Melayu, Jawa.
Rasanya seperti mimpi melihat foto-foto hitam putih yang diambil tahun 1930-an. Begitu indah, ramai, dan mentereng kawasan Kalimas. Jembatan Merah, Rajawali, Krembangan, Kalisosok, Kembang Jepun, Karet, Gula,Cokelat, Panggung, Nyamplungan, Ampel dst.
Saat ini kawasan Surabaya Utara rasanya suram. "Saya jualan paling lama sampai jam lima. Sepi Mas," kata seorang ibu asal Madura. Perempuan gemuk ini berjualan di emperean Gedung Internatio yang mangkrak gak karuan.
JMP pun redup. Satu-satunya plaza di Surabaya yang tidak buka malam hari. Stan-stannya pun sudah banyak yang kosong. Food Court di lantai paling atas JMP sudah lama kosong melompong.
Ah... kota lama! Kota tua. Kota masa lalu. Hanya indah dan semerbak dalam foto kenangan hitam putih itu.
Sambil menikmati hawa terik, saya perhatikan Kali Mas. Airnya makin habis. Tinggal sedikit di bagian dasar yang penuh endapan. Baunya tentu saja tidak enak.
Banyak sampah yang nyangkut di Jembatan Merah. Sebab selama ini memang jarang dibersihkan. "Nanti akan kami benahi agar ada rute baru wisata air hingga ke kota lama di Jembatan Merah," kata pejabat pemkot beberapa waktu lalu.
Air Sungai Kalimas memang biasa berkurang saat musim hujan. Tapi rasanya tidak separah tahun ini. Kalau musim hujan masih lama, ya bisa kering parah sungai yang bermuara di dekat Pelabuhan Tanjung Perak itu.
Saya jadi ingat foto-foto tempo doeloe di kawasan Kalimas. Sungai itu ramai banget. Banyak perahunya. Suasananya mirip laut atau danau yang berlimpah air. Tak ada keringnya.
Bangunan-bangunan di samping Kalimas Timur dan Kalimas Barat pun bagus-bagus. Tidak kalah dengan di Belanda, kata orang. Sebab permukiman orang Belanda di Surabaya pada masa penjajahan berada di Kalimas bagian barat. Di sebelah timur Kalimas permukiman Tionghoa, Arab, Melayu, Jawa.
Rasanya seperti mimpi melihat foto-foto hitam putih yang diambil tahun 1930-an. Begitu indah, ramai, dan mentereng kawasan Kalimas. Jembatan Merah, Rajawali, Krembangan, Kalisosok, Kembang Jepun, Karet, Gula,Cokelat, Panggung, Nyamplungan, Ampel dst.
Saat ini kawasan Surabaya Utara rasanya suram. "Saya jualan paling lama sampai jam lima. Sepi Mas," kata seorang ibu asal Madura. Perempuan gemuk ini berjualan di emperean Gedung Internatio yang mangkrak gak karuan.
JMP pun redup. Satu-satunya plaza di Surabaya yang tidak buka malam hari. Stan-stannya pun sudah banyak yang kosong. Food Court di lantai paling atas JMP sudah lama kosong melompong.
Ah... kota lama! Kota tua. Kota masa lalu. Hanya indah dan semerbak dalam foto kenangan hitam putih itu.
Itu daerah masa kecilku Bernie. Daerah yang dahulu penuh dengan beragam etnis, Cina , Arab, Madura, Jawa, semua campur baur.
BalasHapusCiamik banget kota tua kawasan kalimas itu. Kampungnya OKL: orang kaya lama zaman belanda sampai orde baru awal.
BalasHapusSayang, heritage city itu dibiarkan telantar selama puluhan tahun. Ditambah sentimen anti tionghoa ala orba selama 32 tahun. makanya ratusan bahkan ribuan bangunan2 lama jadi mangkrak.
Ironis, kawasan yg dulu jadi pusat kota surabaya sekarang paling redup di surabaya. Kawasan yg hingga 90an masih sawah atau pabrik kulit di wonocolo hingga menanggal malah kelihatan berkilau dan hidup saat ini.
OKL memang banyak, tetapi yg di gang2 juga super buanyaaak. Yg besar main di embong tanpa alas kaki. Itulah diriku.
BalasHapusHaiya.. ciamik kota tua suroboyo. Seni bangunan dan tata kota lama masih sangat kental dan bisa dinikmati turis2 londo meskipun bangunannya banyak yg telantar.
BalasHapusAwalnya saya gak kerasan waktu pindah ke kembang jepun. Setelah blusukan di kalimas dsb, sekarang saya jadi penggemar berat kota lama. Seakan tidak ada habisnya mengulik kekayaan sejarah, budaya dsb di surabaya utara.