Sudah hampir dua minggu muncul semburan di Kutisari Indah Utara III Surabaya. Persis di halaman rumah. Bau khas minyak mentah meruak ke mana-mana.
Jumat pagi, 4 Oktober 2019, saya mampir ke sana. Banyak petugas yang berjaga. Linmas, satpol, pekerja, hingga satpam. Drum-drum berisi minyak mentah berjejer di halaman dan pinggir jalan.
"Minyaknya sudah sedikit. Lebih banyak airnya," kata anggota Linmas Surabaya. Mereka berjaga gantian hingga jelang 24.00.
Semburan lumpur berminyak di Kutisari ini tidak sama dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Beda jauuuh. Di Kutisari mirip sumber mata air yang bergejolak.
Karena itu, secara awam bisa dikatakan aman. Warga sekitar pun adem ayem. Tidak ada keresahan. Mereka juga sudah bikin selamatan tumpeng, doa bersama, meminta bantuan Yang Mahakuasa agar semburan itu berhenti. Pemerintah juga tidak tinggal diam.
Pakar geologi dari ITS Dr Amien Widodo mengatakan hampir di sepanjang sumbu lipatan di wilayah Jawa Timur selalu muncul semburan secara alami baik minyak, gas, maupun lumpur. Di antaranya, di Sedati, Pulungan, Gununganyar, Kutisari, Semolowaru, Lidah Kulon, Gresik, Madura, Wringinanom.
Penjajah Belanda dulu melakukan pengeboran untuk mengambil minyak di sekitar semburan semburan tersebut. Amien Widodo mengatakan, lapangan minyak Belanda di Kota Surabaya ada tiga, yaitu Lapangan Lidah, Lapangan Krukah, dan Lapangan Kuti-anyar. Eksploitasi migas Belanda sekitar 1880 dan berhenti operasi (ditinggalkan) tahun 1930-an.
"Bekas lapangan migas tersebut saat ini menjadi perumahan padat seperti di Kutisari," kata geolog yang aktif meneliti semburan lumpur di Sidoarjo sejak 2006 itu.
Berapa sumur minyak tua eks Belanda di Kutisari? Datanya simpang siur. DLH Surabaya bilang 84 sumur. Yang sudah terdeteksi 34 sumur minyak.
Tentu saja posisi sumur-sumur lawas itu sudah tidak kelihatan lagi setelah eksplorasi distop satu abad lalu. Eks lapangan minyak itu pun sudah berubah menjadi kampung dan perumahan padat penduduk. Nyaris tidak ada spasi di antara rumah-rumah di Kutisari dan sekitarnya.
Lantas, kapan semburan minyak itu berhenti? Apakah sumur-sumur lain pun berpotensi nyembur?
Ini yang belum bisa dijawab. Ada pakar yang bilang semburan kecil itu biasanya akan berhenti sendiri. Bisa cepat seperti di Gresik, tapi bisa juga sampai puluhan tahun seperti di Jawa Tengah. Waduh!
Jumat pagi, 4 Oktober 2019, saya mampir ke sana. Banyak petugas yang berjaga. Linmas, satpol, pekerja, hingga satpam. Drum-drum berisi minyak mentah berjejer di halaman dan pinggir jalan.
"Minyaknya sudah sedikit. Lebih banyak airnya," kata anggota Linmas Surabaya. Mereka berjaga gantian hingga jelang 24.00.
Semburan lumpur berminyak di Kutisari ini tidak sama dengan semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Beda jauuuh. Di Kutisari mirip sumber mata air yang bergejolak.
Karena itu, secara awam bisa dikatakan aman. Warga sekitar pun adem ayem. Tidak ada keresahan. Mereka juga sudah bikin selamatan tumpeng, doa bersama, meminta bantuan Yang Mahakuasa agar semburan itu berhenti. Pemerintah juga tidak tinggal diam.
Pakar geologi dari ITS Dr Amien Widodo mengatakan hampir di sepanjang sumbu lipatan di wilayah Jawa Timur selalu muncul semburan secara alami baik minyak, gas, maupun lumpur. Di antaranya, di Sedati, Pulungan, Gununganyar, Kutisari, Semolowaru, Lidah Kulon, Gresik, Madura, Wringinanom.
Penjajah Belanda dulu melakukan pengeboran untuk mengambil minyak di sekitar semburan semburan tersebut. Amien Widodo mengatakan, lapangan minyak Belanda di Kota Surabaya ada tiga, yaitu Lapangan Lidah, Lapangan Krukah, dan Lapangan Kuti-anyar. Eksploitasi migas Belanda sekitar 1880 dan berhenti operasi (ditinggalkan) tahun 1930-an.
"Bekas lapangan migas tersebut saat ini menjadi perumahan padat seperti di Kutisari," kata geolog yang aktif meneliti semburan lumpur di Sidoarjo sejak 2006 itu.
Berapa sumur minyak tua eks Belanda di Kutisari? Datanya simpang siur. DLH Surabaya bilang 84 sumur. Yang sudah terdeteksi 34 sumur minyak.
Tentu saja posisi sumur-sumur lawas itu sudah tidak kelihatan lagi setelah eksplorasi distop satu abad lalu. Eks lapangan minyak itu pun sudah berubah menjadi kampung dan perumahan padat penduduk. Nyaris tidak ada spasi di antara rumah-rumah di Kutisari dan sekitarnya.
Lantas, kapan semburan minyak itu berhenti? Apakah sumur-sumur lain pun berpotensi nyembur?
Ini yang belum bisa dijawab. Ada pakar yang bilang semburan kecil itu biasanya akan berhenti sendiri. Bisa cepat seperti di Gresik, tapi bisa juga sampai puluhan tahun seperti di Jawa Tengah. Waduh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar